LOGINJet pribadi mendarat mulus di landasan Soekarno-Hatta sekitar pukul satu dini hari. Lampu-lampu bandara sudah redup, udara lembap menyelimuti, dan aroma malam Jakarta yang khas, hujan tipis, dan udara hangat tropis menyambut begitu pintu pesawat terbuka.
Isla melangkah lebih dulu, langkahnya ringan tapi berjarak. Celana kain berwarna kremnya bergoyang lembut tertiup angin malam. Di belakangnya, Kilan berjalan dengan wajah lelah dan suram, matanya menatap tajam sang istri sementara otaknya memikirkan cara untuk membalas perlakukan Isla tadi.
Begitu mobil jemputan mereka berhenti di depan hangar pribadi, staf bandara buru-buru menghampiri, menyerahkan kunci kendaraan dan koper mereka. Sebelum Isla sempat membuka mulut, Kilan sudah lebih dulu mengambil alih kunci dari tangan sopir.
“Aku yang bawa,” katanya datar, suaranya rendah namun mengandung tekanan.
Sopir sempat menatap ragu, tapi tak berani membantah. Isla hanya menghela napas pelan, menatap sekilas ke arah Kilan tanpa ekspresi
“Kamu yakin mau mengemudi jam segini?” Tanyanya heran
Kilan tidak menjawab. Pria itu hanya membuka pintu mobil dengan gerakan cepat “Masuk” ucapnya. Tatapan lelaki itu masih menyimpan bara dari pertengkaran di pesawat tadi. Isla menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya duduk di kursi penumpang depan tanpa berkata apa-apa lagi.
Begitu roda mobil meninggalkan area bandara, suara mesin yang menderu jadi satu-satunya pengisi keheningan. Jalanan kosong, tapi kecepatan Kilan tetap tidak berkurang. Isla melirik ke arah jam di dasbor, pukul 1.20 dini hari. Ia tahu perjalanan ke Menteng butuh hampir satu jam, dan dengan suasana Kilan yang seperti ini, akan terlalu berisiko untuk memaksanya terus menyetir sejauh itu.
Seolah membaca pikirannya, Kilan menepikan mobil pada sebuah hotel bintang lima di kawasan Benda. Kilan turun lebih dulu, menyerahkan kunci pada petugas valet, lalu berjalan mengitari mobil untuk membuka pintu Isla. Gerakannya cepat, hampir kasar, tapi tetap dalam batas sopan yang tampak dipaksakan.
“Ikut aku” katanya singkat.
Isla menatap wajah suaminya sejenak sebelum melangkah masuk ke lobi. Aroma lavender dan kayu hangat menyambut mereka. Kilan langsung berbicara pada resepsionis dengan nada pendek
Resepsionis itu menunduk sopan, namun sempat melirik ke arah Isla yang berdiri di belakang, anggun tapi dingin, seperti patung marmer yang tak bisa disentuh.
“Satu kamar suite” ucap Kilan
Petugas itu mengangguk cepat, sibuk memproses data. Isla memandang Kilan dengan dahi berkerut.
“Satu kamar?” tanyanya pelan, nada suaranya datar namun sarat ketidakpercayaan.
Kilan hanya menoleh sekilas. “Masalah?”
Isla mengangkat alis. “Kupikir setelah tiga tahun menikah tanpa berbagi tempat tidur, kamu tahu batasnya.”
Senyum miring muncul di bibir Kilan. Ia menatapnya lama, mencondongkan tubuh sedikit, dan berbisik dengan nada rendah yang terdengar seperti ejekan.
“Mungkin malam ini aku ingin mengingatkanmu... siapa sebenarnya suamimu.”
Isla menatapnya lurus, tatapannya tajam dan tanpa rasa takut. “Kamu bukan suamiku, Kilan. Kamu hanya nama di dokumen pernikahan. Itu pun karena papamu.”
Senyum di wajah Kilan memudar, tapi matanya justru semakin dingin. Ia mengambil kartu kamar dari resepsionis dan berjalan lebih dulu ke lift tanpa menunggu Isla. “Kamu bisa marah sebanyak yang kau mau, tapi malam ini kita tetap di kamar yang sama,” katanya datar, tanpa menoleh.
Isla menarik napas dalam, menahan amarah yang sudah mulai naik ke tenggorokan. Ia tahu Kilan sedang mencoba menguasai situasi, seperti biasanya, menekan dengan arogansi dan rasa memiliki yang tidak pernah benar-benar ia jalani.
Di dalam lift, keheningan terasa tebal. Isla berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, sementara Kilan bersandar di dinding, tatapannya lurus ke depan. Hanya ada suara halus mesin lift yang naik.
Begitu pintu terbuka, Kilan berjalan lebih dulu ke kamar. Ia membuka pintu dan menyingkir ke samping, memberi jalan untuk Isla masuk.
“Silakan, Nyonya Dhirendra,” katanya dingin, penuh sarkasme.
Isla melangkah masuk tanpa ekspresi, melepaskan mantel panjangnya dan meletakkan tas di sofa. “Kalau kau ingin mengingatkan siapa suamiku, lakukan dengan cara yang lebih layak, Kilan. Tidak dengan sikap seperti bajingan.”
“Oh ya… bagaimana itu sikap yang layak?” tanya Kilan sambil menutup pintu di belakangnya, kuncinya ia putar perlahan hingga terdengar bunyi klik yang lembut
“Setidaknya, bukan dengan menyeret istrinya ke hotel dan memesan satu kamar tanpa bertanya.” Jawab Isla menatapnya tajam.
Kilan tersenyum miring, langkahnya perlahan mendekat. “Aku pikir suami dan istri tidur sekamar bukan hal aneh, kecuali…” suaranya menurun, nada suam-suam kuku yang penuh ejekan, “kecuali salah satunya sudah lupa bagaimana rasanya menjadi pasangan.”
Isla tertawa kecil, dingin dan tanpa rasa. “Ucapann yang datang dari pria yang bahkan tidak tahu kapan terakhir kali pulang sebelum tengah malam.”
Kilan berhenti tepat di hadapannya. “Jadi diam-diam kamu menungguku pulang?” Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap wajah Isla dari jarak yang terlalu dekat.
“Kesimpulan dari mana itu?” Tanya Isla mengejek
Kilan terkekeh pelan, suaranya berat tapi terdengar nyaris seperti bisikan menggoda. “Akui saja, Isla. Kamu menyukaiku. Bahkan saat kamu pura-pura muak, matamu tetap mengikutiku”
Isla mengangkat dagu, menatapnya dengan tatapan menantang. “Aku mengikutimu karena kau selalu membuat kekacauan, bukan karena aku tertarik.”
“Oh, jadi masih memperhatikan, ya? Apa mungkin sikap dinginmu ini hanya cara untuk menarik perhatianku...” Kilan menyeringai, wajahnya mendekat lagi hingga napasnya yang beraroma mint menyentuh kulit Isla. “Tawaranku masih berlaku Isla. Kamu menjadi istriku, satu-satunya perempuanku tapi diluar, aku bebas dengan perempuan lain. Bukankah kamu perempuan haus belaia-”
PLAK!
Suara tamparan itu terdengar keras, menggema di seluruh kamar hotel yang senyap. Pipi kiri Kilan memerah seketika, kepalanya sedikit terputar ke samping. Ia membeku beberapa detik, tidak percaya Isla benar-benar berani melakukannya.
Isla berdiri tegak di hadapannya, bahunya naik-turun menahan emosi yang memuncak. Matanya tajam, berkilat oleh amarah yang selama ini ia tahan terlalu lama.
“Mulutmu benar-benar busuk, Kilan,” ucapnya dingin tapi bergetar oleh emosi. “Aku sudah menoleransi semua kebodohan dan pengkhianatanmu, tapi malam ini… kau benar-benar melewati batas.”
Selama tiga tahun, Isla tak pernah perduli dengan ucapan Kilan namun malam ini lelaki itu sudah cukup kelewatan dan melukai harga dirinya
Kilan perlahan menoleh kembali, menatap Isla dengan sorot mata marah
“Beraninya kamu menamparku, Isla!!” suara Kilan meledak, berat dan penuh bara. Ia melangkah cepat ke depan, matanya tajam, rahangnya mengeras seolah menahan diri agar tidak berbuat sesuatu yang lebih buruk.
Namun Isla tidak mundur. Ia berdiri di tempat, dengan tatapan menantang yang begitu tenang hingga membuat Kilan semakin murka.
“Kalau kamu bisa mempermalukanku dengan kata-katamu,” ucap Isla pelan namun jelas, “aku juga berhak membalasnya dengan cara yang pantas.”
“Kamu pikir ini pantas?!” seru Kilan, suaranya bergetar. “Aku suamimu, Isla! Tidak peduli seberapa besar kebencianmu, kamu tidak berhak mempermalukanku seperti ini!”
Isla tersenyum tipis “Kamu baru bicara soal harga diri sekarang? Setelah bertahun-tahun kamu injak harga diriku, dan memperlakukan aku seperti aku perempuan tanpa perasaan?!!”
"Memang!!!" Sahut Kilan cepat "Kamu nggak tahu cara memuaskanku, kamu nggak tahu cara menjadi menyenangkan. Yang kamu tahu cuma kerja, kerja dan kerja!!"
“Oh..... jadi itu maumu? memperlakukan aku seperti budak seksmu?” Langkah Isla maju satu kali hingga jarak mereka kini hanya sejengkal. “Kamu boleh punya segalanya di luar sana, tapi di depanku, Kilan, kamu tidak ada apa-apanya selain produk gagal dari keluarga Dhirendra.”
Plak!
"Berani-beraninya kamu mengucapkan kata itu?!"
"Memangnya kenapa?!"
Kilan terkekeh rendah “Produk gagal katamu?!! Biar kubuktikan bagaimana produk gagal ini membuatmu kacau Isla” Kilan menatapnya tajam, pupil matanya melebar, napasnya mulai berat. Tangannya mencengkram erat tangan Isla
“LEPASKAN!!” jerit Isla sambil mencoba menepis genggaman tangan Kilan yang mencengkeram pergelangan tangannya begitu kuat. Tubuhnya ditarik kasar hingga jarak di antara mereka hilang seketika. Napas Kilan memburu, matanya merah, dan wajahnya berada terlalu dekat, begitu dekat hingga Isla bisa merasakan amarah yang bergetar dari dada pria itu.
“Sudah cukup, Kilan! Lepaskan!!” suara Isla bergetar namun tegas. Ia menatap langsung ke mata suaminya tanpa rasa takut.
Kilan tidak menjawab. Tangannya malah bergerak lebih tinggi, mencengkeram bagian kerah baju Isla dan menariknya hingga kain itu sedikit kusut di dada dan beberapa kancing terlepas
"Lihat Isla!! Lihat baik-baik apa yang akan kulakukan-"
Plak! satu tamparan kembali Isla layangkan pada Kilan
“Katamu aku membosankan!” Isla memekik kencang, nada suaranya pecah meski matanya berkilat marah. “Tapi lihat siapa yang sekarang sibuk bersikap seakan ingin memperkosaku!”
Kilan terhenti seketika. Ucapan Isla seperti cambuk yang menghantam sisi waras terakhir dalam dirinya. Tatapan matanya, yang semula menyala penuh amarah, kini mulai kehilangan fokus. Rahangnya mengeras, dan genggamannya di kerah Isla perlahan melemah.
“Kamu pikir aku sekeji itu?” suaranya berat, rendah, seperti lolongan binatang terluka. Napasnya berembus keras dari hidung, matanya memandangi wajah Isla dengan campuran kemarahan dan keterkejutan yang menahan diri untuk tidak meledak lagi.
Isla menarik napas dalam-dalam, menatapnya dengan dingin. “Aku tidak perlu berpikir, Kilan. Perbuatanmu malam ini sudah cukup membuktikan siapa dirimu.”
“Menijijikan” Gumam Kilan “Harusnya kamu bersyukur aku masih mau dengan wanita membosankan sepertimu Isla. Kamu akan menyesal sekarang!”
Tidak ada jawaban. Hanya tatapan hampa yang menelanjangi semua kesombongan Kilan dalam diam. Dan sebelum Isla sempat membalas, BRAK!
Kilan mendorong pintu kamar dengan kasar, keluar tanpa menoleh sedikit pun. Suara langkahnya bergema keras di lorong, menghilang bersamaan dengan bunyi pintu yang menutup rapat di belakangnya.
“Hallo, kita ketemu lagi”Isla menatap lelaki di depannya dengan ekspresi heran, alis terangkat tinggi.“…kita?” ulangnya pelan, masih mencoba menghubungkan wajah pemuda itu dengan memori yang tak kunjung muncul.Kai, lelaki muda yang masih tersenyum seakan ini skenario yang ia tunggu langsung mengangguk santai.“Tadi pagi. Kita hampir bikin drama kecelakaan” ujarnya sambil menunjuk ke arah luar kafe.Isla spontan melirik ke jendela kaca besar di samping mereka.Benar saja, mobilnya dan sebuah mobil sedan hitam Kai sama-sama terparkir di sana.“Oh…”Ia mendapati suaranya sendiri terdengar bodoh.“Pantas saja wajahmu agak familiar” gumam IslaKai tampak jelas menahan tawa melihat kepolosan kebingungannya.“Aku pikir kamu akan langsung ingat” sambung Kai. “ternyata kamu langsung lupa”Isla membuka mulut ingin menjawab, tapi berhenti saat merasakan hawa aneh menyelimuti tengkuknya.Seseorang… memperhatikannya.Insting Isla otomatis membuatnya menoleh dan jantungnya seakan berhenti.Di su
Isla mengemudikan mobilnya dengan satu tangan di setir dan satu lagi menopang dagu, bibirnya terangkat menjadi senyum paling puas yang pernah ia tunjukkan dalam beberapa minggu terakhir.Jalanan pagi masih ramai, tapi Isla melaju santai, seolah dunia sedang memainkan musik latar khusus untuk kemenangannya.Ia menyalakan lagu, volume dibuat cukup keras sampai bass-nya bergetar ringan di jok mobil.Dan ketika lirik pertama mengalun…Isla tertawa kecil.“Aku akan membiarkan Kilan selalu ada untukmu…” Ia mengulang kata-katanya sendiri dari meja makan tadi dengan nada mengejek. “Tentu saja. Itu kalau dia berani.”Tangannya menepuk-nepuk kemudi mengikuti irama.Bagaimana tidak senang? Ferania benar-benar mengira Isla sedang menyerah.Padahal…“Kunci rantai ada di aku, bodoh” gumam Isla sambil tersenyum sinis.Ia bisa membayangkan wajah Ferania yang memerah karena malu, juga tatapan Kilan yang kosong seperti boneka rusak.Sempurna.Namun ada satu hal lain yang mengusik pikirannya sesaat.Tat
Keesokan paginya, ruang sarapan keluarga Dhirendra agak berbeda dari hari biasanya.Semua itu karena kehadiran Ferania yang ceria.Ceria bukan dalam arti yang menyenangkan, tetapi berisik.Wanita yang kemarin sudah resmi menjadi istri kedua Kilan itu duduk di meja makan dengan santainya. Dia masih mengenakan gaun tidur sutra yang sedikit terlalu mencolok untuk suasana sarapan formal keluarga DhirendraFerania berusaha keras mengisi keheningan dengan cerita-cerita tentang dirinya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan berlebihan tentang sejarah keluarga, dan sesekali memanggil Kilan dengan sebutan 'Sayang' dengan volume yang tidak perlu.Sedang Kilan duduk di seberang meja, terlihat seperti mayat hidup. Dia menghindari kontak mata dengan siapa pun dan hanya menyeruput kopinya dengan cepat.Kehadiran Ferania, yang secara resmi adalah istrinya yang baru, di meja sarapan ini terasa seperti duri di tenggorokannya, apalagi setelah malamnya ia habiskan sendirian di sayap timur.Sarai sendiri terl
“Ckkk... sialan!” Maki KilanKilan turun ke lantai bawah dengan langkah tergesa-gesa. Ia tidak jadi mengambil kunci mobilnya. Ia malah beranjak menuju kamar Isla.Sayangnya, begitu pintu kamar Isla terkunci saat dia mencoba membukanya. Saat Kilan mencoba untuk mengetuk pun tetap tak ada jawaban“Isla! Sudah tidur?” Panggil KilanSemenit tak ada respon, Kilan meraih ponselnya dari saku dan menekan nomor Isla, tetapi sang Istri juga tidak mengangkat.“Angkat, Isla! Sial!” gerutunya sambil berjalan mondar-mandir di depan kamar IslaSementara di dalam kamar, Isla tidak bisa bergerak karena pelukan Kavian yang sangat erat. Sejak tadi, sang kakak ipar membisikkan kata-kata mesra di telinganya“kak.. lepas dulu, Kilan ada di depan” ucap IslaKavian tak mengendurkan pelukannya sedikit pun. Bibirnya menyentuh pucuk telinga Isla, senyumnya terdengar dalam bisikan rendah yang menggetarkan punggung Isla.“Memangnya kenapa kalau ada Kilan?” Tanyanya santaiIsla terkekeh pelan “Nggak takut ketahuan
Kilan menatap nanar kamar baru yang ia tempati malam ini. Kamar itu memang mewah, tetapi ukurannya hanya seperempat dari kamar utama yang ditinggalkannya. Furnitur yang dingin, tanpa sentuhan pribadi, terasa seperti sel penjara yang mahal.Ferania, di sisi lain, tampak sibuk mondar-mandir, mencoba mengatur koper-koper miliknya.“Kak Kilan kenapa malah diam di sana? bantu aku rapikan pakaian dong!” ucap Ferania merengek.“Rapikan sendiri! Tugas istri itu melayani suami, jadi sudah kewajibanmu menyiapkan semuanya” Seru Kilan ketusFerania mengganga “Kakak kok tega sama aku? Aku lagi hamil loh!” rengeknyaKilan tidak bergerak. Dia membuka sebotol whisky dan menyesapnya langsung dari botol.“Kak!”“Berisik! Aku sudah memberimu anak dan status, Ferania,” jawab Kilan dingin. “Jangan menuntut lebih dari itu. Urusan koper bukan masalahku. Panggil saja pelayan buat rapikan baran
Setelah kepergian mereka, kini ruang tamu itu hanya diisi oleh empat orang.Joseph, Sarai, Isla, dan Kavian.“Kamu yakin membiarkan Kilan memiliki istri lain?” Tanya Sarai, suaranya dipenuhi kekhawatiran dan ketidaksetujuan. Ia memeluk Isla, seolah meminta kepastian bahwa menantunya baik-baik saja. “Terlebih dia adik tirimu sendiri” sambung SaraiIsla melepaskan pelukan Sarai dengan lembut, pandangannya lurus ke depan, ke arah pintu yang baru saja dilewati Kilan dan Ferania.“Aku nggak punya pilihan, Mama,” jawab Isla, nadanya datar.“Jika Kilan menolak pernikahan, Papaku akan membawanya ke pengadilan dan media, membongkar aib Kilan dan Dhirendra. Kita nggak bisa membiarkan nama Dhirendra tercoreng di tengah merger besar yang sedang papa Joseph dan kak Kavian urus.”Isla menoleh ke Joseph lalu fokus pada Kavian“Solusi ini memang memalukan, tapi ini yang paling cepat dan paling sed







