LOGINDesersi tidak bisa dihindari.
Hal itu sudah diperkirakan oleh Surya maupun Mayor Wiratmaja sejak awal. Takut mati adalah naluri manusia. Banyak pejuang republik masih bertahan di markas hanya karena mereka yakin bala bantuan militer dari luar kota akan segera datang. Ada pula yang berkhayal: bertahan sedikit lama lagi, nanti bisa pulang dengan kepala tegak, dianggap pahlawan. Itu lebih banyak pikiran sang instruktur politik ketimbang kenyataan di lapangan. Begitu kabar tak ada bala bantuan makin jelas, sebagian mulai goyah. Situasi kali ini lebih parah: bukan hanya tak ada bala bantuan, bahkan rencana tempur mereka telah bocor ke pihak Belanda. Dan lebih buruknya lagi, mereka tak bisa seenaknya mengganti rencana, karena semua jalur lain sudah tertutup. Dengan kondisi seperti itu, melarikan diri pun sama artinya dengan menyerahkan diri ke tiang eksekusi. Namun tetap saja, ada yang nekat. Mayor Wiratmaja sudah menduKeesokan paginya, gemuruh dan ledakan peluru mengguncang garis pertahanan di sekitar Yogyakarta. Tentu saja, peluru-peluru itu tidak mengancam langsung posisi di garis pertahanan kedua, termasuk gudang senjata tempat pasukan Republik Indonesia berlindung. Pengeboman Belanda terfokus pada ranjau-ranjau di depan garis pertahanan dan benteng-benteng yang dikuasai pasukan Republik. Bahaya sebenarnya datang dari langit. Di tengah deru mesin pesawat, semua prajurit secara refleks mendongak ke arah langit, meski mereka tahu tindakan itu takkan menghentikan bom yang jatuh. Tiba-tiba, jeritan melengking terdengar suara sirene khas yang dipasang Belanda pada bom mereka, mirip sirene pertahanan udara, namun jauh lebih mengerikan. Semua tahu, saat suara itu terhenti, bom akan menghantam tanah. Ledakan keras menggema dengan suara "boom", namun jaraknya cukup jauh, dan titik-titik ledakan tersebar. Surya tahu apa yang terjadi. Hujan dera
Medan perang di sekitar Yogyakarta menjadi sepi untuk beberapa saat pada hari berikutnya. Namun, sebenarnya suasana tak bisa dikatakan benar-benar tenang. Suara tembakan sesekali terhenti, lalu bergema kembali, disusul oleh suara propaganda yang menggema dari pengeras suara milik Belanda: "Wahai rakyat Indonesia, kalian telah dikepung oleh kami! Perjuangan kalian sia-sia, menyerahlah sekarang!" "Rakyat Indonesia, pikirkanlah penderitaan dan malapetaka yang dibawa oleh para pemimpin kalian. Kami datang untuk membebaskan kalian. Bangkitlah dengan gagah berani dan gulingkan penindasan itu! Kami menawarkan keamanan dan kebebasan. Kalian tidak perlu berjuang untuk perbudakan. Rakyat Indonesia, kalian berjuang untuk..." Sejujurnya, kalimat terakhir itu sangat merusak bagi semangat perjuangan rakyat Indonesia. Alasannya, sebagian rakyat mulai merasa jenuh dengan perjuangan melawan penjajah, dan kata-kata propaganda
Surya dan para prajurit hanya bisa menunggu dalam kegelapan gudang, dengan perintah ketat untuk tidak berbicara, terutama kepada pasukan penjaga. Belakangan, Surya baru tahu bahwa penjaga pun tidak diberi tahu apa yang terjadi. Mereka juga diperintahkan untuk diam, dan jika ada prajurit yang berusaha kabur dari gudang, mereka diperbolehkan menembak mati. Kehidupan seperti ini terasa seperti libur bagi para prajurit. Sudah lama mereka tidak menjalani hari-hari yang begitu santai. Saat makan, seseorang mengantarkan roti, kentang tumbuk, dan jika beruntung, sepotong kecil sosis suatu kemewahan langka bagi pasukan Republik yang biasanya hidup prihatin. Mereka tidur di lantai gudang, dan urusan kenyamanan diselesaikan dengan deretan jamban sementara di sudut gudang. Soal mandi, prajurit Republik umumnya tidak terlalu memikirkannya. Di sisi lain, Jenderal Van Kleijs, komandan Grup Lapis Baja ke-1 Belanda, menerima laporan penting. Ajudannya men
Surya berhasil menebak dengan tepat, bahwa Pasukan Mekanis ke-9 telah dipecah dan diisolasi menjadi unit-unit divisi. Divisi Bermotor ke-131, tempat Surya bertugas, ditempatkan di barisan gudang untuk menyimpan perbekalan. Barang-barang di gudang telah lama dipindahkan ke Yogyakarta dan disimpan secara tersebar demi keamanan. Setelah agresi militer Belanda di Yogyakarta berakhir, semua pihak menyadari bahwa barang-barang berharga ini tidak boleh dibiarkan begitu saja di lapangan terbuka. Jika dibiarkan, musuh dapat dengan mudah menghancurkannya, seperti yang terjadi pada gudang di Benteng Ngawi. Pintu-pintu gudang terkunci rapat, dan jendela-jendelanya telah dipaku dengan papan kayu oleh penjaga dari luar. Di dalam, suasana gelap hanya diterangi oleh putaran kipas angin besar yang masih beroperasi, dengan bayang-bayang orang-orang tampak melintas di sela-sela bilah kipas, menciptakan pantulan cahaya yang berputar-putar. Sem
Wajar jika rakyat memiliki keraguan seperti itu. Karena ini Yogyakarta, mereka memiliki sikap yang meragukan terhadap pusat komando di Jakarta. Tetapi itulah yang diinginkan Surya... Jika hal itu dapat menciptakan tingkat kepanikan tertentu di kalangan penduduk, mata-mata Belanda akan lebih yakin bahwa Tentara Republik akan menarik pasukan mereka dari Yogyakarta. Yang tidak diketahui Surya adalah bahwa perlawanan pertama terhadap rencana ini datang dari orang-orangnya sendiri dan bukan dari musuh... tetapi ini tampaknya menjadi hal biasa di kalangan Tentara Republik. Pertama, panglima tertinggi Front Barat Daya menelepon Komando Angkatan Darat Front Barat Daya. “Apa yang terjadi?” tanya Jenderal Soerjo: “Saya dengar Anda telah menarik unit tank Anda ke tepi timur? Anda harus tahu satu hal, Kamerad Sudirman, perintah Jakarta adalah untuk tetap teguh!” “Saya tahu, Kamerad Jenderal!” jawab Jendera
Inilah strategi suara Belanda yang menyerang dari utara dan selatan. Bila semua orang mengira bahwa pasukan Kolonel de Vries dari Divisi Tentara Utara-lah yang mengepung bagian belakang Yogyakarta, tak seorang pun akan menduga bahwa Divisi Tentara Selatan, yang selalu kuat dan tangguh, lah yang benar-benar menyelesaikan pengepungan. Divisi Lapis Baja ke-2 de Vries berada di posisi yang lebih menguntungkan. Ia menarik semua perhatian dan pasukan yang dapat dimobilisasi di Yogyakarta: sebuah kelompok pejuang yang dipimpin oleh Sudirman, dan pasukan garis depan yang dipimpin oleh Bambang Supeno. Dari sudut pandang ini, tidak ada masalah dengan komando Yogyakarta. Pertama-tama, letak geografis Yogyakarta sangatlah penting dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Kedua, gunakan pasukan depan dan pasukan kelompok untuk menyerang dari kiri ke kanan. Sekalipun Divisi Lapis Baja ke-2 Belanda dapat terus mengungguli aksi







