LOGINTak lama kemudian Surya menyadari bahwa persoalan yang dihadapinya jauh lebih pelik daripada sekadar serangan musuh.
Malam itu, jatah makan hanya berupa ubi rebus yang porsinya bahkan lebih sedikit dibanding siang hari. Sebagai tambahan, tiap orang hanya mendapat sepotong kecil biskuit lapangan, selebar tiga jari. Kalau mulutnya besar, sekali lahap pun habis. “Masih ada makanan lain?” Surya akhirnya tak kuasa menahan diri. “Kita semua kelaparan!” Saat baku tembak berlangsung, mungkin tubuh masih kuat ditopang adrenalin, lapar seakan tak terasa. Namun, ketika suasana sedikit mereda dan otot-ototnya mulai rileks, rasa perih di perut langsung menyerang. Surya bahkan tak peduli soal rasa. Seandainya juru masak sanggup memberinya segentong ubi rebus hambar sekalipun, ia rela menghabiskannya. “Kalau ada tambahan bahan makanan, tentu saya bisa memasak lebih banyak,” jawab si juru masak sambil mengangkat bahu. Para prajurit menanggJadi, medan perang bukan hanya tentang meriam dan pesawat tempur saja, tetapi juga pertarungan tersembunyi antara para komandan dari kedua belah pihak... Misalnya, pertempuran ini lebih merupakan adu kecerdikan dan keberanian antara Kolonel Van Kleijs dari pihak Belanda dan Wiratmaja dari pihak Republik. Mayor Wiratmaja segera menyampaikan pemikiran dan rencana taktisnya kepada Jenderal Sudirman. Jenderal Sudirman yang sejak tadi gelisah akhirnya mengangguk pelan setelah mendengarkan analisis itu. Ia sadar bahwa pemikiran Wiratmaja masuk akal. Maka, ia segera memerintahkan pemindahan satu kompi pasukan tank buatan sendiri dari sisi timur kota, satuan tank dan besi bekas yang mereka samarkan seolah-olah bagian dari Divisi Panser Republik ke-9. Tidak sulit untuk melakukannya. Karena pasukan mekanik Republik ke-9 memang hasil gabungan dari berbagai unit laskar dan tentara reguler. Untuk menyamarkannya, cukup dengan mencampur berbagai kendara
Keesokan paginya, gemuruh dan ledakan peluru mengguncang garis pertahanan di sekitar Yogyakarta. Tentu saja, peluru-peluru itu tidak mengancam langsung posisi di garis pertahanan kedua, termasuk gudang senjata tempat pasukan Republik Indonesia berlindung. Pengeboman Belanda terfokus pada ranjau-ranjau di depan garis pertahanan dan benteng-benteng yang dikuasai pasukan Republik. Bahaya sebenarnya datang dari langit. Di tengah deru mesin pesawat, semua prajurit secara refleks mendongak ke arah langit, meski mereka tahu tindakan itu takkan menghentikan bom yang jatuh. Tiba-tiba, jeritan melengking terdengar suara sirene khas yang dipasang Belanda pada bom mereka, mirip sirene pertahanan udara, namun jauh lebih mengerikan. Semua tahu, saat suara itu terhenti, bom akan menghantam tanah. Ledakan keras menggema dengan suara "boom", namun jaraknya cukup jauh, dan titik-titik ledakan tersebar. Surya tahu apa yang terjadi. Hujan dera
Medan perang di sekitar Yogyakarta menjadi sepi untuk beberapa saat pada hari berikutnya. Namun, sebenarnya suasana tak bisa dikatakan benar-benar tenang. Suara tembakan sesekali terhenti, lalu bergema kembali, disusul oleh suara propaganda yang menggema dari pengeras suara milik Belanda: "Wahai rakyat Indonesia, kalian telah dikepung oleh kami! Perjuangan kalian sia-sia, menyerahlah sekarang!" "Rakyat Indonesia, pikirkanlah penderitaan dan malapetaka yang dibawa oleh para pemimpin kalian. Kami datang untuk membebaskan kalian. Bangkitlah dengan gagah berani dan gulingkan penindasan itu! Kami menawarkan keamanan dan kebebasan. Kalian tidak perlu berjuang untuk perbudakan. Rakyat Indonesia, kalian berjuang untuk..." Sejujurnya, kalimat terakhir itu sangat merusak bagi semangat perjuangan rakyat Indonesia. Alasannya, sebagian rakyat mulai merasa jenuh dengan perjuangan melawan penjajah, dan kata-kata propaganda
Surya dan para prajurit hanya bisa menunggu dalam kegelapan gudang, dengan perintah ketat untuk tidak berbicara, terutama kepada pasukan penjaga. Belakangan, Surya baru tahu bahwa penjaga pun tidak diberi tahu apa yang terjadi. Mereka juga diperintahkan untuk diam, dan jika ada prajurit yang berusaha kabur dari gudang, mereka diperbolehkan menembak mati. Kehidupan seperti ini terasa seperti libur bagi para prajurit. Sudah lama mereka tidak menjalani hari-hari yang begitu santai. Saat makan, seseorang mengantarkan roti, kentang tumbuk, dan jika beruntung, sepotong kecil sosis suatu kemewahan langka bagi pasukan Republik yang biasanya hidup prihatin. Mereka tidur di lantai gudang, dan urusan kenyamanan diselesaikan dengan deretan jamban sementara di sudut gudang. Soal mandi, prajurit Republik umumnya tidak terlalu memikirkannya. Di sisi lain, Jenderal Van Kleijs, komandan Grup Lapis Baja ke-1 Belanda, menerima laporan penting. Ajudannya men
Surya berhasil menebak dengan tepat, bahwa Pasukan Mekanis ke-9 telah dipecah dan diisolasi menjadi unit-unit divisi. Divisi Bermotor ke-131, tempat Surya bertugas, ditempatkan di barisan gudang untuk menyimpan perbekalan. Barang-barang di gudang telah lama dipindahkan ke Yogyakarta dan disimpan secara tersebar demi keamanan. Setelah agresi militer Belanda di Yogyakarta berakhir, semua pihak menyadari bahwa barang-barang berharga ini tidak boleh dibiarkan begitu saja di lapangan terbuka. Jika dibiarkan, musuh dapat dengan mudah menghancurkannya, seperti yang terjadi pada gudang di Benteng Ngawi. Pintu-pintu gudang terkunci rapat, dan jendela-jendelanya telah dipaku dengan papan kayu oleh penjaga dari luar. Di dalam, suasana gelap hanya diterangi oleh putaran kipas angin besar yang masih beroperasi, dengan bayang-bayang orang-orang tampak melintas di sela-sela bilah kipas, menciptakan pantulan cahaya yang berputar-putar. Sem
Wajar jika rakyat memiliki keraguan seperti itu. Karena ini Yogyakarta, mereka memiliki sikap yang meragukan terhadap pusat komando di Jakarta. Tetapi itulah yang diinginkan Surya... Jika hal itu dapat menciptakan tingkat kepanikan tertentu di kalangan penduduk, mata-mata Belanda akan lebih yakin bahwa Tentara Republik akan menarik pasukan mereka dari Yogyakarta. Yang tidak diketahui Surya adalah bahwa perlawanan pertama terhadap rencana ini datang dari orang-orangnya sendiri dan bukan dari musuh... tetapi ini tampaknya menjadi hal biasa di kalangan Tentara Republik. Pertama, panglima tertinggi Front Barat Daya menelepon Komando Angkatan Darat Front Barat Daya. “Apa yang terjadi?” tanya Jenderal Soerjo: “Saya dengar Anda telah menarik unit tank Anda ke tepi timur? Anda harus tahu satu hal, Kamerad Sudirman, perintah Jakarta adalah untuk tetap teguh!” “Saya tahu, Kamerad Jenderal!” jawab Jendera







