Langkah kaki Arkana nyaris tak bersuara saat ia memimpin Ilham menuju lorong terdalam sekolah, yang hanya bisa dibuka dengan sidik jari kepala sekolah pertama dan Arkana memilikinya. Lorong itu bernama Koridor Bisik, karena siapa pun yang melaluinya akan mendengar bisikan kenangan yang ingin mereka lupakan. “Ini tempatnya,” kata Arkana pelan, berhenti di depan dinding batu besar tanpa celah, tanpa pintu. “Tidak ada apa-apa,” gumam Ilham. Arkana membuka telapak tangannya. Sebuah gumpalan cahaya kelabu muncul, seperti asap yang membeku. “Kenangan bukan sesuatu yang bisa kau pegang… tapi bisa kau serahkan.” Ia menempelkan tangannya ke dinding, dan seketika, batu itu menguap seperti kabut terbakar. Di baliknya, ada tangga menurun, licin dan mengilap seperti dipoles oleh waktu itu sendiri. “Gerbang Kelima bukan berada di dunia ini, Ilham,” ujar Arkana. “Ia berada di antara… kenangan dan lupa.” Ilham menelan ludah. “Lalu siapa pewaris kedua yang kau maksud?” Arkana menoleh padanya,
Pagi itu, langit Sekolah Cahaya Bumi tak seperti biasanya. Kabut turun terlalu cepat, dan sinar matahari menembusnya seperti sembilu tajam dan menyesakkan. Ilham terbangun dari tidur dengan tengkuk basah, seolah baru bermimpi dikejar sesuatu yang tak punya bentuk. Tapi ia tidak ingat mimpinya. Hanya satu benda tertinggal di atas mejanya: sebuah payung hitam kecil, yang basah meski malam tadi tidak hujan. Revana dan Davin sudah menunggunya di ruang perpustakaan bawah tanah. Di sana, Saras membuka satu buku tua bersampul kulit menghitam. Di bagian depannya tertulis dengan tinta merah: Catatan Kepala Sekolah Pertama Darussalam Lestari, 1886 Ilham menatap Saras. “Apa hubungannya dengan Arkana?” Saras menunjuk satu halaman yang usangnya nyaris rapuh. Di sana tertera foto lama: seorang anak laki-laki berdiri di tengah lima sosok berjubah hitam. Wajahnya samar, tapi posturnya, rambutnya, dan payung hitam di tangannya tak salah lagi. Itu Arkana. “Ini mustahil…” bisik Davin. Revana me
Sejak kembali dari batinnya sendiri, Ilham tidak lagi merasa seperti satu orang. Di pagi hari, ia bisa merasakan pikirannya jernih, hatinya ringan, dan bayangannya mengikuti sesuai gerak. Tapi setiap malam napasnya berubah ritmenya. Seolah ada paru-paru kedua yang ikut menghirup udara di dalam dirinya. Revana pertama kali menyadarinya saat mereka belajar bersama di ruang baca. “Kau… kenapa napasmu dua kali dalam satu tarikan?” Ilham menoleh. “Maksudmu?” Revana menyentuh dadanya. “Jantungmu berdetak… dua pola yang berbeda.” Ilham menahan napas. Ia menyentuh dadanya sendiri. Dan benar detak itu tidak berirama. Seolah ada dua denyut kehidupan bertarung dalam satu tubuh. Saras dipanggil, dan setelah pemeriksaan ritual sederhana, ia hanya bisa berkata satu hal: “Kau tidak sepenuhnya kembali sendirian.” Ilham terdiam. Malam itu, ia bermimpi. Tapi ini bukan mimpi biasa. Ia melihat dirinya berjalan menyusuri lorong sekolah yang gelap, dan setiap jendela yang ia lewati menampilkan ba
Ruang ritual disiapkan di dalam ruang bawah tanah yang hanya dibuka saat keadaan darurat. Di tengahnya, lingkaran simbol kuno bercahaya lemah terbuat dari darah ayam hitam, abu dari nisan pertama sekolah, dan serpihan kaca dari cermin yang pernah retak. Ilham duduk di tengah lingkaran. Tubuhnya gemetar, tapi tatapannya tajam. Revana duduk di sisi kanan, memegang manik meditasi. Saras berdiri di utara lingkaran, membacakan mantra dari Buku Bayangan Jiwa. “Raga ini kami bekukan… jiwa ini kami buka… gerbang ke dalam bukan lewat darah… tapi lewat kesadaran yang terbelah…” Perlahan, udara di ruangan berubah berat. Nafas menjadi singkat. Cahaya lilin satu per satu meredup hingga nyaris padam, menyisakan rona kemerahan seperti mata yang menyala dalam gelap. Ilham menutup matanya. Dalam benaknya, sebuah lubang hitam terbuka seperti pusaran yang menelan semua rasa. Dan ia jatuh. --- Ketika membuka mata, Ilham berdiri di ruang putih tak berujung. Tak ada dinding. Tak ada lantai. Tapi i
Ilham berdiri di depan cermin kamarnya. Retakan merah di permukaannya menjalar seperti urat api, berdenyut perlahan. Ia menatap bayangannya sendiri, tapi yang kembali menatapnya adalah wajah tanpa mata. Sebuah topeng kosong meniru ekspresi, dan di sudut bibirnya tersenyum sinis. Revana masuk tergesa, napas memburu. “Ilham! Lira… dia bangun!” Tanpa kata, mereka berlari menuju ruang bawah tanah tempat tubuh Lira dirawat. Tubuh kecil gadis itu kini duduk di atas ranjang. Matanya terbuka, menatap langit-langit seperti sedang mencari sesuatu yang tidak ada. “Lira…” Ilham mendekat, berlutut di sisinya. “Kau ingat aku?” Gadis itu menoleh pelan. Dan dengan suara sangat lirih, ia berkata: “Jangan percaya pada pantulanmu…” Ruangan langsung sunyi. Ilham merasakan jantungnya berhenti sejenak. Revana menelan ludah. “Apa maksudnya, Lira?” Lira hanya menatap ke arah dinding kosong dan menggambar sesuatu di udara sebuah lingkaran dengan garis menembusnya. Simbol yang sama seperti yang munc
Udara malam menusuk tulang ketika cahaya putih dari celah dimensi menyelimuti ruang bawah tanah. Ilham, Revana, dan Davin jatuh berlutut ke lantai batu, napas mereka berat, tubuh gemetar karena dingin yang tidak berasal dari dunia ini. Di pelukan Revana, boneka kayu Lira bersinar samar. Beberapa detik kemudian, tubuh kecil muncul perlahan dari dalam cahaya Lira, utuh, dengan mata terpejam dan napas teratur. Saras menyambut mereka dengan wajah tak percaya. “Kalian berhasil…” Revana mengangguk sambil berlinang air mata. “Vara... dia tinggal. Dia memilih menebus semua dosanya.” Penjaga Gerbang Dalam menatap Lira satu kali sebelum menghilang perlahan menjadi debu cahaya, suaranya menggema: “Gerbang tertutup… untuk sementara.” Ilham berdiri goyah. “Apa maksudnya ‘sementara’…?” Tapi suara Penjaga telah lenyap. --- Dua hari kemudian, sekolah kembali tenang atau setidaknya, kelihatannya begitu. Lira dirawat di ruang medis bawah tanah. Ia belum sepenuhnya sadar, tapi jiwanya stabil.