Share

Rindu

Ketika Laya pertama kali bertanya apakah Danan merindukan Gina? Jawaban Danan adalah, ia merindukannya. Tapi, ketika pertanyaan itu datang lagi, dan melihat, mengingat apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua membuat Danan jadi berpikir apakah benar dia merindukan Gina?

Sudah hampir 3 tahun Danan benar-benar tidak pulang ke rumah, bahkan hari besarpun dia tidak menyempatkan diri untuk datang barang sebentar. Danan memang tidak memiliki hari libur, show yang dia bawakan memiliki jadwal setiap hari tayang secara LIVE itulah mengapa sulit baginya membagi waktu untuk pulang. Para seniornya bilang bahwa sudah seharusnya Danan membawa keluarga kecilnya untuk tinggal di Jakarta, tapi Danan menolak, alasannya cukup klasik bahwa keluarganya ingin tetap tinggal disana. Mengingat kota besar mungkin tidak cocok untuk anak-anaknya. Nyatanya, Danan tidak pernah bertanya pada Gina, tidak pernah menawarkan apalagi mengajak istri dan anak-anaknya pindah agar supaya mereka dekat dengannya. Danan lebih memilih tidur di asrama kecil untuk para staff ketimbang harus membeli rumah baru. Banyak desas desus mengenai dirinya, bahkan beberapa staff mengatakan bahwa dia sangat pelit dengan uang.

Danan tidak pelit, hanya saja dia memang ingin semua penghasilannya untuk keluarganya. Bukan karena dia miskin ketika kecil, hanya saja dia ingin membuat Gina bahagia dan berkecukupan.

Danan, tahu betul bagaimana kehidupan Gina dan Mahesa. Kedua orangtua mereka bercerai, mereka sempat tinggal bersama ibunya tapi kemudian wanita itu meninggal dan ayahnya juga mengalami kecelakaan. Gina dan Mahesa kecil berpindah dari satu bibi ke bibi yang lain sampai ketika mereka berusia 20 tahun, Gina membawa Mahesa pergi dari Amerika. Keduanya memilih Indonesia untuk menetap dan berkuliah, tidak pernah terpikirkan oleh Gina dan Mahesa bahwa mereka akan mengajukan permintaan pemindahan kewarganegaraan setelah menetap selama 3 tahun. Mereka jatuh cinta dengan Indonesia. Ketika mereka datang, Indonesia begitu terasa asing dan menyesakkan. Segala peraturan, bagaimana pandangan orang lokal terhadap ‘bule’ dan lainnya, namun keramahtamahan orang Indonesia membuat mereka yakin bahwa inilah tempat tinggal mereka yang cari. Jauh dari semua anggota keluarga yang memberikan rasa sakit pada mereka. Di tahun ke 4 itulah Gina bertemu dengan Danan, tidak seperti drama romantis hubungan mereka terjalin secara biasa saja. Dikenalkan teman, kemudian saling jatuh cinta dan menikah.

Sebelum akhirnya menerima pinangan Danan, Gina selalu menolak untuk menikah, ada sedikit rasa khawatir dihatinya mengenai pernikahan. Bagi Gina pernikahan hanyalah sesuatu yang menyesakkan dan menyakitkan, masa kecil bersama orangtuanya tidak begitu menyenangkan sehingga dia takut untuk mulai memiliki keluarga kecilnya sendiri. Danan tahu selama hidupnya Gina hanya memikirkan Mahesa, wanita itu kuliah dan bekerja untuk menghidupi adiknya sampai terkadang tidak memikirkan dirinya sendiri. Maka dari itu, ketika akhirnya Danan bisa meyakinkan Gina untuk menikah dengannya, tujuan utama Danan adalah ingin membuat istrinya itu bahagia.

Namun, kenyataannya berbeda. Bahagia versi Danan dan versi Gina berbeda. Ketika Taksa lahir, Danan bahagia sekali, dia menangis dan bersyukur bahwa anak pertamanya lahir dengan selamat. Keinginannya untuk bekerja menghasilkan uang banyak semakin besar, sehingga dia begitu sangat berusaha memenuhi semua kriteria stasiun televisi besar di ibukota agar suatu hari bisa pindah kesana. Saat Jovanka lahir dan dia diminta untuk mengisi kekosongan host program acara yang dia incar selama ini, Danan girang sekali, rasanya mimpinya menjadi kenyataan. Memang benar, program acara yang tayang setiap hari secara LIVE memiliki bayaran yang sangat besar itulah mengapa dalam sekejap Danan mampu membeli Apartemen dan merenovasinya, membuat ‘Istana’ yang nyaman untuk anak-anak serta istrinya.

Suatu hari, Danan mendapat telepon dari Gina. Istrinya itu mengatakan kalau badan Jovanka panas, suhunya sampai 38, Gina takut Jovanka kejang. Namun, bukan Danan yang menerima telepon melainkan managernya, managernya mengirimkan orang kesana untuk mengurus Jovanka. Jovanka masuk Rumah Sakit dan Danan baru mengetahui hal itu pukul 3 pagi.

“Gak usah pulang Nan, Jovi sudah opname, manager kamu sudah kirim orang.”

Suara Gina sangat dingin ketika mengatakannya. Saat Gina bertanya kapan dia akan pulang, atau mulai mengeluh dia text message atau telepon mengenai dia yang begitu jarang pulang, ego Danan naik.

“AKU DISINI BUKAN SELINGKUH ATAU MAIN-MAIN! AKU DISINI BEKERJA UNTUK KAMU DAN ANAK-ANAK!!”

DEGG.

Danan membuka matanya, nafasnya tersengal, peluhnya mengucur, kerongkongannya terasa kering. Dia bergegas turun dari kasur dan keluar dari kamar, pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih dan meneguknya kasar. Mimpinya terasa sangat nyata. Dia memegang dadanya yang masih terasa panas dan berdegup kencang.

Terdiam, kemudian dia terisak.

Dia lupa bahwa dia pernah melakukan hal itu pada Gina, dia pernah membentak istrinya hanya karena egonya merasa tersakiti, hanya karena dia sedang lelah dan Gina terus mengeluh tentang ketidakhadirannya di rumah.

Menjijikan.

Dia berkoar dan berjanji untuk membahagiakan Gina namun kenyataannya dia yang membuat wanita itu merasa kesepian setelah menikah.

Danan menghela napas, menghapus bulir airmata yang tersisa di pipinya. Ingin rasanya dia mengulang semuanya kembali, menghapus semua rasa egoisnya, menghapus semua rasa Superior di dalam dirinya hanya karena dia bekerja dan menghasilkan banyak uang untuk keluarga.

“Kak Danan?” Suara dari lantai dua mengejutkan Danan, dia menoleh dan mendapati Hara berdiri disana.

“Oh, Ra..”

“Kak Danan gak apa-apa?” Tanya Hara, berjalan dengan sedikit tergesa mendekat pada Danan.

“Gak apa-apa, cuma mimpi buruk saja.” Ujarnya, mengelap sisa airmata. “Kamu gak tidur Ra?” Tanya Danan, berusaha mengalihkan topik pembicaraan, berjalan menjauh dari tempat Hara dan menaruh gelas di dalam wastafel.

“Mau merokok Kak, tapi gak bisa buka balkonnya…Kirain di lantai dua ada balkon juga.”

Danan menoleh, “Mau bareng?”

Danan dan Hara duduk di balkon, tenggelam dalam pikiran masing-masing sambil menyesap nikotin dalam-dalam.

“Kirain kamu udah berhenti merokok Ra.” Ucap Danan kemudian, membuka percakapan.

“Kalau lagi libur begini, seminggu sekali gak apa-apa kak, kayaknya sih karena kangen aja.” Jawab Hara diselingi tawa, Danan mengangguk.

“Kak, aku turut berduka cita ya, maaf waktu itu gak bisa datang.”

Danan mengangguk-angguk, “Gak apa-apa Ra,”

“Kak Danan beneran berhenti dari televisi di Jakarta?”

“Iya.”

Hara terdiam kembali menghisap rokoknya.

“Bodoh ya Ra?”

“Apanya?”

“Ya, orang yang minta kakak untuk tinggal disini aja udah gak ada, kesannya kaya sia-sia.” Ujar Danan, jemarinya memainkan sebatang rokok yang masih menyala.

“Enggak kok,” Hara menanggapi, mengalihkan pandangannya pada Danan. “Enggak sia-sia, bukan cuma kak Gina yang berharap kak Danan untuk tinggal disini. Taksa, Jovanka, Laya juga sama. Tuh, adik-adik kakak berharap hal yang sama juga.”

Jawaban Hara membuat Danan terdiam.

“Aku memang gak begitu dekat sama kak Gina, tapi beberapa kali setiap aku menelepon Keenan dia selalu kebetulan sedang di Indonesia dan menginap disini. Kak Gina selalu terlihat ceria ketika berbicara di telepon, tapi Keenan tidak pernah absen bercerita mengenai kondisi kak Gina yang sering memburuk.” Hara melanjutkan. “Ketika kakak tidak disini, adik-adik kakak selalu berharap kakak pulang, begitu juga dengan anak-anak. Ibu mereka sekarang sudah tidak ada, siapa lagi yang mereka butuhkan? Bukan kami-kami ini sebenarnya, tapi kakak sebagai orangtua mereka.”

“Enggak Ra, mereka lebih dekat sama adik-adik kakak.”

“Menurut kakak ‘kan? Kakak melihatnya hanya karena mereka lebih dekat dengan Kak Marva dan Keenan atau kak Mahesa. Yang sebenarnya mereka butuhkan adalah sosok orangtua, yaitu kakak.”

Danan berhenti memainkan rokoknya, mengalihkan pandangannya pada Hara yang masih memandangnya.

“Kakak ‘kan tahu bagaimana keluarga Hara. Hara membicarakan ini dari sudut pandang Hara sebagai anak yang pernah mengalami hal seperti ini juga.”

Danan menelan ludah secara kasar, dia tahu cerita Hara.

Hara dan Keenan berteman sejak mereka masih kecil, Hara selalu menginap di rumah mereka karena orangtuanya selalu cekcok, terkadang ibunya tidak pulang berbulan-bulan, ayahnya hanya mabuk dan berjudi. Dulu, ibu Danan merasa kasihan maka Hara selalu dia sembunyikan terlebih ketika ayahnya sedang ‘kumat’. Hara kecil selalu dipukuli. Saat ayahnya mulai bertobat karena hampir mati OverDosis, ibunya yang menyiksanya saat ayahnya pergi bekerja, ibunya juga sering pergi dengan pria lain dan membawa pria lain masuk ke rumahnya. Ketika ayahnya tahu, ayah Hara mengalami depresi sehingga memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri di dalam rumah. Si kecil Hara, tidak mengerti. Dia tidak mengerti mengapa kehidupan keluarganya dan kehidupan keluarga teman masa kecilnya begitu berbeda. Danan tidak pernah tahu, meskipun Hara tidak pernah diperlakukan dengan baik oleh ibunya, setelah kematian ayahnya dia berharap ibunya ada untuknya.

“Ibu gak pernah ada untuk aku setelah ayah meninggal, padahal orang yang paling aku butuhkan setelah kepergian ayah ya ibu…” Lanjut Hara.

Danan mengangguk kaku.

“Apa yang kakak lakukan tidak sia-sia, percaya sama Hara. Ini sudah lebih dari cukup.”

Danan mematikan rokoknya, terdiam sebentar kemudian mengangguk kecil. Dia berjalan mendekat ke arah Hara dan mengelus puncak kepala bocah itu.

“Hara selalu punya tempat pulang disini, Keenan juga gak akan pernah biarin kamu pergi jauh ‘kan?”

Hara tersenyum kecil dan mengangguk.

“Biarpun berat, kakak selalu dukung kamu sama Keenan.” Danan berkata sambil tersenyum dan Hara terkekeh malu. “Titip salam untuk ibu kamu ya, Ra.” Ucap Danan dan pergi meninggalkan bocah itu di balkon. Hara tersenyum dan mengangguk kecil, menyelesaikan isapan terakhir rokoknya dan kembali ke kamar dengan perlahan.

“Kamu darimana?” Tanyanya Keenan, membuat Hara sedikit terkejut karena tidak berpikir Keenan akan terbangun.

“Ngerokok bareng kak Danan.” Jawab Hara, masuk ke dalam selimut dan memeluk Keenan.

“Oh, ngomongin apa?”

“Ngomongin kalau kak Danan dukung kita berdua.”

Keenan terkekeh dengan suara beratnya, mengelus punggung Hara dengan matanya yang masih tertutup.

“Besok jadi pergi ke ibu gak?” Tanya Keenan.

Hara mengangguk pelan.

“Jangan nangis ya, kita cuma bisa lihat ibu dari kaca.”

Hara tidak berkata apapun, berpura-pura terlelap di dalam pelukan kekasihnya. Sejak tujuh tahun terakhir ibunya masuk ke Rumah Sakit Jiwa, ibunya yang sempat menghilang itu tiba-tiba ditemukan di jalanan dengan mental yang terganggu. Hara sempat menolak untuk mengurusnya namun seperti apa yang dia bicarakan pada Danan, pada akhirnya dia membutuhkan ibunya, dia membutuhkan sosok ibu yang dia rindukan sejak kecil meskipun wanita itu sudah tidak dalam mental yang baik. Wanita itu tidak mengenali siapa dia, tapi Hara bersyukur ibunya masih hidup maka dia secara rutin mengunjungi ibunya bersama Keenan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status