Suggestion Playlist :
1. Kali Kedua (Raisa)
2. Angel (NCT 127)
Setelah liburan selama 4 hari, mereka kembali ke Jakarta. Di bandara, beberapa dari mereka ternyata sudah dijemput.
“Dijemput ehem,” Satya berdeham kala melihat sosok Jilaine dari jauh.
Perempuan itu datang dengan Elenio, sementara disampingnya terdapat sosok Jana & Adara yang ternyata datang untuk menjemput Jivan.
“Berisik lo, Sat. Kalau lo ngomong aneh-aneh gue tampol,” Johnny memperingati.
“Hai, semua,” Jilaine tersenyum manis sambil mengedarkan pandangannya.
“Revian yang minta dijemput, ya? Padahal nggak usah, Jila,” ujar Johnny.
“Nggak kok, John. Inisiatifku sendiri, lagian hari ini agendaku juga lagi kosong,”
“Oh, gitu. Ya, udah kita pulang,” tangan Johnny memberi kode agar Jilaine berjalan lebih dulu, namun perempuan itu seolah lebih ingin berjalan bersisian dengan mantan suaminya.
Akhirnya Johnny dan Jilaine jalan terlebih dahulu, diikuti Elenio & Revian dibelakangnya.
“Gue harap mereka bisa balik lagi,” ujar Satya kala melihat pemandangan tersebut.
“Sama, gue juga,” tanggap Keenan.
Disisi lain, Jivan tengah mengobrol dengan Adara. Ia tak berhenti mencubiti pipi adiknya itu karena gemas.
“Liburan masih ada sisa 2 hari lagi. Jivan pulang ke rumah saya, boleh?” tanya Jana.
“Iya, nanti saya jemput Jivan ke rumahmu lusa,”
“Biar saya aja yang antar nanti,”
“Van, baik-baik di rumah mama,” ujar Sena.
“Siap, Pa,”
Sena pun meninggalkan Jivan bersama Jana & Adara, dalam dua hari kedepan suasana rumahnya akan lebih sepi dari biasanya. Kalau sudah begini, biasanya Sena lebih memilih untuk menyibukkan dirinya di kantor.
***
Liburan sekolah berakhir, semua kembali dalam rutinitasnya. Kembali berjibaku dengan les, kelas tambahan dan ujian. Terlebih bagi Narthana & Revian, ujian akhir kelulusan semakin dekat.
Revian baru menyelesaikan administrasi sekolahnya dari tata usaha, dan hingga seseorang menahan tangannya saat ia akan menuju kelas.
“Kak Revian, kan?” seorang gadis bertubuh mungil kini ada dihadapannya.
“Iya, lo Jiandra, kan?” Revian cukup mengenalinya karena gadis itu aktif sebagai anggota OSIS.
“Boleh aku minta tolong, nggak?”
“Minta tolong apa?”
Jiandra mengulurkan tangan yang sedari tadi disembunyikan di balik punggungnya, ternyata sekotak susu stroberi.
“Buat siapa?”
“Kak Naren, boleh Kak?”
“Kenapa nggak kasih sendiri?”
“Eumm...aku malu,” ujar Jiandra, volume suaranya mengecil.
Revian gemas melihatnya, memang tak heran selama bersahabat dengan Narthana, Dafandra dan Naren, mereka terkadang dititipkan barang atau salam dari siswi yang menyukai salah satunya. Naren—yang notabene atlet sepeda kebanggaan sekolah, paling populer dan banyak yang menyukainya.
“Kak?” ucapan Jiandra membuyarkan senyum Revian.
“Iya, boleh Jian. Nanti gue kasih ke Naren,” Revian mengambil kotak susu tersebut.
“Makasih, Kak,” raut wajah Jiandra kini lebih tenang dari sebelumnya, gadis itu berlalu dan langkahnya semakin lama semakin menjauh.
Revian pun masuk ke kelas, suasana begitu ramai karena Bu Arin—guru mata pelajaran Fisika ternyata belum masuk.
“Ke TU gitu, sempet-sempetnya lo jajan,” komentar Narthana.
“Bukan jajan gue,”
“Lah terus itu susu kotak?”
“Nah, ada yang ngasih, ya? Cieeee...Revian lagi ditaksir ternyata,” Dafandra yang mejanya di belakang Revian & Narthana ikut berkomentar.
“Bukan gitu dodol, nih susu kotaknya buat Naren. Dari Jiandra, anak bahasa yang sekelas sama Jivan,” Revian menaruh susu stroberi tersebut tepat di hadapan Naren.
“Uhuuuy...ternyata buat Naren, hihi Revian jadi kurir ini mah,” ujar Narthana.
“Enak aja lo, ngatain gue kurir,” Revian memukul pundak Narthana.
“Lo tahu, Rev kalau gue lebih suka susu moka,” komentar Naren.
“Ya, gue mah tahu tapi kan si Jiandra kagak. Udah, cobain aja dulu, Ren. Siapa tahu cocok,”
“Nggak ah, nggak minat gue,” tolak Naren langsung.
“Oh, iya lupa gue. Naren kan sukanya yang hot-hot,” tanggap Dafandra.
“Anak OSIS dia,” ucap Narthana.
“Udah, buat lo aja, Rev,” ujar Naren.
“Kalau Revian nggak mau, gue aja yang incer kalau gitu,” ide Dafandra.
“Jangan lah, nggak tega gue anak polos gitu dideketin sama buaya kayak lo, Daf,” Revian menggeleng.
***
“Kak, boleh titip lagi?” Jiandra menghampiri Revian yang tengah jajan di kantin.
“Jian, yang suka susu stroberi itu gue. Naren sukanya rasa moka,” Revian langsung memberikan informasi.
“Kalau gitu rotinya aja buat kak Naren, kalau susunya yang sekarang buat kakak kalau gitu,” Jiandra mengangsurkan paper bag berwarna biru muda itu.
“Ji, jadi lo mau gue bantu PDKT sama Naren?”
“Kakak keberatan ya, aku titip begini?”
“Nggak sih, gue lebih mau bantu lo biar ngobrol sama Naren. Kalau kayak gini, kalian nggak akan saling kenal satu sama lain,”
“Aku malu, Kak. Takut salah ngomong depan dia,”
“Sesuka itu ya, lo sama Naren?”
Jiandra hanya bisa tersenyum kikuk, Revian terdiam sesaat lalu mengajak gadis tersebut duduk.
“Dengerin gue, Jian. Gue cukup tahu gimana karakter Naren, termasuk soal perempuan. Lo boleh deketin dia, tapi kalau hasilnya nggak sesuai kayak yang lo mau, jangan kecewa. Oke? Kalau lo sama Naren nggak bisa barengan, it means you’re deserve more better person,”
Jiandra mengangguk.
“Lo udah makan?”
“Belum, Kak,”
“Gue jajanin,”
“Eh, nggak usah,”
“Anggap aja hadiah pertemanan kita, lo nggak usah canggung lihat gue sebagai kakak kelas lo. Lo bisa lihat gue sebagai temen lo, kayak lo temenan sama Jivan,”
Revian beranjak dari kursinya, ia memesankan gadis itu makanan. Diluar kendalinya, Jiandra mendapati netranya menatap punggung Revian lekat dan lalu tersenyum kecil.
“Hhhmm, bakal kompleks ini mah,” ujar Dafandra pelan, ia melihat pemandangan ini dari jauh sedari tadi.
15.30...
Bel sekolah sudah berbunyi nyaring sejak setengah jam lalu, sebagian siswa sudah pulang. Namun sebagian lagi menghabiskan waktu dengan ekskul, rapat OSIS atau sekadar berbincang dengan kawan-kawan mereka.
Arusha melihat jam tangannya, biasanya di jam seperti ini supirnya sudah menjemput.
“Ayah, kok belum ada yang jemput aku?” protes Arusha kala teleponnya tersambung.
“Maaf ya, Nak. Supirmu dipinjam dulu, Ayah ada keperluan,” sahut Keenan.
“Aku pulang sendiri jadinya?”
“Ada sekretaris Papa yang bakal jemput,”
“Oke deh,”
“Ditunggu ya, Sha,”
10 menit berlalu, sebuah Tesla hitam berhenti tepat di depan Arusha. Ia kenal betul mobil ini, mobil kesayangan Ayahnya. Jarang-jarang sang Ayah mempercayakan mobil ini untuk dibawa orang lain.
Kaca mobil terbuka, ternyata seorang wanita cantik dan sepertinya berusia 30-an, tampilannya tampak segar dengan rambutnya yang diikat tinggi dan setelan blazernya.
“Arusha, kan?” tanya perempuan itu.
“Sekretaris Ayah, kan?” tanya Arusha balik.
“Masuk, yuk. Kasihan kamu kepanasan,”
Arusha masuk, pikirannya kini begitu sibuk. Ia baru tahu, kalau sekretaris Ayahnya di kantor ternyata semuda ini, ia kira selama ini sosok Devina adalah perempuan seusia Ayahnya atau paling tidak di akhir 30-an, namun ternyata ia salah besar.
“Mau langsung pulang? Atau kamu ada perlu lain?” tanya Devina sambil menjalankan mobilnya.
“Ayah hari ini nggak akan lembur kan...Kak?” panggil Arusha ragu.
“Kakak?”
“Maaf, kalau aku tebak usia kakak pasti 30 awal,”
Devina tersenyum.
“Oke, kamu bisa panggil saya Kakak. Ayahmu paling jam 7 juga udah pulang,”
“Kita belanja ke supermarket dulu gimana? Aku mau masakin sesuatu buat Ayah,”
“Oke, kamu biasanya ke supermarket mana?”
“Eum, aku ikut rekomen Kakak aja hari ini. Hehe,” Arusha tertawa kecil.
Sepanjang perjalanan bahkan saat berbelanja di supermarket, Arusha dan Devina tak hentinya berbincang. Arusha—yang dasarnya jarang bertemu perempuan yang lebih dewasa darinya jelas senang dengan pertemuan ini.
Begitu juga dengan Devina, ia anak tunggal di keluarganya. Anak kecil atau anak remaja biasanya baru ia temui jika sudah kumpul keluarga, paling setahun satu atau dua kali.
“Kakak mau langsung pulang nih?” tanya Arusha.
Mereka sampai di rumah keluarga Sagara tepat pukul 17.30, 1 tahun bekerja di kantor Keenan, baru sekarang Devina berkesempatan datang ke rumah bosnya ini.
“Iya, Sha. Kenapa memang?”
“Temenin aku masak mau? Tadi kakak loh yang rekomenin aku masak gambas sama risotto,” bujuknya.
“Haha, oke deh. Kita masak bareng ya,” Devina mengeluarkan hasil belanja mereka tadi.
Saat ia selesai mencuci tangan, Arusha menyerahkan apron berwarna krem.
“Kalian koleksi apron apa gimana?” Devina terkikik melihat Arusha menutup lemari berisikan apron.
“Ayah kan suka masak, Kak. Jadi dia koleksi, malah kalau lagi trip tuh malah suka berburu apron bagus,”
Devina mengangguk-angguk. Dapur kini lebih ramai dari biasanya, belum lagi sayup-sayup suara musik yang sengaja Arusha putar dari bluetooth speaker.
Tebakan Devina benar adanya, tepat pukul 7 malam sosok Keenan muncul dengan raut yang cukup lelah.
“Ayah,” Arusha tersenyum.
“Ternyata ada tamu,” Keenan mengulas senyum.
“Maaf, Pak. Soalnya Arusha yang minta temenin buat masak,”
“Nggak apa-apa. Saya tinggal dulu sebentar, ya,” Keenan berlalu menuju kamarnya.
Saat jam menunjukkan pukul 19.30, ketiganya sudah berkumpul di meja makan. Oke, ini pemandangan langka di rumah Sagara. Biasanya meja hanya berisi Keenan & Arusha, bahkan kadang mereka memilih makan di ruang TV sambil mengobrol atau menonton Netflix.
“Enak nggak, Yah?” tanya Arusha.
“Enak, ini bener kamu yang bikin?” ujar Keenan.
“Ya, dibantu kak Devina sih. Makannya bumbunya nggak keasinan kayak biasa aku masak,” tanggapnya.
“Kamu sendiri loh yang bilang, bukan Ayah,” Keenan tertawa kecil.
Setelah makan malam usai, Devina bersiap untuk pulang.
“Pak, saya pamit pulang. Sudah malam,”
“Biar supir yang antar kamu pulang,”
“Nggak usah, Pak. Saya bisa pesan taksi online kok,”
“Bahaya, Dev kalau kamu pulang sendirian,”
“Ya, udah. Ayah aja yang antar Kakak, lagipula pak Hanif udah pulang,” ide Arusha.
Keenan baru ingat, kalau kegiatan mereka sudah selesai maka supir pun akan pulang.
“Eh, nggak usah Sha. Kakak bisa sendiri,”
“Masa Ayah tega, sih?”
Keenan akhirnya bangkit dari duduknya.
“Tunggu sebentar, saya mau ambil jaket dulu,” ujarnya.
“Sha, padahal nggak usah. Kakak bisa sendiri,”
“Udah, nggak apa-apa Kak,”
Tak lama Keenan sudah keluar, Devina terkesiap sesaat. Lelaki itu tampak berbeda dengan setelan kaus putih, celana jins dan jaket denimnya.
“Dev?”
“Ya?” Devina mengerejap-rejapkan matanya.
“Ayo berangkat,”
“Sha, Kakak pulang. Bye,” Devina melambaikan tangannya.
“Iya, Kak. Sering-sering jemput atau main kesini ya,”
***
“Ayah, kenapa nggak bilang kalau sekretaris Ayah itu masih muda?” ujar Arusha kala Keenan pulang.
“Emang kenapa, Sha?” Keenan melepas jaket denimnya.
“Ah, ayah mah lola. Ya, buat dijadiin istri ayah sama mama baru buat aku,”
“Kan ayah udah bilang, ayah cukup sama kamu,”
“Yah, nggak semua masalah Ayah bisa bicarain sama aku. Ada keterbatasan, kalau sama pasangan tuh Ayah bisa ngomongin apa aja, ada yang dengerin terus kasih solusi atau ketenangan yang nggak bisa aku kasih. Udah cukup Ayah berjuang sendiri selama 16 tahun ini, Bunda pasti udah bahagia disana. Mau lihat Ayah nemu kebahagiaan baru, aku juga sama. Dan aku rasa kak Devina orang yang tepat, Yah,” jelas Arusha.
Keenan terdiam, ternyata waktu berlalu begitu cepat. Kini anak semata wayangnya sudah dewasa, bisa memahami apa yang sedang dirasakannya.
***
“Jila..,” ujar Johnny kala teleponnya tersambung.“Ya? Kenapa, John?”“Kamu tahu dimana tempat bubur yang kata kamu waktu itu enak?”“Oh, iya. Kenapa, John? Kamu lagi sakit? Atau anak-anak?”“Mamaku lagi nggak begitu enak badan, terus tadi kirim pesan keaku. Katanya minta bubur yang pernah dibawain kamu,”“Gitu, ya. Lumayan jauh kalau dari kantormu, John. Aku kirim via ojek online aja ke Mamamu, ya? Kalau nunggu nanti kamu pulang, takutnya Mamamu keburu nggak mau,”“Bener? Nanti aku transfer uangnya, Jila,”“Nggak usah, kayak ke siapa aja. Nanti aku kirimin, kamu kabari aja Mamamu kalau makanannya sudah dikirim,”“Makasih ya, Jila,”“Sama-sama, John,” Meski 10 tahun berlalu, sosok Jilaine sepertinya tak tergantikan dalam keluarga Kivandra. Baik untuk Johnny, El
Project baru akan segera dimulai, itu tandanya kesibukan Keenan akan meningkat. Dia sibuk memantau konsep setiap divisi agar sesuai dengan kesepakatan awal, apalagi ini melibatkan kerjasama dengan salah satu perusahaan di Singapura. Semuanya harus tertata dan terstruktur, jika tidak nama Sagara yang akan dipertaruhkan. Kalau sudah begini, maka kertas-kertas file dan komputer yang selalu menyala akan jadi teman setia Keenan.“Pak..,” ketukan pintu membuyarkan konsentrasi Keenan.“Ya, masuk,” sahutnya. Ternyata sosok itu Devina—ditangannya terdapat paper bag yang berlabelkan resto ternama.“Kenapa?” netra Keenan sama sekali tidak berpaling dari file.“Ada kiriman makanan dari Arusha, Pak. Katanya dia mau Ayahnya makan tepat waktu,”“Kamu sudah makan?” tanya pria itu dengan nada tegas
“Ke rumah gue, pada mau nggak?” ajak Revian tiba-tiba saat bubar sekolah.“Dadakan nih?” tanya Naren.“Kayak tahu bulat. Gurih-gurih enyoy,” lanjut Dafandra.“Lo dibayar berapa anjir? Sampe nyanyi begitu,”“Gue nggak bisa, ada latihan nih,” ucap Naren.“Yah, lo mau nggak, Daf?” tanya Revian.“Nggak juga, gue disuruh nganter Mama,” jawab Dafandra.“Ajakin para bocah aja kalau gitu, Rev,” ucap Narthana.“Oke deh, ayo,” Revian melambaikan tangan kearah Dafandra & Revian lalu merangkul Narthana menuju kelas Jivan & Arusha. Suasana kelas 11 masih ramai, sepertinya belum ada tanda mereka untuk pulang dalam waktu dekat.“Hai, Kak,” datangnya Revian & Narthana bertepatan dengan Jiandra yang hendak keluar kelas.“Cieee,” Narthana menyodok pi
“Nih, makan dulu,” Arusha membawakan sepiring spaghetti kehadapan Jivan. Arusha cukup kaget saat mendapati Jivan tiba-tiba datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu, apalagi teman baiknya itu membawa tas yang cukup gendut dan ternyata berisi baju dan laptopnya.“Gue nggak lapar,” ujar Jivan.“Makan dulu, heh. Nanti gue dimarahin ayah lo,” Arusha setengah memaksa.“Gue juga makan nih, lo juga harus,” Arusha memperlihatkan piringnya.“Iya, bawel,” Jivan menikmati makanannya.“Enak nggak?”“Om Keenan yang masak?”“Gue,”“Ah, jangan bohong lo,”“Dih, lo mah nggak percaya. Orang tinggal campurin minya sama bumbu,”“Iya sih,” Sepertinya Jivan benar-benar lapar, makanannya habis dalam sekejap.“Jadi ada masalah apa
Hubungan Revian & Jiandra semakin dekat, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Entah berjalan-jalan di akhir minggu, belajar bersama dan Revian yang sering berkunjung ke rumah Jiandra.“Nih,” Jiandra mengangsurkan kotak bekal saat dijemput Revian.“Itu kotak bekal Kakak lho, jelas dari Ibu lah. Bingung aku, sekarang anak Ibu tuh aku atau Kakak,” Jiandra memajukan bibirnya.“Hahaha, makasih lho. Kebetulan nanti gue ada kelas olahraga, jadi nggak usah jajan,” Revian mengambil kotak makan tersebut dan lalu memakaikan helm pada Jiandra. Tak sampai setengah jam, mereka sudah sampai di sekolah. Suasana cukup ramai karena 15 menit lagi bel masuk akan berbunyi.“Jian, gue mau ngomong sama lo,” saat baru saja turun dari motor Revian, Jiandra sudah dikagetkan dengan Naren yang mencegatnya. Gadis itu malah menatap Revian, seolah meminta persetujuan. Revian
“Ma, anakmu yang ganteng pulang,” Revian berteriak riang kala masuk ke rumahnya.“Kak, tungguin sebentar,” Jiandra tampak kesusahan membuka sepatunya. Tadi sepulang sekolah, ia sengaja mengajak gadis itu ke rumahnya. Tentu saja dengan izin dari Ibu terlebih dahulu.“Udah diluar sekolah, Jian. Nggak usah pakai kakak segala,” Revian menaruh sepatu gadis itu di rak.“Maaf, kebiasaan,” “Ada siapa, Rev? teman-temanmu? Oh, yang baru ternyata,” Jilaine tersenyum ramah. Jujur, Jiandra terkesiap sesaat. Ini ternyata sosok Mama yang selalu diceritakan Revian—cantik sekali, tubuhnya tampak begitu proporsional untuk seorang Ibu dengan dua anak lelaki yang sudah beranjak dewasa.“Ternyata ini ya, yang naman
“Lo disini ya, ada Mama gue juga. Lo mau tidur sama gue?” ujar Narthana. Tadi sesuai perintah Papanya, ia mengajak Arusha ke rumahnya. Sementara Revian dan Jivan menuju rumah mereka masing-masing diantar Johnny.“Iya, gue tidur sama lo,” Arusha memijit kepalanya yang terasa pening. Sherianne membawakan bubur labu dan teh hangat untuk keduanya.“Makasih, Tante. Maaf repotin,” ujar Arusha.“Nggak apa-apa, kamu tenang ya. Ada tante sama Narthana disini,” Sehabis makan, Arusha beranjak mandi. Ia berusaha menenangkan dirinya yang kalut dengan segala pikiran yang ada.“Besok lo nggak usah sekolah dulu, nanti gue urus izinnya,” Narthana menyiapkan bantal dan guling tambahan disampingnya.“Nat..,”“Ya?”“Kenapa semua kejadian ini nimpa gue?” tatapan Arusha menerawang.“Mung
“Pak Sena, tamu bapak sudah datang,” ujar Sissy—sekretaris Sena.“Suruh dia masuk, Sy. Jangan lupa siapkan minuman, ya,”“Baik, Pak,” Setelah Sissy berlalu, sesosok pria berusia 60-an awal masuk ke ruangan Sena. Dia adalah Yudha Wiratama—partner bisnis Sena selama 3 tahun belakangan ini. Yudha merupakan pemilik Wiratama Group, yang bergerak di bidang media cetak, radio dan jasa kontraktor. Selama ini Sena sangat terbantu dengan kerjasama di bidang promosi untuk mengembangkan Sera.“Siang, Pak. Maaf saya sudah membuat Bapak datang kemari dan menggunakan waktu Bapak yang berharga,” ujar Sena.“Ah, kamu ini Sen. Santai kayak sama siapa, kita kan sudah berpartner bukan setahun saja, Jadi kamu mau minta tolong apa? Bisa saja sih kemarin kamu cerita di telepon, tapi saya mau mendengarnya langsung,”“Pak, saya ada sedikit masalah.