Share

Bab 5

Author: Zhar
last update Last Updated: 2025-08-31 17:06:25

“Ini bentengnya! Ini bentengnya! Bertahan... tunggu bantuan, tunggu bantuan!”

Seorang prajurit komunikasi terus mencoba mengirimkan sinyal lewat radio usang yang sudah berderak-derak. Namun hasilnya nihil, tak ada jawaban, hanya suara desis.

Mayor Wiratmaja, yang berjaga di pos radio, menghela napas panjang. Keningnya berkerut dalam. Ia tahu ini perang, ia tahu lawannya Belanda dengan persenjataan modern. Tapi pertanyaan di kepalanya tak berhenti berputar di mana pasukan kita yang lain? Kapan bala bantuan datang? Apa langkah berikutnya?

Segalanya serba tak pasti.

“Aku rasa ini bukan serangan kecil, Mayor,” ujar instruktur lapangan, “Benteng ini jalur penting. Kalau Belanda bisa merebutnya, mereka bisa langsung menekan pasukan kita di pedalaman.”

“Kita tidak bisa memastikan, Joko,” jawab Mayor Wiratmaja singkat, “Yang jelas kita dalam masalah besar... dan butuh bantuan secepatnya.”

Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan pelan, “Tapi itu jangan pernah kau bilang ke anak-anak prajurit.”

Mayor Wiratmaja meraih ikat pinggangnya, mengencangkan gesper, lalu keluar dari ruang bawah tanah yang jadi markas darurat.

Ia berlari kecil melewati puing-puing tembok benteng yang hancur dihantam meriam Belanda. Begitu sampai di garis pertahanan, tatapan para prajurit langsung tertuju padanya. Ada harapan besar di mata mereka. Mereka semua ingin mendengar kabar baik.

Kecuali Surya. Ia tahu betul, kabar baik itu tidak ada.

“Kawan-kawan!” seru Mayor Wiratmaja lantang, “Kabar buruknya... kita belum bisa menghubungi markas besar.”

Para prajurit terdiam. Wajah mereka langsung surut, semangat seakan lenyap.

“Tapi!” suara Mayor Wiratmaja kembali mengeras, “Percayalah, ini bukan akhir. Kita sudah berkali-kali menggagalkan serangan Belanda. Mereka tidak sehebat itu, kan?”

Para prajurit saling menatap, mencoba meyakinkan diri. Dan benar, ucapan itu membuat hati mereka sedikit tenang.

Namun Surya tahu kenyataan di luar sana jauh berbeda. Pasukan militer di luar benteng sedang ditekan habis-habisan. Belanda menggempur dengan tank, meriam, dan pesawat. Banyak laskar tercerai-berai, banyak divisi yang nyaris hancur.

“Jadi!” teriak Mayor Wiratmaja menutup pidatonya, “Jangan menyerah, kawan-kawan! Besok... aku yakin bala bantuan akan datang. Belanda akan terkepung. Kita hanya perlu bertahan sampai esok hari!”

Semangat pun mulai menyebar lagi. Ucapan “bertahan sampai besok” seakan jadi mantra.

“Tidak sulit!” kata Okta, prajurit muda yang masih lugu, sambil melirik jam sakunya. “Kita sudah bertahan lima jam. Ya, besok paling tinggal beberapa serangan lagi, lalu selesai.”

“Tidak, Okta!” potong Surya cepat.

“Apa maksudmu?”

“Pertempuran ini... tidak akan selesai secepat itu,” jawab Surya dengan nada berat. “Kau harus siap, ini bisa berlangsung lama.”

Okta malah tertawa kecil. “Ah, Surya! Jangan pesimis begitu. Kita prajurit, perang memang makanan kita sehari-hari, kan?”

Surya hanya terdiam. Ia tahu, sekalipun ia menjelaskan kenyataan pahit, tak ada yang akan percaya. Malah bisa-bisa ia dituduh mata-mata Belanda.

Namun diam bukan berarti hatinya tenang. Surya sadar betul benteng ini sudah terkepung. Belanda bisa menahan mereka berbulan-bulan. Makanan makin menipis. Bertahan di sini sama saja dengan menunggu ajal.

Satu-satunya harapan adalah keluar. Menerobos. Semakin cepat, semakin baik.

Dan Surya ingat, beberapa hari lalu masih ada celah. Pengepungan Belanda belum begitu rapat. Mereka masih sibuk dengan operasi kilat ke desa-desa. Di utara benteng, hutan lebat terbentang luas. Kalau berhasil menembusnya, mereka bisa selamat.

Bagi Surya, bertahan di benteng hanya berarti mati pelan-pelan. Sementara menembus kepungan, meski penuh risiko, masih ada harapan.

Masalahnya, para pembela benteng sama sekali tidak tahu kondisi di luar. Mereka menunggu bala bantuan berhari-hari, tetap bertahan dalam kepungan, berharap pasukan Militer dari luar segera datang. Namun kenyataannya, bantuan itu tak kunjung tiba. Dan ketika akhirnya mereka mencoba menerobos pada hari keempat... segalanya sudah terlambat.

Hal itu membuat Surya semakin tertekan.

Jika ia ingin menyelamatkan nyawanya sendiri, ia harus segera menyampaikan kenyataan pahit bahwa satu-satunya cara hanyalah keluar dari benteng sesegera mungkin. Tapi ia juga sadar, jika terlalu banyak bicara, ia bisa saja dicurigai sebagai mata-mata Belanda.

Tidak ke kiri, tidak ke kanan. Surya benar-benar serba salah. Ia hanya bisa gelisah, mondar-mandir di dalam parit sempit yang dipenuhi lumpur dan bau mesiu.

Tiba-tiba, dua prajurit komunikasi muncul dari lorong tanah. Salah satunya menatap tajam ke arah Surya.

“Surya Darman?” tanyanya lantang.

“Ya!” jawab Surya refleks, agak terkejut.

“Mayor ingin bertemu denganmu!”

“Aku?” Surya mengernyit. Ia sempat mengira orang itu salah panggil.

“Ya, kamu!” Prajurit itu mendekat, sorot matanya penuh curiga. Ia menggeser senapan dari punggung ke depan, lalu menegaskan dengan nada kasar, “Ikut kami!”

Surya menelan ludah. Di sampingnya, Okta terperangah, sama bingungnya. Mereka berdua tahu, panggilan seperti ini biasanya bukan pertanda baik.

Saat Surya hendak melangkah, prajurit itu kembali menahannya.

“Tunggu. Serahkan senjatamu.”

Tanpa memberi kesempatan Surya membantah, prajurit lain langsung melucuti senjatanya. Badannya diperiksa dari kepala sampai kaki, bahkan ikat pinggang dinasnya ikut ditarik paksa.

Okta hanya bisa menatap dengan wajah sedih. “Semoga beruntung, Surya... kawan malangku.”

Beberapa prajurit lain yang melihat kejadian itu ikut menoleh. Tatapan mereka penuh curiga, ada juga yang sinis. Bisik-bisik terdengar, menusuk telinga Surya lebih tajam dari peluru.

“Aku tahu orang ini nggak beres!”

“Ya, komandan memang sudah lama curiga sama dia.”

“Pengkhianat! Malu-maluin!”

Beberapa bahkan meludah ke tanah, tepat ke arah Surya yang sedang digiring.

Surya menunduk. Dadanya sesak. Ia tidak tahu apa kesalahannya. Ia memang tahu banyak hal yang seharusnya tak diketahui prajurit biasa, tapi ia tak pernah mengucapkannya.

Sekarang, ia hanya bisa pasrah. Melangkah satu langkah demi satu langkah, mengikuti prajurit komunikasi itu, menuju pertemuan yang entah akan berakhir seperti apa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 111

    “Serbu!” teriak Surya lantang, suaranya membelah udara sore yang penuh asap mesiu. Mengikuti perintahnya, para prajurit segera maju menyerbu dengan sangkur terhunus. Bukan hanya satu regu yang bergerak. Dari balik reruntuhan bangunan di tepi jalan, satu batalion penuh bangkit serentak, seperti ombak yang menggulung maju. Mereka sudah lama tertahan di garis depan, padat dan sesak di tengah tembakan artileri Belanda. Serangan balik mendadak dari tank-tank musuh tadi sempat memecah barisan, membuat beberapa unit kocar-kacir. Namun kini, setelah Surya memimpin terobosan dari sayap kiri, semua prajurit tentara di sekitar situ seperti menemukan jalan keluar dari kepungan bagaikan udara yang meledak dari balon yang ditusuk. Mereka tak perlu diperintah semua spontan mengikuti langkah Surya, berlari maju menembus asap dan debu. Bagi tentara Belanda, ledakan granat yang dilempar Surya ke pos meriam itu seperti lubang di tanggul dan dari celah itula

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 110

    Keputusan Kolonel Van der Meer terbukti tepat. Dalam jarak yang begitu dekat kurang dari seratus meter mundur bukan hanya mustahil, tetapi juga bunuh diri. Begitu pasukan Republik menyadari niat mereka untuk mundur, mereka pasti akan menyerang dengan segala yang tersisa. Meski tank ringan Stuart M5 milik TNI tidak secepat kendaraan lapis baja Belanda, kecepatannya cukup untuk menembus jarak itu dalam hitungan detik. Dalam dua belas detik, sebelum tank-tank Belanda sempat berbalik arah, pasukan Republik bisa menghantam mereka langsung di sisi lemah. Dan jika itu terjadi, bukan sekadar dikepung tapi barisan depan Belanda akan benar-benar hancur. Diam di tempat juga bukan pilihan, karena berarti menunggu dikepung. Satu-satunya jalan keluar hanyalah maju menembus bertempur jarak dekat di tengah hujan dan lumpur. Maka dimulailah pertarungan besi lawan besi di tengah huj

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 109

    Hujan turun deras dari langit kelabu, menimpa tanah yang sudah lama beraroma mesiu. Setiap butir air yang jatuh di antara suara tembakan terdengar seperti “berdecit”, bercampur dengan ledakan peluru yang menghantam tanah basah, menyemburkan lumpur atau darah. Sebuah pesawat pemburu Belanda menembus tirai hujan, menukik tajam dari balik awan, menyalak dengan rentetan peluru senapan mesin. “Da-da-da-da!” Hujan peluru itu memicu jeritan di antara para pejuang Republik yang berlindung di balik parit-parit dangkal di pinggiran kota Yogya. Pesawat itu melintas begitu rendah hingga bayangannya tampak jelas di tanah pilotnya pasti prajurit yang terlatih. Namun, mungkinkah sedemikian nekatnya ia mengambil risiko besar hanya untuk menyerang pasukan infanteri kecil di bawah sana? Surya tidak sempat memikirkan hal itu. Pandangannya tertuju pada kabut hujan di depan, sementara dari arah barat terdengar suara gemuruh berat

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 108

    Pada masa itu, sebagian besar pasukan Belanda menganut prinsip tempur “serangan adalah pertahanan terbaik”, yang berarti mereka lebih terlatih untuk menyerang daripada bertahan, bahkan menganggap pertahanan mutlak sebagai bentuk kelemahan. Lebih tepatnya, mereka menerapkan apa yang disebut pertahanan dinamis menempatkan pasukan cadangan di garis kedua untuk segera menyerang balik dari arah mana pun jika pasukan Republik berhasil menerobos. Kolonel Van Kleijs salah satu komandan lapangan Belanda, juga melakukan persiapan serupa. Untuk mengantisipasi serangan gerilya dari TNI, ia menempatkan satu resimen mekanik di luar Kota Yogyakarta. Resimen tersebut adalah Resimen Mekanik ke-11 dari Divisi Infanteri ke-3 KNIL, terdiri atas dua batalion kendaraan lapis baja dengan total hampir seratus panser ringan. Kedua batalion itu ditempatkan secara strategis: satu di barat kota, dan satu lagi di selatan. Langkah itu memang masuk akal,

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 107

    Pasukan Belanda membangun tiga jembatan ponton di atas Sungai Code. Sepanjang malam, mereka menyeberang tanpa henti, dan menjelang fajar hari berikutnya, satuan lapis baja mereka telah berhasil menyeberang seluruhnya ke sisi timur kota. Berdiri di tepi timur sungai, Kolonel Van Kleijs menarik napas lega. Dari laporan yang diterima, hanya lima tank dan tiga kendaraan logistik yang tenggelam saat penyeberangan. Dalam ukuran perang, kerugian itu masih bisa diterima. Namun, seandainya pihak Tentara Indonesia mengetahui dan menembaki jembatan ponton dengan artileri… Kleist tak bisa membayangkan betapa besar bencana yang akan terjadi. Kini, setelah yakin posisi mereka aman, Van Kleijs menatap peta di atas meja lapangan, lalu berkata dengan nada puas: “Lanjutkan serangan! Target: pusat kota Yogyakarta!” “Siap, Jenderal!” seru perwira komunikasinya. Tak lama, suara deru mesin tank kembali menggema. Rat

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 106

      Berita itu datang satu per satu dari Mayor Wiratmaja kepada Surya:   Tentara Belanda mengerahkan ratusan pesawat pengebom untuk membom Jembatan kali Code di sekitar Yogyakarta secara bergantian. Namun, karena kabut tebal dan kekokohan Jembatan kali code, hasilnya tidak memuaskan dalam satu hari. Hanya dua bom yang mengenai jembatan dan menyebabkan kerusakan sebagian pada dek jembatan.   Akhirnya, jembatan itu diledakkan pada malam hari, yang membuat para pilot Belanda bersorak gembira. Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa ini sebenarnya Jenderal Sudirman yang diam-diam membantu... Beliau berharap Grup Lapis Baja ke-1 Belanda dapat meninggalkan Yogyakarta sesegera mungkin, jadi beliau memerintahkan para prajurit untuk mengikat bahan peledak di jembatan, dan kemudian memerintahkan peledakan ketika pesawat pengebom Belanda menukik dan menjatuhkan bom.   Hanya mendengar bunyi "ledakan", dek jembatan terbelah dua dan meledak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status