Saras menatap layar laptop tuanya yang bergemeretak, kursor berkedip-kedip di akhir naskah. Ia baru saja menyelesaikan 87.562 kata kisah tentang Liora, Arga, dan Malini. Judulnya ia beri nama: Gerbang Neraka: Desa Terakhir. Di luar kamarnya, malam menebar keheningan. Tapi di dalam kepalanya, suara-suara masih ramai: tangisan Liora, bisikan Arga, tawa lirih Malini di antara penderitaan. Ia telah menuliskan semua yang ia lihat, semua yang ia rasakan. Bukan dongeng. Bukan mimpi. Tapi kenyataan yang tidak dikenal oleh dunia. Saras mengunggah naskah itu ke sebuah platform daring blog kecil miliknya yang tak pernah ramai. Ia tak berharap banyak. Tapi menuliskannya membuatnya merasa ringan, seolah ia baru saja mengembalikan sesuatu yang hilang ke tempat semestinya. Yang tidak ia duga esok harinya, dunia mulai berubah. --- Awalnya hanya komentar kecil di blog-nya. “Aneh... aku pernah mimpi tentang tempat seperti itu. Ada seorang gadis bernama Liora yang memanggil namaku...” “Kau pasti
Senja menguning di langit Desa Padmaratri. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan harum kemenyan dari pura tua di pinggir hutan. Pura itu dulu hampir runtuh, namun kini berdiri kokoh, seperti dibangun kembali oleh tangan yang tak terlihat. Penduduk desa menganggapnya anugerah sebuah keajaiban setelah bertahun-tahun hidup dalam kegelapan. Namun, mereka tidak tahu bahwa di balik tembok batunya, sesuatu tertinggal. --- Namanya Saras, gadis belia yang gemar menelusuri tempat-tempat sunyi dan menulis puisi di sela buku catatannya yang usang. Ia anak yatim piatu yang dibesarkan oleh neneknya, dan sering dianggap aneh oleh teman-temannya. Tapi Saras merasa lebih nyaman dengan sunyi dan cerita-cerita kuno. Hari itu, ia duduk di anak tangga paling atas pura, memandangi matahari terbenam sambil menggambar sesuatu di bukunya sebuah simbol yang entah dari mana ia kenal. Sebuah kunci. Sebuah jarum jam. Sebilah pedang. Ketika langit memudar menjadi jingga, ia merasakan angin berbis
Pagi itu, sinar matahari pertama menyentuh desa Padmaratri setelah puluhan tahun diselimuti kabut dan kutukan. Burung-burung berkicau dengan riang, dan embun yang menetes dari daun-daun terlihat seperti permata kecil. Udara segar. Damai. Tak ada yang mengingat malam panjang yang pernah melanda desa ini. Tak ada yang tahu bahwa dunia nyaris musnah. Dan tak seorang pun tahu tentang Liora, Arga, dan Malini. Mereka telah menyelamatkan segalanya… dengan mengorbankan keberadaan mereka sendiri. Di tengah pasar desa yang kini kembali ramai, seorang gadis kecil berambut ikal menjual bunga di tepi jalan. Ia bernyanyi lagu yang entah dari mana ia hafal. Lagu itu lembut, sedih, dan penuh kenangan akan seseorang yang bahkan tak ia kenali. “Bintang jatuh di tengah malam, Siapa yang ingat siapa yang hilang?” Orang-orang yang mendengarnya tersenyum. Mereka merasa lagu itu akrab, meski tak tahu siapa yang menciptakannya. Di rumah tua yang dulunya markas iblis penjaga gerbang kedua, kini tinggal
Langkah pertama ke dalam Gerbang Tanpa Nama seperti terjun bebas ke dalam kehampaan. Tidak ada cahaya, tidak ada suara, bahkan tidak ada rasa gravitasi. Mereka tidak jatuh, tidak melayang, tidak berdiri mereka hanya ada. Namun dalam keberadaan itu, satu per satu, mereka mulai kehilangan sesuatu. Bukan benda, bukan tubuh. Melainkan diri mereka sendiri. Liora merasakan pikirannya seperti pasir yang ditiup angin. Ia lupa nama ayahnya. Lalu lupa wajah ibunya. Lupa di mana ia dilahirkan. Ia tahu ia pernah mencintai seseorang... tapi siapa? Namanya? Matanya? Semua menjadi kabur. Arga menggenggam kunci perak yang ia pegang. Tapi bahkan ia tak lagi ingat kenapa kunci itu penting. Ia tahu itu benda berharga, namun tak tahu mengapa. Ia tahu ia punya misi, tapi... untuk siapa? Untuk apa? Malini memeluk jarum jam yang dingin di genggamannya, tapi waktu di dalam tempat ini tak berjalan. Ia mencoba menghitung detik. Tapi detik tak ada. Hanya ada keabadian yang membusuk. Kemudian, re
Langkah demi langkah, mereka menuruni tangga batu yang tak berujung. Dinding di kiri kanan dipenuhi simbol-simbol yang bergerak, seolah diukir dari bayangan yang hidup. Tak ada cahaya, namun mereka tetap bisa melihat bukan dengan mata, tapi dengan pikiran yang perlahan mulai kehilangan batas antara mimpi dan nyata. Semakin dalam mereka turun, semakin sunyi dunia di atas. Hingga satu titik, tak terdengar lagi denyut jantung. Tak ada suara napas. Bahkan langkah kaki sendiri pun tak menimbulkan gema. “Aku tidak suka ini,” bisik Malini. Tapi suaranya tidak terdengar oleh siapa pun, bahkan dirinya sendiri. Ia hanya tahu bahwa ia bicara karena pikirannya memberi tahu begitu. Tiba-tiba, waktu berubah. Arga yang tadinya berada di depan, kini berada di belakang, dan Liora yang seharusnya berada di tengah kini berjalan sendirian. Tangga itu mulai memutar bukan hanya secara fisik, tapi secara waktu. Langkah kaki mereka tidak lagi maju mereka mulai berjalan ke masa lalu. --- Liora L
Hening menguasai sisa malam di Gunung Padmaratri. Tidak ada suara burung, tidak ada angin. Bahkan api biru yang sebelumnya menyala mengancam kini telah meredup menjadi bara hangat di celah-celah batu. Gerbang ketujuh telah tertutup, tapi jiwa mereka belum pulih. Kematian Elan atau lebih tepatnya, pengorbanannya masih membekas tajam seperti duri di dada. Liora duduk di samping Malini yang membisu. Arga menatap tanah yang mulai mendingin, tempat di mana Elan menghilang. Mereka tak bicara selama hampir satu jam, masing-masing tenggelam dalam duka dan pikirannya sendiri. Tiba-tiba, api biru terakhir yang tersisa sebesar kepalan tangan bergerak sendiri, melayang ke udara, lalu jatuh perlahan tepat di depan Liora. Api itu tidak membakar. Sebaliknya, api itu meleleh menjadi secarik kertas yang tampak seperti kulit hewan kuno, berwarna hitam keunguan dan ditulis dengan simbol-simbol tak dikenal. Kertas itu berkedip pelan, seolah bernapas. Malini bergumam, “Apa itu…?” Arga melangka