Share

Gelora Hasrat Terlarang
Gelora Hasrat Terlarang
Penulis: Rucaramia

Akhir dan Awal

Penulis: Rucaramia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-08 10:41:31

“Mau pergi lagi?” kata Jiyya tatkala melihat pria itu sudah berpakaian rapi di kamar tidur mereka. Dia tampak sudah sangat segar, meskipun begitu tetapi tampangnya masih saja tetap datar dan terkesan dingin.

“Aku ada jadwal penerbangan pagi.”

Jiyya memandang pria itu dengan senyum lebar, walau matanya masih setengah mengantuk. Dia pun segera beranjak dan meraih dasi yang sedang coba Bestian kenakan. “Kenapa tidak dibangunkan? Sebagai seorang istri aku harus melayanimu ‘kan?”

Tetapi belum sempat Jiyya memasangkannya, pria itu keburu merebut dasi yang ada di tangan Jiyya dan berbalik. “Kau tidak perlu melakukannya.”

Jiyya terdiam. Suasana terasa canggung dan membuat perasaan Jiyya semakin terasa melankolis. Banyak hal yang mengganjal di pikiran Jiyya detik itu juga. Dia merasa bahwa Bestian mencoba terus menjaga jarak darinya. Bahkan lebih jauh daripada saat mereka terpisah setelah lulus SMA.

Mereka sudah menikah kurang lebih satu dekade memang, sangat wajar bila api cinta yang membara telah berubah menjadi bentuk baru. Tetapi Bestian terlalu banyak berubah dari yang dia ingat. Dia menjadi sangat dingin terhadapnya padahal kehadiran pria itu di rumah pun nyaris tidak terasa karena seringnya dia lebih banyak di luar sana dengan alasan bekerja dan bisnis yang membuat pria itu harus berpindah-pindah dengan jangka waktu tak pasti. Jika diperhatikan Bestian sendiri tidak pernah berusaha terbuka lagi. Bahkan sikapnya kali ini pun terang-terangan tidak menganggapnya sebagai istri.  

“Suami istri mana yang hubungannya sedingin ini?” ujar Jiyya dengan ekspresi sendu yang kontan menarik perhatian Bestian segera.

“Lalu maumu apa?” sahutnya tegas dan jelas seraya menatapnya lurus tanpa berkedip. Sorot mata yang dia bagi terasa begitu asing.

Tersentak dengan ungkapan singkat dari suaminya, Jiyya menatapnya tak percaya. “Apa mauku? Bestian… sebenarnya bagaimana caramu melihatku? Apa aku bagimu? Ini moment dimana kau pulang ke rumah setelah bebulan-bulan kita tak bersama, sikap macam apa yang kau perlihatkan padaku?” Akhirnya Jiyya tak tahan untuk tidak bertanya. Disini dia betul-betul berusaha menjadi seorang istri yang sempurna meskipun pria itu tidak terlihat berusaha melakukan perannya dengan baik.

“Jiyya, aku harus berangkat sekarang. Jangan memulai drama di pagi-pagi buta. Aku tidak punya waktu untuk ini.”

“Drama? justru kau yang melakukannya. Apa-apaan sikapmu ini? Apa kau sudah tidak mencintaiku lagi?”

Bestian tiba-tiba saja tertawa pahit mendengar perkataan Jiyya.

“Kau menggelikan sekaligus mengerikan, Jiyya. Kita sudah terikat dalam pernikahan, apa masih perlu kau membahas soal cinta lagi denganku?”

“Memangnya itu cukup? Kita memang terikat dalam pernikahan ini, tetapi kau kuperhatikan semakin hari semakin tidak mengganggapku sebagai istri. Kau tidak pernah menghubungi keluargamu! Kau bahkan tidak pernah menanyakan keadaan putrimu! Apa kau tahu perasaanku? Hah! Kupikir kau tidak pernah tahu!”

Meskipun dia mengungkapkan semua hal yang dia rasakan secara membabi buta, tetapi Jiyya bisa merasakan ketegangan yang luar biasa diantara mereka berdua dan berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak jatuh dari pelupuk mata. Lebih pada merasa denial untuk menerima jawaban yang telah jelas di depan matanya.

“Memangnya apa perasaanmu? Kau membenciku sekarang? mau kuceraikan saja biar kau puas sekalian?”

Kata-kata itu keluar begitu saja bagai pecahan kaca, melukai udara diantara mereka berdua. Mendadak suasana di kamar tidur berubah mencekam.

Jiyya terdiam, jantungnya berdetak kencang. “Apa maksudmu? bukan itu Bestian. Bukan itu! apa kau sungguh tidak punya hati? Kenapa kau tiba-tiba membawa-bawa soal cerai. Ada apa dengan pola pikirmu?”

Sorot mata pria itu jelas mengintimidasinya. Tatapan yang sangat dingin yang kembali menusuknya. Lantai di bawah kakinya terasa goyah, seperti tanah yang tiba-tiba hilang pijakan. Pria itu seperti telah memiliki alasan yang sama sekali tidak bisa Jiyya hadapi. “Sudahlah hentikan semua narasi lebay kekanakanmu ini. Jika kau tak sanggup menghadapiku tapi tidak ingin bercerai denganku, lebih baik jangan pedulikan aku lagi.”

Belum sempat Jiyya bereaksi, Bestian keburu melangkah pergi dengan koper di tangan. Seperti biasa lelaki itu akan meninggalkan rumah untuk waktu yang tidak ditentukan, dan sialnya perpisahan mereka kali ini justru diakhiri dengan sesuatu yang tidak menyenangkan dan Jiyya bahkan tidak kuasa untuk mencoba lari dan mencegah pria itu pergi. Kedua kakinya tidak mau diajak kompromi. Alih-alih mencoba mendamaikan situasi seperti biasanya bila mereka sedang bertengkar begini. Kali ini Jiyya malah terpuruk dilantai sambil menangis.

Kenapa kata-kata yang diucapkan suaminya terdengar begitu menyakitkan?

Sejujurnya kalau mau arogan, Jiyya bisa memiliki hidup yang lebih baik dari ini. Ada banyak hal yang bisa dia lakukan, tetapi entah bagaimana dia justru memilih opsi hidup yang nyaris tak berwarna begini. Padahal dulu dia sempat bahagia, dan berpikir bahwa pernikahannya dengan Bestian adalah salah satu perwujudan impiannya. Namun setelah menjalani pernikahan ini pria itu seakan membawa seluruh sumber kebahagiaannya pergi dan Jiyya terjebak di dunia yang membosankan ini sendiri dengan berbagai tanggung jawab sebagai seorang istri sekaligus seorang ibu yang harus melimpahkan kasih sayang dan cinta kepada putrinya sendiri.

Jujur saja bila saat bertengkar begini, jauh dilubuk hati angannya selalu kembali ke detik dimana pria itu menawarinya komitmen penuh. Bukan suaminya, tapi pria lain. Pria yang mencintainya tetapi hubungan mereka terhalang oleh status sebagai mahasiswi dan dosen. Joan… dosennya. Pria yang merenggut kesuciannya, pria yang meski mereka tidak bersama tetapi Jiyya menyimpan kenangan bersamanya di sudut hati.

Apa kabarnya ya? apakah hidupnya akan berbeda kalau saja dulu dia menerima uluran tangan pria itu?

“Mama… kenapa Mama menangis?” putrinya tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan menghambur memeluknya. Luna, putri kecilnya yang teramat sangat sensitif dan selalu berusaha menguatkannya. Alasan mengapa Jiyya masih bertahan dalam pernikahannya bersama Bestian.

Namun kalau terus-terusan berat sebelah seperti ini, Jiyya tidak yakin bahwa dia masih punya minat untuk mempertahankan pernikahan ini.

Cepat-cepat Jiyya menghapus air mata sekaligus pemikiran terakhirnya dan balas memeluk Luna dengan sangat erat. “Maafkan Mama, sayang. Mama sudah sangat lelah.”

***

Beberapa hari setelah peristiwa tak mengenakan yang Jiyya alami dengan suaminya, itu adalah hari Sabtu yang cerah dengan angin sepoi yang sempurna untuk meringkan seluruh problematika. Hari itu adalah harinya berbelanja dan dia memilih untuk berkeliling pasar tradisional alih-alih ke supermarket. Entah dorongan dari mana, tapi itulah yang terjadi. Dia berkeliling dari satu kios ke kios lain, memilih berbagai buah, sayur, dan daging segar sebagai bahan makanan untuk satu minggu ke depan. Untuk beberapa alasan, Jiyya merasa untuk pertama kalinya dia menyukai suara-suara yang tercipta di sepanjang jalan dari setiap pedagang yang berusaha mempromosikan dagangan mereka, pembeli yang menawar harga lebih murah, juga beberapa orang yang bercakap-cakap tentang sesuatu diiringi tawa dan tepukan ringan.

Ya… inilah seharusnya kehidupan berjalan, hangat, semarak, dan bahagia.

Jiyya pun berhenti pada salah satu kios buah yang menarik perhatiannya. Dia menyapa si pemilik dan hendak mengambil buah apel untuk dia masukan ke keresek untuk ditimbang, sampai tiba-tiba seseorang menabraknya dari belakang. Beruntungnya Jiyya punya refleks yang lumayan bagus jadi dia tidak menjatuhkan buah-buahan lain dari meja. Jiyya hendak berbalik dan berteriak kepada orang itu ketika sebuah lengan yang sangat familiar terjulur dari belakang untuk menyambar buah apel yang dia jatuhkan saat mencoba menyeimbangkan diri.

Sambil menggertakan gigi dan menghembuskan napas pelan, dia mendongak dan menatap tajam punggung orang yang mengganggu aktivitasnya. Namun napasnya tercekat dengan kedua mata melotot begitu dia menghadap ke arah Jiyya. Bukankah dia…

“Sir… Joan?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gelora Hasrat Terlarang   Bertiga

    Saat Jiyya tiba di rumah malam itu, ia melihat Luna menyambutnya dengan ekspresi muka merajuk. Tanpa perlu bertanya, Jiyya tahu darimana asal air muka itu tercipta. Terutama ketika ia mendengar suara dari arah dapur dan juga aroma masakan yang baru matang.“Apa yang terjadi selagi aku pergi?” tanya Jiyya kemudian, mengesampingkan kesimpulannya sendiri sembari menghampiri putrinya yang duduk di sofa dengan muka makin ditekuk.“Om Joan bilang Mama mungkin pulang terlambat karena pertemuan dengan editor, jadi dia yang akan menyiapkan makan malam agar Mama tidak perlu kerepotan begitu pulang,” lapor Luna masih dengan wkspresi cemberut dan nada bicara yang terdengar sangat kesal. “Selain itu dia juga bilang merasa agak bersalah karena telah menyuruhku push-up lima belas kali, tapi aku tidak percaya yang satu itu.”Mengabaikan rasa geli yang menerpa atas laporan dari putrinya karena Luna tampak sudah sangat mengenal Joan dengan baik, juga fakta bahwa pria itu kini sedang memasak didapurnya

  • Gelora Hasrat Terlarang   Ibu & Anak

    “Ma?”Jiyya mendongak tatkala suara lembut putrinya memanggil ketika ia sedang sibuk dengan sayuran yang tengah ia potong. “Apa sayang?” sahutnya kemudian dengan senyum secerah matahari yang bahkan tidak ia sadari.Luna mengernyitkan alis, penuh dengan rasa keingintahuan tatkala mendapati sang mama bertingkah tidak seperti biasanya. “Apa ada sesuatu yang bagus, Ma?” tanyanya, lalu seolah menimbang sesuatu ia kembali melanjutkan. “Mama terlihat… bahagia.”Tanpa diminta, segera seluruh kenangan bersama dengan Joan segera terlintas begitu saja dibenak. Tak bisa dipungkiri, ia tersipu malu. Wanita itu sebisa mungkin mencoba untuk terlihat normal dan menyembunyikan apa yang ia rasa dengan mengalihkan perhatian. “Biasa saja, kok,” jawabnya acuh tak acuh. “Oh… dan Sir Joan bilang padaku untuk mengingatkanmu kalau dia akan menunggu di tempat biasa pukul delapan besok pagi.”“Ya, aku ingat kok, Ma. Malah dia yang seharusnya diingatkan karena selalu terlambat saat bertemu denganku,” timpal Luna

  • Gelora Hasrat Terlarang   Maybe Someday

    Jiyya tahu pasti akan hal itu, tapi berharap juga bahwa langkah selanjutnya yang ia ambil tidak semata-mata karena keputusannya sendiri. Ia pernah salah mengambil langkah dulu, jadi untuk beberapa alasan Jiyya sedikit takut mengambil keputusan lagi. Ia takut menyakiti siapa pun. Tentang bayangan yang dirasakan oleh Bestian jika ia meninggalkannya terasa menyakitkan. Tetapi pemikiran soal tentang apa yang dirasakan Joan jika ia mengakhiri hubungan terlarang yang ia jalin pun jua menyakitinya dengan cara yang luar biasa menyakitkan dan Jiyya juga tahu bahwa itu pun tidak hanya menyakitinya sendiri, Joan pun akan ikut merasakannya.Joan jelas pria yang membuatnya bahagia, Jiyya tak bisa menyangkalnya. Dan Joan juga telah membuat Jiyya menyadari sendiri betapa bahagianya bila mereka bisa bersama. Ia tak pernah tahu (atau memang sengaja menutup kemungkinan dan enggan mengakui) tentang seberapa tak bahagianya ia dengan rumah tangga yang sedang ia jalani sampai Joan datang dan memberinya war

  • Gelora Hasrat Terlarang   Lemme Give You What He Can't Give to You

    Tanpa sadar, kedua mata Jiyya mulai berkaca-kaca. Joan begitu rela berkorban, dan selama ini ia begitu perhatian demi memastikan Jiyya baik-baik saja. Hatinya hancur memikirkan rasa kesepian yang Joan rasakan, sementara Jiyya masih saja berputar-putar tak bisa ambil keputusan.“Joan…,” panggilnya lesu, suaranya berat karena air mata yang berusaha sekuat tenaga ia tahan.Joan mengusap pipinya dengan lembut, memberikan ketenangan yang Jiyya butuhkan sebelum melanjutkan. “Tapi seiring waktu dan tak ada perubahan berarti bahkan suamimu tak pernah kunjung kembali. Aku tidak tahan lagi untuk menjadi sang pengamat. Itu sebabnya aku putuskan untuk maju dan merebutmu kembali dari pria yang tak becus menjagamu. Tak peduli meski orang lihat hubungan kita terlarang.”Saat kedua mata mereka bertemu, tatapan mata Joan tampak begitu serius dan sarat akan emosi yang membuat Jiyya ingin memeluknya dengan erat, air mata yang ia tahan pun mulai tumpah.“Kau berhak bahagia, Jiyya,” katanya sebagai kalima

  • Gelora Hasrat Terlarang   Kau Harus Bahagia

    Joan mengalihkan pandang untuk bisa menatap Jiyya dengan lekat. Cara pandang yang bukan sekadar melihat ke mata tetapi merasuk hingga ke dalam jiwa. Anehnya Jiyya tidak lagi ragu, meski masih sedikit malu karena terekspos bebas oleh pria itu. Malah kini pandangan yang dahulu terasa mengintimidasi kini berubah memberikan rasa aman dan juga dicintai. Sebab jika pria itu bisa melihatnya sedalam itu, tetapi ia tetap menginginkannya seperti ini maka…Merasa kewalahan menatap Joan seperti itu, Jiyya mencoba mengalihkan pandang untuk menutupi diri. Joan sendiri tampak tak keberatan, malah dia memberikan Jyya lebih banyak hal untuk didengar. “Aku tahu bahwa suamimu pergi dan jarang hadir di keluarga kecilmu karena pekerjaan, tapi aku tidak mengerti kenapa dia seolah menelantarkan kalian dengan sering berkunjung atau sesekali menghubungi. Aku memang merasa aneh sejak semula tahu akan hal itu, tapi aku tidak bisa mengintervensimu lebih jauh karena itu bukan urusanku. Karena kulihat kau tampakny

  • Gelora Hasrat Terlarang   Pillow Talk

    “Lima belas tahun lalu,” gumam Joan, bibir sang pria dan napasnya menerpa kulit Jiyya yang tak tertutup apa-apa. Kendati demikian wanita itu lekas menarik pakaian untuk menutupi kulitnya yang terbuka dan terkena udara.Jiyya sendiri berada dalam kondisi membelakangi Joan ketika dirinya berbaring di atas ranjang, memberi sedikit jarak sembari memeluk bantal yang mudah ia jangkau. Diam-diam wanita itu menarik napas mendalam, membaui bantal yang ia peluk lantaran beraroma seperti sang pemilik. Kalau saja Joan tidak ada, mungkin Jiyya akan bertindak bodoh dengan membenamkan wajahnya pada bantal tersebut seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta.Namun pria itu jelas ada disana, mengawasi di belakangnya. Ia pun bisa merasakan jemari sang pria merayap pada permukaan kulitnya dibawah pakaian yang Jiyya gunakan untuk menutupi tubuhnya yang polos. Seakan tak rela Jiyya menutupi visualisasi sang pria, sebab di detik berikutnya yang Jiyya rasakan adalah lembutnya bibir Joan yang mengecup

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status