Share

Rumah yang ramai

Tinggal bersama adalah ide Mahesa.

Mahesa mencetuskan ide ini dua minggu setelah kematian Gina. Saat itu, Keenan dan Marva bahkan tidak berpikir untuk kembali ke Indonesia. Sejujurnya, kematian Gina benar-benar membuat mereka terpukul dan terlebih lagi mereka membenci Danan. Baik Keenan dan Marva memiliki sesuatu yang mengganjal pada Danan, namun mereka belum bisa mengungkapkannya. Bagi mereka yang menghubungkan mereka dengan anak-anak Danan adalah Gina, mereka menyayangi Gina layaknya seorang kakak, Gina menjelma sebagai pengganti Danan yang sangat sempurna untuk mereka, kekosongan Danan bisa diisi dengan sangat baik oleh Gina sehingga bagi keduanya wanita itu adalah segalanya, harta berharga maka ketika Gina tiada, kekosongan itu kembali dan mereka benci perasaan itu sehingga pergi menjauh hanyalah jawabannya.

Namun, Mahesa menelepon keduanya.

Mahesa berkata bahwa dia menelepon Aksa dan terkejut melihat seisi rumah yang berantakan serta tidak terawat. “Aksa bilang kak Danan gak mau panggil ART untuk sekedar bersih-bersih.” Ucap Mahesa diujung telepon. Keenan bergeming. “Aku khawatir sama anak-anak Keen, kasian mereka.”

Omongan Mahesa sukses membuat Marva dan Keenan memikirkan nasib ketiga keponakannya. Selama ini mereka membantu Gina untuk mengurus ketiganya, mau tidak mau mereka mengerti betul dari mulai apa yang disukai dan dibenci anak-anak itu, hal-hal kecil, kebiasaan, semuanya. Meninggalkan tiga anak itu dengan Danan adalah suatu bencana.

“Aku bukannya gak percaya sama kak Danan,” Mahesa menjeda kalimatnya sebentar, “sejujurnya memang sangat gak percaya sih…” Sambungnya.

Ada banyak hal yang Danan tidak tahu tapi ketiganya tahu, seperti masalah mental Gina dan untuk Mahesa sendiri tentang apa yang dirasakan kakak perempuannya selama ini pada Danan yang menyibukkan dirinya pada kerjaan ketimbang membagi waktunya sedikit untuk keluarga. Dan, Mahesa ingin sedikit demi sedikit Danan tahu mengenai hal itu. Mahesa ingin apa yang kakaknya rasakan selama ini tersampaikan dengan baik pada Danan meskipun kakaknya sudah tidak ada di dunia ini.

“Ayo kita tinggal bersama disana, aku tahu kalian bisa, kerjaan kalian gak menuntut kalian di tempat. Kita bertiga, punya pekerjaan yang sangat fleksibel, aku yakin ini sudah jadi rencana Tuhan sejak lama.” Kata-kata itulah yang akhirnya membuat Keenan dan Marva menyetujui, sehingga mereka menghubungi para sahabatnya, Hara dan Fahar untuk bergabung. Hara dan Fahar mengenal Gina, bahkan jauh lebih baik dari Danan mengenal istrinya sendiri. Pun juga dengan ketiga anak-anak itu, yang selalu Gina banggakan di depan mereka, yang selalu Gina harapkan bisa menjadi salah satu dari mereka.

“Asal tidak jadi host televisi aja..” Celetukan Gina ini dulu bisa membungkam seluruh tawa dan senyum mereka. Mereka bisa melihat betapa Gina membenci pekerjaan itu, baginya pekerjaan itu telah merenggut suaminya.

Maka, Hara dan Fahar menyetujuinya, kebetulan mereka memang sedang berada di Indonesia dalam beberapa bulan. Kemudian di hari Minggu yang cerah, Fahar adalah orang yang pertama kali datang, memencet bel Apartemen dengan menggebu membuat seluruh penghuni di dalam kediaman Danan terbangun dengan terkejut. Danan tergopoh menggendong si kecil Laya dengan muka bantal dan membuka pintu otomatis tersebut, senyum lebar dan ceria milik Fahar mendadak terlihat sangat menyilaukan baginya. Danan menyipitkan matanya.

“Bang Danan baru bangun? Yaya halooooooooo!! Selamat pagi!” Fahar mengambil Laya dari gendongan Danan dan menciumi pipi anak itu yang masih setengah sadar.

“Har! Gila suaranya kenceng banget sih!” Marva berteriak dari depan pintu kamarnya dan Fahar tertawa terbahak-bahak melihat pakaian tidur yang dikenakan pria itu.

Danan masih mencerna apa yang terjadi, kemudian dalam beberapa menit dia mengingat bahwa Fahar akan tinggal bersama mereka mulai hari ini. Dia kemudian menyeret koper Fahar yang berada diluar masuk ke dalam, sedikit terkejut dengan jumlahnya, Danan curiga Fahar berniat menetap permanen di Apartemennya. Belum beres dia memasukkan semua koper Fahar tiba-tiba suara lembut mengalihkan pandangannya. “Bang, mau Ara bantuin?” Hara tersenyum. Danan mengamati Hara yang ada di depannya, anak itu tidak pernah berubah sejak dulu.

Hara membantu membawakan koper Fahar dan kemudian berteriak di dalam, “Kak Fahar! KOPERNYA DONG! GAK SOPAN BANGET!” Suaranya menggelegar sehingga membuat Danan sedikit terkejut, tidak menyangka, kemudian Fahar keluar dan cengar cengir.

Tiba-tiba Apartemen yang tampak sepi itu menjadi lebih ‘hidup’. Danan berdiri di dekat ruang keluarga, mengamati, Taksa dan Jovi keluar dari kamar dan memeluk Hara dan Fahar secara bersamaan. Mahesa bersalaman dengan keduanya tanpa canggung, mungkin mereka pernah bertemu, Hara dan Fahar menggoda Marva secara bersamaan karena pakaian tidurnya yang buat mereka sangat norak, Keenan tertawa sambil memasukkan koper Hara ke kamarnya. Perasaan hangat menjalar ke dada Danan, dia menyukai suasana ini, suasana hangat yang mungkin dirindukan Gina ketika dia tidak disini.

“Bang, aku dengar abang keluar dari stasiun TV di Jakarta?” Tanya Hara kemudian membuat Danan kembali pada sadarnya, mendekat dan duduk disebelah Taksa.

“Iya, aku mulai kerja Senin ini di tempat baru.”

“Gajinya jauh beda dong bang?” Tanya Fahar.

Danan terdiam sebentar dan mengangguk kecil, “Ya, kalau dibandingkan pasti jauh beda Har, tapi cukup kok untuk anak-anak.”

Fahar kemudian nyengir kuda, sadar kalau mungkin pertanyaannya agak keterlaluan. Mahesa mencairkan suasana yang sedikit canggung dengan menawarkan sarapan, kebetulan kedua orang yang baru datang itu juga belum sempat sarapan, maka Mahesa mulai dengan membuat nasi goreng. Danan menunjukkan Hara dan Fahar dimana mereka akan tidur, Hara untungnya tidak masalah satu kamar dengan Keenan toh sejak kecil keduanya sering bergantian menginap di rumah masing-masing.

Setelahnya, Fahar dan Hara merapikan barang mereka sedangkan Danan memandikan si kecil Laya. Taksa dan Jovi juga bersiap-siap mandi, mereka berencana untuk pergi ke supermarket membeli bahan makanan.

“Untuk bagian masak, aku serahkan pada Mahesa karena satu-satunya yang bisa memasak hanya dia. Tapi, aku harap kalian bisa sedikitnya membantu dia mempersiapkan bahan masakan.” Ujar Danan ketika semuanya sudah berkumpul. Mereka membagi tugas seperti bersih-bersih, menyapu, mengepel, mencuci piring, mencuci baju akan diserahkan kepada masing-masing dengan pembagian hari. Untuk baju yang memang harus di setrika mereka sepakat untuk menyerahkannya pada binatu ketimbang mencelakakan diri sendiri karena tidak ada satupun dari mereka yang bisa.

Setelah makan siang, Hara, Fahar, Keenan dan Marva juga Taksa dan Jovi pergi berbelanja ke supermarket sedangkan Mahesa, Danan dan Laya di rumah. Laya sudah sangat mengantuk dan sedikit rewel sehingga Danan berniat untuk menidurkan anak itu dulu.

Laya tidur disamping Danan, menyedot botol susunya sambil memegangi wajah Danan. Pria itu tersenyum dan mengecup dahi putrinya.

“Yaya senang tidak rumahnya jadi ramai?” Tanya Danan. Laya mengangguk.

“Sekarang masih rindu mama tidak?” Tanya Danan lagi, dan Laya mengangguk, melepaskan botol susunya dan menatap mata Danan.

“Papa jangan nangis.” Ucapnya. Danan sedikit terkesiap karena setaunya, dia tidak pernah menangis di depan ketiga anaknya.

“Papa tidak menangis,”

“Papa yindu mama?”

Pertanyaan Laya mengejutkannya.

Rindu?

Apakah ini yang sedang dia rasakan?

Apakah dia sedang merindukan Gina?

Perasaannya jadi terasa aneh, tapi dia mengangguk dan mengecup dahi Laya sekali lagi kemudian menepuk-nepuk pelan punggung anak itu sampai dia tertidur.

Pertanyaan Laya masih bercokol di kepalanya, pertanyaan semudah itu namun dia tidak bisa menentukan jawabannya. Apakah dia merindukan Gina?

Selama dia bekerja dan jauh dari Gina, apakah sekali saja dia merindukan Gina dan anak-anaknya?

“Kamu pernah rindu sama aku gak sih Nan? Sama anak-anak kita?”

Mendadak pertanyaan itu muncul di salah satu memori Danan, memori yang selama ini dia simpan rapat-rapat karena terasa menyakitkan. Dia tahu bahwa dia telah menyakiti hati Gina hari itu, dia tahu benar bahwa dia telah mengkhianati janjinya sendiri untuk membuat Gina menjadi satu-satunya wanita yang paling bahagia setelah menikah, maka dia menguburnya dalam-dalam. Tidak pernah sekalipun dia berani untuk mengingatnya, namun hari ini kejadian menyakitkan itu tanpa permisi muncul di kepalanya. Dia masih ingat tangisan tanpa suara Gina, isaknya, bahkan wanita itu tak mampu untuk berbicara secara jelas karena jawaban Danan menyakitinya. Danan ingat benar diujung telepon dia hanya mematung tanpa suara, hatinya tidak sakit, tidak sesakit sekarang ketika mengingat betapa jahat dan dinginnya dia pada Gina.

Apa yang dilakukan wanita itu sehingga dia menjadi seperti itu? Apa yang dia pikirkan sehingga dia sanggup memperlakukan wanita yang paling dia cintai sebegitu kejamnya? Apakah Danan sudah tidak mencintai Gina? Tanpa alasan?

Kemudian Danan mengalihkan pandangannya pada Laya yang sedang tertidur, dia tatap lekat-lekat putrinya tersebut, menyisir wajahnya yang lembut, airmata Danan jatuh.

Terlambat.

Perasaan sakit itu terlambat datang. Ketika mengingatnya lagi, perasaan sakitnya sangat menusuk. Danan menggigit bibirnya, berusaha menahan isaknya takut-takut Laya terbangun atau Mahesa mendengarnya.

“Aku salah apa Nan? Anak-anak salah apa sama kamu?”

Pertanyaan terakhir Gina terngiang di telinganya, dan airmatanya semakin berjatuhan. Rasanya sesak, Gina pasti merasakan hal ini juga hari itu, jawaban dingin  yang Danan ucapkan, sikapnya. Danan membuka laci di nakas dekat tempat tidurnya, menggenggam amplop berwarna coklat itu dia terisak.

“Na, seharusnya aku yang pergi, aku yang berhak pergi meninggalkan dunia ini, bukan kamu…” Bisiknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status