Angin malam meniup tirai aula besar yang setengah terbuka. Saras berdiri membelakangi para murid yang mulai gelisah, tatapannya tertuju ke pintu utama yang perlahan terbuka tanpa disentuh siapa pun. Davin, yang berdiri di samping Saras, merasakan sesuatu menjalar di kulitnya. Seolah dunia tiba-tiba lebih berat. Langkah pertama itu datang pelan. Bayangan hitam muncul dari kegelapan. Sosok tinggi berjubah abu-abu tua, rambutnya panjang dan acak-acakan. Wajahnya setengah terbakar, kulitnya mengelupas seperti bekas luka lama yang tidak pernah sembuh. Semua murid menahan napas. Saras menggenggam tongkat perak pusaka Sekolah Tanpa Nama. “Kau siapa?” suaranya dingin dan penuh kewaspadaan. Sosok itu berhenti lima langkah dari mereka. Suaranya pelan, serak, namun jelas. “Namaku Kiram. Penjaga Gerbang Keempat yang dibuang dari takdir karena membocorkan rahasia dunia.” Saras menegang. Gerbang Keempat adalah gerbang yang hilang. Dalam seluruh dokumen yang ia pelajari selama ini, tidak sa
Malam turun perlahan, namun langit di atas Sekolah Tanpa Nama tak berwarna hitam. Awan tipis melayang keunguan, bercampur kabut aneh yang hanya muncul setiap kali warisan takdir mulai bergolak. Di kamar sempitnya, Ilham duduk bersila, matanya terpejam. Revana menyentuh dahinya dengan dua jari. “Kau ingin ingat?” tanyanya. Ilham mengangguk perlahan. “Aku tak bisa mengontrol semuanya. Tapi aku bisa membukakan pintu.” Dan saat jari Revana bersentuhan dengan kulitnya dunia runtuh. --- Ilham berdiri di sebuah ladang ilalang, langit di atasnya berwarna ungu menyala. Ia kecil, mungkin usia lima tahun. Di sebelahnya berdiri anak perempuan, rambut kepang dua, membawa boneka lusuh. “Namamu Ilham?” tanya gadis kecil itu. “Ya,” jawabnya polos. “Aku… Lira.” Ilham menatap boneka gadis itu. “Kenapa bonekamu penuh darah?” Gadis itu tersenyum. “Karena aku tak sempat menyelamatkan ayahku dari gerbang ketiga.” Ingatan itu pecah. --- Ilham terguncang saat bangun. Ia hampir terjatuh dari t
Kabut turun lebih tebal dari biasanya pagi itu. Sekolah Tanpa Nama seolah terisolasi dalam dimensi yang berbeda. Suara burung tak terdengar, dan cahaya matahari terasa muram. Sesuatu sedang mendekat… dan belum ada yang menyadarinya. Di luar pagar belakang, tepat sebelum lereng jurang, seorang anak perempuan berdiri. Tubuhnya kurus, bajunya compang-camping, rambutnya acak-acakan dan mata cokelat kelamnya tajam menatap sekolah. Ia tidak mengetuk. Tidak memanggil. Hanya berdiri. Menunggu. --- Risa yang sedang menyiram tanaman adalah orang pertama yang melihatnya. Ia mendekat perlahan, waspada. Tapi anak itu tidak bergerak, tidak berbicara. “Kamu siapa?” tanya Risa. Anak itu menatapnya, lalu menjawab lirih, “Revana.” Risa melihat ke tangannya. Tidak ada tanda bercahaya. Ia meminta untuk melihat punggungnya. Tidak ada luka api. Bahkan aura spiritual pun tidak terasa. “Dia… kosong,” gumam Risa saat melapor ke Saras. Saras menatap Revana langsung. Saat mata mereka bertemu
Pagi itu langit gelap, padahal matahari sudah lama terbit. Angin yang berhembus dari utara membawa suara-suara samar bisikan yang hanya terdengar oleh mereka yang telah menyentuh warisan. Dan salah satunya adalah Ilham. Anak itu berdiri di depan dinding tua di ruang bawah tanah sekolah, tempat yang bahkan Saras belum pernah masuki. Dinding tersebut tidak terlihat istimewa, namun Ilham merasa tertarik padanya sejak ia bermimpi tentang simbol aneh yang muncul di malam hari: dua lingkaran saling membelit, membentuk mata tak berkedip. Ia menyentuh dinding dengan telapak tangan kanan. Tiba-tiba, sebuah suara berbisik: "Apakah kau siap melihat siapa dirimu sebenarnya, Ilham?" Retakan kecil muncul di dinding, mengembang perlahan, membentuk celah cukup besar untuk tubuh kecilnya. Tanpa ragu, Ilham melangkah masuk. --- Ruangan di balik dinding bukan seperti ruang penyimpanan biasa. Tidak berdebu, tidak dingin. Di tengah ruangan berdiri cermin tinggi berbingkai emas gelap, dan di sekelil
Di atas punggung bukit di sisi barat Astavita, berdiri bangunan berbentuk segi delapan dari kayu jati dan batu vulkanik. Tidak ada papan nama, tidak ada plang, bahkan tidak tercatat dalam data pemerintah. Namun di dalamnya, puluhan anak-anak dengan mata berbeda dan tanda misterius di tubuh mereka berkumpul. Mereka adalah Dwiputra. Dan tempat ini adalah Sekolah Tanpa Nama. Dibangun dengan hati-hati oleh Saras, Davin, dan orang-orang terpilih dari Simetri, sekolah ini dirancang bukan untuk mengajarkan pelajaran dunia biasa, melainkan pelajaran tentang keseimbangan jiwa. Kelas pertama dimulai saat matahari hampir terbenam. Davin berdiri di depan lingkaran batu, dikelilingi dua puluh anak berusia antara 6 hingga 13 tahun. Masing-masing dengan tanda warisan entah cahaya di tangan kanan, atau luka samar di punggung kiri. Di tengah mereka, seorang anak laki-laki dengan kedua tanda cahaya dan luka duduk diam, menatap tanah. Namanya Ilham. Usianya 10 tahun. Satu-satunya anak yang memili
Angin pagi di Astavita membawa aroma basah tanah dan anggrek liar. Kota itu mulai kembali bernapas setelah kekacauan spiritual yang mengguncangnya selama berminggu-minggu. Tapi Saras tahu… itu hanya permukaan. Sesuatu telah berubah. Dunia telah membelah dirinya sendiri. Sejak peristiwa Karang Petak, Saras dan Davin menerima ratusan laporan dari berbagai belahan dunia. Anak-anak yang baru lahir dalam dua minggu terakhir memiliki tanda aneh di tubuh mereka sebagian memiliki simbol lingkaran bercahaya di pergelangan tangan kanan, sementara sebagian lain memiliki goresan seperti bekas luka berapi di punggung kiri. Tidak ada penjelasan medis. Tidak ada kaitan genetik. Tapi Saras mengenal pola itu. Simbol yang sama pernah muncul di tubuh Davin ketika Gerbang Keenam aktif. Dan kini, mereka muncul secara massal. --- Di laboratorium bawah tanah kecil yang dibangun di bawah rumah tua milik nenek Saras, Davin sedang menganalisis foto-foto bayi dari negara-negara yang berbeda. Dari Norwe