Fajar menggantung di balik kabut. Sinar matahari enggan menembus tebalnya udara beku di desa Terungkam. Arca-arca batu yang mengelilingi Lingkaran Arca masih tampak basah oleh embun, tapi entah mengapa, udara pagi ini bukan menyegarkan… justru lebih menyesakkan. Raka duduk di tepi lingkaran, menatap telapak tangannya yang masih bergetar. Setelah Ujian Tulang, ia tidak merasa lebih kuat. Ia merasa kosong, seakan sebagian jiwanya tertinggal di Ruang Tulang. Di belakangnya, Sengkalan Kuno tergantung di dada kecil, tapi seolah membawa beban seluruh dunia. “Kalau kau terus menatap benda itu, bisa-bisa matamu membusuk sebelum malam,” suara Naya memecah lamunannya. Raka hanya tersenyum tipis. Pak Jatmiko mendekat, membawa seikat daun dan potongan akar. “Minumlah ini. Tubuhmu masih dalam tahap transisi. Mimpi buruk mungkin akan datang. Dan mungkin… bukan hanya dalam tidur.” Baru saja Raka mengangkat cangkir bambu itu, tiba-tiba Nyai Lara mendongak tajam ke arah hutan. Matanya menyipit, la
Malam itu datang tanpa suara. Langit menggulung menjadi kelam, seperti tirai neraka yang perlahan menutup dunia. Bintang-bintang hilang seolah takut menyaksikan apa yang akan terjadi. Di tengah Lingkaran Arca Bisik, Raka berdiri seorang diri. Tubuhnya telanjang dada, dan simbol di bahunya kini berdenyut terang seperti bara yang membakar dari dalam. Di sekelilingnya, arca-arca batu menangis seakan hidup… dan memang, beberapa di antaranya bergerak pelan, kepala mereka bergetar seperti ingin berteriak. Nyai Lara berdiri di tepi lingkaran, membawa mangkuk tanah liat berisi cairan hitam pekat yang berbau busuk. “Duduklah di tengah. Dan jangan bicara… jika kau tidak ingin suaramu diambil oleh arwah-arwah yang mendengar.” Raka menuruti. Saat tubuhnya menyentuh tanah, ia merasakan hawa dingin menembus tulangnya. Tanah di bawahnya... basah. Tapi bukan oleh air. Seperti darah lama yang tak pernah kering. Nyai Lara mulai menggumamkan mantra kuno. Tiba-tiba, bumi di bawah Raka merekah perlah
Hutan semakin lebat saat mereka menjauh dari lokasi pertemuan dengan Kairan. Langit masih kelabu, dan cahaya pagi seolah tak pernah menyentuh tanah ini. Di setiap langkah, ranting patah sendiri, seakan alam menyingkir memberi jalan atau justru mendorong mereka lebih dalam ke dalam perangkap. Pak Jatmiko memimpin jalan, sesekali menggumamkan mantra pelindung dalam bahasa kuno. Naya menatap Raka yang kini berjalan lebih lambat. Simbol di bahunya makin besar, menjalar hingga ke dada kiri, berdenyut seperti jantung kedua. Nadinya memanas, tapi ia menolak untuk menunjukkan rasa sakitnya. “Ke mana kita?” tanya Raka, suaranya serak. “Ke tempat tulang-tulang berdoa,” jawab Pak Jatmiko. “Tempat itu pernah menjadi lokasi pemakaman rahasia para pendeta pengusir iblis. Jika cerita itu benar, Sengkalannya dikuburkan di sana bersama pengorbanan terakhir.” “Dan kau tahu
Udara pagi terasa ganjil. Langit berwarna abu-abu kehijauan, seakan matahari sendiri enggan menyinari tanah yang telah ternoda. Angin berhembus pelan, namun mengirim bau amis yang menusuk seperti darah basi dan tanah lembap yang disiram arwah penasaran. Raka duduk membelakangi api unggun yang hampir padam. Matanya kosong. Tubuhnya lemas, tetapi pikirannya masih terperangkap dalam mimpi neraka tadi malam. Naya menyodorkan secangkir air. “Minumlah. Kau butuh tenaga.” Ia tak menjawab. “Raka,” panggil Pak Jatmiko, lebih tegas. “Apa yang kau lihat… bukan hanya penglihatan. Itu peringatan. Gerbang Kedua memang belum terbentuk, tapi tanda-tandanya akan mulai muncul.” Raka mengangkat lengan bajunya tanpa sadar dan saat itu juga, Naya menjerit pelan. Di bahu kirinya, sebuah simbol berwarna hitam mulai terbentuk. Bentuknya seperti lingkaran dengan cabang menyerupai akar yang menjalar perlahan ke arah jantung. Simbol itu berdenyut, seolah hidup. Seolah bagian dari sesuatu yang sedang
Gelap.Sunyi seperti kematian yang belum sempat menyentuh.Tak ada cahaya, tak ada arah, tak ada tubuh.Hanya kesadaran kosong... dan rasa dingin yang menjalar perlahan dari ujung saraf ke ujung nadi.Raka tak tahu di mana dirinya.Ia hanya… ada.Kemudian dari balik kehampaan itu muncul suara. Dalam. Dalam sekali. Seolah bukan dari luar, tapi dari dalam kepalanya sendiri.“Anak dari darah yang dicuri… akhirnya kau datang.”Raka mencoba bicara, tapi bibirnya tak bisa bergerak. Ia tak memiliki suara. Tak memiliki tubuh. Hanya kesadaran terjebak dalam kehampaan yang kini berdenyut seperti daging.“Lihatlah siapa kau sebenarnya…”Cahaya merah membelah kegelapan.Dunia membentuk dirinya dari serpihan abu, darah, dan tulang.Dan di tengah-tengahnya, berdiri makhluk itu.Bukan manusia. Bukan binatang. Bukan iblis seperti dalam kitab-kitab tua. Ia tak memiliki bentuk tetap. Ia berubah setiap kali dilihat. Kadang seperti ular bersayap. Kadang seperti perempuan bermata seribu. Kadang hanya kabu
Raka berlari tanpa tujuan. Nafasnya sesak, jantungnya menjerit, dan pikirannya seperti dirajam ribuan paku ingatan. Langkah kakinya menghantam lumpur yang menghitam, hingga akhirnya ia jatuh tersungkur di tepian sumur tua, yang dulunya tertutup rapat oleh papan dan jimat daun sirih. Tapi sekarang... sumur itu terbuka. Bau busuk menyeruak, seperti campuran belatung dan darah beku. Di dasar sumur, airnya hitam pekat, dan Raka bisa bersumpah ada sesuatu yang menatap dari bawah. Tapi yang membuatnya tak bisa bergerak... Adalah wajah ibunya, mengambang samar di air. “Ibu...?” bisiknya. Gemetar. Tak percaya. Bayangan itu tidak bicara. Tapi air beriak membentuk kata di permukaannya: "LARI... DARI TAKDIRMU..." Lalu wajah itu menghilang. Digantikan oleh dua mata merah… dan senyum. Raka terdorong ke belakang, berusaha menjauh saat suara langkah kaki mendekat dari arah hutan. Itu Naya. Tubuhnya berlumur darah. Luka di pipinya masih mengalir, tapi sorot matanya sudah tidak sama. Ad