Share

Kesalahan tak termaafkan

Keenan datang sore harinya setelah masalah Jovi disekolah usai, Marva menceritakan kejadian tersebut padanya, juga mengenai ia memberi tahu Danan maksud dari kembalinya ke Indonesia. Keenan menjelaskan kondisinya pada Danan, bahwa sebelum kematian Gina dia memang berniat kembali ke Tanah Air dan menerima pekerjaan disini sebagai seorang photographer sebuah majalah. Jadi, bagi Keenan tidak ada masalah baginya untuk menetap disini dan membantu Danan mengurus ketiga anaknya. Sedangkan untuk Marva, pekerjaannya sangat fleksibel dengan waktu dan tempat, jadi bekerja dimanapun bukanlah masalah besar. Danan menghargai ketulusan kedua adiknya, namun dia tidak sampai hati jika keduanya harus melakukan itu hanya demi dirinya.

"Kami melakukan ini untuk keponakan-keponakan kami, bagaimanapun, kita adalah keluarga." Itu yang Marva ucapkan sebelum akhirnya memanggil ketiga anak Danan dan menjelaskan situasinya. Ketiga bocah itu kemudian bersorak dan berjingkrak sambil memeluk Marva dan Keenan seolah baru saja diselamatkan oleh dua ksatria. Hati Danan jadi merasa gundah. Terlebih lagi melihat keluwesan Keenan dan Marva mengurus ketiga bocah, mengajak mereka berbincang dan bermain membuat Danan iri. Selama bersamanya anak-anak nampak tegang dan asing, seolah-olah Danan adalah orang dari dinas masyarakat yang menggantikan kedua orangtua bocah-bocah tersebut.

Danan iri tentu saja, melihat bagaimana Jovi membantu Keenan mencuci piring sambil terus berbicara dengan pemuda itu disamping wastafel, menceritakan apa yang menjadi pemicu kemarahannya pada Nita atau melihat bagaimana Aksa dan Laya mengekori Marva yang tengah membereskan ruang TV sambil terus berbicara mengenai apa saja yang mereka makan dan lakukan setelah kepergian ibu mereka. Kelima orang tersebut nampak seperti paketan sebuah keluarga bahagia, lalu kemarin, Danan dan ketiga anaknya, nampak seperti apa?

Marva dan Keenan selesai membereskan rumah yang berantakan ketika Danan tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Marva berinisiatif untuk mengajak Aksa dan Laya mandi di kamar mandi atas ketika dia sadar waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, dan Keenan mengajak Jovi mandi di kamar mandi bawah. Pukul 7.30 ketika semua sudah selesai dan rapi, Danan sudah menyiapkan makan malam. Nasi goreng, menu yang paling mudah untuknya sekarang. Tidak seperti biasanya, anak-anak makan dengan wajah ceria, mereka masih terus berbicara dengan Marva dan Keenan tanpa henti sedangkan Danan masih terus menonton mereka. Setelah makan, Aksa dan Jovi diajak kedua pamannya untuk menggosok gigi dan berangkat tidur. Sedangkan Laya kini berada digendongan Danan, menanti susunya yang tengah dibuatkan oleh si ayah.

Pukul 8 anak-anak sudah masuk ke kamar mereka, Jovi dan Aksa memakai satu kamar untuk berdua. Kamar yang berada dilantai dua itu kini cukup luas untuk dipakai berdua, Danan baru menyadari hal tersebut juga setelah kematian Gina. Ketika Danan hendak bertanya pada Jovi atau Aksa, Keenan terlebih dahulu menjelaskan mengapa Gina membuat keduanya satu kamar.

"Jovi takut tidur sendirian, dia sering tidur dikamar kak Gina, tapi semenjak Laya lahir dia tidur dengan Aksa karena setiap malam Laya menangis dan mengganggu tidurnya. Pendengaran Jovi sangat sensitif sehingga suara sekecil apapun akan membangunkannya." Ujar Keenan.

Danan menatap keadaan kamar Jovi dan Aksa, dia bahkan tidak tahu Gina merenovasi ruangan itu sehingga bisa dipakai oleh dua orang. Itu seperti dua kamar terpisah hanya tidak ada pembatas diantaranya. Kamar di rumah mereka ada 4, namun dua diantaranya Gina biarkan kosong.

Laya menyentuh pipi Danan sambil menyedot botol susunya sehingga membuat Danan kembali lagi ke alam sadarnya, dia terkekeh dan mencium pipi Laya yang bulat, membuka pintu kamar dan menidurkan Laya di kasur. Danan merebahkan tubuhnya disamping si kecil, mengelus punggung anak itu dengan lembut dan menatap wajahnya. Wajah Gina. Laya sangat mirip dengan Gina. Matanya, hidungnya, dagunya. Berbeda dengan Aksa dan Jovi yang mirip dengannya, si bungsu jauh lebih mirip ibunya.

"Yaya senang tidak paman Kee dan paman Mapa disini?" Tanya Danan, Laya mengangguk sambil terus mengelus pipi Danan.

"Yaya, suka paman." Bocah itu berbicara diantara karet botol susunya.

Danan mengangguk-angguk, hari ini terasa sangat melelahkan. Hari-hari yang dia lalui terasa melelahkan.

"Yaya senang tidak papa disini?"

Laya mengangguk kecil, "Tapi Yaya, rindu mama" Bocah itu mengucapkannya dengan pelan, matanya setengah tertutup. Danan tersenyum getir.

"Papa juga.." Suara Danan bergetar ketika mengucapkannya.

ꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷ

Danan keluar dari kamar dan mendapati kedua adiknya tengah menyeret koper yang mereka simpan di pintu depan ke ruang TV.

"Kami boleh pakai kamar ini 'kan?" Tanya Marva, menunjuk dua kamar kosong yang letaknya berdampingan. Danan mengangguk, berjalan mengekori Marva, ini baru pertama kalinya dia masuk ke kamar ini. Marva menyalakan lampu dan Danan terkejut dengan isi kamar tersebut, kamar ini seperti sudah siap untuk ditempati. Lemari, AC, kasur, bahkan meja ini-

"Oh, aku selalu memakai kamar ini ketika menginap bersama Keenan. Jadi, kak Gina menyarankan untuk menambahkan sesuatu yang sekiranya diperlukan untuk pekerjaanku. Terutama meja dan peralatan musik." Marva menjawab pertanyaan yang bahkan belum Danan lontarkan. Maka, pria itu berpindah ke kamar disebelah Marva dan mendapati hal yang serupa. Kamar Keenan seperti sudah dipersiapkan dengan rapi, hal-hal yang dia perlukan sudah terjajar disetiap sudut. Entah kenapa Danan merasa mereka memang tinggal bersama-sama selama ini.

"Aku tidak pernah tahu mengenai hal ini," Danan berdesis, Keenan menatapnya.

"Kakak gak pernah pulang. Sekalipun kakak pulang, kakak akan tidur dan makan, mana bisa kakak tahu hal-hal seperti ini?"

Kata-kata itu menusuk tepat di dada Danan. Tanpa bicara dia pergi dari kamar Keenan, masuk ke kamarnya, dia membenarkan selimut Laya dan membuka pintu menuju ruangan kerjanya. Terduduk di salah satu ruangan tersebut, Danan merasakan rasa bersalah menjalar keseluruh tubuhnya. Dia membenci hal ini. Dia membenci bahwa dialah satu-satunya yang tidak tahu menahu mengenai itu semua. Bagaimana hubungan kedua adiknya dengan anak dan istrinya, bagaimana mereka selalu bertemu dan sebagainya. Danan kesal. Melihat Gina memasang foto keluarga tanpa dirinya di ruang televisi juga membuatnya marah.

Danan menghela napas, dia berjalan menuju meja kerjanya, membuka laci yang terkunci dia menatap amplop coklat dengan logo pengadilan disana. Bahkan mengenai gugatan perceraian yang belum Gina kirim ke pengadilan. Apakah Keenan dan Marva tahu mengenai hal ini?

ꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷ

"Pa! Pa!" Suara Laya mengejutkan Danan, dia membuka mata dan mendapati anak bungsunya menatap dirinya lekat-lekat. Dia lupa jam berapa semalam dia akhirnya kembali ke kamar dan tidur dikasur setelah berbincang dengan seseorang ditelepon. Melongok ke arah jam, Danan terkejut, dia baru sadar belum mempersiapkan apapun untuk Jovi dan Aksa.

"Halo sayang selamat pagi," Dia berkata demikian kemudian mengecup pipi Laya, menggendongnya dan bergegas keluar kamar. Namun, langkahnya terhenti ketika dia melihat Jovi dan Aksa sudah rapi. Keduanya sedang meminum susu dan memakan roti panggang.

"Selamat pagi, kak, mau roti panggang dengan kopi?" Tanya Keenan yang berdiri dikonter dapur dengan cangkir kopi berisi susu hangat ditangan kanannya. Keenan tidak bisa minum kopi.

Danan terkesiap, anak-anaknya tidak biasa makan pagi dengan roti, tapi mereka terlihat cukup ceria memakan itu semua dengan segelas susu. Dia menurunkan Laya yang berlari ke arah Keenan dan meminta pemuda itu menggendongnya.

"Mau strawberry smoothie? Paman membuatkannya untuk sarapan Yaya," Ucap Keenan sambil mengecup pipi Laya yang mengangguk ceria.

"Kau bisa memasak?" Tanya Danan kemudian, mendekat ke konter dapur dan menuangkan kopi ke dalam cangkir.

"Tidak bisa, aku hanya bisa membuat yang seperti ini. Tapi anak-anak kakak tidak biasa sarapan roti, aku rasa mereka akan kelaparan sebelum jam makan siang." Jawab Keenan sambil membantu Laya duduk di atas kursi tingginya dan kemudian menaruh gelas berisi smoothie di depannya.

Danan menelan ludah, bahkan hal seperti itu saja Keenan tahu.

Marva keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut yang masih basah, "Gawat, aku juga tidak bisa memasak." Ucapnya.

Danan masih tidak bisa percaya dengan apa yang dia lihat, kedua adiknya sangat lihai menjaga ketiga anaknya. Selesai menghabiskan smoothie, Keenan dengan sigap membersihkan Laya, mengganti bajunya tanpa perlu bertanya pada Danan dimana letaknya. Marva menyiapkan bekal seadanya untuk Jovi dan Aksa, kemudian menggendong Laya menuju ke mobil. Keenan berpamitan untuk mengantar si dua bocah SD, kemudian mereka meninggalkan Danan sendirian di rumah. Mencuci piring. Melihat keadaan rumah yang sangat berbeda dari sesudah kedua orang itu datang, ada perasaan lega dan juga perasaan tidak nyaman yang terus memenuhi dadanya.

Apakah ini sesuatu yang bagus? Atau sesuatu yang buruk?

Setelah beberapa lama, Marva dan Keenan kembali. Danan menoleh ke arah mereka dan segera mematikan televisi.

"Ada yang ingin kubicarakan." Ucapnya, Marva dan Keenan saling tatap namun kemudian duduk di kursi, menghadap Danan yang wajahnya terlihat serius.

"Ada apa kak?" Tanya Keenan,

"Aku ingin bertanya mengenai bagaimana hubungan kalian selama ini dengan anak-anak dan juga istriku."

Dahi Namjoon berkerut, "Bukankah aku sudah menjelaskannya padamu? Kami selalu kesini di setiap kesempatan."

"Kami menginap disini, setahun bisa lebih dari tiga empat kali kami pulang." Lanjut Keenan.

"Mengapa kalian tidak pernah memberitahuku?"

Keenan dan Marva saling menatap, "Kak, apakah kakak pernah membalas pesan kami?" Tanya Keenan.

"Apa abang pernah menelepon balik kami?"

Pertanyaan itu membuat dada Danan sakit. Benar. Keduanya benar. Terkadang dia mengabaikan pesan dari kedua adiknya. Tidak. Dia tidak peduli. Karena kelelahan bekerja, prioritasnya adalah tidur. Sehingga dia tidak peduli dengan hal-hal tersebut. Kemudian Danan kembali terisak. Membuat kedua adiknya jadi salah tingkah.

"Apakah kalian tahu Gina berniat menggugat cerai?"

Keenan dan Marva terdiam, wajah mereka kebingungan. Mereka sama sekali tidak tahu mengenai hal itu. Tidak sedikitpun. Ketika Keenan pulang dan mendapati Gina tengah meminta orang untuk memasang foto keluarga, tanpa Danan di dalam foto itu dia sempat menggoda wanita itu dengan kata-kata bahwa kakaknya harus waspada karena Gina terlihat sudah akan menceraikannya. Namun, Keenan tidak tahu bahwa itu akan menjadi kenyataan.

"Aku menemukan ini di meja kerjaku setelah kematian Gina. Dia menyiapkan ini, aku tidak tahu kapan dia akan mengirimkan ini ke pengadilan, tapi dia sudah membubuhkan tanda tangannya disana. Aku tahu, aku bersalah. Aku menyadarinya sekarang. Tujuanku untuk membahagiakan keluarga salah. Caraku mengejar materi dengan memberikan waktu untuk keluarga tidak berimbang." Danan berkata dengan terbata, disela isak tangis dan bulir airmata yang mengalir. Kedua adiknya benar-benar terkejut dengan reaksi Danan.

"Kami tidak tahu mengenai hal ini bang, tapi apa abang tahu kak Gina berada di bawah pengawasan psikolog?" Suara Marva menghentikan tangisan Danan, pria itu menatapnya keheranan.

"Kak, kak Gina mengalami depresi dan baby blues." Kini suara Keenan yang terdengar.

Danan mendengarkan bagaimana Keenan dan Marva bercerita, setelah kelahiran Jovi dan kesibukkan Danan, Gina beberapa kali menelepon keduanya untuk meminta bantuan. Wanita itu menangis karena merasa kesepian, adiknya juga sering datang mengunjungi Gina untuk membantu wanita itu merawat kedua anaknya. Beberapa kali Gina hampir lepas kontrol kepada Jovi yang masih bayi, Gina mulai merasa tidak percaya diri dengan penampilannya dan berpikiran buruk karena Danan tidak sering menghubunginya. Keadaan Gina saat itu benar-benar buruk sehingga adiknya, Keenan dan Marva tinggal dirumah itu dalam waktu yang lumayan lama.

"Kami berusaha menghubungi abang, tapi abang tidak merespon semua telepon dan pesan kami." Ujar Marva.

Ketika Gina mengandung Laya, Keenan serta Marva pulang ke Indonesia lima bulan terakhir sebelum Gina melahirkan karena adik Gina ada pekerjaan sehingga tidak bisa menjaganya.

"Mungkin kakak berpikir aku dan Marva seperti tinggal di rumah ini, secara tidak langsung, kami memang pernah tinggal disini bersama adik kak Gina. Selama kakak sibuk dengan pekerjaan, kamilah yang berada disini. Ketika kakak pulang, kak Gina ada didalam kondisi yang baik. Ketika kakak pergi, kak Gina akan kembali ke kondisi terburuknya." Keenan berkata, matanya berkaca-kaca.

"Menjadi ibu sangat berat bang, apakah abang tahu kalau kak Gina tidak memakai baby sitter sama sekali? Dia tidak memiliki asisten rumah tangga untuk rumah sebesar ini. Abang mungkin tidak mempermasalahkan uangnya, tapi kak Gina selalu takut jika anak-anak lebih dekat dengan orang asing ketimbang keluarga. Baginya, keluarga adalah segalanya. Maka dia selalu berusaha mendekatkan kami dengan anak-anaknya. Kak Gina dan anak-anak tidak selalu membutuhkan materi, tapi juga perhatian." Marva melanjutkan.

"Mungkin surat cerai itu adalah bukti bahwa kak Gina sudah lelah menunggu kakak."

Lagi-lagi ucapan kedua adiknya mengenai tepat sasaran di hati Danan. Pengakuan mereka menyakitkan hati Danan, tangisnya kembali pecah. Jika Gina meneleponnya sehari sampai lima kali, dia selalu marah. Dia kesal karena merasa Gina tidak menghormati waktu istirahatnya. Dia merasa lelah bekerja dan selalu berpikir apa yang dia lakukan adalah benar. Dia tidak memikirkan bagaimana lelahnya Gina mengasuh ketiga anak tanpa bantuan dari dirinya. Baru sebulan Danan mengasuh ketiga bocah itu dan dia merasa sangat kelelahan, di setiap harinya. Piring kotor yang terus menumpuk, pakaian kotor yang tidak pernah habis, setrikaan, dan juga memikirkan menu-menu makanan yang harus dia siapkan setiap harinya.

Benar, dia egois.

Dan sialnya, Danan terlambat menyadarinya.

Gina sudah pergi, dia bahkan belum sempat mengucapkan kata maaf kepada mendiang istrinya. Dia sudah sangat bersyukur ketika melihat ketiga buah hatinya masih hidup. Pada kecelakaan mobil itu, istrinya tengah bersama ketiga anaknya hendak pergi berbelanja ke Supermarket. Nahasnya, mobil itu ditabrak mobil lain dari belakang, sehingga maju dan menabrak tiang pembatas yang berada didepannya. Laya, Aksa dan Jovi yang memakai sabuk pengaman tidak bergeming dari tempat mereka, ketiganya tertindih boneka-boneka yang tersebar dibelakang mobil, ketiganya mengalami luka di beberapa bagian tubuh. Gina terjepit di balon penyelamat namun nyawanya tidak bisa diselamatkan. Benturan keras membuat kepalanya mengalami pendarahan hebat sehingga menjadi penyebab kematiannya.

Danan masih terisak ketika Keenan mendekat dan mengelus punggungnya. Kini dia harus memberitahu kedua adiknya mengenai keputusan semalam yang dia buat. Tekadnya sudah bulat.

"Aku, berhenti dari stasiun tv di Jakarta." Danan berkata, menghapus airmatanya. Kedua adiknya terkejut.

"Tapi kak, ada kami disini-"

"Aku sudah kehilangan Gina, melihat bagaimana ketiga anakku lebih dekat dengan kalian, dan juga mendengar apa yang selama ini terjadi pada Gina membuatku tersadar dan yakin bahwa aku harus berada disini. Aku tidak ingin kehilangan anak-anakku." Danan menatap kedua adiknya sebelum melanjutkan ucapannya, "Aku kembali bekerja di televisi dekat sini, aku mengambil tawaran temanku untuk mengisi kekosongan pembaca berita pagi disini."

Keenan dan Marva menghela napas, tanpa sadar keduanya menghambur untuk memeluk Danan yang kebingungan.

"Kami ingin sekali mengatakan hal ini kepada kakak, tapi kami takut untuk mengatakannya karena kami tahu, menjadi pembawa acara dan pembaca berita di televisi nasional adalah cita-cita kakak." Ucap Keenan.

"Tapi kami juga ingin sekali bilang, abang sudah kehilangan kak Gina, tolong jangan kehilangan Aksa, Jovi dan juga Laya." Marva melanjutkan.

Ketiga kakak adik itu saling berpelukan dan menangis bersamaan. Benar. Inilah keluarga yang dahulu selalu menguatkannya. Danan tidak akan pernah lupa, ayah, ibu dan juga kedua adiknya selalu ada untuknya.

Seharusnya, dia juga seperti itu…

Seharusnya, selama ini dia juga harus selalu ada untuk istri dan ketiga anaknya.

Selalu ada untuk kedua adiknya.

Itulah arti ‘Keluarga’ yang selalu mendiang orangtuanya ajarkan.

Setelah beberapa saat mereka akhirnya mulai membicarakan mengenai tugas yang akan mereka ambil selama tinggal bersama, Danan menjelaskan mengenai jadwal kerjanya, begitupula dengan Keenan dan Marva. Jadi, mereka membagi tugas dirumah seperti membereskan rumah, mencuci piring, dan pekerjaan rumah lainnya. Mereka setuju untuk memilih binatu untuk mengurus cucian kotor yang tidak ada habisnya.

"Yang paling terpenting adalah pakaian dalam, kita bisa mencucinya di rumah untuk baju sekolah dan sehari-hari kita serahkan saja pada binatu." Marva memberikan opini dan dengan cepat kedua orang dihadapannya mengangguk setuju.

"Yang paling penting adalah memasak," Suara Danan terdengar parau mengatakan hal ini.

Marva dan Keenan langsung merasa lemas, ketiganya tidak ada yang bisa memasak. Danan sudah lupa bumbu-bumbu untuk memasak, dia masih belum berani untuk mencoba lagi. Sedangkan Marva tidak pernah memasak, selama hidup sendiri di Amerika dia hanya mengandalkan makanan cepat saji, untuk Keenan dia hanya bisa memasak menu-menu sederhana seperti roti panggang, salad, dan juga telur goreng. Ketiganya menghela napas bersamaan. Ketiga anak Danan memiliki selera orang Indonesia yang kental, mereka lebih senang sarapan dengan nasi ketimbang roti, mereka lebih senang makan dengan sayur dan lauk ketimbang harus makan sereal. Dan itu sangat sulit, meskipun uang Danan banyak tapi jika harus terus menerus makan diluar itu akan menghabiskan banyak waktu juga.

Ketika mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, bel di pintu berbunyi. Keenan berjalan dan membuka pintu, matanya membulat ketika dia melihat siapa yang tengah berdiri di depannya. Melihat ke belakang orang tersebut, dua buah koper kecil dan satu koper besar membuat Keenan bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Siapa, Keen?" Tanya Danan, dia berjalan mendekat dengan Marva mengekor dibelakangnya.

Keenan menoleh, memberi ruang untuk Danan dan Marva melihat siapa di balik pintu, jarinya menunjuk ke arah orang tersebut,

"Kak Esa pandai memasak, kurasa tugas itu akan cocok untuknya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status