Elenio membawa tas berisi laptop dan buku yang hendak dikembalikan ke perpustakaan, agendanya hari ini untuk menyicil skripsinya yang sudah digarap 2 bulan belakangan ini.
“Baru dateng lo?” Elenio berjumpa dengan Alastair di pintu perpustakaan.
“Iya, udah ngebul gue kerjain dari tadi. Mau ngadem dulu,” Alastair menunjukkan raut wajah lelahnya.
“Ngadem apa nyebat?” sindir Elenio.
“Tau aja lo, udah kerjain yang rajin sana,” Alastair mendorong pundak Elenio.
Mereka berpisah dan Elenio masuk ke perpustakaan. Ia titip barang di loker lalu membawa laptop dan ponselnya. Meja favoritnya ternyata kosong, meja yang terletak di pojokan dekat dengan ruang multimedia.
Elenio terdiam sesaat ketika melihat laptop yang tak asing lagi untuknya dan tepat berada disamping mejanya.
“Nio?” suara itu menyapa pendengaran Elenio.
Ya, suara itu miliki Dhi
Bel rumah Keenan berbunyi nyaring, berkali-kali dan dalam jeda waktu yang dekat. Sukses membuat si pemilik rumah keluar dari persembunyiannya.“Siapa sih itu? Kok berisik banget,” gerutu Keenan.“Sepertinya teman-teman Bapak,” ujar salah satu maid. Dugaan si pembantu benar adanya, sosok Satya, Johnny dan Sena sudah berdiri dengan senyum jahil terulas jelas di wajah mereka.“Pakeeeet !!!” teriak Sena dengan suara nyaringnya. Keenan membuka pintu dan menunjukkan wajah tak suka.“Maaf, nggak terima sumbangan,” ujar Keenan.“Anjirlah, yang punya Sagara peliiitt !!!” Johnny memajukan bibirnya.“Ayo kita spill ke media, Keenan Sagara—ternyata sosok yang pelit dan sombong,” ucap Satya.“Nista lo pada, ini dateng kenapa nggak bilang dulu,” Keenan akhirnya membuka pintu lebar-lebar.
“Pak Johnny Kivandra?” suara seorang perempuan menyapa pendengaran Johnny.“Iya, mohon maaf ini dengan siapa?”“Saya Erika, Pak. Wali kelasnya Revian,” Perasaan Johnny mulai tak enak, sesuatu pasti terjadi pada anak bungsunya itu.“Ada apa, Bu?” Johnny masih berusaha terdengar tenang.“Revian terlibat perkelahian dengan temannya—Naren, Pak. Sekarang anak Bapak berada di ruang BK, dimohon kehadirannya sekarang di sekolah,” Johnny terkesiap sesaat—perasaan tak enaknya tadi ternyata benar adanya.“Baik, Bu. Saya akan segera kesana sekarang,” Johnny memutus sambungan teleponnya, ia raih jas dan kunci mobilnya. Saat ia keluar dari ruangannya, sang sekretaris menghadangnya.“Maaf, Pak. Ada berkas yang harus ditandatangani,”“Nanti saja, saya ada urusan mendadak,” Johnny berl
“Enak?” Sena menatap Devina yang tengah mencoba cream soupnya. Hari ini mereka tengah melakukan test food untuk catering di acara pernikahan keduanya nanti.“Enak, Mas. Tapi kayaknya lebih enak kebab deh,” Devina menaruh mangkuk plastik tersebut di meja.“Gitu, ya. Mau coba yang lain?” kali ini Sena yang meraih piring berisi waffle yang diatasnya dihiasi eskrim.“Mas aja yang coba,” Devina memberi kode agar Sena yang menghabiskannya.“Jadi perkiraan buat berapa tamu, Bu?” tanya salah satu pegawai catering. “Buat 600 undangan, Mas,”“Untuk seluruhnya, Bu?”“Iya, enaknya berapa macam ya jenis makanannya?”“Mungkin 6 sampai 7 jenis cukup, Bu,” Setengah jam berlalu, akhirnya Devina dan Sena memutuskan menu yang akan mereka sajikan untuk p
Satu minggu lagi. Ya, 7 hari lagi ia akan menikah dengan Sena. Kini semakin dekat dengan hari H, semakin banyak yang harus dipikirkan oleh Devina—mulai dari fitting gaun pengantin untuk terakhir kalinya, membagikan undangan pada teman-temannya hingga mengecek dekorasi untuk gedung. Pekerjaannya di Sagara belakangan ini pun cukup banyak sehingga membuatnya sering lembur dalam beberapa hari, Sena tak melarangnya untuk tetap bekerja meski setelah menikah nanti namun tentu saja Devina harus punya skala prioritas. Setelah resmi jadi nyonya Erdanta, jelas yang diutamakannya adalah Sena dan Jivan. Devina meregangkan tubuhnya yang mulai pegal karena duduk sedari tadi, matanya lelah melihat layar laptop dan juga ipad yang sesekali ia pakai untuk tambahan catatannya. Perempuan itu melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 18.00, ia beranjak dari kursinya dan bergegas menuju pantry untuk membuat kopi
Suara deru mesin motor terdengar dimana-mana, belum lagi dengan obrolan bercampur dengan tawa diantaranya. Tangan-tangan mereka pun meminum alkohol yang seharusnya belum boleh mereka nikmati karena usia. Arusha—kini menjadi salah satu dari mereka, ajakan Rea sejak satu bulan lalu jadi kesenangan baru untuknya. Apalagi sejak sosok Devina benar-benar menikah dengan Om Sena, Arusha merasa semuanya semakin tak berarti saja. Tak ada lagi yang peduli dengannya, apalagi dengan perasaannya. Ia merasa kini yang memahaminya hanyalah Rea dan arena adalah tempat yang paling nyaman untuknya melepas penat.“Lo mau coba lagi tanding?” tanya Rea dan lalu duduk disamping Arusha. Rea di sekolah dan diluaran begitu berbeda, gadis itu disekolah layaknya anak remaja yang tak macam-macam. Namun ketika diluaran begini dan terlebih di arena, Rea menunjukkan jati diri yang sesungguhnya—gadis pemberani dan keras kepala, ia
Gue mau ketemu sama lo, di tempat biasa. –Naren- Pesan itu Revian terima saat jam menunjukkan pukul 20.00. Ia bergegas keluar dari kamar sambil membawa ponsel, jaket dan kunci motornya.“Mau kemana, Rev?” tanya Johnny.“Ketemu Naren sebentar, Pa,” Revian pamit sambil mencium tangan Johnny.“Jangan terlalu malam pulangnya,” peringat Johnny.“Iya, aku pamit,” Revian meninggalkan Johnny di ruang keluarga. 30 menit kemudian, ia sudah sampai di kafe tempat biasa mereka berkumpul. Naren sudah menunggunya, cowok itu melambaikan tangannya dan mengulas senyum tipis.“Ada apa, Ren?” Revian duduk tepat di seberang Naren. Sejak kejadian pertengkaran di kantin itu, keduanya tak pernah saling berbicara lagi. Apalagi Naren berkata dengan jujur di ruang BK bahwa ia juga menyimpan rasa pada Jiandra, Revian memutuskan untuk menjaga
“Malam, Tan,” Jiandra memamerkan senyum manisnya saat Jilaine membuka pintu. Perempuan itu tampak terkejut karena Jiandra tak sendirian—gadis itu datang bersama Anindia, sang Ibu.“Ada tamu spesial ternyata, mari masuk,” Jilaine membuka pintunya lebih lebar lagi dan mempersilakan kedua tamunya itu untuk masuk.“Revian ada kan, Tan?” tanya Jiandra sambil melepas sepatunya.“Loh, emang kamu nggak kabari dia dulu?” Jilaine mengerenyitkan alis.“Nggak, Tan. Biar surprise hihihi,” Jiandra tertawa kecil.“Dasar, ada tuh di kamarnya. Sejam yang lalu baru aja pulang,” Mereka dipersilakan duduk di ruang keluarga yang nyaman, mata Anindia tak berhenti memperhatikan keadaan sekitar. Rumah ini besar dan nyaman, jelas mereka keluarga yang berada dan hidup dalam kecukupan.“Bagus kan, Bu? Rumahnya?” Jiandra menyodok pinggang Ib
Suasana ruang keluarga di unit Dafandra & Naren kini ramai dengan kehadiran Revian, Arusha, Narthana dan Jivan. Besok—Naren akan berangkat ke Tokyo, mereka memutuskan untuk mengadakan pesta perpisahan.“Jauh banget di Tokyo, Kak. Nggak disini aja kenapa,” ujar Jivan sambil mencomot pizza.“Menambah wawasan, Van. Bosen ah disini mulu,” Naren menuangkan cola kedalam gelas.“Bilang aja sekalian nyari cewek disana, Kak,” celetuk Arusha.“Bener juga tuh, dia mah dimana aja bakal laku,” tanggap Narthana.“Emang dikira gue barang dagangan apa, gue beneran mau belajar ya disana,”“Liat aja deh, kalau Naren sampai post jalan sama cewek kita ledekin aja,” Dafandra tertawa kencang.“Lo ngomporin aja anjir, temen bukan sih?” Naren mendorong pundak Dafandra.“Hahahha, nggak apa-apa kali studi sambil pacaran,”