"Kamu nggak jadi ikut?" Gaby melirik Vania yang baru saja menutup sambungan ponselnya.
Vania menggeleng lemah. "Kamu tahu 'kan? Aku sangat ingin ikut tapi ada klien yang mendadak datang dan menunggu ku di kantor.""Oke." Gaby mengangguk paham lalu menepuk pundak sahabatnya. Ia membuka pintu dan melompat turun."Sampai nanti," pamit Vania sambil melambaikan tangan.Begitu mobil Vania meninggalkan area parkiran rumah keluarga Deuremham, sebuah sedan hitam bergerak masuk.Gaby terpaku sesaat sebelum akhirnya sadar dan mempercepat langkahnya melewati perkarangan rumah."Gaby." Panggil Mike yang turun dari dalam mobil. "Kamu baru pulang?"Langkah Gaby terhenti, ia meringis bingung. "Ya," sahutnya tanpa berbalik.Sebisa mungkin dia menghindar beradu pandang dengan Mike. Peristiwa semalam sayup-sayup terngiang kembali di ingatannya. Membuatnya kembali menyesali sembari mengutuk kebodohannya."Kamu harus lebih sering pulang ke rumah, Gaby," kata Mike. "Mama Natasha khawatir padamu.""Hmm," sahut Gaby bergumam sambil melanjutkan langkahnya hingga ke depan pintu utama.Gaby mengangkat tangannya hendak mengetuk, tapi pintu itu tiba-tiba tersentak dengan kasar."Kenapa kalian datang bersama?"Kening Gaby berkerut bingung karena Erika menyambutnya dengan pertanyaan bernada ketus. Wanita itu menatap tak senang karena kemunculan Gaby bersama suaminya."Kami ketemu di depan," balas Gaby canggung. Ia memijat tekuknya demi mengurai ketegangan.Penjelasan Gaby tak membuat kecurigaan Erika surut. Wanita itu beralih pada Mike yang tampak enggan untuk membahas apapun yang berkaitan dengan masalah ini. Pria dingin itu memilih masuk dan meninggalkan kedua wanita."Cepat masuk, Paman Samuel menunggu kita untuk membacakan surat wasiat Papa," ujar Erika ketus dan berbalik untuk mengejar Mike yang telah lebih dulu menuju ruang tengah mansion megah keluarga Darenharm.Gaby mendesah pelan lalu mengikuti langkah pasangan suami istri itu, menuju ruang tengah dimana seluruh keluarga inti berkumpul.Selepas mengantarkan jenazah Papa, riak risuh mulai santer terdengar. Mempertanyakan kemana harta benda sang almarhum akan beralih.Apakah Gaby yang notabene anak kandung sekaligus pemegang tanduk kuasa nama besar Deuremham ataukah Natasha dan Erika, istri kedua dan putri bawaan yang selama lima tahun terakhir mendampingi sang pimpinan DH Grup."Gaby, duduk sini." Natasha melambaikan tangannya, meminta Gaby untuk duduk di sofa yang sama—disampingnya dan Erika.Gaby melirik tangan Erika yang melingkar di lengan Mike, membuatnya enggan untuk mendekat. Ia lebih memilih sofa single yang letaknya berseberangan dengan sosok pengacara keluarga Deuremham."Bukankah ini terlalu cepat, Paman Samuel. Jenazah Papa baru beberapa hari yang lalu masuk ke liang lahat," sindir Gaby.Samuel tersenyum maklum. Bukan rahasia umum lagi di kalangan keluarga inti, bagaimana watak keras Gaby—anak semata wayang yang mengikuti garis keturunan keluarga Deuremham."Tidak ada gunanya menunggu lama, Gaby." Samuel berdeham pelan. "Papamu memintaku menyegerakan pembacaan surat wasiat sebelum kamu kembali kabur."Gaby mendengus malas. "Kalau begitu persingkat saja masalah ini. Aku tidak tertarik berlama-lama di tempat ini.""Sombong sekali," desis pria paruh baya berseragam, yang duduk disamping Natasha.Gaby menanggapinya dengan tawa sinis. Matanya menatap tajam pada Frans, sepupu Natasha. Pejabat rendahan yang berhasil naik pangkat setelah menjilat petinggi untuk mendapatkan kekuasaan."Apa yang anda lakukan disini, Paman Frans? Seingat ku, anda bukan bagian dari keluarga ini."Frans meradang marah. "Anak kurang ajar!" Tukasnya dengan telunjuk teracung ke wajah Gaby."Jaga mulutmu, Frans," potong Samuel tegas hingga berhasil membuat pria berwajah merah padam itu menutup mulut rapat-rapat dan kembali duduk.Samuel kembali beralih pada Gaby. "Sayangnya kamu tidak akan bisa pergi semudah itu, Gaby."Gaby menautkan alisnya. "Kenapa?"'Jangan … Jangan!'Pengacara itu membuka map bersegel rapat lalu mengeluarkan lembaran kertas dari sana."Karena kamu pewaris sah atas semua aset Deuremham," tutur Samuel lugas. Membuat suara-suara sumbang segera terdengar.'Seperti yang di tebak,' decak Gaby kesal dalam hati. 'Tua Bangka itu tak akan melepaskan ku dengan mudah.'"Semua?" Seru Erika kaget. "Papa tidak—"Natasha menarik tangan putrinya, meminta Erika untuk tetap duduk dengan tenang. Melerai pertikaian yang mulai meletup."Lalu apa yang ditinggalkan tua bangka itu untuk istri dan anaknya yang lain?" Celetuk Frans.Gaby melotot marah. "Bukan hak mu untuk mempertanyakan keputusan Papaku," sentaknya."Hei, bocah! Kamu tidak tahu apa yang terjadi pada kakakku selama kamu kabur," sambut Frans menantang. "Tua bangka itu hanya terus mengeluh dan mengeluh tentang putrinya yang keras kepala.""Frans, hentikan," cegah Natasha."Tidak, Kak. Kamu tidak boleh diinjak-injak oleh bocah ingusan itu."Gaby tertawa keras. "Apa yang membuatmu begitu ngotot?" tanyanya dengan nada mengejek. "Apa kamu takut tak bisa lagi mendapatkan dukungan untuk karir politik kotor mu itu?""Ka-kamu …" Frans kehabisan kata hingga menyentak tangannya dan beranjak dari kursi."Cukup, Frans!" sela Natasha sambil menarik adik sepupunya untuk kembali duduk. "Gaby, Mama minta maaf atas sikap Pamanmu. Bisakah kamu berlapang hati dan menyudahi masalah ini?"Gaby menatap sejenak wajah lelah ibu sambungnya lalu mendesah panjang. "Paman Samuel, aku tidak ingin membahas masalah ini sekarang. Bisakah kita menundanya sampai beberapa waktu?"Samuel menghela napas panjang. "Baiklah. Kita akan membahasnya lagi saat prosesi pelayatan Papa mu selesai.""Baiklah." Gaby mengangguk patuh dan bangkit dari sofa untuk kembali ke kamarnya."Bocah itu semakin tidak terkendali," dengus Frans kesal.Samuel mendengus keras, membuat semua orang terdiam seketika terdiam. Mereka memilih segera bubar sebelum Samuel sempat melontarkan kritik pedasnya. Sang pengacara menatap punggung wanita muda yang bergerak menjauh. Matanya beralih pada sosok yang juga terpaku pada pemandangan yang sama.Samuel menangkap sinyal bahaya saat menyadari kedua hati itu masih saling terpaut meski rentang waktu telah berlalu cukup lama. Jurang diantara mereka terlalu lebar hingga sulit untuk saling mengapai.'Aku harus melakukan sesuatu, sebelum semuanya kembali terlambat,' pikirnya.*****Alex mengedarkan pandangannya ke sekeliling Bar. Mencari keberadaan kedua temannya yang sejak dua jam llau terus menerornya untuk segera datang."Kenapa, Sob? Ada masalah?" Sapanya sambil menepuk pundak yang menekuk wajahnya.Alex sudah bisa menebak apa yang terjadi, selama ini ia dan Ben telah menjadi saksi pasang surut hubungan Mike dengan Erika dan betapa pria itu tak pernah bisa melupakan sosok cinta pertamanya."Kamu udah makan malam, Alex?" tanya Ben yang datang dengan sepiring besar lasagna."Belum," sahut Alex lalu melirik Mike yang masih terpekur menatap lantai. "Bagaimana dengannya?"Ben mendesah pelan sambil menunjuk puluhan kaleng minuman yang berserakan di meja hingga lantai. Ia meletakkan piring di atas meja dan membuka kantong sampah yang di bawanya dari dapur, ia mengumpulkan semua kaleng kosong ke dalamnya."Apa yang terjadi? Kamu bertengkar dengan Gaby?" tanya Alex penasaran. Ia mengambil tempat disamping Mike lalu menyendok potongan lasagna ke dalam mulutnya."Aku
"Terima kasih sudah mengantar ku ke sini." Alex mengusap pipi kanan kekasihnya. "Tidak ada kata terima kasih atau maaf dalam sebuah hubungan.""Ini kewajiban, Sayang. Aku tidak akan bisa tidur malam ini kalau membiarkan mu pergi sendirian."Fey berkaca-kaca. Ia menarik Alex lebih dekat dan memeluknya erat. "Alex, izinkan aku mengatakannya untuk terakhir kali,""Terimakasih karena kamu mau bersabar menghadapi ku dan maaf karena membuat mu menunggu lama."Alex mengeratkan pelukan dan membelai punggung Fey penuh kasih sayang."Ehm, ehm ...""Masih lama? Di sini dingin."Alex dan Fey melepaskan pelukan. Keduanya tersenyum canggung pada Gaby dan Vania yang menatap keduanya penuh minat."Apa yang kalian lakukan di luar?" Kata Fey berusaha mengalihkan perhatian kedua wanita itu."Oh, ini." Gaby melambaikan kantong belanjaan di tangannya. "Late snack.""Hah? Gaby, bukannya kamu diet?""Diet apaan! Dia menguras seluruh isi kulkas ku," debat Vania. "Lagian buat apa jomblo diet.""Sejak kapan ka
"Siapa?" Tanya Fey begitu Mama Alex keluar dari mobil.Setelah pertemuan mereka dengan wanita di mall tadi. Alex dan Ibunya mendadak bisu dan menyibukkan diri mereka dengan pikiran masing-masing.Alex menatap Fey dalam. "Hmm, mantan istriku, Fey."Fey menganggukkan kepalanya, mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Sebelumnya dia sudah membaca banyak rumor di media sosial tentang sosok Alex, termasuk tentang mantan istrinya. "Alex, boleh aku tahu penyebab kalian berpisah?" Fey menatap mata Alex. Mencari kejujuran disana."Melissa memilih pria lain," ucap Alex santai. "Tapi itu tidak sepenuhnya salah Melissa.""Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan hampir tidak punya waktu bersamanya." Lanjutnya.Fey mengengam tangan Alex. "Kamu menyesal?""Di tahun pertama perpisahan kami, aku sangat menyesal. Lambat laun aku bisa mengatasinya dan setelah bertemu dengan mu, aku yakin tuhan punya rencana lain untuk ku."Fey terdiam. Ia bisa merasakan kejujuran dibalik suara Alex. Pria itu tidak
Gaby mengerjapkan matanya bingung. Begitu membuka pintu rumahnya, ia langsung disambut buket bunga mawar merah yang sangat besar, nyaris memenuhi lebar pintu masuk rumahnya."Apaan nih?"Wajah Harry muncul dari balik buket. "Buat kamu," ucapnya sambil menyerahkan buket itu ke dalam dekapan Gaby. Mengabaikan wajah bingung sang wanita, Harry melenggang masuk ke dalam melewati pintu apartemen."Semalam kamu menginap disini?"Gaby menutup pintu dan mengikuti langkah Harry yang telah duduk di sofa. "Ya." Ia menuju pantry dan kembali dengan membawa dua kaleng soda."Ngapain kamu ke sini?" tanyanya langsung sambil menyerahkan salah satu kaleng pada Harry.Tiba-tiba tubuh Gaby limbung, jatuh terduduk dalam pangkuan Harry karena pria itu menarik tangannya."Aku kangen banget sama kamu, Gaby," bisik Harry. Hidungnya masuk ke balik geraian rambut Gaby, menghirup aroma yang ia rindukan.Bibir Harry menyentuh lipatan di leher Gaby. Mengigit kecil untuk meninggalkan bercak merah yang menunjukkan t
"Aaa ... Jauhkan itu dari ku, Dilan!" Teriak Fey histeris begitu melihat Dilan—keponakan Alex berlari kearahnya sambil mengayunkan cacing tanah—gemuk dan panjang. Orang-orang yang tengah sibuk memetik stroberi, berhenti untuk melihat keributan apa yang sedang terjadi. Mereka tersenyum geli bahkan beberapa sampai tertawa keras melihat kelakuan Fey dan Dilan."Ini lucu dan menggemaskan, loh," ujar Dilan sambil mengayunkan cacing ditangannya dan mengejar Fey yang berlari ketakutan."Nggak mau, aku jijik. Alex ..." Rengek Fey. Ia berlari kearah Alex dan segera memeluk lengan kekar itu erat.Alex menggelengkan kepala melihat tingkah dua bocah disampingnya. Fey dan Dilan di tugaskan memetik stroberi untuk dikumpulkan ke dalam keranjang besar tapi, sedari tadi keduanya hanya mengisi perut masing-masing dan berlarian kesana-kemari."Kalian berdua, berhenti bercanda," sela Alex untuk memisahkan keduanya."Ayolah, ini hanya cacing," ejek Dilan. Dia semakin bersemangat melihat wajah pucat Fey s
"Sintia, apa jadwal ku untuk besok?" tanya Alex pada sekretarisnya yang tengah sibuk menyiapkan nota rapat.Sang sekretaris mengalihkan perhatiannya dari laptop untuk menatap layar tablet. "Ada dua jadwal rapat.""Jam sepuluh dengan pihak manajemen dan jam dua siang anda ada rapat perdana penentuan desain bunga untuk dekorasi hotel baru.""Hmm." Alex mengetuk jari telunjuk nya berulangkali di permukaan meja. "Untuk rapat jam dua, kamu saja yang wakilkan dan rapat dengan pihak manajemen pindahkan ke hari Senin," putusnya setelah menimbang-nimbang.Sang sekretaris mengangguk mengerti lalu mengetikkan beberapa perubahan di jadwal yang telah dia susun. "Ada lagi, Pak?""Tidak. Besok saya cuti, kalau ada hal yang mendesak kamu bisa menghubungi ponsel pribadi saja."Sintia kembali mengangguk. "Baik Pak. Nota rapat sudah saya kirimkan ke email anda.""Ok." Alex melirik arloji di tangannya. "Jadwal hari ini selesai. Kamu sudah bisa pulang." Sintia segera merapikan barangnya dan buru-buru kelu