Waktu telah menunjukkan pukul dua belas siang, tapi Gerhana dan Bagas masih berkutat dengan desain dan hitungan-hitungan perencanaan struktur bangunan. Kertas-kertas gambar bertebaran. Penuh coretan sebagai tanda akan adanya revisi besar-besaran. Divisinya memang memang merevisi habis-habisan desain gambar akibat kontruksi yang rubuh kemarin. Masalah tanah yang lembek, debit air, proteksi lereng, ia perhitungkan dengan matang sesuai dengan permintaan Pak Antonio kemarin. Seharusnya proyek apartemen ini dipegang oleh anak-anak divisi II di bawah kepemimpinan Ramzi. Namun karena Ramzi telah dipecat secara tidak hormat oleh Abizar, team divisi II pun bubar jalan. Alhasil team divisi I lah yang maju, di bawah kepemimpinan Abizar langsung sebagai kepala proyek. Makanya sekarang divisinya sibuk bukan kepalang. Bayangkan saja, teamnya memegang dua proyek besar secara bersamaan.
"Lo besok beneran mau ikut ke proyek, Na?" Bagas membuka pembicaraan disela-sela kesibukan revisi. Gerhana menganggukkan kepalanya seraya terus mencorat- coret gambar. Mau bagaimana lagi. Dari pada perusahaan mendapat penalty karena dianggap melanggar perjanjian, lebih baik ia mengalah. Toh orang-orang terlibat dari divisinya juga.
"Sebenernya lo bisa nolak kan? Lo kan cuma arsitek. Bukan bagian perencanaan dan kontruksi. Emang sih kehadiran lo diperlukan untuk mengecek kondisi lapangan sesekali. Tapi kan nggak setiap hari begini. Kehadiran lo bisa diwakilkan oleh gue. Jatuh-jatuhnya kok gue merasa lo itu kayak dikerjain Pak Antonio." Sebagai teman yang baik, Bagas tetap menasehati Gerhana. Bukan apa-apa, ia hanya tidak suka melihat adanya bentuk penindasan terselubung. Dari pertama bertemu saja, ia sudah merasa kalau Pak Antonio itu bersikap terlalu berlebihan terhadap Gerhana. Pak Antonio bahkan menciptakan satu kondisi di mana Gerhana dipersalahkan atas segala sesuatu di luar tanggung jawabnya. Sementara bocah lugu ini sama sekali tidak peka terhadap modus-modus terselubung seperti ini.
"Gue penasaran. Lo pernah ngapain itu Pak Antonio sampai dia kayak antara dendam dan cinta gitu sama lo?" Tanya Bagas lagi. Ia belum puas kalau belum menemukan titik terang kecurigaannya.
"Dendam dan Cinta? Kok jadi kayak judul sinetron?" Gerhana terbahak. Sepertinya Bagas ini cocoknya menjabat sebagai seorang JUPER di kepolisian. Tingkat kekepoannya di luar batas rata-rata manusia.
"Seinget gue sih, gue kagak pernah tuh nyenggol dia. Cuma ya, klan Brata Kesuma kan emang rata-rata reseh sih. Suombong dan belagu. Lo belum ke temu Graciela, adik perempuan Pak Antonio. Wah parah rah rah belagunya. Kecuali bokapnya si Antonio sih. Om Sergio mah baik. Lucu lagi. Hehehe." Gerhana membalas sambil lalu pertanyaan Bagas. Perhatiannya kini tercurah pada laptop yang masih menyala. Ia sedang membuat rendering dua dimensi untuk menunjukkan atribut yang akan ia usulkan dalam presentasi nanti. Ia menggunakan perangkat lunak tiga dimensi agar hasilnya semakin optimal.
"Duileh, lo bedua masih getol aja kerja udah jam segini. Ayo kita makan dulu, Na, Bagas." Pintu ruangan terbuka. Menghadirkan kepala Selena yang melonggok dari balik pintu. "Lo duluan aja, Len. Gue ntar-an aja. Lagi nanggung." Mendengar jawabannya Selena hanya menunjukkan jempolnya dan menutup kembali daun pintu. Ia tahu kalau Gerhana sedang serius, ia tidak suka diganggu. Gerhana meminta pendapat Bagas soal beberapa sketsa dasar. Bagas mendekati laptop dan memperhatikan bagian-bagian yang ditunjuk oleh Gerhana. Kepala mereka saling berdekatan saat memperhatikan satu objek gambar. Saking seriusnya bekerja mereka sampai tidak mendengar pintu ruangan yang dibuka dan ditutup kembali.
"Saya memberikan tanggung jawab kepada divisi I dengan harapan mendapatkan hasil yang maksimal. Kalau ternyata individu-individunya malah sibuk berpacaran seperti ini, saya tidak yakin kalau proyek ini akan selesai tepat waktu."
Anjay... Pak Antonio sudah nongol lagi aja. Sepertinya kantor mereka akan terus ia satroni selama proses kontruksi. Punya boss modelan Abizar saja bisa membuat stroke dini, apalagi ditambah dengan Pak Antonio. Pasti bisa membuatnya terserang meningitis.
"Memangnya kita sedang pacaran ya, Gas?" Tanya Gerhana kesal. Ia sengaja menyindir Pak Antonio dengan bertanya sarkas pada Bagas.
"Kalau melihat coretan kertas gambar berikut teman-temannya di sini sih, tidak. Kalau seseorang mata batinnya bersih, ia pasti tahu kalau kita ini sedang bekerja keras. Saking kerasnya kita sampai belum sempat makan siang," balas Bagas tak kalah getas. Bagas ini modelnya memang seperti ini. Kalau ia tidak salah, jangan harap ia akan mengalah. Tetapi kalau sudah menyangkut masalah loyalitas dan totalitas dalam bekerja, dua jempol patut diacungkan padanya. Makanya Abizar tetap mempertahankannya walau tajam mulutnya memang di atas rata-rata.
"Oh, jadi kamu belum sempat makan siang? Kalau begitu, ayo ikut saya mengisi perut dulu. Kebetulan saya juga belum makan. Selain itu ada beberapa hal menyangkut masalah pekerjaan yang ingin saya diskusikan denganmu,"
"Baiklah, kalau Bapak memaksa," Gerhana membereskan mejanya. "Ayo Gas, kita makan dulu. Mumpung ada yang menraktir, lo bisa makan sampai semua sisi-sisi perut lo penuh." Bisik Gerhana lirih di telinga Bagas.
"Saya hanya mengajak kamu saja. Ada etikanya, jika kita diajak oleh seseorang, tidak sopan jika kita mengajak orang lain juga," Gerhana menghitung sampai lima dalam hati. Pak Antonio ini sudah sombong, eh ngomongnya nyelekit lagi. Ia jadi tidak enak dengan Bagas.
"Biarkan saja drafter kamu ini menunjukkan etos kerjanya sebagai staff yang loyal pada perusahaan. Siapa tahu dia akan segera dipromosikan oleh Pak Abizar menggantikan Pak Ramzi." Sambungan kata-kata Pak Antonio membuat Bagas mendengus.
"Iya, Na. Lo ikut aja sama Pak Antonio ini. Gue sih ogah kalau cuma dijadiin obat nyamuk di tengah-tengah orang yang lagi usaha. Kuping gue suka gatel-gatel kalau mendengar nada-nada berbau modus." Balasan Bagas tidak kalah pedasnya. Sebelum perseteruan bertambah panjang, Gerhana segera berjalan keluar ruangan. Menghindari saling jual beli kata Pak Antonio dan Bagas. Kalau tidak segera dipisah besar kemungkinan mereka akan meneruskan perseteruan dengan kepalan tangan. Namanya juga laki-laki. Pantang disenggol egonya.
Lima menit kemudian mereka telah meluncur menuju salah satu restaurant yang dipesan via telepon oleh Pak Antonio. Ternyata Pak Antonio membawanya ke restaurant terkenal yang terkenal bisa membuat kantong koyak dalam sekali makan. Namaaz Dining di daerah Senopati. Selain mahal, penyajian makanan di sini juga unik bin aneh. Karena menggunakan teknik Gastronomi Molekuler, menu-menu di restauran ini ada yang bisa meledak sendiri, berbentuk abstrak hingga super aneh. Ia bisa jantungan makan di sini. Bayangkan, ia pernah kaget saat makan Carica. Manisan asli Dieng Wonosobo yang mengeluarkan busa seperti detergen saat ia siram dengan air lemon. Ada juga menu kue clorot khas Bali yang dibuat dalam kemasan lipstick. Bayangkan, lipstick! Dan anehnya lagi, lipsticknya ini bukan hanya bisa dimakan, tapi juga bisa digunakan seperti lipstick biasa karena ada pewarna merahnya. Sebenarnya ia tidak suka makan di tempat seperti ini. Tidak worth it menurutnya. Sudah mahal, makannya jantungan, eh porsinya sedikit lagi. Tapi ini sifatnya subjektif ya? Menurutnya pribadi. Tapi bagi food hunter, tempat ini pasti memuaskan rasa ingin tahu mereka.
Setengah jam kemudian mereka telah sampai di lokasi. Saat Gerhana melihat tukang parkirnya yang berteriak heboh maju, mundur, kanan kiri balas, ia tertawa seketika. Dunia ini kecil ternyata. Karena tukang parkirnya adalah Bang Jaka. Preman bertubuh Rambo namun berhati Rinto. Bang Jaka langsung menepuk keningnya saat melihatnya turun dari mobil. Gerhana auto nyengir.
"Etdah, lo lagi... lo lagi. Kenapa hidup gue muter-muter terus di lo, bocah? Mana gue selalu sial lagi kalo ketemu lo." Omelan Jaka semakin melebarkan cengirannya.
"Ahelah si Abang kok suudzon terus sih sama saya. Emangnya kapan dan di mana saya membuat Abang sial? Abang tau nggak kalau menuduh tanpa bukti itu disebut fitnah. Abang bisa dilaporkan ke polisi karena melanggar pasal 311 ayat 1 KUHP tentang fitnah." Goda Gerhana lagi. Entah mengapa ia suka sekali mencandai Jaka. Bagi orang yang tidak mengenalnya, mungkin mereka akan takut apabila melihat wajah sangar dan tubuh besarnya. Tetapi jika mereka sudah mengetahui kepribadiannya, Jaka ini sesungguhnya baik dan peka. Penampilan memang bisa menipu.
"Fitnah apaan? Lo lupa kapan hari gue ngasih tau lo tempat kerjanya si Tangguh. Nah karena gue takut ntar lo dimacem-macemin orang di sana, gue tungguin lo di kios rokok Cang Sueb. Jaga-jaga kalo lo di mangsa orang. Eh rupanya ketahuan sama si Tangguh. Nih liat, jadi dendeng balado gue dihajar si Tangguh," Jaka menunjuk hidung dan pipi kanannya yang memar. Bagaimana ini bisa lo bilang fitnah?" Sembur Jaka kesal. Yang benar saja. Ia sudah berbuat baik malah mau diadukan ke polisi. Dasar bocah!
"Ck! Jahat amat ya si Tangguh. Sadis!" Gerhana pura-pura prihatin pada Jaka dan menjelek-jelekkan Tangguh. Maksudnya agar Jaka senang karena ada pembela.
"Kagak lah. Tangguh mah orangnya baik budi, kagak jahat. Emang gue yang salah juga sih kadang kagak bisa ngerem mulut gue. Cuma yaitu, kadang gue suka kelepasan kalo ngomong sama lo, bocah. Akhirnya malah gue sendiri yang susah. Lo mau makan kan? Ya udah sono masuk. Ntar lama-lama lidah gue nyelip lagi." Jaka mengusirnya halus. Gerhana hanya tertawa geli. Lihatlah sesungguhnya preman ini baik hati.
"Ayo masuk, Hana. Untuk apa kamu meladeni orang seperti ini?" Pak Antonio menunjuk Jaka dengan dagunya.
Masuk, Pak Eko!
"Orang seperti ini?" Jaka menunjuk dirinya sendiri. "Emangnya gue seperti apa?" Tanyanya kebingungan. Jaka ini memang polos. Gerhana buru-buru menarik lengan Pak Antonio. Ia takut nanti Jaka tersinggung dan mereka berdua baku hantam alih-alih makan. Pak Antonio pasti jadi perkedel jika digebuk oleh Jaka yang memang menjadikan perkelahian sebagai olah raga. Lama-lama Gerhana merasa harus menjadi wasit terus setiap kali Pak Antonio membuka mulut besarnya.
"Orang yang tidak selevelnya dengan kami." Tukas Antonio kalem.
Lah, malah dijelasin. Kacau ini mah. Kacau!
"Emangnya lo level berapa?"
Lah, makin melebar ke mana-mana.
"Maksud orang ini, dia tidak sama derajatnya dengan kita, Jak..Dia itu orang kaya sementara kita miskin." Tangguh keluar dari tempat persembunyiannya.
Ia memang mengelola perparkiran di daerah ini dan beberapa kawasan lainnya. Sebenarnya ia ingin menghindari Gerhana begitu ia melihat bocah ini turun bersama dengan seorang executive muda. Ia tidak ingin berurusan lagi dengan bocah itu. Hanya saja ia tidak tega melihat Jaka terus menjadi bulan-bulanan executive muda ini. IQ Jaka memang kurang begitu baik. Ditambah ia juga kurang berpendidikan, menjadikannya rentan bully-an yang sifatnya non verbal dari orang-orang yang mengaku cerdas. Sikap seperti itu menurutnya sangat tidak bermoral. Menghina orang yang mempunyai keterbatasan, sesungguhnya lebih hina dari orang yang dihinanya sendiri. Kaya harta, miskin akhlak.
"Oh... jadi maksud lo kita ini berbeda karena gue ini miskin sementara lo kaya? Eh tatakan gelas, walau gue miskin tapi gue kan kagak pernah minta makan sama lo." Jaka langsung panas. Terlahir miskin dan yatim piatu menjadikannya sensitif terhadap hinaan mengenai nasibnya. Gerahamnya gemererak. Kepalan tangannya gemetar. Betapa ingin ia meremukkan mulut sombong laki-laki perlente ini. Hanya saja ada Tangguh di sini. Tangguh selalu mengatakan kalau kita boleh miskin harta, tapi tidak miskin akhlak. Boleh emosi tapi harus bisa mengendalikan diri. Kalau tidak mengerti apa maksud pembicaraan orang lain, sebaiknya diam. Kecuali kalau seseorang itu menyerang duluan. Masalahnya laki-laki sombong ini tidak memukul-mukulnya sedari tadi. Bagaimana ia bisa menyerang besarnya itu bukan?
"Saya tidak bilang begitu. Tapi Anda yang mengucapkannya sendiri. Kejujuran memang sering kali menyakitkan bukan?" Gerhana meremas-remas kedua tangannya. Ia kebingungan berada di antara tiga laki-laki yang memendam kemarahan dengan cara masing-masing. Wajah Jaka sudah berubah ungu saking emosinya. Sedangkan Tangguh dan Antonio, berbeda. Ekspresi keduanya datar. Sulit menerka apa yang ada di dalam hati mereka berdua.
"Jak, itu ada tamu yang mau keluar. Tolong lo atur dulu parkirannya." Tangguh mengusir Jaka secara halus. Walau Jaka ini sesungguhnya berhati halus, tapi kalau sudah tersinggung, ia bisa mengamuk seperti banteng. Kalau sudah sampai pada taraf seperti itu, sulit untuk meredamnya. Setelah Jaka mendengus kasar namun mengikuti juga perintah Tangguh, barulah Tangguh beraksi.
"Jaka dan orang-orang seperti kami ini memang berada di bawah level Anda saat ini. Tapi kan Anda tidak perlu juga menghinanya. Hidup ini bersifat dinamika. Bergerak dari waktu ke waktu. Jaka hari ini memang hanya seorang tukang parkir. Tapi 20 tahun lagi, mungkin ia sudah menjadi seorang pengusaha. Siapa tahu bukan? Wallahualam. Sebaliknya Anda yang hari ini berbangga diri sebagai seorang boss besar, jangan lupa, suatu waktu bisa saja posisi ini menjadi terbalik. Bung, menertawakan nasib orang lain adalah sebuah kenistaan. Hidup ini penuh dengan misteri. Bahkan mungkin saja hari esok bukan lagi milik kita. Karena itu untuk apa menyombongkan diri?" Kalimat demi kalimat yang dilontarkan Tangguh membuat Gerhana tidak enak hati. Tangguh memang tidak melawan dengan kalimat penyangkalan yang meledak-ledak. Ia santun, namun tegas. Gerhana salut akan kedewasan dan pengendalian dirinya. Untuk ukuran seorang preman, Tangguh terlalu pintar. Saat Tangguh membalikkan tubuh, Gerhana sontak meraih pergelangan tangannya. Langkah Tangguh terhenti. Tapi ia sama sekali tidak membalikkan tubuhnya. Gerhanalah yang mengitarinya.
"Bang, saya minta maaf ya?" Tangguh menggelengkan kepalanya. "Kamu tidak salah. Kemiskinan kami bukan kesalahanmu, bukan juga kesalahan temanmu," Tangguh merogoh saku celananya. Ragu-ragu mengeluarkan sesuatu yang sudah beberapa hari ini terus ia bawa-bawa.
"Ini pita rambut merah mudamu yang waktu itu lepas dan jatuh di club. Sudah saya rekatkan dengan karet rambut yang baru. Mudah-mudah masih bisa kamu gunakan." Gerhana tergugu. Ternyata Tangguh masih mengingat pita rambutnya yang lepas. Tangguh bahkan memperbaikinya. Setitik debu pun ia tidak menduganya.
"Oh ya, nanti setelah makan siang, segera kembali ke kantor. Abizar itu orangnya disiplin seperti Om Axel. Kalau kamu berlama-lama di luar, nanti kamu bisa dipecat."
Halah Guh, bilang aja lo nggak nyaman melihat ini bocah berduaan dengan orang songgong itu. Ngeles aja lo kayak bajaj Bang Juri!
Tiga bulan kemudian.Gerhana tidak mampu menahan isak tangis saat ijab kabul baru saja berakhir. Sungguh ia tidak sanggup menahan air mata saat melihat ayahnya menangis. Ayahnya, Jendral Badai Putra Alam memalingkan wajah saat mendengar dirinya telah sah menjadi istri Tangguh. Ayahnya bahkan langsung meninggalkan keriuhan acara, dan berjalan menuju kebun belakang. Gerhana tau, ayahnya tidak ingin seorang pun melihatnya menangis."Na, tunggu di sini sebentar ya? Abang mau menyusul ayahmu. Abang ingin berbicara sebagai sesama laki-laki, biar ayahmu tenang. Abang sangat mengerti perasaan ayahmu." Gerhana hanya sanggup mengangguk saat Tangguh ingin menyusul ayahnya. Ada baiknya kalau Tangguh yang lebih dulu menemui ayahnya. Setelahnya barulah ia meyakinkan ayahnya, kalau semuanya akan tetap baik-baik. Baik ia telah menikah ataupun tidak, ayahnya akan selalu ada di hatinya.Tangguh menemukan jendral Badai duduk termenun
"Kita sudah sampai, Dek." Tangguh merasakan satu tepukan ringan di bahunya. Perlahan Tangguh membuka mata. Ia masih mengalami jet lag parah setelah belasan jam berada di atas pesawat. Setelah meregangkan otot-ototnya yang kram, Tangguh memandang rumah besar di hadapannya. Seperti ini rupanya rumah masa kecilnya. Walaupun ia masih belum bisa mengingat secara jelas, namun ada lintasan potongan-potongan kejadian di benaknya. Seperti tangga kayu berukir yang bisa dibuat bermain seluncuran, hingga karpet merah berbulu tebal di ruangan kerja yang dindingnya penuh dengan senjata. Bau amis! Tangguh mendadak bisa mencium aroma amis darah! Astaga, apa yang sedang di pikirkannya? Tangguh menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berusaha mengenyahkan ingat tidak menyenangkan itu dari benaknya. Mungkin itu hanya mimpi masa lalunya."Lo kenapa, Dek? Pusing? Ya udah kita istirahat saja dulu. Lo pasti kena jet lag." Geraldo mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon seseorang. Se
"Gue nggak nyangka, kalau akhirnya akan ipar-iparan dengan lo, Na." Soraya menatap Gerhana antusias. Setelah sekian lama tidak bersinggungan dengan orang-orang di masa lalunya, Soraya tidak mengira akan bertemu dengan Gerhana. Sungguh, ia sangat malu apabila mengingat tingkah lakunya dulu. Oleh karena itulah ia sengaja menghilang. Ia ingin menjadi manusia baru. Tetapi jujur, ada kegembiraan di hatinya, kala bertemu dengan orang-orang di masa lalunya. Bagaimanapun ia pernah melalui hari-hari indah bersama dengan orang-orang yang dikasihinya. Istimewa dengan kedua orang tua angkatnya. Terkadang jikalau rasa rindu itu muncul, ia berusaha menekannya dalam-dalam. Ia tidak mau mengusik hidup Keira dan Keisha. Ia sudah merebut kasih sayang ayah kandung mereka berdua hampir 24 tahun lamanya. Sekarang biarlah mereka berdua menerima limpahan kasih sayang ayah kandung mereka yang baru mereka ketahui."Apalagi Nana, Mbak. Setitik debu pun Nana tidak pernah menduganya.
"Ibu ingin langsung pulang atau singgah ke tempat lain lagi?" tanya Iwan sopan.Bu Wardah yang sedari tadi sibuk dengan ponsel pintarnya, menghentikan kegiatannya sejenak."Sebentar ya, Wan? Ibu akan menelepon seseorang dulu," sahut Bu Wardah santai. Sekarang ia sudah tenang dalam mengatur strategi. Ia sudah tidak takut pada apapun lagi. Jujur, kini ia malah menikmati permainan ini. Toh masalah hidup mati seseorang itu sudah ada yang mengatur bukan? Makanya ia sekarang bersikap nothing to lose saja.Bu Wardah menekan beberapa nomor yang sudah sangat ia hapal luar kepala. Dulu ia akan sangat ketakutan jika mendapati nomor ini di layar ponselnya. Tapi sekarang keadaan berbalik. Ia dengan percaya diri sengaja menghubungi nomor tersebut."Hola juan. Cómo estás?" (Halo Juan. Apa kabar?)"Donde estas ahora, maldita chica!" (Di mana ka
"Tolong Pak Polisi, biarkan anak saya menemui ayahnya sebentar saja. Ini adalah hari ulang tahunnya. Tolonglah Pak Polisi. Saya harap Bapak masih memiliki sedikit hati nurani.""Tidak bisa, Bu. Sesuai dengan prosedur kami, Pak Lopez harus segera dibawa ke kantor polisi. Pak Lopez bisa menunjuk seorang pengacara apabila ingin membela diri.""Tolonglah, Pak. Sebentar saja. Saja janji, setelah putra saya meniup lilin dan ayahnya mengucapkan selamat ulang tahun, Pak Polisi boleh membawa Pak Lopez pergi. Saya mohon, Pak. Saya mohon.""Baiklah, Bu. Atas dasar kemanusiaan, saya izinkan Pak Lopez menemui putranya. Saya mempertaruhkan kehormatan dan jabatan saya, demi memenuhi permohonan Ibu ini. Tolong, jangan hianati kepercayaan saya.""Mengapa Ibu memperdaya saya? Ibu membantu Pak Lopez melarikan diri 'kan? Apakah Ibu tau, perbuatan Ibu ini akan membuat saya dan seluruh tim saya terkena Sanksi Pelanggaran
Tangguh sedang menyusun bantal agar Gerhana nyaman bersandar, saat pintu kamar tiba-tiba terbuka. Antonio Brata Kesuma. Tangguh menarik napas panjang. Mempersiapkan hati dan pikiran agar mampu meredam kericuhan yang tidak perlu. Demi Tuhan, Gerhana baru selamat dari kasus penembakan. Ia tidak ingin kalau pacarnya ini harus menjadi saksi lagi dalam kasus perkelahian. Makanya ia akan mencoba memanjangkan sabar dalam menghadapi si pencari kesempatan ini."Bagaimana keadaan kamu, Na?" Antonio mendekati sisi ranjang. Menarik satu kursi dan duduk sedekat mungkin dengan Gerhana. Ia sama sekali tidak mempedulikan kehadiran Tangguh. Ia menganggap Tangguh sebagai mahkluk tak kasat mata. Ada tetapi tidak ada. Toh memang tidak ada pentingnya juga."Saya sekarang sudah baik-baik saja, Pak. Sebentar lagi juga akan pulih seperti sedia kala. Doakan saja ya, Pak?" sahut Gerhana sopan. Ia merasa tidak enak pada Tangguh karena Antonio tidak menganggapnya sama