“Jila..,” ujar Johnny kala teleponnya tersambung.
“Ya? Kenapa, John?”
“Kamu tahu dimana tempat bubur yang kata kamu waktu itu enak?”
“Oh, iya. Kenapa, John? Kamu lagi sakit? Atau anak-anak?”
“Mamaku lagi nggak begitu enak badan, terus tadi kirim pesan ke
aku. Katanya minta bubur yang pernah dibawain kamu,”“Gitu, ya. Lumayan jauh kalau dari kantormu, John. Aku kirim via ojek online aja ke Mamamu, ya? Kalau nunggu nanti kamu pulang, takutnya Mamamu keburu nggak mau,”
“Bener? Nanti aku transfer uangnya, Jila,”
“Nggak usah, kayak ke siapa aja. Nanti aku kirimin, kamu kabari aja Mamamu kalau makanannya sudah dikirim,”
“Makasih ya, Jila,”
“Sama-sama, John,”
Meski 10 tahun berlalu, sosok Jilaine sepertinya tak tergantikan dalam keluarga Kivandra. Baik untuk Johnny, El
Project baru akan segera dimulai, itu tandanya kesibukan Keenan akan meningkat. Dia sibuk memantau konsep setiap divisi agar sesuai dengan kesepakatan awal, apalagi ini melibatkan kerjasama dengan salah satu perusahaan di Singapura. Semuanya harus tertata dan terstruktur, jika tidak nama Sagara yang akan dipertaruhkan. Kalau sudah begini, maka kertas-kertas file dan komputer yang selalu menyala akan jadi teman setia Keenan.“Pak..,” ketukan pintu membuyarkan konsentrasi Keenan.“Ya, masuk,” sahutnya. Ternyata sosok itu Devina—ditangannya terdapat paper bag yang berlabelkan resto ternama.“Kenapa?” netra Keenan sama sekali tidak berpaling dari file.“Ada kiriman makanan dari Arusha, Pak. Katanya dia mau Ayahnya makan tepat waktu,”“Kamu sudah makan?” tanya pria itu dengan nada tegas
“Ke rumah gue, pada mau nggak?” ajak Revian tiba-tiba saat bubar sekolah.“Dadakan nih?” tanya Naren.“Kayak tahu bulat. Gurih-gurih enyoy,” lanjut Dafandra.“Lo dibayar berapa anjir? Sampe nyanyi begitu,”“Gue nggak bisa, ada latihan nih,” ucap Naren.“Yah, lo mau nggak, Daf?” tanya Revian.“Nggak juga, gue disuruh nganter Mama,” jawab Dafandra.“Ajakin para bocah aja kalau gitu, Rev,” ucap Narthana.“Oke deh, ayo,” Revian melambaikan tangan kearah Dafandra & Revian lalu merangkul Narthana menuju kelas Jivan & Arusha. Suasana kelas 11 masih ramai, sepertinya belum ada tanda mereka untuk pulang dalam waktu dekat.“Hai, Kak,” datangnya Revian & Narthana bertepatan dengan Jiandra yang hendak keluar kelas.“Cieee,” Narthana menyodok pi
“Nih, makan dulu,” Arusha membawakan sepiring spaghetti kehadapan Jivan. Arusha cukup kaget saat mendapati Jivan tiba-tiba datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu, apalagi teman baiknya itu membawa tas yang cukup gendut dan ternyata berisi baju dan laptopnya.“Gue nggak lapar,” ujar Jivan.“Makan dulu, heh. Nanti gue dimarahin ayah lo,” Arusha setengah memaksa.“Gue juga makan nih, lo juga harus,” Arusha memperlihatkan piringnya.“Iya, bawel,” Jivan menikmati makanannya.“Enak nggak?”“Om Keenan yang masak?”“Gue,”“Ah, jangan bohong lo,”“Dih, lo mah nggak percaya. Orang tinggal campurin minya sama bumbu,”“Iya sih,” Sepertinya Jivan benar-benar lapar, makanannya habis dalam sekejap.“Jadi ada masalah apa
Hubungan Revian & Jiandra semakin dekat, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Entah berjalan-jalan di akhir minggu, belajar bersama dan Revian yang sering berkunjung ke rumah Jiandra.“Nih,” Jiandra mengangsurkan kotak bekal saat dijemput Revian.“Itu kotak bekal Kakak lho, jelas dari Ibu lah. Bingung aku, sekarang anak Ibu tuh aku atau Kakak,” Jiandra memajukan bibirnya.“Hahaha, makasih lho. Kebetulan nanti gue ada kelas olahraga, jadi nggak usah jajan,” Revian mengambil kotak makan tersebut dan lalu memakaikan helm pada Jiandra. Tak sampai setengah jam, mereka sudah sampai di sekolah. Suasana cukup ramai karena 15 menit lagi bel masuk akan berbunyi.“Jian, gue mau ngomong sama lo,” saat baru saja turun dari motor Revian, Jiandra sudah dikagetkan dengan Naren yang mencegatnya. Gadis itu malah menatap Revian, seolah meminta persetujuan. Revian
“Ma, anakmu yang ganteng pulang,” Revian berteriak riang kala masuk ke rumahnya.“Kak, tungguin sebentar,” Jiandra tampak kesusahan membuka sepatunya. Tadi sepulang sekolah, ia sengaja mengajak gadis itu ke rumahnya. Tentu saja dengan izin dari Ibu terlebih dahulu.“Udah diluar sekolah, Jian. Nggak usah pakai kakak segala,” Revian menaruh sepatu gadis itu di rak.“Maaf, kebiasaan,” “Ada siapa, Rev? teman-temanmu? Oh, yang baru ternyata,” Jilaine tersenyum ramah. Jujur, Jiandra terkesiap sesaat. Ini ternyata sosok Mama yang selalu diceritakan Revian—cantik sekali, tubuhnya tampak begitu proporsional untuk seorang Ibu dengan dua anak lelaki yang sudah beranjak dewasa.“Ternyata ini ya, yang naman
“Lo disini ya, ada Mama gue juga. Lo mau tidur sama gue?” ujar Narthana. Tadi sesuai perintah Papanya, ia mengajak Arusha ke rumahnya. Sementara Revian dan Jivan menuju rumah mereka masing-masing diantar Johnny.“Iya, gue tidur sama lo,” Arusha memijit kepalanya yang terasa pening. Sherianne membawakan bubur labu dan teh hangat untuk keduanya.“Makasih, Tante. Maaf repotin,” ujar Arusha.“Nggak apa-apa, kamu tenang ya. Ada tante sama Narthana disini,” Sehabis makan, Arusha beranjak mandi. Ia berusaha menenangkan dirinya yang kalut dengan segala pikiran yang ada.“Besok lo nggak usah sekolah dulu, nanti gue urus izinnya,” Narthana menyiapkan bantal dan guling tambahan disampingnya.“Nat..,”“Ya?”“Kenapa semua kejadian ini nimpa gue?” tatapan Arusha menerawang.“Mung
“Pak Sena, tamu bapak sudah datang,” ujar Sissy—sekretaris Sena.“Suruh dia masuk, Sy. Jangan lupa siapkan minuman, ya,”“Baik, Pak,” Setelah Sissy berlalu, sesosok pria berusia 60-an awal masuk ke ruangan Sena. Dia adalah Yudha Wiratama—partner bisnis Sena selama 3 tahun belakangan ini. Yudha merupakan pemilik Wiratama Group, yang bergerak di bidang media cetak, radio dan jasa kontraktor. Selama ini Sena sangat terbantu dengan kerjasama di bidang promosi untuk mengembangkan Sera.“Siang, Pak. Maaf saya sudah membuat Bapak datang kemari dan menggunakan waktu Bapak yang berharga,” ujar Sena.“Ah, kamu ini Sen. Santai kayak sama siapa, kita kan sudah berpartner bukan setahun saja, Jadi kamu mau minta tolong apa? Bisa saja sih kemarin kamu cerita di telepon, tapi saya mau mendengarnya langsung,”“Pak, saya ada sedikit masalah.
“Kamu udah bilang sama Papamu kalau mau nginep?” tanya Sherianne. “Udah, aku udah bilang dari semalem kok,” Narthana sibuk mencari saluran radio. “Bagus deh,” 15 menit kemudian, mobil Sherianne sudah terparkir manis di basement. “Ada apa, Ma?” tanya Sherianne. Ternyata ada sosok mamanya—Catherine yang menghampirinya. “Kamu serius mau kembali sama Satya?” Catherine menatap tajam sosok Narthana yang berdiri tak jauh dari Sherianne. Sosok Narthana benar-benar versi kedua Satya, tak lebih maupun tak kurang. “Iya, aku serius,” “Kamu ini, susah sekali nurut sama orangtuamu. Kita mau yang terbaik buatmu,” Sherianne tertawa sumbang. “Haha, buatku? Yakin? Sudah cukup aku turuti keinginan Mama sama Papa 17 tahun belakangan, sekarang giliranku buat lakuin sesuatu yang kumau,” “Dia memangnya mau kembali sama kamu?” “Kalau dia nggak mau, d