Masuk“Oh, ya ampun. Jiyya? benarkan? Long time no see. Mendadak cuaca hari ini jadi sangat indah, ya?” balasnya seolah sama sekali tidak terkejut atas pertemuan mereka. Lihat bagaimana Joan menghadapinya dengan senyum khas andalan sembari mengangkat buah apel di tangan sebagai sebuah salam seolah ini hal biasa. Seolah dia sudah memperkirakan pertemuan ini sejak awal.
Oh jangan bercanda. Telah berapa lama mereka tidak bersua? Sepuluh? Dua belas tahun? Entahlah…. Jiyya tidak yakin. Yang pasti terakhir mereka bertegur sapa adalah di pernikahan Silvana. Setelah itu mereka tidak pernah saling bertemu satu sama lain, seolah semesta membantu mereka untuk tidak lagi terhubung. Tapi sekarang… kemunculannya yang tidak diduga ini seolah mengangkat sesuatu yang telah lama ada di dalam benak Jiyya. Sesuatu yang telah dia jaga dan simpan rapat-rapat.
Tak ingin menjadi satu-satunya yang menampakan keterkejutan, Jiyya segera mengatur ekspresi lalu menyambar buah apel yang ada ditangan Joan dan memasukannya ke dalam kantong plastik. “Ya, benar,” sahutnya kering.
Tanpa menghiraukan pria itu, Jiyya lalu menambahkan beberapa buah apel lagi ke dalam kantong belanjaannya dan mulai membayar sejumlah uang sesuai dengan timbangan. Dia memilih untuk abai, dan memutuskan bahwa pertemuan mereka bukan hal istimewa. Anggap saja angin lalu, karena pria itu memang bagian dari masa lalunya. Jiyya kemudian pindah ke kios berikutnya, tetapi dia jelas menyadari bahwa si pria jangkung itu masih setia mengikutinya dari belakang meskipun Jiyya telah memutuskan tidak mempedulikan keberadaannya.
“Hey, Jiyya… mengabaikan orang itu tidak baik lho,” kata Joan lagi.
Jiyya sangat heran bagaimana pria itu bertingkah sekarang. Bisa-bisanya dia mengatakan sesuatu yang terdengar terluka tetapi juga geli disaat yang sama. Jiyya juga tahu kalau dia berbalik sekarang, pria itu sudah pasti akan memasang ekspresi seperti anak anjing yang baru saja ditendang oleh orang jahat. Dan kalau Jiyya melepaskan topengnya sekarang, pria itu sudah pasti memunculkan seringai liciknya dibalik tampang polos yang dia buat. Menyebalkan.
“Kita tidak punya urusan lagi, sebaiknya berpisah dari sini,” sahut Jiyya masih tak ingin kalah dengan tetap berjalan lurus tanpa mau melirik pria di belakangnya.
“Kau jahat sekali, padahal aku sangat senang bertemu denganmu setelah sekian lama. Biasanya kan pertemuan tak terduga memunculkan nostalgia. Reuni kecil dengan minum kopi bersama misalnya?” sahut Joan lagi seolah tak menyerah.
Jiyya sedikit heran atas perilakunya. Seingatnya dulu, pria itu telah menggendong seorang anak kecil dipernikahan Silvana. Dia juga tidak membantah kalau anak itu adalah putrinya. Lantas… apa-apaan dengan sikapnya sekarang? bukankah seharusnya dia malu?
“Ya benar sekali, kita bisa minum kopi sambil berbincang lalu tiba-tiba muncul drama dan masalah baru yang tidak diinginkan,” timpal Jiyya dengan nada sarkas.
Untuk beberapa saat, suara Joan tidak terdengar. Membuat Jiyya merasa dia telah berhasil mengusir pria itu pergi. Tetapi saat dia berbalik dia justru mendapati pria itu memasang ekspresi terluka untuk sesaat sampai kemudian senyum tipis tersungging dibibirnya. “Akhirnya kau mau melihatku.”
“Berhentilah main-main, Sir Joan. Bukankah kau sudah terlalu tua untuk hal-hal seperti itu?”
Joan menatapnya, “Oh ayolah, aku tidak setua itu, Jiyya. Aku masih 34.”
“Sir Joan, itu umurmu sepuluh tahun yang lalu,” jawab Jiyya dengan kesal.
“Oww, kata-katamu menyakitiku, tahu?” ungkap pria itu lagi sambil memasang ekspresi cemberut.
Sejujurnya disituasi ini seperti membawa kenangan lama. Jiyya tidak bisa menahan tawa melihat alis si pria yang berkerut dan tatapan menuding padanya. Melihat dia yang seperti ini sulit dipercaya bahwa dia adalah pria berusia 44 tahun. Sulit juga untuk kesal padanya, karena hal itu sendiri sudah menjengkelkan.
Pada akhirnya Jiyya menahan senyum dan mendesah dramatis. “Jadi kau mau aku bagaimana, Kakek?”
Joan melotot padanya sejenak, tetapi kemudian dia tersenyum pada Jiyya. “Entahlah… kalau aku mau jujur, saat aku melihatmu aku tidak tahu harus bagaimana. Tetapi kemudian sekarang aku merasa kau mungkin butuh bantuanku untuk memutuskan apa yang akan kau beli.”
“Aku lebih dari mampu memutuskan hal itu, Sir.”
“Begitukah? Kalau begitu kurasa saran pertamamu untuk berpisah disini sepertinya lebih kau sukai ya. Aku yakin mungkin aku bisa menemukan orang yang mau mendengarkan saran dariku tentang membeli sayur-sayuran,” ujarnya sambil berbalik dan mulai berjalan kea rah yang berlawanan dengan Jiyya. Namun belum seberapa jauh dia melakukannya, entah bagaimana Jiyya menemukan dirinya sudah mencengkram baju bagian belakang pria itu dengan tangannya sendiri.
Shock dengan apa yang dia perbuat, cepat-cepat Jiyya menarik tangannya sendiri. Dia sangat malu atas tindakannya yang impulsive terhadap si mantan dosen. Tetapi anehnya, pria itu hanya berdiri tegak seolah tidak ada yang terjadi dan ketika Jiyya berbalik dan melangkah tanpa kata, Joan justru mengikutinya dari belakang. Dia selalu berhenti tepat di setiap kios yang Jiyya kunjungi dengan sesekali melontarkan komentar macam “Zucchini yang itu kelihatan lezat, Jiyya,” atau “Ini yang paling segar.” Dan bahkan “Ah, lihat semangka itu terlihat mantap. Hari ini cuacanya sedikit panas, pasti sangat segar kalau makan semangka.”
Untungnya pria itu tidak mengatakan apapun lagi setelah itu, karena demi Tuhan jika saja dia melakukannya. Jiyya akan benar-benar meninggalkan Joan begitu saja tanpa mau mengenalnya. Mungkin karena pengalamannya bertahun-tahun sejak mengenal Jiyya, membuat pria itu sedikit banyak belajar dan memahami semua hal tentangnya sehingga dia tidak berkomentar apapun.
Setelah membayar, Jiyya menoleh pada pria itu. “Baiklah, urusanku disini sudah selesai. Terima kasih sudah…” Jiyya menimbang sesaat apa yang mesti dia katakan, tetapi karena pria itu menaikan sebelah alis terus terang Jiyya jadi mendadak malas. “Menemani.”
Joan mengusap tengkuknya malu-malu ketika mendapatkan ucapan itu dari Jiyya. Membuat Jiyya langsung teringat dengan beberapa hal menggemaskan dari si mantan dosennya itu dulu. “Jiyya, bagaimana kalau aku—” dia memulai.
Jiyya mendelik.
Pria itu berusaha membersihkan tenggorokannya yang sesaat terasa tersumbat. “Kurasa karena aku sudah menabrakmu tadi, aku perlu menebus kesalahanku dengan membantumu membawakan belanjaanmu yang berat sampai di depan pintu rumahmu supaya aku tenang,” lanjutnya mengakhiri dengan sebuah tawaran dengan cara yang sopan.
Jiyya berpikir sejenak sembari melirik barang bawaannya yang lumayan berat. Dia sendiri bahkan tidak sadar membeli sebanyak itu hari ini. Jadi, pada akhirnya Jiyya putuskan untuk mengambil tawaran itu dan memberikan beberapa barang bawaannya ke tangan sang mantan dosen.
“Kau tinggal sendiri?” tanya Joan tiba-tiba begitu mereka tiba di depan pintu sebuah rumah sederhana di tepi jalan kecil.
“Bersama putriku.”
“Kalau begitu dimana dia?”
“Sedang les.”
Joan meringis. “Kau bahkan menurunkan sisimu yang disiplin dan kutu buku pada putrimu.”
Jiya tertawa. “Yah, dia putriku. Jadi tidak mengherankan kalau dia memiliki beberapa persamaan dengan ibunya,” katanya sembari membuka kunci pintu. Disaat itulah Jiyya tahu seharusnya dia mengusir pria itu pergi karena ini adalah batasan mereka. Namun alih-alih berkata demikian, dia malah membuka pintu lebar-lebar sambil menghadap padanya. “Mau masuk dulu?” Dan lagi-lagi bibirnya mengkhianati.
“Jadi kau mengundangku masuk?” goda pria itu sambil mengedipkan mata sekilas tanpa menoleh sepenuhnya ke arah Jiyya.
“Kalau mau membantu bukankah harus sampai tuntas?” balas Jiyya yang membuat Joan mempertimbangkan perkataan wanita itu setengah detik sebelum dirinya melangkah masuk.
“Poin yang bagus,” jawabnya lalu membawa seluruh belanjaan di tangan ke konter dapur.
Ketika Jiyya sibuk merapikan belanjaannya, Joan pun melihat ke sekeliling rumah terutama ruang dapur dan tengah. Pria itu menyadari bahwa setelah beberapa waktu berlalu cara wanita itu mengurus ruang pribadinya masih sama seperti dalam ingatan. Ya, memang beberapa hal tidak seluruhnya berubah kecuali fakta bahwa wanita itu telah menikah dan memiliki anak. Hal yang dia temukan dari beberapa foto yang terbingkai di ruang tengah.
Joan mengangkat salah satunya, dan mengusap lembut foto wanita itu dengan ibu jarinya sebelum kembali meletakan di tempat semula dan dia pun memutuskan untuk kembali ke dapur dimana Jiyya berada. Saat itu Jiyya sedang memasukan beberapa hal terakhir sebelum perhatiannya terpusat pada Joan.
“Mau makan siang disini, Sir?” tanya Jiyya sembari menutup pintu lemari penyimpanan dan diatas konter telah tersedia beberapa bahan yang siap diolah.
“Kurasa sebaiknya kau mulai menghilangkan panggilan itu, Jiyya. Kau bahkan bukan mahasiswiku lagi,” ujar Joan yang membuat wanita itu agak tertegun sejenak.
Merasa bersalah karena telah membuat suasana jadi tak nyaman, Joan pun mendekati konter dan menyentuh beberapa bahan mentah disana. “Jadi, apa yang bisa kubantu sekarang?”
Jiyya sempat terlihat gelagapan sebelum akhirnya dia bisa menguasai dirinya lagi. “Kau bisa memotong daun bawang itu disana,” tunjuknya.
Joan pun mengangguk dan mengeluarkan pisau dari balok di atas meja dan mulai melakukan tugasnya.
Mereka melakukan tugas masing-masing dalam suasana yang relative tenang, dan setelah selesai mereka membawa makanan yang telah di buat ke atas meja. Tanpa basa-basi pria itu pun menyendok satu sup miso buatan Jiyya ke mulutnya. Jiyya sendiri langsung ikut makan.
“Jadi, apa yang sedang kau kerjakan akhir-akhir ini?” tanya Jiyya. Meski terdengar seperti pertanyaan basa-basi terus terang Jiyya agak penasaran.
“Hmm…” Dia menelan ludah. “Sebenarnya aku ditempatkan untuk mengurus salah satu cabang perusahaanku disini. Aku sedang melakukan survey lingkungan.”
“Jadi kau sengaja menabrakku di kios buah tadi?”
“Aku tidak sengaja, aku benar-benar sama terkejutnya denganmu kalau boleh jujur,” akunya dengan suara pelan.
Jiyya menertawakan ekspresi wajah Joan yang tersipu sambil memberenggut padanya. Agak aneh melihat seorang pria 44 tahun membuat ekspresi begitu. Namun moment ini seperti nostalgia. Seluruh interaksi dan percakapan yang mengalir diantara mereka sedikit banyak telah membakar kerinduan yang Jiyya simpan lama. “Maaf, maaf. Aku tidak tahu kalau kau sekekanakan ini sekarang.”
“Oh ya? menurutmu begitu? Pria yang kau sebut kekanakan ini bahkan bisa membuat anak loh,” sahut Joan jahil sambil mengerling ke arah Jiyya.
“Aku benci kau,” kata Jiyya datar.
Joan langsung tertawa dan Jiyya pun tersenyum tanpa sadar. “Cuma bercanda. Oh ya, kapan kita bisa bertemu lagi, Jiyya?”
Saat Jiyya tiba di rumah malam itu, ia melihat Luna menyambutnya dengan ekspresi muka merajuk. Tanpa perlu bertanya, Jiyya tahu darimana asal air muka itu tercipta. Terutama ketika ia mendengar suara dari arah dapur dan juga aroma masakan yang baru matang.“Apa yang terjadi selagi aku pergi?” tanya Jiyya kemudian, mengesampingkan kesimpulannya sendiri sembari menghampiri putrinya yang duduk di sofa dengan muka makin ditekuk.“Om Joan bilang Mama mungkin pulang terlambat karena pertemuan dengan editor, jadi dia yang akan menyiapkan makan malam agar Mama tidak perlu kerepotan begitu pulang,” lapor Luna masih dengan wkspresi cemberut dan nada bicara yang terdengar sangat kesal. “Selain itu dia juga bilang merasa agak bersalah karena telah menyuruhku push-up lima belas kali, tapi aku tidak percaya yang satu itu.”Mengabaikan rasa geli yang menerpa atas laporan dari putrinya karena Luna tampak sudah sangat mengenal Joan dengan baik, juga fakta bahwa pria itu kini sedang memasak didapurnya
“Ma?”Jiyya mendongak tatkala suara lembut putrinya memanggil ketika ia sedang sibuk dengan sayuran yang tengah ia potong. “Apa sayang?” sahutnya kemudian dengan senyum secerah matahari yang bahkan tidak ia sadari.Luna mengernyitkan alis, penuh dengan rasa keingintahuan tatkala mendapati sang mama bertingkah tidak seperti biasanya. “Apa ada sesuatu yang bagus, Ma?” tanyanya, lalu seolah menimbang sesuatu ia kembali melanjutkan. “Mama terlihat… bahagia.”Tanpa diminta, segera seluruh kenangan bersama dengan Joan segera terlintas begitu saja dibenak. Tak bisa dipungkiri, ia tersipu malu. Wanita itu sebisa mungkin mencoba untuk terlihat normal dan menyembunyikan apa yang ia rasa dengan mengalihkan perhatian. “Biasa saja, kok,” jawabnya acuh tak acuh. “Oh… dan Sir Joan bilang padaku untuk mengingatkanmu kalau dia akan menunggu di tempat biasa pukul delapan besok pagi.”“Ya, aku ingat kok, Ma. Malah dia yang seharusnya diingatkan karena selalu terlambat saat bertemu denganku,” timpal Luna
Jiyya tahu pasti akan hal itu, tapi berharap juga bahwa langkah selanjutnya yang ia ambil tidak semata-mata karena keputusannya sendiri. Ia pernah salah mengambil langkah dulu, jadi untuk beberapa alasan Jiyya sedikit takut mengambil keputusan lagi. Ia takut menyakiti siapa pun. Tentang bayangan yang dirasakan oleh Bestian jika ia meninggalkannya terasa menyakitkan. Tetapi pemikiran soal tentang apa yang dirasakan Joan jika ia mengakhiri hubungan terlarang yang ia jalin pun jua menyakitinya dengan cara yang luar biasa menyakitkan dan Jiyya juga tahu bahwa itu pun tidak hanya menyakitinya sendiri, Joan pun akan ikut merasakannya.Joan jelas pria yang membuatnya bahagia, Jiyya tak bisa menyangkalnya. Dan Joan juga telah membuat Jiyya menyadari sendiri betapa bahagianya bila mereka bisa bersama. Ia tak pernah tahu (atau memang sengaja menutup kemungkinan dan enggan mengakui) tentang seberapa tak bahagianya ia dengan rumah tangga yang sedang ia jalani sampai Joan datang dan memberinya war
Tanpa sadar, kedua mata Jiyya mulai berkaca-kaca. Joan begitu rela berkorban, dan selama ini ia begitu perhatian demi memastikan Jiyya baik-baik saja. Hatinya hancur memikirkan rasa kesepian yang Joan rasakan, sementara Jiyya masih saja berputar-putar tak bisa ambil keputusan.“Joan…,” panggilnya lesu, suaranya berat karena air mata yang berusaha sekuat tenaga ia tahan.Joan mengusap pipinya dengan lembut, memberikan ketenangan yang Jiyya butuhkan sebelum melanjutkan. “Tapi seiring waktu dan tak ada perubahan berarti bahkan suamimu tak pernah kunjung kembali. Aku tidak tahan lagi untuk menjadi sang pengamat. Itu sebabnya aku putuskan untuk maju dan merebutmu kembali dari pria yang tak becus menjagamu. Tak peduli meski orang lihat hubungan kita terlarang.”Saat kedua mata mereka bertemu, tatapan mata Joan tampak begitu serius dan sarat akan emosi yang membuat Jiyya ingin memeluknya dengan erat, air mata yang ia tahan pun mulai tumpah.“Kau berhak bahagia, Jiyya,” katanya sebagai kalima
Joan mengalihkan pandang untuk bisa menatap Jiyya dengan lekat. Cara pandang yang bukan sekadar melihat ke mata tetapi merasuk hingga ke dalam jiwa. Anehnya Jiyya tidak lagi ragu, meski masih sedikit malu karena terekspos bebas oleh pria itu. Malah kini pandangan yang dahulu terasa mengintimidasi kini berubah memberikan rasa aman dan juga dicintai. Sebab jika pria itu bisa melihatnya sedalam itu, tetapi ia tetap menginginkannya seperti ini maka…Merasa kewalahan menatap Joan seperti itu, Jiyya mencoba mengalihkan pandang untuk menutupi diri. Joan sendiri tampak tak keberatan, malah dia memberikan Jyya lebih banyak hal untuk didengar. “Aku tahu bahwa suamimu pergi dan jarang hadir di keluarga kecilmu karena pekerjaan, tapi aku tidak mengerti kenapa dia seolah menelantarkan kalian dengan sering berkunjung atau sesekali menghubungi. Aku memang merasa aneh sejak semula tahu akan hal itu, tapi aku tidak bisa mengintervensimu lebih jauh karena itu bukan urusanku. Karena kulihat kau tampakny
“Lima belas tahun lalu,” gumam Joan, bibir sang pria dan napasnya menerpa kulit Jiyya yang tak tertutup apa-apa. Kendati demikian wanita itu lekas menarik pakaian untuk menutupi kulitnya yang terbuka dan terkena udara.Jiyya sendiri berada dalam kondisi membelakangi Joan ketika dirinya berbaring di atas ranjang, memberi sedikit jarak sembari memeluk bantal yang mudah ia jangkau. Diam-diam wanita itu menarik napas mendalam, membaui bantal yang ia peluk lantaran beraroma seperti sang pemilik. Kalau saja Joan tidak ada, mungkin Jiyya akan bertindak bodoh dengan membenamkan wajahnya pada bantal tersebut seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta.Namun pria itu jelas ada disana, mengawasi di belakangnya. Ia pun bisa merasakan jemari sang pria merayap pada permukaan kulitnya dibawah pakaian yang Jiyya gunakan untuk menutupi tubuhnya yang polos. Seakan tak rela Jiyya menutupi visualisasi sang pria, sebab di detik berikutnya yang Jiyya rasakan adalah lembutnya bibir Joan yang mengecup







