Share

Bab 16

Penulis: Zhar
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-20 08:25:54

Surya masih belum pulih dari guncangan batinnya ketika ia kembali merunduk di parit. Nafasnya berat, tangannya tanpa sadar menggenggam pistol. Matanya kosong, seakan pikirannya masih tersangkut di pertempuran tadi.

“Surya! Hei, Surya!”

Suara Okta membuyarkan lamunannya.

“Oh!” Surya tersentak, menoleh cepat.

“Ada kabar apa? Jangan bikin penasaran,” desak Okta tidak sabar.

Surya menarik napas panjang lalu berkata pelan, “Aku diangkat jadi komandan regu.”

“Komandan regu? Serius? Kau jadi pemimpin regu sekarang?” Mata Okta melebar, dan beberapa prajurit yang duduk di parit langsung menoleh.

Surya mengangguk.

“Wah, bagus itu!” Okta berdiri tegak, memberi hormat dengan senyum lebar. “Komandan regu, kami menunggu perintahmu!”

Ia lalu melambaikan tangan ke arah prajurit lain. “Kalian dengar? Mulai sekarang, Surya komandan kita!”

Beberapa prajurit tampak ragu, wajah mereka jelas belum sepenuhn
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 19

    Di sisi lain, dua regu lainnya sudah kembali ke pos pertahanan dengan membawa air untuk melapor. Tugas itu sebenarnya berjalan cukup lancar. Setelah selesai mengambil air, hanya satu orang yang gugur dan dua lainnya luka-luka dari kedua regu. “Ada apa sebenarnya?” Komandan peleton, Pak Purwanto, mondar-mandir gelisah. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya ia tak tahan. “Marjono!” perintah Purwanto, “Cepat kau lihat apa yang terjadi dengan Regu Satu!” Marjono, seorang pengawas regu dua, kurus tinggi dengan kaki jenjang yang membuatnya lebih cepat dari kebanyakan prajurit lain. Ia bukan kurir, tapi karena keadaan mendesak, ia segera berlari menuju barak dengan senapan di punggung. Tak lama kemudian ia kembali, wajahnya pucat dan terkejut. “Komandan! Tidak ada seorang pun di sana, Regu Satu hilang semua!” “Bagaimana bisa?!” tanya Purwanto kaget. “Aku juga tidak tah

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 18

      Bunker jurangjati itu sebenarnya dibangun Belanda jauh sebelum perang, untuk menyimpan logistik dan perlengkapan militer. Setelah Jepang masuk, lalu kemudian Republik berdiri, bangunan itu sempat terlupakan, nyaris tak terurus.   Ketika serangan Belanda mendadak melanda, banyak pasukan militer yang terpukul mundur. Malik teringat cerita seorang veteran tentang bunker lama yang katanya masih berisi perbekalan.   Konon, sebelum Jepang datang, pernah ada sejumlah besar amunisi dan logistik yang belum sempat dipindahkan. Karena malam keburu larut dan pejabat gudang sedang berada di kota, truk penuh muatan itu hanya dititipkan di bunker jurangjati untuk sementara. Tidak ada yang tahu bahwa gudang itu masih menyimpan persediaan… sampai kemudian pasukan Republik yang tersisa mundur ke daerah itu. Sayangnya, pada saat itu jumlah mereka tinggal segelintir.   Namun dengan Surya di sini, ia tak ingin sejarah terulang dengan sia-sia.

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 17

    Tak lama kemudian Surya menyadari bahwa persoalan yang dihadapinya jauh lebih pelik daripada sekadar serangan musuh. Malam itu, jatah makan hanya berupa ubi rebus yang porsinya bahkan lebih sedikit dibanding siang hari. Sebagai tambahan, tiap orang hanya mendapat sepotong kecil biskuit lapangan, selebar tiga jari. Kalau mulutnya besar, sekali lahap pun habis. “Masih ada makanan lain?” Surya akhirnya tak kuasa menahan diri. “Kita semua kelaparan!” Saat baku tembak berlangsung, mungkin tubuh masih kuat ditopang adrenalin, lapar seakan tak terasa. Namun, ketika suasana sedikit mereda dan otot-ototnya mulai rileks, rasa perih di perut langsung menyerang. Surya bahkan tak peduli soal rasa. Seandainya juru masak sanggup memberinya segentong ubi rebus hambar sekalipun, ia rela menghabiskannya. “Kalau ada tambahan bahan makanan, tentu saya bisa memasak lebih banyak,” jawab si juru masak sambil mengangkat bahu. Para prajurit menangg

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 16

    Surya masih belum pulih dari guncangan batinnya ketika ia kembali merunduk di parit. Nafasnya berat, tangannya tanpa sadar menggenggam pistol. Matanya kosong, seakan pikirannya masih tersangkut di pertempuran tadi. “Surya! Hei, Surya!” Suara Okta membuyarkan lamunannya. “Oh!” Surya tersentak, menoleh cepat. “Ada kabar apa? Jangan bikin penasaran,” desak Okta tidak sabar. Surya menarik napas panjang lalu berkata pelan, “Aku diangkat jadi komandan regu.” “Komandan regu? Serius? Kau jadi pemimpin regu sekarang?” Mata Okta melebar, dan beberapa prajurit yang duduk di parit langsung menoleh. Surya mengangguk. “Wah, bagus itu!” Okta berdiri tegak, memberi hormat dengan senyum lebar. “Komandan regu, kami menunggu perintahmu!” Ia lalu melambaikan tangan ke arah prajurit lain. “Kalian dengar? Mulai sekarang, Surya komandan kita!” Beberapa prajurit tampak ragu, wajah mereka jelas belum sepenuhn

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 15

      Ketika Surya masuk ke pos komando, petugas kesehatan sedang merawat luka Mayor Wiratmaja. Noda darah merah merembes dari pelipis sang mayor, sangat jelas terlihat di balik perban putihnya.   “Mayor!” Surya berdiri dan memberi hormat.   Mayor Wiratmaja menyipitkan mata, mengangguk kecil, lalu berkata, “Kerja bagus, Surya! Namamu Surya, ya? Aku ingat betul, kan?”   “Ya, Mayor!” jawab Surya mantap.   “Kami berhasil menangkap beberapa serdadu Belanda yang tersesat,” kata Mayor Wiratmaja. “Informasi yang mereka berikan persis seperti yang kau katakan. Serangan utama tentara Belanda datang melalui jalur sungai, didukung kapal patroli dan senjata berat. Mereka bergerak cepat untuk merebut jalur logistik kita. Berkat laporanmu, serangan mereka bisa kita patahkan.”   Surya tidak bicara. Dalam hati ia tahu, Belanda memang terkenal dengan serangan mendadak, terutama dalam Agresi Militer. Dalam sejarah, mereka bisa menembus kota-kota besar han

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 14

    Tiga tank Belanda terbagi ke kiri, tengah, dan kanan untuk melindungi serangan infanteri. Saat itu, tank di sisi kanan berhasil dihancurkan oleh Surya, menciptakan celah besar.Momentum itu dimanfaatkan. Jarak antara pasukan republik dan serdadu Belanda kini kurang dari seratus meter. Pada jarak sedekat itu, pertempuran jarak dekat menjadi keuntungan pejuang republik yang terbiasa bertarung dengan bayonet, golok, dan bambu runcing.Mayor Wiratmaja tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia mengacungkan pistolnya tinggi-tinggi dan berteriak lantang:“Kawan-kawan! Ikut aku! Maju demi republik!”“MERDEKA!” teriak para pejuang, lalu melompat keluar dari parit. Dengan bayonet, bambu runcing, dan semangat membara, mereka menyerbu ke arah serdadu Belanda, melewati Surya dan reruntuhan tank yang masih membara.Pertempuran jarak dekat pun pecah brutal, berdarah, tanpa ampun.Surya sendiri tidak langsung bangkit. Tenaganya sudah hampir habis, lututnya gemetar, napasnya tersengal. Hatiny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status