Share

3. Arogansi yang diuji

Author: Strrose
last update Last Updated: 2025-10-10 14:08:18

Jet pribadi mendarat mulus di landasan Soekarno-Hatta sekitar pukul satu dini hari. Lampu-lampu bandara sudah redup, udara lembap menyelimuti, dan aroma malam Jakarta yang khas, hujan tipis, dan udara hangat tropis menyambut begitu pintu pesawat terbuka.

Isla melangkah lebih dulu, langkahnya ringan tapi berjarak. Celana kain berwarna kremnya bergoyang lembut tertiup angin malam. Di belakangnya, Kilan berjalan dengan wajah lelah dan suram, matanya menatap tajam sang istri sementara otaknya memikirkan cara untuk membalas perlakukan Isla tadi.

Begitu mobil jemputan mereka berhenti di depan hangar pribadi, staf bandara buru-buru menghampiri, menyerahkan kunci kendaraan dan koper mereka. Sebelum Isla sempat membuka mulut, Kilan sudah lebih dulu mengambil alih kunci dari tangan sopir.

“Aku yang bawa,” katanya datar, suaranya rendah namun mengandung tekanan.

Sopir sempat menatap ragu, tapi tak berani membantah. Isla hanya menghela napas pelan, menatap sekilas ke arah Kilan tanpa ekspresi

“Kamu yakin mau mengemudi jam segini?” Tanyanya heran

Kilan tidak menjawab. Pria itu hanya membuka pintu mobil dengan gerakan cepat “Masuk” ucapnya. Tatapan lelaki itu masih menyimpan bara dari pertengkaran di pesawat tadi. Isla menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya duduk di kursi penumpang depan tanpa berkata apa-apa lagi.

Begitu roda mobil meninggalkan area bandara, suara mesin yang menderu jadi satu-satunya pengisi keheningan. Jalanan kosong, tapi kecepatan Kilan tetap tidak berkurang. Isla melirik ke arah jam di dasbor, pukul 1.20 dini hari. Ia tahu perjalanan ke Menteng butuh hampir satu jam, dan dengan suasana Kilan yang seperti ini, akan terlalu berisiko untuk memaksanya terus menyetir sejauh itu.

Seolah membaca pikirannya, Kilan menepikan mobil pada sebuah hotel bintang lima di kawasan Benda. Kilan turun lebih dulu, menyerahkan kunci pada petugas valet, lalu berjalan mengitari mobil untuk membuka pintu Isla. Gerakannya cepat, hampir kasar, tapi tetap dalam batas sopan yang tampak dipaksakan.

“Ikut aku” katanya singkat.

Isla menatap wajah suaminya sejenak sebelum melangkah masuk ke lobi. Aroma lavender dan kayu hangat menyambut mereka. Kilan langsung berbicara pada resepsionis dengan nada pendek

Resepsionis itu menunduk sopan, namun sempat melirik ke arah Isla yang berdiri di belakang, anggun tapi dingin, seperti patung marmer yang tak bisa disentuh.

“Satu kamar suite” ucap Kilan

Petugas itu mengangguk cepat, sibuk memproses data. Isla memandang Kilan dengan dahi berkerut.

“Satu kamar?” tanyanya pelan, nada suaranya datar namun sarat ketidakpercayaan.

Kilan hanya menoleh sekilas. “Masalah?”

Isla mengangkat alis. “Kupikir setelah tiga tahun menikah tanpa berbagi tempat tidur, kamu tahu batasnya.”

Senyum miring muncul di bibir Kilan. Ia menatapnya lama, mencondongkan tubuh sedikit, dan berbisik dengan nada rendah yang terdengar seperti ejekan.

“Mungkin malam ini aku ingin mengingatkanmu... siapa sebenarnya suamimu.”

Isla menatapnya lurus, tatapannya tajam dan tanpa rasa takut. “Kamu bukan suamiku, Kilan. Kamu hanya nama di dokumen pernikahan. Itu pun karena papamu.”

Senyum di wajah Kilan memudar, tapi matanya justru semakin dingin. Ia mengambil kartu kamar dari resepsionis dan berjalan lebih dulu ke lift tanpa menunggu Isla. “Kamu bisa marah sebanyak yang kau mau, tapi malam ini kita tetap di kamar yang sama,” katanya datar, tanpa menoleh.

Isla menarik napas dalam, menahan amarah yang sudah mulai naik ke tenggorokan. Ia tahu Kilan sedang mencoba menguasai situasi, seperti biasanya, menekan dengan arogansi dan rasa memiliki yang tidak pernah benar-benar ia jalani.

Di dalam lift, keheningan terasa tebal. Isla berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, sementara Kilan bersandar di dinding, tatapannya lurus ke depan. Hanya ada suara halus mesin lift yang naik.

Begitu pintu terbuka, Kilan berjalan lebih dulu ke kamar. Ia membuka pintu dan menyingkir ke samping, memberi jalan untuk Isla masuk.

“Silakan, Nyonya Dhirendra,” katanya dingin, penuh sarkasme.

Isla melangkah masuk tanpa ekspresi, melepaskan mantel panjangnya dan meletakkan tas di sofa. “Kalau kau ingin mengingatkan siapa suamiku, lakukan dengan cara yang lebih layak, Kilan. Tidak dengan sikap seperti bajingan.”

“Oh ya… bagaimana itu sikap yang layak?” tanya Kilan sambil menutup pintu di belakangnya, kuncinya ia putar perlahan hingga terdengar bunyi klik yang lembut

“Setidaknya, bukan dengan menyeret istrinya ke hotel dan memesan satu kamar tanpa bertanya.” Jawab Isla menatapnya tajam.

Kilan tersenyum miring, langkahnya perlahan mendekat. “Aku pikir suami dan istri tidur sekamar bukan hal aneh, kecuali…” suaranya menurun, nada suam-suam kuku yang penuh ejekan, “kecuali salah satunya sudah lupa bagaimana rasanya menjadi pasangan.”

Isla tertawa kecil, dingin dan tanpa rasa. “Ucapann yang datang dari pria yang bahkan tidak tahu kapan terakhir kali pulang sebelum tengah malam.”

Kilan berhenti tepat di hadapannya. “Jadi diam-diam kamu menungguku pulang?” Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap wajah Isla dari jarak yang terlalu dekat.

“Kesimpulan dari mana itu?” Tanya Isla mengejek

Kilan terkekeh pelan, suaranya berat tapi terdengar nyaris seperti bisikan menggoda. “Akui saja, Isla. Kamu menyukaiku. Bahkan saat kamu pura-pura muak, matamu tetap mengikutiku”

Isla mengangkat dagu, menatapnya dengan tatapan menantang. “Aku mengikutimu karena kau selalu membuat kekacauan, bukan karena aku tertarik.”

“Oh, jadi masih memperhatikan, ya? Apa mungkin sikap dinginmu ini hanya cara untuk menarik perhatianku...” Kilan menyeringai, wajahnya mendekat lagi hingga napasnya yang beraroma mint menyentuh kulit Isla. “Tawaranku masih berlaku Isla. Kamu menjadi istriku, satu-satunya perempuanku tapi diluar, aku bebas dengan perempuan lain. Bukankah kamu perempuan haus belaia-”

PLAK!

Suara tamparan itu terdengar keras, menggema di seluruh kamar hotel yang senyap. Pipi kiri Kilan memerah seketika, kepalanya sedikit terputar ke samping. Ia membeku beberapa detik, tidak percaya Isla benar-benar berani melakukannya.

Isla berdiri tegak di hadapannya, bahunya naik-turun menahan emosi yang memuncak. Matanya tajam, berkilat oleh amarah yang selama ini ia tahan terlalu lama.

“Mulutmu benar-benar busuk, Kilan,” ucapnya dingin tapi bergetar oleh emosi. “Aku sudah menoleransi semua kebodohan dan pengkhianatanmu, tapi malam ini… kau benar-benar melewati batas.”

Selama tiga tahun, Isla tak pernah perduli dengan ucapan Kilan namun malam ini lelaki itu sudah cukup kelewatan dan melukai harga dirinya

Kilan perlahan menoleh kembali, menatap Isla dengan sorot mata marah

“Beraninya kamu menamparku, Isla!!” suara Kilan meledak, berat dan penuh bara. Ia melangkah cepat ke depan, matanya tajam, rahangnya mengeras seolah menahan diri agar tidak berbuat sesuatu yang lebih buruk.

Namun Isla tidak mundur. Ia berdiri di tempat, dengan tatapan menantang yang begitu tenang hingga membuat Kilan semakin murka.

“Kalau kamu bisa mempermalukanku dengan kata-katamu,” ucap Isla pelan namun jelas, “aku juga berhak membalasnya dengan cara yang pantas.”

“Kamu pikir ini pantas?!” seru Kilan, suaranya bergetar. “Aku suamimu, Isla! Tidak peduli seberapa besar kebencianmu, kamu tidak berhak mempermalukanku seperti ini!”

Isla tersenyum tipis “Kamu baru bicara soal harga diri sekarang? Setelah bertahun-tahun kamu injak harga diriku, dan memperlakukan aku seperti aku perempuan tanpa perasaan?!!”

"Memang!!!" Sahut Kilan cepat "Kamu nggak tahu cara memuaskanku, kamu nggak tahu cara menjadi menyenangkan. Yang kamu tahu cuma kerja, kerja dan kerja!!"

“Oh..... jadi itu maumu? memperlakukan aku seperti budak seksmu?” Langkah Isla maju satu kali hingga jarak mereka kini hanya sejengkal. “Kamu boleh punya segalanya di luar sana, tapi di depanku, Kilan, kamu tidak ada apa-apanya selain produk gagal dari keluarga Dhirendra.”

Plak!

"Berani-beraninya kamu mengucapkan kata itu?!"

"Memangnya kenapa?!"

Kilan terkekeh rendah “Produk gagal katamu?!! Biar kubuktikan bagaimana produk gagal ini membuatmu kacau Isla” Kilan menatapnya tajam, pupil matanya melebar, napasnya mulai berat. Tangannya mencengkram erat tangan Isla

“LEPASKAN!!” jerit Isla sambil mencoba menepis genggaman tangan Kilan yang mencengkeram pergelangan tangannya begitu kuat. Tubuhnya ditarik kasar hingga jarak di antara mereka hilang seketika. Napas Kilan memburu, matanya merah, dan wajahnya berada terlalu dekat, begitu dekat hingga Isla bisa merasakan amarah yang bergetar dari dada pria itu.

“Sudah cukup, Kilan! Lepaskan!!” suara Isla bergetar namun tegas. Ia menatap langsung ke mata suaminya tanpa rasa takut.

Kilan tidak menjawab. Tangannya malah bergerak lebih tinggi, mencengkeram bagian kerah baju Isla dan menariknya hingga kain itu sedikit kusut di dada dan beberapa kancing terlepas

"Lihat Isla!! Lihat baik-baik apa yang akan kulakukan-"

Plak! satu tamparan kembali Isla layangkan pada Kilan

“Katamu aku membosankan!” Isla memekik kencang, nada suaranya pecah meski matanya berkilat marah. “Tapi lihat siapa yang sekarang sibuk bersikap seakan ingin memperkosaku!”

Kilan terhenti seketika. Ucapan Isla seperti cambuk yang menghantam sisi waras terakhir dalam dirinya. Tatapan matanya, yang semula menyala penuh amarah, kini mulai kehilangan fokus. Rahangnya mengeras, dan genggamannya di kerah Isla perlahan melemah.

“Kamu pikir aku sekeji itu?” suaranya berat, rendah, seperti lolongan binatang terluka. Napasnya berembus keras dari hidung, matanya memandangi wajah Isla dengan campuran kemarahan dan keterkejutan yang menahan diri untuk tidak meledak lagi.

Isla menarik napas dalam-dalam, menatapnya dengan dingin. “Aku tidak perlu berpikir, Kilan. Perbuatanmu malam ini sudah cukup membuktikan siapa dirimu.”

“Menijijikan” Gumam Kilan “Harusnya kamu bersyukur aku masih mau dengan wanita membosankan sepertimu Isla. Kamu akan menyesal sekarang!”

Tidak ada jawaban. Hanya tatapan hampa yang menelanjangi semua kesombongan Kilan dalam diam. Dan sebelum Isla sempat membalas, BRAK!

Kilan mendorong pintu kamar dengan kasar, keluar tanpa menoleh sedikit pun. Suara langkahnya bergema keras di lorong, menghilang bersamaan dengan bunyi pintu yang menutup rapat di belakangnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   17. Terjerat (21+)

    “Ahh, Kak Kilan… pelan…” bisik Ferania dengan suara gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup menahan intensitas dari sentuhan Kilan. Air matanya jatuh, namun bibirnya tetap melengkung samar, menutupi kepuasan licik yang ia rasakan.Kilan menggeram, menahan rahang hingga uratnya tampak menegang.“Ck… berhenti merintih, Ferania” desisnya kasar, jemarinya mencengkeram lengan halus gadis itu dengan kuat. “Kamu bahkan… nggak perawan.”Ferania terhenyak sepersekian detik, tubuhnya menegang, namun ia segera menutupinya dengan tangis kecil yang terdengar memilukan. Ia menatap Kilan dengan mata berkaca-kaca, membuat dirinya tampak rapuh, lemah, dan menyedihkan.“Jangan katakan begitu, Kak… kau menyakitiku…bagaimana bisa kakak mengatakannya saat kak Kilan adalah orang pertama yang menyentuhku” suaranya lirih, pecah seperti helaan napas yang patah. Tangannya menggenggam kemeja yang masih Kilan gunakan, menariknya lebih dekat, seolah mencari perlindungan. Padahal dalam hati, ia menyimpan senyum kemen

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   16. Godaan Adik Ipar

    Kilan menekan pedal gas lebih dalam. Suara mesin mobil sportnya meraung keras, menggema di sepanjang jalanan kota yang basah oleh gerimis sisa hujan. Lampu-lampu kota memantul di kaca depan seperti serpihan cahaya yang menari cepat, tapi di matanya, semuanya kabur.Pikirannya hanya tertuju pada satu hal. Ferania.Nama itu bergema di kepalanya, mengalahkan dentuman musik dari radio yang belum sempat ia matikan. Ferania dengan suara bergetar, air mata yang bahkan lewat telepon terdengar tulus, dan cara dia menyebut “Kak Kilan…” dengan nada begitu lemah, seolah seluruh dunia sedang menindasnya.Tapi Kilan tahu wanita itu bukan tipe yang mudah hancur. Ia tahu persis bagaimana Ferania bisa memelintir emosi orang dengan ketepatan seperti senjata.Namun tetap saja, ada sesuatu di dirinya yang tidak bisa berpaling. Bukan hanya karena ia kasihan. Tapi karena setiap kali Ferania menangis, ada bagian dalam dirinya yang ingin menenangkan… dan bagian lain yang ingin menghancurkan.“Persetan…” guma

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   15. Fantasi yang hancur (21+)

    Kilan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, mesin meraung keras di jalanan yang masih ramai sore itu. Jemarinya mengetuk setir mengikuti irama lagu EDM yang diputar kencang, seolah mencoba menutupi kekacauan di dalam kepalanya.Bangunan kaca berlampu neon biru-ungu mulai terlihat di ujung jalan, klub miliknya, Euphoria. Dari luar tampak megah, papan nama besar menyala bahkan sebelum matahari benar-benar tenggelam. Orang-orang yang melintas di trotoar berhenti sejenak hanya untuk menatap, seolah tempat itu adalah magnet malam yang tak bisa diabaikan. Tapi hanya Kilan yang tahu, gemerlap lampu itu tidak sebanding dengan isi brankasnya yang makin menipis.Ia memarkir mobil sport-nya di area khusus VIP, lalu turun tanpa menunggu staf keamanan membukakan pintu. Sepatu hitam menginjak lantai marmer yang berkilau oleh pantulan cahaya. Musik dari dalam klub menggema samar, bercampur dengan suara tawa dan denting gelas.“Bos datang,” ucap salah satu pen

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   14. Cucu dari Isla?

    Setelah kematian ibunya, Isla tak pernah lagi mengharapkan kasih sayang. Ia sudah terbiasa menyimpan jarak, karena sadar ayahnya selalu menghabiskan perhatian dan kasih sayangnya untuk selingkuhan serta anak tirinya.Kenangan itu masih segar di pikirannya. Seminggu setelah ibunya dikebumikan, ayahnya menikah dengan Yuria dan membawa Ferania tinggal di rumah yang sama.Dunia Isla terasa hancur, tidak ada satu pun yang benar-benar peduli padanya. Ia belajar untuk menahan diri, menelan kecewa, dan menganggap cinta atau perhatian hanyalah sebuah ilusi.Namun, mendapat perlakuan yang luar biasa hangat dari mertuanya membuat Isla diam-diam terkejut. Setiap senyum, kata lembut, bahkan perhatian kecil seperti menanyakan preferensi pakaian, kebiasannya atau menyapanya dengan hangat, menembus tembok perlindungan yang selama ini ia bangun sendiri.Isla merasa bingung, antara ingin percaya dan takut akan kecewa lagi. Ada bagian dirinya yang ingin menolak, tapi ada juga bagian lain yang ingin memb

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   13. Jangan mau dicoblos, Isla

    Dirinya dijual.Sederhana. Kasar. Menyakitkan.Semua potongan hidupnya seakan berjatuhan di depan mata. Setiap tatapan dingin Adnan, setiap kalimat tajam yang ia lontarkan dulu, setiap sikap tak peduli pada luka-luka kecil yang Isla kumpulkan sejak kecil, semua akhirnya masuk akal. Ia bukan putri yang disayang. Ia hanyalah barang dagangan yang kebetulan lahir sebagai anak kandung Adnan.Napas Isla tercekat. Saat ia mencoba menarik udara, yang masuk ke paru-parunya hanyalah rasa getir dan pengkhianatan. Kata-kata Joseph masih menggaung di telinganya, bercampur dengan suara Adnan di masa lalu, suara ayah yang selama ini ia pikir hanya pilih kasih, ternyata juga tega menukarnya dengan angka, dengan mahar.Yang membuat Isla tak habis pikir adalah ucapan Adnan yang menekankan jika keluarga Dhirendralah yang memaksakan pernikahan ini tiga tahun lalu. Padahal ayahnya sendiri yang menjualnya.“Isla sayang...” suara lembut itu terdengar dari arah ruang tengah.Langkah Isla terhenti. Kepalanya

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   12. Dia yang dijual

    Suasana di ruang kerja Joseph, sang kepala keluarga Dhirendra begitu hening. Hanya suara jam antik di dinding yang berdetak pelan serta aroma tembakau yang samar masih tertinggal di udara, menambah berat atmosfer perbincangan itu.Netra coklat Isla menatap lurus pada sang kepala keluarga Dhirendra, sorot matanya tetap tenang, meski dalam dirinya bergolak perasaan yang sulit dijelaskan, antara rasa hormat, takut, dan lelah.Pria itu duduk di balik meja kayu jati besar, tubuhnya tegap meski usianya sudah melewati setengah abad. Setiap gerakannya penuh wibawa, bahkan ketika hanya menyandarkan tubuh pada kursi kulit hitamnya.“Isla…” suaranya rendah, bukan lagi nada tegas penuh kuasa yang biasa ia lontarkan.Isla menatapnya lekat, menanti kalimat apa yang akan keluar dari bibir pria paruh baya yang adalah mertuanya itu.“Aku meminta maaf padamu.”Isla tertegun. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada kata yang keluar.Permintaan maaf itu terasa janggal, bukan karena ia tak menginginkannya,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status