Home / Horor / Gerbang Neraka: Desa Terakhir / Bab 86 : Pintu Ketiga Tidak Pernah Diciptakan

Share

Bab 86 : Pintu Ketiga Tidak Pernah Diciptakan

Author: Rafi Aditya
last update Last Updated: 2025-07-19 11:28:21

Langkah pertama ke dalam gerbang kedua terasa seperti menembus rahim kegelapan purba. Raka sudah tiada, tapi kehadirannya masih menggema dalam bayang-bayang yang mengawasi. Lima orang yang tersisa Reva, Liora, Elan, Arga, dan Malini berjalan dalam diam, satu per satu memasuki dunia yang tidak diciptakan... tapi ditinggalkan.

Tidak ada langit. Tidak ada tanah. Hanya lantai licin dari tulang-tulang raksasa yang saling terjalin, membentuk jembatan panjang menuju menara hitam yang terlihat menjulang dari kejauhan. Setiap nafas mereka memunculkan suara bukan napas mereka sendiri, melainkan suara-suara lain... yang lebih tua.

“Di mana ini?” Elan berbisik.

“Ini bukan dunia,” jawab Malini pelan. “Ini... sisa. Pecahan dari sesuatu yang bahkan waktu pun menolak menyentuh.”

Arga berhenti. Ia menatap jejak kaki mereka di lantai tulang itu tidak ada. Mereka berjalan, tapi dunia ini tidak mengenali keberadaan mereka. Tak ada bayangan. Tak ada gema.

Liora menggenggam tangan Reva erat-erat.
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 125 : Wadah dan Pewaris

    Langkah kaki Arkana nyaris tak bersuara saat ia memimpin Ilham menuju lorong terdalam sekolah, yang hanya bisa dibuka dengan sidik jari kepala sekolah pertama dan Arkana memilikinya. Lorong itu bernama Koridor Bisik, karena siapa pun yang melaluinya akan mendengar bisikan kenangan yang ingin mereka lupakan. “Ini tempatnya,” kata Arkana pelan, berhenti di depan dinding batu besar tanpa celah, tanpa pintu. “Tidak ada apa-apa,” gumam Ilham. Arkana membuka telapak tangannya. Sebuah gumpalan cahaya kelabu muncul, seperti asap yang membeku. “Kenangan bukan sesuatu yang bisa kau pegang… tapi bisa kau serahkan.” Ia menempelkan tangannya ke dinding, dan seketika, batu itu menguap seperti kabut terbakar. Di baliknya, ada tangga menurun, licin dan mengilap seperti dipoles oleh waktu itu sendiri. “Gerbang Kelima bukan berada di dunia ini, Ilham,” ujar Arkana. “Ia berada di antara… kenangan dan lupa.” Ilham menelan ludah. “Lalu siapa pewaris kedua yang kau maksud?” Arkana menoleh padanya,

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 124 : Payung di Tengah Neraka

    Pagi itu, langit Sekolah Cahaya Bumi tak seperti biasanya. Kabut turun terlalu cepat, dan sinar matahari menembusnya seperti sembilu tajam dan menyesakkan. Ilham terbangun dari tidur dengan tengkuk basah, seolah baru bermimpi dikejar sesuatu yang tak punya bentuk. Tapi ia tidak ingat mimpinya. Hanya satu benda tertinggal di atas mejanya: sebuah payung hitam kecil, yang basah meski malam tadi tidak hujan. Revana dan Davin sudah menunggunya di ruang perpustakaan bawah tanah. Di sana, Saras membuka satu buku tua bersampul kulit menghitam. Di bagian depannya tertulis dengan tinta merah: Catatan Kepala Sekolah Pertama Darussalam Lestari, 1886 Ilham menatap Saras. “Apa hubungannya dengan Arkana?” Saras menunjuk satu halaman yang usangnya nyaris rapuh. Di sana tertera foto lama: seorang anak laki-laki berdiri di tengah lima sosok berjubah hitam. Wajahnya samar, tapi posturnya, rambutnya, dan payung hitam di tangannya tak salah lagi. Itu Arkana. “Ini mustahil…” bisik Davin. Revana me

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 123 : Satu Jiwa, Dua Nafas

    Sejak kembali dari batinnya sendiri, Ilham tidak lagi merasa seperti satu orang. Di pagi hari, ia bisa merasakan pikirannya jernih, hatinya ringan, dan bayangannya mengikuti sesuai gerak. Tapi setiap malam napasnya berubah ritmenya. Seolah ada paru-paru kedua yang ikut menghirup udara di dalam dirinya. Revana pertama kali menyadarinya saat mereka belajar bersama di ruang baca. “Kau… kenapa napasmu dua kali dalam satu tarikan?” Ilham menoleh. “Maksudmu?” Revana menyentuh dadanya. “Jantungmu berdetak… dua pola yang berbeda.” Ilham menahan napas. Ia menyentuh dadanya sendiri. Dan benar detak itu tidak berirama. Seolah ada dua denyut kehidupan bertarung dalam satu tubuh. Saras dipanggil, dan setelah pemeriksaan ritual sederhana, ia hanya bisa berkata satu hal: “Kau tidak sepenuhnya kembali sendirian.” Ilham terdiam. Malam itu, ia bermimpi. Tapi ini bukan mimpi biasa. Ia melihat dirinya berjalan menyusuri lorong sekolah yang gelap, dan setiap jendela yang ia lewati menampilkan ba

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 122 : Menembus Diri Sendiri

    Ruang ritual disiapkan di dalam ruang bawah tanah yang hanya dibuka saat keadaan darurat. Di tengahnya, lingkaran simbol kuno bercahaya lemah terbuat dari darah ayam hitam, abu dari nisan pertama sekolah, dan serpihan kaca dari cermin yang pernah retak. Ilham duduk di tengah lingkaran. Tubuhnya gemetar, tapi tatapannya tajam. Revana duduk di sisi kanan, memegang manik meditasi. Saras berdiri di utara lingkaran, membacakan mantra dari Buku Bayangan Jiwa. “Raga ini kami bekukan… jiwa ini kami buka… gerbang ke dalam bukan lewat darah… tapi lewat kesadaran yang terbelah…” Perlahan, udara di ruangan berubah berat. Nafas menjadi singkat. Cahaya lilin satu per satu meredup hingga nyaris padam, menyisakan rona kemerahan seperti mata yang menyala dalam gelap. Ilham menutup matanya. Dalam benaknya, sebuah lubang hitam terbuka seperti pusaran yang menelan semua rasa. Dan ia jatuh. --- Ketika membuka mata, Ilham berdiri di ruang putih tak berujung. Tak ada dinding. Tak ada lantai. Tapi i

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 121 : Bayangan yang Menjelma

    Ilham berdiri di depan cermin kamarnya. Retakan merah di permukaannya menjalar seperti urat api, berdenyut perlahan. Ia menatap bayangannya sendiri, tapi yang kembali menatapnya adalah wajah tanpa mata. Sebuah topeng kosong meniru ekspresi, dan di sudut bibirnya tersenyum sinis. Revana masuk tergesa, napas memburu. “Ilham! Lira… dia bangun!” Tanpa kata, mereka berlari menuju ruang bawah tanah tempat tubuh Lira dirawat. Tubuh kecil gadis itu kini duduk di atas ranjang. Matanya terbuka, menatap langit-langit seperti sedang mencari sesuatu yang tidak ada. “Lira…” Ilham mendekat, berlutut di sisinya. “Kau ingat aku?” Gadis itu menoleh pelan. Dan dengan suara sangat lirih, ia berkata: “Jangan percaya pada pantulanmu…” Ruangan langsung sunyi. Ilham merasakan jantungnya berhenti sejenak. Revana menelan ludah. “Apa maksudnya, Lira?” Lira hanya menatap ke arah dinding kosong dan menggambar sesuatu di udara sebuah lingkaran dengan garis menembusnya. Simbol yang sama seperti yang munc

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 120 : Kembali dari Sela Kosong

    Udara malam menusuk tulang ketika cahaya putih dari celah dimensi menyelimuti ruang bawah tanah. Ilham, Revana, dan Davin jatuh berlutut ke lantai batu, napas mereka berat, tubuh gemetar karena dingin yang tidak berasal dari dunia ini. Di pelukan Revana, boneka kayu Lira bersinar samar. Beberapa detik kemudian, tubuh kecil muncul perlahan dari dalam cahaya Lira, utuh, dengan mata terpejam dan napas teratur. Saras menyambut mereka dengan wajah tak percaya. “Kalian berhasil…” Revana mengangguk sambil berlinang air mata. “Vara... dia tinggal. Dia memilih menebus semua dosanya.” Penjaga Gerbang Dalam menatap Lira satu kali sebelum menghilang perlahan menjadi debu cahaya, suaranya menggema: “Gerbang tertutup… untuk sementara.” Ilham berdiri goyah. “Apa maksudnya ‘sementara’…?” Tapi suara Penjaga telah lenyap. --- Dua hari kemudian, sekolah kembali tenang atau setidaknya, kelihatannya begitu. Lira dirawat di ruang medis bawah tanah. Ia belum sepenuhnya sadar, tapi jiwanya stabil.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status