“Ini bentengnya! Ini bentengnya! Bertahan... tunggu bantuan, tunggu bantuan!”
Seorang prajurit komunikasi terus mencoba mengirimkan sinyal lewat radio usang yang sudah berderak-derak. Namun hasilnya nihil, tak ada jawaban, hanya suara desis. Mayor Wiratmaja, yang berjaga di pos radio, menghela napas panjang. Keningnya berkerut dalam. Ia tahu ini perang, ia tahu lawannya Belanda dengan persenjataan modern. Tapi pertanyaan di kepalanya tak berhenti berputar di mana pasukan kita yang lain? Kapan bala bantuan datang? Apa langkah berikutnya? Segalanya serba tak pasti. “Aku rasa ini bukan serangan kecil, Mayor,” ujar instruktur lapangan, “Benteng ini jalur penting. Kalau Belanda bisa merebutnya, mereka bisa langsung menekan pasukan kita di pedalaman.” “Kita tidak bisa memastikan, Joko,” jawab Mayor Wiratmaja singkat, “Yang jelas kita dalam masalah besar... dan butuh bantuan secepatnya.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan pelan, “Tapi itu jangan pernah kau bilang ke anak-anak prajurit.” Mayor Wiratmaja meraih ikat pinggangnya, mengencangkan gesper, lalu keluar dari ruang bawah tanah yang jadi markas darurat. Ia berlari kecil melewati puing-puing tembok benteng yang hancur dihantam meriam Belanda. Begitu sampai di garis pertahanan, tatapan para prajurit langsung tertuju padanya. Ada harapan besar di mata mereka. Mereka semua ingin mendengar kabar baik. Kecuali Surya. Ia tahu betul, kabar baik itu tidak ada. “Kawan-kawan!” seru Mayor Wiratmaja lantang, “Kabar buruknya... kita belum bisa menghubungi markas besar.” Para prajurit terdiam. Wajah mereka langsung surut, semangat seakan lenyap. “Tapi!” suara Mayor Wiratmaja kembali mengeras, “Percayalah, ini bukan akhir. Kita sudah berkali-kali menggagalkan serangan Belanda. Mereka tidak sehebat itu, kan?” Para prajurit saling menatap, mencoba meyakinkan diri. Dan benar, ucapan itu membuat hati mereka sedikit tenang. Namun Surya tahu kenyataan di luar sana jauh berbeda. Pasukan militer di luar benteng sedang ditekan habis-habisan. Belanda menggempur dengan tank, meriam, dan pesawat. Banyak laskar tercerai-berai, banyak divisi yang nyaris hancur. “Jadi!” teriak Mayor Wiratmaja menutup pidatonya, “Jangan menyerah, kawan-kawan! Besok... aku yakin bala bantuan akan datang. Belanda akan terkepung. Kita hanya perlu bertahan sampai esok hari!” Semangat pun mulai menyebar lagi. Ucapan “bertahan sampai besok” seakan jadi mantra. “Tidak sulit!” kata Okta, prajurit muda yang masih lugu, sambil melirik jam sakunya. “Kita sudah bertahan lima jam. Ya, besok paling tinggal beberapa serangan lagi, lalu selesai.” “Tidak, Okta!” potong Surya cepat. “Apa maksudmu?” “Pertempuran ini... tidak akan selesai secepat itu,” jawab Surya dengan nada berat. “Kau harus siap, ini bisa berlangsung lama.” Okta malah tertawa kecil. “Ah, Surya! Jangan pesimis begitu. Kita prajurit, perang memang makanan kita sehari-hari, kan?” Surya hanya terdiam. Ia tahu, sekalipun ia menjelaskan kenyataan pahit, tak ada yang akan percaya. Malah bisa-bisa ia dituduh mata-mata Belanda. Namun diam bukan berarti hatinya tenang. Surya sadar betul benteng ini sudah terkepung. Belanda bisa menahan mereka berbulan-bulan. Makanan makin menipis. Bertahan di sini sama saja dengan menunggu ajal. Satu-satunya harapan adalah keluar. Menerobos. Semakin cepat, semakin baik. Dan Surya ingat, beberapa hari lalu masih ada celah. Pengepungan Belanda belum begitu rapat. Mereka masih sibuk dengan operasi kilat ke desa-desa. Di utara benteng, hutan lebat terbentang luas. Kalau berhasil menembusnya, mereka bisa selamat. Bagi Surya, bertahan di benteng hanya berarti mati pelan-pelan. Sementara menembus kepungan, meski penuh risiko, masih ada harapan. Masalahnya, para pembela benteng sama sekali tidak tahu kondisi di luar. Mereka menunggu bala bantuan berhari-hari, tetap bertahan dalam kepungan, berharap pasukan Militer dari luar segera datang. Namun kenyataannya, bantuan itu tak kunjung tiba. Dan ketika akhirnya mereka mencoba menerobos pada hari keempat... segalanya sudah terlambat. Hal itu membuat Surya semakin tertekan. Jika ia ingin menyelamatkan nyawanya sendiri, ia harus segera menyampaikan kenyataan pahit bahwa satu-satunya cara hanyalah keluar dari benteng sesegera mungkin. Tapi ia juga sadar, jika terlalu banyak bicara, ia bisa saja dicurigai sebagai mata-mata Belanda. Tidak ke kiri, tidak ke kanan. Surya benar-benar serba salah. Ia hanya bisa gelisah, mondar-mandir di dalam parit sempit yang dipenuhi lumpur dan bau mesiu. Tiba-tiba, dua prajurit komunikasi muncul dari lorong tanah. Salah satunya menatap tajam ke arah Surya. “Surya Darman?” tanyanya lantang. “Ya!” jawab Surya refleks, agak terkejut. “Mayor ingin bertemu denganmu!” “Aku?” Surya mengernyit. Ia sempat mengira orang itu salah panggil. “Ya, kamu!” Prajurit itu mendekat, sorot matanya penuh curiga. Ia menggeser senapan dari punggung ke depan, lalu menegaskan dengan nada kasar, “Ikut kami!” Surya menelan ludah. Di sampingnya, Okta terperangah, sama bingungnya. Mereka berdua tahu, panggilan seperti ini biasanya bukan pertanda baik. Saat Surya hendak melangkah, prajurit itu kembali menahannya. “Tunggu. Serahkan senjatamu.” Tanpa memberi kesempatan Surya membantah, prajurit lain langsung melucuti senjatanya. Badannya diperiksa dari kepala sampai kaki, bahkan ikat pinggang dinasnya ikut ditarik paksa. Okta hanya bisa menatap dengan wajah sedih. “Semoga beruntung, Surya... kawan malangku.” Beberapa prajurit lain yang melihat kejadian itu ikut menoleh. Tatapan mereka penuh curiga, ada juga yang sinis. Bisik-bisik terdengar, menusuk telinga Surya lebih tajam dari peluru. “Aku tahu orang ini nggak beres!” “Ya, komandan memang sudah lama curiga sama dia.” “Pengkhianat! Malu-maluin!” Beberapa bahkan meludah ke tanah, tepat ke arah Surya yang sedang digiring. Surya menunduk. Dadanya sesak. Ia tidak tahu apa kesalahannya. Ia memang tahu banyak hal yang seharusnya tak diketahui prajurit biasa, tapi ia tak pernah mengucapkannya. Sekarang, ia hanya bisa pasrah. Melangkah satu langkah demi satu langkah, mengikuti prajurit komunikasi itu, menuju pertemuan yang entah akan berakhir seperti apa."Mau minum sedikit?" Okta diam-diam menyodorkan sebotol arak hasil rampasan dari gudang logistik Belanda kepada Surya, yang kemudian buru-buru merebutnya dari tangan Okta sebelum botol itu jatuh. "Tidak!" Surya menggelengkan kepalanya. Ia harus tetap berpikir jernih. "Jangan pedulikan apa kata mereka!" kata Okta. "Orang-orang Belanda itu mabuk untuk menunjukkan keberanian. Tapi pejuang sejati tidak butuh itu. Mereka berani karena hati mereka." "Aku tahu!" jawab Surya sambil menatap Okta dengan pandangan tak percaya. Ia tak menyangka Okta bisa bicara sebijak itu. Namun, wibawa itu hanya bertahan kurang dari tiga detik, sebab Okta langsung menambahkan: "Aku tak buruk dalam hal pidato, kan? Baris-baris ini aku contek dari drama sandiwara ‘Merdeka atau Mati’!" "Oh, ya, bagus sekali!" Surya menanggapi dengan senyum miring. Okta memang dijuluki "Aktor", karena suka berakting di sela-sela perang. Itu juga impiannya sejak lama. Saat itu, Belanda sudah kehilangan kesabaran. "In
"Saudara-saudara sebangsa!" suara bergetar dari radio tua di pos pertahanan:"Pukul empat pagi ini, tanpa pernyataan perang maupun ultimatum, pasukan Belanda melancarkan serangan ke berbagai kota penting di Jawa dan Sumatra. Pesawat-pesawat mereka telah membombardir Yogyakarta, Semarang, Palembang, dan Surabaya. Serangan Belanda yang begitu mendadak ini adalah sebuah pengkhianatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah bangsa beradab..."Semua orang mendengarkan dengan tegang. Suara radio itu akhirnya berakhir dengan beberapa kalimat penyemangat, sebelum berganti menjadi suara "gemerisik" yang mengganggu."Itu tadi suara Komite Luar Negeri Republik yang bicara!" jelas Mayor Wiratmaja dengan wajah muram.Mendengar kata-kata itu, ruangan seketika sunyi.Surya menarik napas lega.Pidato itu memang tidak menyebutkan bahwa pasukan kita di garis depan terdesak mundur... tentu saja, hal seperti itu tak boleh diumumkan terbuka, apalagi dalam siaran untuk seluruh rakyat.Namun, ada
“Omong kosong! Tak tahu malu kau, Surya!”Tiba-tiba sang instruktur meledak, memecah keheningan yang menekan ruangan. “Ulahmu jelas! Dugaan penuh motif busuk, akhirnya kelihatan juga ekor rubahmu. Kau ini pengkhianat, budak Belanda, pendosa tanah air!”Sambil berteriak, ia langsung mencabut pistol dari pinggangnya.“Joko!” Mayor Wiratmaja menahan gerakannya dengan satu tangan, menepis moncong pistol agar tak diarahkan ke Surya.“Mayor, apa kau tidak mengerti?” sang instruktur hampir berteriak histeris. “Bukti sudah jelas! Orang ini pasti dibeli Belanda! Dia sengaja menyebar kepanikan supaya kita meninggalkan benteng. Begitu kita kabur, Belanda tinggal masuk tanpa perlawanan!”“Tapi kita tidak tahu itu!” jawab Wiratmaja, matanya menatap tajam.“Mana mungkin pasukan kita sudah mundur total? Baru beberapa jam sejak serangan dimulai! Ingat, pasukan Divisi Militer dan barisan laskar rakyat juga ditempatkan di sekitar sini!”Wiratmaja mengeraskan suaranya: “Kalau begitu, kenapa sampai sekar
"Dia hanya tersihir oleh orang Polandia!" Mayor Wiratmaja menyela instruktur itu. "Dan, sebenarnya, saya tidak yakin, karena kita tidak tahu apa-apa!""Mayor!" Instruktur itu merendahkan suaranya dan berkata kepada Mayor Wiratmaja:"Meski kita tidak tahu, kita tidak bisa menoleransi pernyataan seperti ini..."Mayor Wiratmaja berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju.Setelah terdiam beberapa saat, dia menoleh ke Surya lagi."Namamu Surya, bukan?""Ya, Mayor!""Aku bisa mengerti pikiranmu, Surya!" kata Mayor Wiratmaja."Aku bahkan berpikir kau benar, pertempuran ini belum akan berakhir secepat ini. Tapi... kau tahu, ini masa yang luar biasa, kita tidak bisa berkata seperti itu, mengerti?""Ya!" jawab Surya. "Saya mengerti, Mayor!""Bagus sekali!" Mayor Wiratmaja mengangguk. "Kalian boleh kembali!""Tapi Mayor..." Instruktur itu tidak puas dengan keputusan Mayor Wiratmaja."Ini keputusan saya, Komandan Joko!" kata Mayor Wiratmaja dengan nada tegas."Jika ada masalah, saya akan bertanggu
Surya dikawal ke markas oleh dua prajurit sinyal, satu di depan dan satu lagi di belakang.Mayor Wiratmaja ternyata cukup sopan. Ia mempersilakan Surya duduk di kursi, menuangkan segelas air, lalu berkata sambil menenangkan,"Tenang saja, Nak. Saya cuma mau tanya beberapa hal. Biar jelas untuk kita semua.""Baik, Mayor," jawab Surya, meski matanya masih gelisah melirik ke arah Komandan Joko yang berdiri di samping Mayor Wiratmaja.Komandan itu kelihatan puas, jelas dari wajahnya ia merasa sudah membuktikan sesuatu."Saranmu itu bagus sekali!" ujar Mayor Wiratmaja sambil mondar-mandir di depannya. "Maksud saya, jarak 500 meter itu. Kami pakai sarannya waktu menahan serangan terakhir Belanda kemarin!""Itu memang kewajiban saya, Komandan Mayor," jawab Surya cepat.Benar juga, pikirnya. Kalau serangan Belanda waktu itu tidak berhasil dihalau, ia sendiri mungkin sudah tewas."Tapi..." Mayor Wiratmaja menyipitkan mata, "kenapa kamu bisa tahu detail perlengkapan Belanda? Bahkan soal jangkau
“Ini bentengnya! Ini bentengnya! Bertahan... tunggu bantuan, tunggu bantuan!”Seorang prajurit komunikasi terus mencoba mengirimkan sinyal lewat radio usang yang sudah berderak-derak. Namun hasilnya nihil, tak ada jawaban, hanya suara desis.Mayor Wiratmaja, yang berjaga di pos radio, menghela napas panjang. Keningnya berkerut dalam. Ia tahu ini perang, ia tahu lawannya Belanda dengan persenjataan modern. Tapi pertanyaan di kepalanya tak berhenti berputar di mana pasukan kita yang lain? Kapan bala bantuan datang? Apa langkah berikutnya?Segalanya serba tak pasti.“Aku rasa ini bukan serangan kecil, Mayor,” ujar instruktur lapangan, “Benteng ini jalur penting. Kalau Belanda bisa merebutnya, mereka bisa langsung menekan pasukan kita di pedalaman.”“Kita tidak bisa memastikan, Joko,” jawab Mayor Wiratmaja singkat, “Yang jelas kita dalam masalah besar... dan butuh bantuan secepatnya.”Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan pelan, “Tapi itu jangan pernah kau bilang ke anak-anak prajurit.”M