Share

Chapter 5

"Tapi--tapi---" Gerhana tergagap. 

"Tidak ada kata tetapi. Bukannya tadi kamu bilang kalau kamu itu selalu dididik menjadi orang yang bertanggung jawab? Ini adalah saat yang paling tepat untuk membuktikan semua omonganmu."

Tangguh berjalan cepat melewati rombongan muda-mudi yang baru saja masuk. Malam minggu seperti ini club memang sedang ramai-ramainya. Pekerjaannya pasti menumpuk malam ini. Kalau sudah mabuk biasanya mereka ini cenderung suka membuat keributan. Dimulai dari saling pandang dan tidak sengaja tersenggol, bisa menjadi pemicu perkelahian. Dan tugasnyalah meredam semua kemungkinan-kemungkinan buruk itu. Sebaiknya ia mengurus bocah ini secepatnya dan segera kembali ke sini.

Saat melewati beberapa laki-laki yang sedang hang over, ia menepis tangan-tangan jahil yang berniat untuk menyentuh Gerhana. Mata-mata penuh nafsu juga memandangi bocah ini dengan penuh minat. Walaupun memakai overall jeans, tapi kaus putihnya cukup ketat. Ia membuka jaket kulitnya dan memakaikannya sembarang ke tubuh Gerhana. Kedatangannya ke sini membuatnya repot saja. Untungnya bocah ini tidak banyak protes. Ia merentangkan tangannya begitu saja saat ia memakaikan jaketnya. Persis seperti anak-anak. 

Gerhana sebenarnya tidak sadar saat Tangguh memakaikan jaket padanya. Ia sedang tidak fokus. Kepalanya penuh dengan rencana memikirkan cara melarikan diri dari Tangguh. Ia takut kalau Tangguh benar-benar mengantarkannya pulang dan bertemu dengan kakaknya. Makanya ia manut saja saat dipakaikan jaket. Ia memang sering menerima perlakuan seperti ini dari ayah atau ibunya. Semakin mendekati pintu keluar, ia semakin cemas. Berbagai macam kemungkinan berseliweran dalam benaknya.

"Orang tua saya tidak ada di rumah, Bang. Percuma saja Abang mengantar saya pulang. Ini, terima saja amplop ini dan urusan kita selesai sampai di sini," Gerhana mencengkram pergelangan tangan Tangguh dan kembali menjejalkan amplop ke tangannya. Sepertinya ia sudah terlalu lama menghabiskan waktu di tempat ini. Kalau ia tidak segera pulang, takutnya ia keduluan oleh Mas Guruh. Masalah pasti akan melebar kalau kakaknya sampai mengetahui insiden tabrakannya. Sebelum Tangguh bereaksi, ia segera berlari menuju pintu keluar. Terserah uang itu mau diapakan oleh Tangguh. Yang penting misinya sudah selesai. 

"Aduhhh!" Gerhana mendesis kesakitan. Karena berlari-lari kecil, kening benjolnya menabrak bahu seseorang. Nyerinya bukan kepalang. Ia juga nyaris jatuh terjengkang kalau seseorang tidak segera memegangi bahunya. Ia sampai tidak bisa bersuara. Keningnya berdenyut-denyut nyeri.

"Kamu tidak apa-apa, Bocah? Sini, biar saya lihat dulu luka kamu," suara Tangguh dekat sekali dengan telinganya. Berarti Tangguhlah yang tadi menahan bahunya. Baik juga dia.

"Tidak usah, Bang. Saya sudah mau pu--"

"Gerhana!"

"Nana? Ngapain kamu di sini? Dan jaket siapa itu yang kamu pakai?!"

"B--Bang Abizar... M--Mas Guruh!" Gerhana merasa darahnya tersirap saat melihat atasan dan kakaknya sekaligus ada di depannya. Rupanya bahu Abizarlah yang berbenturan dengan keningnya. Ia sampai tidak bisa berbicara saking kagetnya.

"Saya--Nana--" Gerhana tidak tahu pertanyaan siapa yang harus duluan ia jawab. Otaknya ngeblank. Kalau bertemu dengan Abizar, memang sempat terlintas di benaknya. Kemungkinan itu ada mengingat club ini adalah milik omnya. Tetapi kakaknya? Setitik debu pun ia tidak mempunyai dugaan ke arah itu. Padahal justru bertemu kakaknyalah hal yang paling tidak ia inginkan. Karena kalau kakaknya tahu, kedua orangnya pasti juga tahu. Alamat habislah ia dihukum. Belum lagi kemungkinan kendaraannya akan di sita seperti waktu ia SMU dulu. Entah mengapa akhir-akhir ini nasib buruk selalu menghampirinya. 

"Kemari!!" Gerhana meringis saat pergelangan tangannya ditarik kencang oleh kakaknya menuju pintu keluar club. Habislah ia kali ini!

"Sudah mulai berani nakal kamu sekarang ya? Sepertinya ayah dan ibu harus mengetahui kelakuanmu ini. Kamu bahkan sudah berani membohongi Mbok Wati. Tadi sewaktu Mas menelepon ke rumah, Mbok Wati bilang kalau kamu mau menjenguk orang sakit. Mana orang sakitnya? Lagi ngedance atau lagi teler?!" Bahu Gerhana tersentak. Bentakan kakaknya membuatnya kaget. Matanya berair. Seumur-umur kakaknya tidak pernah membentak-bentaknya seperti ini. Apalagi di depan orang banyak.

"Nana nggak bohong, Mas. Maksud Nana--" 

Gerhana tidak tahu harus mulai bercerita dari mana. Ia kebingungan diinterogasi tanpa persiapan seperti ini. 

"Sudah ketahuan seperti ini kamu masih juga berani bohong, hah!" 

"Adik Anda tidak berbohong. Ia memang akan menjenguk orang sakit. Dan orang sakitnya itu adalah ibu saya. Jaket yang ia pakai adalah jaket saya. Pakaian adik Anda tadi basah ketumpahan minuman,"

Tangguh merasa sudah saatnya ia mengambil alih tanggung jawab. Ia tidak tega melihat Gerhana ketakutan seperti ini. Setiap bahu kecilnya bergetar, ada rasa tidak nyaman di hatinya. Itu memang tidak bisa melihat bentuk penindasan dalam bentuk apa pun. Pengalaman masa kecilnya dipenuhi dengan berbagai macam bentuk penindasan baik fisik mau pun psikis. 

"Anda siapa dan ada urusan apa dengan adik saya?" Guruh menatap tajam seorang laki-laki sangar tattoan yang tiba-tiba berdiri di hadapan adiknya. Ia tidak menyukai pemandangan ini. Ia laki-laki. Instingnya mengatakan ada sesuatu dari cara laki-laki ini melindungi adiknya.

"Nama saya Tangguh dan saya adalah bouncer di club ini. Beberapa hari lalu adik Anda tidak sengaja menyerempet gerobak martabak ibu saya,"

"Jadi gerobak martabak yang kamu serempet beberapa hari yang lalu itu, gerobak ibunya Tangguh, Na?" Abizar memandang Gerhana yang hanya menganggukkan kepala. Wajahnya masih tampak pucat dan matanya basah. Sepertinya gadis ini masih shock. Kasihan juga. Guruh itu orangnya jarang marah. Tapi sekalinya naik pitam, ya seperti inilah jadinya. Mengenai Tangguh, tentu saja ia mengenalnya. Tangguh adalah salah satu bodyguard handal kesayangan Om Axel. Mesin pembunuh paling mengerikan yang selalu ada digaris depan. Setiap ada operasi berbahaya, Tangguh paling bisa diandalkan. Bukan hanya karena ia paling mumpuni beladiri. Tetapi karena ia juga tidak takut mati.

"Pagi itu adik Anda sedang terburu-buru. Ia hanya memberikan kartu namanya pada saya dan berpesan kalau ada apa-apa, saya boleh menghubunginya. Tadi saya menelepon adik Anda untuk bertemu dengan saya di sini, sebelum menjenguk ibu saya. Itulah kejadian yang sebenarnya. Dan ini," Tangguh memperlihatkan amplop putih di tangannya.

"Ini adalah biaya perbaikan gerobak martabak sekaligus biaya pengobatan yang diberikan oleh adik Anda. Itulah kejadian yang sebenarnya. Adik Anda tidak bohong." Tukas Tangguh tegas. 

Gerhana termangu. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Tangguh bersedia menutupi kebohongannya. Apalagi mengambil alih dosanya dengan cara seheroik ini. Tangguh berbohong untuk menutupi kebohongannya. 

"Berhubung saya sudah menerima ini," Tangguh memukul-mukul pelan amplop di tangannya dengan gaya menjengkelkan. "Maka saya rasa sebaiknya kamu tidak perlu menjenguk ibu saya lagi, Bocah. Karena yang saya butuhkan itu uang. Bukan perhatian. Karena perhatian sebesar apa pun itu, tidak akan bisa membayar biaya perbaikan gerobak dan juga biaya rumah sakit ibu saya. Urusan kita selesai sampai di sini. Permisi semuanya." Tangguh membalikkan tubuhnya. Meninggalkan kakak beradik dan keponakan boss besarnya. Urusannya dengan bocah itu sudah selesai. Sudah ada kakak dan bossnya yang akan menjaganya. Sebenarnya ia tadi bukan benar-benar ingin mengadukan bocah ini pada ayahnya. Itu hanyalah alasan untuk mengusirnya pulang.

"Tunggu dulu!" Seru Guruh. Tangguh menghentikan langkahnya. 

"Saya minta maaf karena adik saya telah merugikan dan mencelakai ibu Anda, dan--" Guruh membuka jaket kulit kedodoran yang dikenakan asal-asalan oleh Gerhana. "Ini, ambil kembali jaket Anda." Guruh menghampiri Tangguh. Mengembalikan jaketnya. "Urusan Anda dan adik saya cukup sampai di sini saja. Mengerti?" Guruh memperingatkan Tangguh secara terang-terangan. Ia tidak ingin ada pertemuan-pertemuan tidak penting lainnya antara adiknya dengan bouncer ini. Bukannya ia memandang rendah profesi orang. Hanya saja ia tidak ingin mempunyai adik ipar seorang preman. Apalagi kedua orang tuanya.  Semua orang orang tua pasti menginginkan hal terbaik bagi anaknya bukan?

"Tenang saja. Saya tidak akan mengkhususkan diri untuk menemui adik Anda. Hanya saja, saya bukan pemilik semesta ini. Segala sesuatu yang terjadi secara kebetulan di dunia ini, itu di luar kuasa saya. Permisi." Tangguh melanjutkan langkahnya menuju kios rokok di pinggir jalan. Ia merasa mulutnya asam karena sudah terlalu banyak berbicara. Biasanya ia hanya mengeluarkan kata seperlunya. Kepalan tangannya lebih banyak berbicara mewakili mulutnya. Selain itu ada sesuatu hal yang harus ia bereskan secepatnya. Penampakan Jaka yang terus bersembunyi seperti seekor tikus di kios rokok, telah menjawab rasa penasarannya. Siapa lagi yang membocorkan tempat kerjanya pada bocah itu kalau bukan Jaka? Untuk ukuran seorang preman, Jaka memang terlalu polos. Ia juga selalu tidak tegaan. Hatinya lemah seperti agar-agar. Menyedihkan!

==================================

Gerhana merasa ada yang salah saat melihat mobilnya tidak ada di garasi. Padahal semalam ia masih memarkirkannya dengan rapi. Apa kakaknya meminjam mobilnya? Rasa-rasanya tidak mungkin. Guruh itu orangnya tidak suka dengan segala sesuatu yang berlebihan. Mengingat warna mobilnya yang merah menyala, Guruh pasti ogah memakainya. Kakaknya itu kerap sakit mata setiap melihat warna mobilnya. Gerhana bergegas masuk kembali ke dalam rumah. Mencari Mbok Wati. Setiap ada perubahan sekecil apa pun di rumah ini, tidak akan terlewatkan dari pengamatannya. Ia menemukan Mbok Wati tengah mencuci piring bekas sarapan.

"Mbok, mobil Nana kok nggak ada? Di pinjem Mas Guruh ya? Tapi mobil Mas Guruh juga tidak ada? Eh dipakai Mang Yahya ya? " Gerhana menebak-nebak sendiri. Yang pasti mobilnya tidak mungkin hilang. Maling akan susah melewati penjagaan ketat keamanan rumahnya. Apalagi kalau yang dicuri itu mobil. Sepertinya agak mustahil.

"Mobil Non Nana disita Mas Guruh. Sedang diungsikan di tempat yang aman katanya. Mulai hari ini setiap Non Nana mau kerja, harus di antar Mang Yahya atau naik taksi online. Begitu tadi perintah Mas Guruh, Non." 

Gerhana langsung lemas. Itu artinya mulai hari ini ia tidak akan bisa ke mana-mana sendirian lagi. Kakaknya sudah mengikat kakinya. Dan ia juga tidak tahu sampai kapan mobilnya akan dikembalikan. Apa boleh buat, ia memang salah. Semua kesalahan harus ada konsekuensinya bukan? Ia melirik pergelangan tangannya. Pukul 07.30 pagi. Setengah jam lagi ia harus tiba di kantor. Kalau telat, Abizar pasti akan mengomelinya.

"Ya sudah, Nana berangkat sekarang saja. Mang Yahyanya mana, Mbok?" 

"Paling ngobrol sama Kang Entis di pos depan. Non Nana susulin aja ke sono." Gerhana mengangguk toh ia memang tidak punya pilihan lain. Dan seperti inilah paginya. Di antar pulang dan pergi bekerja seperti anak TK. Tidak ada lagi privacy dalam hidupnya. 

Baru saja tiba di kantor, OB memberikan sebuah amplop putih padanya. Ada seseorang yang baru saja menitipkannya pada Satpam kantor. Tanpa melihat isinya, ia tahu pasti amplop itu berasal dari Tangguh. Preman sombong satu ini memang keras kepala! Saat OB mengatakan bahwa pengirimnya masih berada di Pos Satpam, ia segera menghambur keluar. Memangnya cuma Tangguh saja yang bisa keras kepala. Ia juga bisa!

Gerhana melihat Tangguh baru saja keluar dari Pos Satpam. Punggung lebar dan tattonya mudah dikenali. Ia meneriakkan nama Tangguh, tapi sepertinya preman sombong itu tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar. Sialan! Gerhana terpaksa berlari mengejarnya hingga ke ujung jalan.

"Bang Tangguh!" Ia menarik lengan Tangguh dengan kesal. Hanya gara-gara sebuah amplop saja ia sampai repot begini. Semalam kan Tangguh sudah mengakui kalau ia menerima uangnya. Jadi ia tidak terima kalau uangnya dikembalikan. Seperti anak-anak saja.

"Ngapain kamu terus mengikuti saya? Nanti kakakmu mengira kalau saya mencari kesempatan untuk menemui kamu lagi?" Seru Tangguh kesal. Ia sengaja menitipkan amplop pada security demi menghindari bocah ini. Tetapi bocah ini malah mengejarnya sampai ke ujung jalan ini. Benar-benar cari masalah!

"Abang kemarin kan sudah setuju untuk menerima uang ini. Jadi saya tidak sudi mengambilnya kembali. Nih! Ambil lagi uangnya. Mau Abang buang kek, Abang bakar kek, suka hati Abang. Pokoknya saya tidak mau menerimanya kembali!" 

Tangguh menghitung sampai sepuluh. Benar-benar ini bocah menyusahkan. Baiklah, seperti yang ia mau. Terserah uang ini akan ia apakan. Pandangannya tertumbuk pada seorang kakek-kakek tua yang membawa karung beras. Sepertinya kakek ini seorang pemulung. Tanpa banyak bicara ia memberikan amplopnya pada si kakek yang seketika mengucapkan kata terima kasih banyak berulang kali. Tangguh menatap Gerhana dengan tatapan menantang. Ia ingin mendengar tanggapannya. Hanya saja gadis itu tidak memandangnya. Ia hanya memandang pada satu titik sebelum berlari kencang kembali ke arah kantor. 

Tangguh menatap ngeri saat melihat sebuah mobil melaju kencang dari perempatan jalan menuju ke arah Gerhana. Tanpa berpikir panjang ia ikut berlari mengejar Gerhana dan mendorongnya ke tepi jalan. Jeritan ngeri bercampur decitan ban yang direm mendadak sejenak membuat kepalanya pening. 

Hampir saja! 

Suara-suara langkah kaki yang mendekat dan orang-orang yang berbicara secara bersamaan membuat napasnya sesak. Ia seakan-akan pernah mengalami peristiwa ini. Suara-suara bernada amarah dalam bahasa yang tidak ia mengerti menyerbu benaknya. Tangisan ibunya, bentakan suara laki-laki terngiang-ngiang di kepalanya. Ia nyaris muntah!

"Bang, Abang nggak apa-apa?"

"Kamu, mulai hari ini enyahlah dari saya! Kehadiran kamu selalu saja membuat saya sial. Pergi!" 

Gerhana ternganga. Tangguh kalau dalam mode diam, memang menyeramkan. Tetapi sosoknya jauh lebih mengerikan jikalau ia marah. Sebaiknya memang ia menjauhi laki-laki ini. Kedekatan mereka berdua memang selalu penuh insiden. Bukan hanya Tangguh yang sial, ia juga!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status