Hujan tak kunjung reda sejak Raka kembali dari Gerbang Kedua. Desa itu masih dingin, sunyi, dan seperti mati perlahan. Namun, malam ini berbeda. Angin membawa bisikan yang tidak berasal dari dunia manusia. Dan di rumah kosong tua dekat hutan selatan sebuah cahaya merah tampak berdenyut pelan dari balik jendela yang tak pernah terbuka. Raka, yang tak bisa tidur sejak pertemuannya dengan jiwa ayahnya, terus merasakan ketegangan di dadanya. Ada sesuatu yang salah. Sangat salah. Dan ketika seekor gagak mati terjatuh di depan rumahnya, mata terbuka lebar dengan darah menetes dari paruhnya ia tahu, panggilan berikutnya telah datang. Ia tidak menunggu. Dibalut mantel hitam dan membawa cincin gerbang yang kini berdenyut hangat, Raka berjalan menyusuri jalanan berlumpur menuju sisi selatan desa tempat yang bahkan para tetua hindari sejak tahun-tahun kelam setelah Pembantaian Ketiga. Di depan rumah kosong itu, jendela berembun merah. Pintu kayu lapuknya sedikit terbuka, dan angin dari dal
Langkah Raka terhenti saat suara itu menyapa telinganya suara ayahnya, begitu nyata, begitu dekat, seolah berbisik dari balik tirai gelap yang menyelimutinya. Jantungnya berdebar, bukan karena ketakutan, tapi karena kerinduan yang telah lama dikubur. “...Ayah?” gumamnya lirih, matanya mencoba menangkap apapun di sekitar, namun dunia dalam Gerbang Kedua hanya dipenuhi kabut kelabu dan suara-suara samar. Dari sela kabut, sesosok bayangan muncul. Tinggi, ramping, berselimutkan jubah hitam yang robek-robek. Wajahnya samar, namun cahaya redup dari sorot matanya tak bisa dilupakan oleh darahnya sendiri. Mata itu… pernah menatapnya hangat ketika ia masih kecil, sebelum semuanya hancur. “Anakku… Raka.” Suara itu berat, bergema dari dalam dada. “Kau datang… kau telah memenuhi takdirmu.” Raka melangkah maju, setengah ragu, setengah terhisap oleh kekuatan yang mengikatnya. “Apa ini benar-benar kau, Ayah? Atau hanya ilusi yang dipakai iblis untuk memanipulasiku?” Bayangan itu mengangkat
Angin berhenti berhembus saat nama “Nira” diucapkan. Hutan yang tadinya menderu oleh jeritan tak kasatmata kini membisu, seakan bumi pun menahan napas. Raka memandangi wanita berjubah putih itu, yang mengaku sebagai kakak dari ayahnya. “Kau bilang... kau kakak ayahku? Tapi mengapa tak ada yang pernah menyebutkan namamu?” Nira tidak menjawab langsung. Ia memutar badannya, menatap gerbang kedua yang kini menganga lebar, semburan api biru keluar dari celah-celahnya. “Karena aku telah dihapus dari sejarah desa. Dari ingatan para leluhur. Dituduh sebagai pengkhianat... karena satu pilihan yang kuambil lebih dari dua dekade lalu.” Ayuna melangkah ke samping Raka. “Apa yang terjadi?” “Perjanjian darah,” ucap Nira. “Itulah awal semuanya. Sebuah ritual tua, lebih tua dari desa ini. Leluhur kita dulu bukan hanya petani atau pemuja roh hutan. Mereka adalah pemanggil. Mereka membuka celah antara dunia ini dan dunia yang tak bernama.” Ravas mencibir. “Dan kalian mengira itu ide yang bagu
Raka berdiri kaku di hadapan makhluk bertanduk itu. Kabut hitam yang menyelimutinya berputar seperti pusaran neraka, dan setiap kali makhluk itu membuka mulutnya, udara menjadi lebih dingin, lebih berat, seolah napas kehidupan ditarik keluar dari paru-paru mereka. "Bayangan ayahku?" gumam Raka, setengah tak percaya. "Kau bukan ayahku." Makhluk itu tertawa rendah, namun suaranya menggema seperti guntur yang dihantamkan ke dada. “Aku adalah sisa dari jiwa yang kau kenal sebagai ayahmu yang terperangkap, dihancurkan, dan dibentuk ulang oleh tempat ini.” Ravas mengangkat senjatanya, bersiap untuk menyerang, tapi Raka mengangkat tangan. “Biar aku yang hadapi.” Ayuna berdiri di sisi Raka, ragu. “Kau yakin? Kita tak tahu apa itu sebenarnya.” Raka mengangguk. “Aku harus tahu kebenaran. Tentang siapa ayahku… dan kenapa dia meninggalkan kami.” Makhluk itu melayang mendekat, tidak menginjak tanah, hanya terbang rendah seperti roh penasaran yang haus darah. Ia menunjuk ke arah gerbang
Kabut yang menutupi Hutan Gantung memudar perlahan, dan di hadapan mereka terbentang sebuah danau luas yang tampak seperti cermin dunia bawah. Airnya hitam kebiruan, nyaris tidak beriak, memantulkan langit kelabu dan pohon-pohon kering di sekitarnya. Tidak ada suara burung, tidak ada desiran angin. Hanya satu hal yang terdengar bisikan. Raka menghentikan langkahnya. Ia merasa suara-suara itu tidak datang dari arah tertentu, melainkan dari dalam kepalanya. Seperti suara-suara yang dikubur bersama rasa bersalah. Seperti kata-kata yang tak pernah diucapkan. "Apa itu…?" gumam Ayuna. Ia berdiri tepat di tepi danau, tubuhnya gemetar. “Mereka memanggil namaku.” “Aku juga,” Darma bergumam. “Mereka tahu siapa kita. Ini bukan danau biasa. Ini cermin antara alam manusia dan alam yang telah mati.” Ravas berjalan perlahan ke arah danau. Ia menunduk, lalu mengambil sejumput air dengan kedua telapak tangannya. Tapi saat air itu menyentuh kulitnya, ia mendesis pelan. “Dingin seperti kematian,
Langit di atas Desa Batu Gantung berubah kelabu, seperti enggan memberi berkah pada tanah yang telah ternoda darah dan kutukan. Pagi hari terasa asing tanpa suara ayam berkokok, tanpa desir angin, hanya keheningan yang menusuk telinga. Raka, Ayuna, Darma, dan Ravas berdiri di kaki hutan yang disebut Hutan Gantung. Tempat itu tak pernah dimasuki siapa pun sejak generasi kakek buyut mereka. Konon, di balik lebatnya pepohonan, roh-roh pendosa digantung secara abadi terjebak antara langit dan bumi, meratap tanpa suara. “Apakah kau yakin ini jalur satu-satunya?” tanya Darma pelan sambil merapatkan jaket kulit tuanya. Ravas mengangguk. “Danau Berbisik terletak di balik hutan ini. Tak bisa ditempuh dari arah mana pun. Ini satu-satunya jalan. Tapi bukan sekadar hutan. Ini labirin spiritual. Ia mengubah arah, waktu, bahkan pikiran kalian.” Ayuna menatap bayangan pohon-pohon tinggi yang menjulang ke langit tanpa daun. Seperti tangan-tangan mati yang menunjuk surga. Hawa dingin menggelay