Share

Chapter 6

Tangguh memeriksa penampilannya sekali lagi. Sebisa mungkin menutupi luka-luka di tubuhnya dengan jaket. Kedua sikunya yang beset karena tergesek aspal, telah ia obati seadanya. Hanya saja luka di keningnya tidak bisa ia tutupi. Ia sudah mencoba mengakalinya dengan menempelkan tiga buah hansaplast sekaligus. Overall, lumayanlah. Setidaknya luka-lukanya sudah tidak terlalu kentara. Bukan apa-apa. Ia hanya tidak suka membuat ibunya khawatir. Setelah merasa penampilannya cukup baik, barulah ia mengetuk pintu.

"Astaga, kamu kenapa, Guh? Kok keningmu bisa terluka?" Belum sempat menjawab pertanyaan ibunya, aksi ibunya telah membungkam apapun alasannya. Ibunya membuka jaketnya begitu saja. Luka-luka di kedua sikunya yang tergesek aspal terlihat juga oleh ibunya. Ibunya ini memang sudah sangat hapal dengan segala tindak tanduknya. Ia tidak pernah mempercayai begitu saja ucapannya tanpa membuktikannya secara langsung.

"Jangan bilang kalau kamu habis shooting adegan-adegan berbahaya lagi di film kemarin? Ibu kan sudah berulang kali bilang kalau Ibu tidak suka kamu menjadi aktor,"

"Tidak, Bu. Tangguh kan sudah menolak kontraknya karena Ibu tidak setuju. Tangguh tadi jatuh dari motor. Tangguh tidak melihat ada lubang yang cukup besar di tengah jalan. Makanya Tangguh kehilangan keseimbangan, Bu." 

Maaf, Bu. Tangguh bohong. Tangguh luka-luka karena menolong orang.

"Ya sudah. Kamu duduk dulu. Ibu akan mengambil air hangat dan obat-obatan dulu. Lain kali kamu harus lebih hati-hati kalau sedang berkendara ya, Nak? Di dunia ini, Ibu hanya punya kamu. Kalau terjadi sesuatu padamu, Ibu bisa mati, Nak. Kamu ingat kata-kata Ibu ini baik-baik." Bu Wardah mengelus wajah rupawan putranya dengan raut wajah sedih. Sesungguhnya sudah lama ia tidak ingin hidup lagi. Ada satu masa di mana ia merasa kalau hidupnya sudah tidak berarti lagi. Hanya saja, saat mengetahui ada nyawa lain yang berbagi hidup di rahimnya, ia mengurungkan niatnya. Saat Tangguh lahir, ia tahu bahwa ia harus terus hidup, demi melindungi masa depan putranya. Ia akan melakukan apa saja, agar putranya tetap hidup dan memiliki masa depan yang baik. Tidak seperti ayahnya!

"Tangguh tahu, Bu. Ibu tidak usah khawatir. Ini cuma luka-luka kecil," Tangguh mengelus bahu ibunya. Mencoba menenangkan satu-satunya orang yang paling dicintainya di dunia.

"Kalau boleh, Tangguh ingin istirahat saja. Luka-luka ini tadi sudah Tangguh obati sendiri. Boleh, Bu?" Pinta Tangguh sopan. Bu Wardah tersenyum bangga. Hasil didikannya ternyata membuahkan hasil. Lihatlah ia bisa mendidik putranya menjadi laki-laki yang sopan dan menghargai perempuan. Tidak seperti ayahnya yang menganggap perempuan itu cuma seperti barang mainan yang bisa dibeli dan dibuang sesuka hati. Tidak selamanya genetika orang tua menurun kepada anaknya bukan? 

"Kalau menurutmu lukamu itu tidak apa-apa, boleh saja. Karena kamulah yang paling tahu kondisi tubuhmu. Tapi ingat, kalau kamu merasa tidak baik-baik saja, beritahu Ibu ya?" Bu Wardah mengalah. Selain berusaha mendidik Tangguh menjadi pribadi yang baik, ia juga belajar menjadi ibu yang baik. Ia tidak pernah memaksakan keinginannya pada putranya. Kecuali untuk satu hal. Ia punya alasan kuat untuk itu. 

Tangguh mengangguk. Ia memang letih sekali. Semalaman begadang mengurus para pengacau di club membuat kepalanya pusing. Belum lagi memikirkan nasib Gerhana yang tertangkap basah oleh kakak dan atasannya. Walau ia sudah mencoba segala cara untuk mengenyahkan bayangan wajah pucat bocah itu, tetapi tetap tidak berhasil. Wajah imut itu tidak bisa lepas dari benaknya. Dan semua bebannya itu ditambah dengan menolong bocah nakal itu dari resiko kecelakaan pada pagi harinya. Tubuh lelahnya sampai terasa remek semua. Ia perlu tidur untuk memulihkan kondisi tubuhnya.

Tangguh membuka pintu kamar. Menjatuhkan tubuh ke kasur tipis sederhana. Tempat tidurnya ini bersejarah karena ia sendiri yang membuatnya. Tempat tidur yang umum tidak cukup untuk tingginya yang di atas rata-rata. Sewaktu remaja dulu, ia harus menekuk kakinya atau membiarkannya menggantung di atas ranjang. Ia sempat mengeluh pada ibunya. Ia menanyakan mengapa tubuhnya sangat jangkung dan rambutnya coklat. Kornea matanya juga berwarna seperti madu gelap. Tidak seperti ibunya. Jawaban ibunya singkat saja. Katanya ia mirip dengan ayahnya. Saat pertanyaan ia kembangkan dengan menanyakan keberadaan ayahnya, ibunya hanya mengatakan bahwa ayahnya sudah tiada. Dulu ia percaya seratus persen dengan kata-kata ibunya. Sampai pada suatu hari secara tidak sengaja ia mendengar pembicaraan ibunya dengan seseorang di telepon. Ia baru tahu kalau ibunya berbohong. Ayahnya masih hidup. Hanya saja ayahnya sudah tidak menginginkan ibunya lagi. Semenjak hari itu, ia sangat membenci ayahnya. Bagaimana mungkin seorang suami membuang istrinya begitu saja hanya karena bosan? Seperti barang saja. Laki-laki yang tidak menghargai perempuan tidak pantas disebut sebagai seorang laki-laki. Karena apa? Karena bahkan sumber kehidupannya pun tidak ia hormati. Apalagi yang lain bukan? Pikirannya kembali melayang pada pembicaraan terakhirnya dengan Barda. Lagi-lagi mereka berbeda pendapat. Menurut Barda ia terlalu sombong untuk ukuran orang melarat.

"Beneran nih lo nolak dijadiin pemeran utama? Lo ini bodoh atau bagaimana sih, Guh? Sampai berapa lama lo mau jadi stuntman terus? Yang ngelakuin adegan berbahaya itu lo. Yang beset-beset juga lo. Tapi yang dielu-elukan orang itu aktornya. Mereka nggak pernah tahu tentang keberadaan lo. Lo kadang bodohnya suka bikin gue emosi tau nggak? Lagian ya, masih gantengan lo ke mana-mana dibandingin sama aktor utamanya. Muka lo ini muka komersil, Guh. Bule-Indo! Coba sekali-kali lo dengerin nasehat gue, Guh. Lo pasti bakalan berhasil. Jangan sombong nggak menentu begini. Lo ini udah melarat, sombong lagi!

Pertengkarannya dengan Barda kembali terbayang-bayang di benaknya. Bukannya ia menolak dijadikan pemeran utama. Ia juga butuh uang banyak. Hanya saja ia sudah berjanji pada ibunya untuk tidak menerima tawaran dari rumah produksi film itu. Ibunya tidak suka ia menjadi aktor. Selama ini ia hanya menjadi seorang stuntman. Karena wajahnya tidak pernah terlihat, ibunya tidak pernah mengetahui mengenai pekerjaan sampingannya ini. Hanya saja menjadi stuntman itu bayarannya tentu saja jauh di bawah pemeran utamanya. Sementara ia butuh banyak dana untuk memulai usaha kecil-kecilannya. Ia ingin mendirikan agency khusus untuk para stuntman. Dengan begitu ia bisa mengangkat kehidupan para preman dan anak-anak jalanan yang mahir bela diri tetapi tidak mempunyai wadah yang tepat. Ia ingin agar orang-orang pinggiran seperti mereka ini berharga diri dan mempunyai penghasilan yang halal. Untuk itulah ia bekerja keras dan berusaha mengumpulkan pundi-pundi uangnya agar bisa mewujudkan keinginan terpendamnya. Untuk orang kecil seperti dirinya, cita-citanya itu sederhana. Ia hanya ingin membantu teman-temannya berharga diri dengan bekerja. Bukan hidup dengan cara memalak dan memeras. Semoga saja cita-citanya ini kelak menemukan jalannya sendiri. Aamiin.

==================================

Gerhana sedang sibuk mendesain gambar proyek baru dengan Computer Aided Design atau CAD. Ia berusaha menuangkan idenya dalam bentuk gambar yang fungsional, aman namun tetap modern dan estetis. Segenap kemampuan yang ia punya, ia maksimalkan. Namun keseriusannya terganggu saat Selena masuk dengan tergopoh-gopoh ke ruangannya. Air mukanya panik. Pasti ada sesuatu yang tidak beres dalam pekerjaaan mereka. Ia jadi ikut panik juga.

"Gawat, Na. Tiang pancang proyek apartemen kita yang terbaru ambruk Na! Owner dan orang-orangnya sekarang ada di bawah. Mereka nyalahin design lo yang katanya nggak memperhatikan keselamatan. Ayo lo cepetan ke bawah. Bagas, Bayu, Rico, Pak Hamzah dan orang-orang dari divisi II udah duluan ke ruangan meeting. Pak Abizar ngamuk-ngamuk, Na. Bisa dipecat semua kita semua, ntar!" 

Tanpa banyak bicara lagi, ia segera berlari ke arah lift diikuti oleh Selena. Ia tidak mengerti mengapa bisa terjadi hal sefatal ini. Padahal sewaktu mendesignnya, ia sudah memperhitungkan segalanya secara matang. Termasuk masalah keamanan salah satunya. Pasti ada yang salah pada saat mengeksekusi bangunannya. Seharusnya orang-orang dari proyek lapangan juga harus dihadirkan. 

Suasana tegang langsung terasa saat ia masuk ke ruang meeting. Wajah-wajah cemas Bayu, Rico, Bagas dan Pak Hamzah seketika menatapnya dengan ekspresi antara cemas dan kasihan. Ada apa ini sebenarnya? Saat pandangannya bersirobok dengan Ramzi, manager proyek divisi II, entah mengapa ia seperti melihat ada kepuasan di kedua matanya. Dari saat pertama ia menginjakkan kaki di kantor ini, Ramzi sudah memperlihatkan sikap anti pati terhadapnya. Hanya saja ia tidak tahu, hal apa yang mendasari sikap tidak simpatik Ramzi. Anak-anak divisi II juga sudah duduk tegang semua. Sepertinya mereka semua tinggal menunggu eksekusi saja.

Satu orang lagi yang menatapnya dari sudut mata adalah Antonio Brata Kesuma, anak dari Om Sergio Brata Kesuma. Owner dari tiang pancang apartemen yang ambruk. Terhadap Antonio yang berasal dari klan Brata Kesuma, ia juga tidak begitu suka. Antonio ini sombong sampai ke partikel syarafnya. Sangat berbeda dengan Om Sergio dan Tante Tari. Karena semua kursi sudah terisi, dengan sangat terpaksa ia menempati kursi di samping Antonio. 

"Bagaimana ini semua bisa terjadi, Na? Bukannya kamu sudah menyatakan kalau design kamu clear sebelum diserahkan pada team divisi II? Bagaimana bisa terjadi kelalaian sampai separah ini?" 

Suara dingin namun sarat emosi Abizar singgah di telinganya. "Bisa saya lihat tiang pancang yang ambruk itu sebelum saya memberi penjelasan? Saya tidak bisa mengatakan apa-apa kalau tidak melihat kerusakannya." 

"Kamu ingin melihat sejauh mana kerugian yang kamu akibatkan pada proyek saya, Hana? Baiklah? Silahkan kamu lihat baik-baik hasil kinerja kamu yang briliant itu?" Sindiran Antonio terasa begitu menohok karena diucapkan di ruang meeting di mana banyak telinga lain yang ikut mendengarnya. Gerhana diam saja. Ia berusaha menjaga moodnya. Tidak baik kalau ia sampai kehilangan sikap profesionalnya karena emosi.

Dalam diam ia memperhatikan Antonio menghubungkan laptopnya ke proyektor hingga memunculkan slide-slide gambar tiang pancang beton yang ambruk. Ia menghela napas kesal. Dengan sekali pandang saja, ia tahu letak kesalahannya ada di mana. Begitu juga dengan semua team divisi I. Pandangan mereka serentak mengarah pada Ramzi sebagai manager proyek yang menanggung jawabi kontruksi di lapangan.

Gerhana berdiri dan menghampiri proyektor. "Setelah saya melihat gambar-gambar ini, kesimpulannya hanya satu. Terdapat kesalahan dalam pemasangan tiang pancang beton. Lihatlah fondasi tiang pancang ini," Gerhana menunjuk beberapa bagian pada gambar di proyektor.

"Tidak ada proteksi lereng di sini. Dengan cuaca yang akhir-akhir ini terus hujan, menjadikan fondasi lembek. Kesannya tiang pancang dibangun tanpa perhitungan yang memadai. Seharusnya sebelum memasang tiang pancang manager proyek harus melakukan beberapa  tahap pengecekan. Seperti mengetest kedalaman tanah, pemilihan material yang sesuai, hingga pengukuran titik sesuai gambar dan mendirikan alat teodolit yang terdiri dari dua unit, dan dipasangkan dari dua arah untuk memastikan posisi tiang pancang berdiri tegak hingga elevasi kedalaman yang sudah diperhitungkan,"

"Maksud kamu saya yang salah begitu?" Ramzi memotong penjelasannya. Terlihat sekali ia tidak senang ditelanjangi seperti ini. Ada amarah dan kebencian yang memancar dari bola matanya. Ia pasti tidak menyangka kalau ia berani terang-terangan menunjuk kesalahannya kali ini.

"Saya tidak bilang begitu Pak Ramzi. Karena dalam hal ini, semua hal saling berkesinambungan. Semua orang-orang yang ada dalam divisi II bertanggung jawab di dalamnya. Saya kan hanya seorang arsitek. Saya mendesign sesuai dengan keinginan Pak Antonio. Masalah teknis yang terjadi di lapangan, itu di luar kuasa saya." Tukas Gerhana tegas. Kalau ia salah, ia akan mengakuinya dengan besar hati. Dan kalau tidak, ia akan membuktikannya dengan temuan-temuannya di lapangan. Segala sesuatu pasti ada benang merahnya. 

"Begini saja. Karena semua sudah terlanjur terjadi. Mulai hari ini saya ingin kamu sebagai arsitek, ikut serta ke lapangan selama pembangunan kontruksi ini. Begitu juga dengan saya sebagai client sekaligus owner proyek ini. Saya ingin kamu bisa dimintai pendapat sewaktu-waktu agar hal-hal seperti ini tidak perlu terjadi lagi. Bagaimana, Hana? Kamu bersedia?" Tanya Antonio seraya menatap matanya dalam. Ada tantangan tak terucap dibalik tajamnya tatapan yang sedari tadi terus ia layangkan. Bukan ia takut. Hanya saja ia tidak nyaman berdekatan dengan si sombong Antonio ini. Apalagi ditambah dengan kehadiran Ramzi sebagai manager proyek. Makin seperti di nerakalah ia nanti di lapangan.

"Job desk Gerhana kan hanya mendesain gambar, bukan sampai harus ikut-ikutan ke lapangan. Lagi pula--"

"Setahu saya pimpinan di sini itu masih Pak Abizar. Anda itu hanya seorang drafter Pak Bagas. Anda tidak punya kapasitas untuk bersuara di sini. Belum pantas tepatnya." Seperti inilah salah satu sifat Antonio yang paling tidak ia sukai. Angkuh dan tidak pernah menenggang perasaan orang lain. Makanya ia tidak pernah menyukai keponakan Tante Ibell ini.

"Sebagai pimpinan perusahaan, saya setuju kalau Gerhana akan ikut ke lapangan. Sebagai bentuk tanggung jawab saya, saya juga akan turun langsung mendampinginya dalam mengawasi jalannya kontruksi," Gerhana menghela napas lega. Dengan adanya Abizar di sana, setidaknya ia ada pembela. 

"Meeting hari ini saya nyatakan selesai. Semua boleh ke ruang kerja masing-masing, kecuali Pak Ramzi. Ada banyak hal yang harus kita luruskan di sini." Tajamnya tatapan Abizar pada Ramzi mengindikasikan bahwa akan ada sanksi yang akan diterima oleh Ramzi. Abizar itu terkenal tidak menyukai keteledoran. Apalagi jika kemudian keteledoran itu coba dikambing hitamkan pada orang lain. Gerhana ragu apakah Ramzi masih bisa menjabat sebagai kepala proyek divisi II lagi. Abizar itu sadis!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status