Hutan semakin lebat saat mereka menjauh dari lokasi pertemuan dengan Kairan. Langit masih kelabu, dan cahaya pagi seolah tak pernah menyentuh tanah ini. Di setiap langkah, ranting patah sendiri, seakan alam menyingkir memberi jalan atau justru mendorong mereka lebih dalam ke dalam perangkap.
Pak Jatmiko memimpin jalan, sesekali menggumamkan mantra pelindung dalam bahasa kuno. Naya menatap Raka yang kini berjalan lebih lambat. Simbol di bahunya makin besar, menjalar hingga ke dada kiri, berdenyut seperti jantung kedua. Nadinya memanas, tapi ia menolak untuk menunjukkan rasa sakitnya. “Ke mana kita?” tanya Raka, suaranya serak. “Ke tempat tulang-tulang berdoa,” jawab Pak Jatmiko. “Tempat itu pernah menjadi lokasi pemakaman rahasia para pendeta pengusir iblis. Jika cerita itu benar, Sengkalannya dikuburkan di sana bersama pengorbanan terakhir.” “Dan kau tahuAngin malam terasa lebih tajam dari biasanya saat Raka dan kelompoknya mendekati kawasan pemakaman tua yang telah ditinggalkan selama puluhan tahun. Di bawah cahaya bulan pucat, pohon-pohon menjulang seperti sosok raksasa kurus yang mengawasi setiap langkah mereka. Suara ranting patah dan desir rerumputan seolah membisikkan rahasia kematian yang belum selesai. Darma, yang kini menjelma sebagai kabut putih samar, memandu mereka melewati jalan setapak berlumut yang nyaris tak terlihat. Ia menunjuk pada sebuah gerbang batu besar yang tertutup belukar gerbang masuk ke makam pelindung desa. Di atas gerbang, tertulis ukiran tua dalam bahasa kuno: “Yang memanggil terang harus menelan bayangannya.” Ayuna merasakan detak jantungnya bertambah cepat. Yunaka menggenggam erat senjata sihirnya, dan Raka... masih berusaha berdamai dengan kekosongan yang ditinggalkan oleh kenangan yang ia korbankan. Saat Darma mulai membaca mantra untuk membuka gerbang, tanah di sekitar mereka bergetar pelan.
Hutan semakin lebat saat mereka menjauh dari lokasi pertemuan dengan Kairan. Langit masih kelabu, dan cahaya pagi seolah tak pernah menyentuh tanah ini. Di setiap langkah, ranting patah sendiri, seakan alam menyingkir memberi jalan atau justru mendorong mereka lebih dalam ke dalam perangkap. Pak Jatmiko memimpin jalan, sesekali menggumamkan mantra pelindung dalam bahasa kuno. Naya menatap Raka yang kini berjalan lebih lambat. Simbol di bahunya makin besar, menjalar hingga ke dada kiri, berdenyut seperti jantung kedua. Nadinya memanas, tapi ia menolak untuk menunjukkan rasa sakitnya. “Ke mana kita?” tanya Raka, suaranya serak. “Ke tempat tulang-tulang berdoa,” jawab Pak Jatmiko. “Tempat itu pernah menjadi lokasi pemakaman rahasia para pendeta pengusir iblis. Jika cerita itu benar, Sengkalannya dikuburkan di sana bersama pengorbanan terakhir.” “Dan kau tahu
Udara pagi terasa ganjil. Langit berwarna abu-abu kehijauan, seakan matahari sendiri enggan menyinari tanah yang telah ternoda. Angin berhembus pelan, namun mengirim bau amis yang menusuk seperti darah basi dan tanah lembap yang disiram arwah penasaran. Raka duduk membelakangi api unggun yang hampir padam. Matanya kosong. Tubuhnya lemas, tetapi pikirannya masih terperangkap dalam mimpi neraka tadi malam. Naya menyodorkan secangkir air. “Minumlah. Kau butuh tenaga.” Ia tak menjawab. “Raka,” panggil Pak Jatmiko, lebih tegas. “Apa yang kau lihat… bukan hanya penglihatan. Itu peringatan. Gerbang Kedua memang belum terbentuk, tapi tanda-tandanya akan mulai muncul.” Raka mengangkat lengan bajunya tanpa sadar dan saat itu juga, Naya menjerit pelan. Di bahu kirinya, sebuah simbol berwarna hitam mulai terbentuk. Bentuknya seperti lingkaran dengan cabang menyerupai akar yang menjalar perlahan ke arah jantung. Simbol itu berdenyut, seolah hidup. Seolah bagian dari sesuatu yang sedang
Gelap.Sunyi seperti kematian yang belum sempat menyentuh.Tak ada cahaya, tak ada arah, tak ada tubuh.Hanya kesadaran kosong... dan rasa dingin yang menjalar perlahan dari ujung saraf ke ujung nadi.Raka tak tahu di mana dirinya.Ia hanya… ada.Kemudian dari balik kehampaan itu muncul suara. Dalam. Dalam sekali. Seolah bukan dari luar, tapi dari dalam kepalanya sendiri.“Anak dari darah yang dicuri… akhirnya kau datang.”Raka mencoba bicara, tapi bibirnya tak bisa bergerak. Ia tak memiliki suara. Tak memiliki tubuh. Hanya kesadaran terjebak dalam kehampaan yang kini berdenyut seperti daging.“Lihatlah siapa kau sebenarnya…”Cahaya merah membelah kegelapan.Dunia membentuk dirinya dari serpihan abu, darah, dan tulang.Dan di tengah-tengahnya, berdiri makhluk itu.Bukan manusia. Bukan binatang. Bukan iblis seperti dalam kitab-kitab tua. Ia tak memiliki bentuk tetap. Ia berubah setiap kali dilihat. Kadang seperti ular bersayap. Kadang seperti perempuan bermata seribu. Kadang hanya kabu
Raka berlari tanpa tujuan. Nafasnya sesak, jantungnya menjerit, dan pikirannya seperti dirajam ribuan paku ingatan. Langkah kakinya menghantam lumpur yang menghitam, hingga akhirnya ia jatuh tersungkur di tepian sumur tua, yang dulunya tertutup rapat oleh papan dan jimat daun sirih. Tapi sekarang... sumur itu terbuka. Bau busuk menyeruak, seperti campuran belatung dan darah beku. Di dasar sumur, airnya hitam pekat, dan Raka bisa bersumpah ada sesuatu yang menatap dari bawah. Tapi yang membuatnya tak bisa bergerak... Adalah wajah ibunya, mengambang samar di air. “Ibu...?” bisiknya. Gemetar. Tak percaya. Bayangan itu tidak bicara. Tapi air beriak membentuk kata di permukaannya: "LARI... DARI TAKDIRMU..." Lalu wajah itu menghilang. Digantikan oleh dua mata merah… dan senyum. Raka terdorong ke belakang, berusaha menjauh saat suara langkah kaki mendekat dari arah hutan. Itu Naya. Tubuhnya berlumur darah. Luka di pipinya masih mengalir, tapi sorot matanya sudah tidak sama. Ad
Tak ada yang bergerak di desa itu hari itu. Bahkan angin pun enggan menyentuh pepohonan tua yang merintih pelan. Kabut tebal menggulung seperti daging busuk yang mendidih perlahan, menyelimuti tanah dengan nafas yang terlalu dingin untuk disebut udara.Raka duduk mematung di luar rumah Ranu. Napasnya berat. Wajahnya pucat. Ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya, sesuatu yang tak bisa ia pahami.Sejak Naya mengucapkan kata-kata itu semalam, pikirannya tak bisa diam:"Kau harus masuk ke dalam gerbang."Gagasan itu terlalu gila untuk dipercaya… dan terlalu nyata untuk diabaikan.“Kalau kau terus diam, kau akan mati duluan,” suara Ranu terdengar dari belakangnya, tapi tak ada nada lelucon di sana.Raka hanya menunduk. Hatinya terasa lebih gelap dari kabut.Dan entah kenapa, di tengah semua kekacauan itu…ia merasa diperhatikan.Tatapan. Tatapan yang tak asing tapi juga tak manusiawi. Ia mengangkat kepala, dan di kejauhan, di bawah pohon beringin tua di ujung desa...Pak Jatmiko berdiri.