Share

Bab 2 : Suka!

[Rival Hadiputra]

"Aku akan melindungimu, Elizabeth."

"Kumohon jangan sakiti siapapun lagi, Meliodas!"

Suara televisi memenuhi kamarku. Televisi LED itu menampilkan film anime di mana karakter utamanya sedang sekarat karena melindungi sang pacar. Aku hampir tak berkedip memandangi layar, padahal pikiranku sedang melayang-layang. Tak fokus pada filmnya.

Suara dehaman Damian menyadarkan lamunanku, tapi tidak sekeras itu untuk membuatku menoleh. "Val? Lo kenapa, sih? Habis ketemuan sama Vie tiga hari lalu, lo jadi aneh gini." ucapnya. Entah dia khawatir atau hanya penasaran.

"Bukannya gue emang aneh, ya?" sahutku kalem. Sobatku itu langsung terdiam, dengan begitu aku tak perlu repot-repot menjelaskan padanya tentang apa yang terjadi tiga hari lalu.

Kemudian kudengar suara gemerisik tanda bahwa Damian dan Josh sedang berbisik-bisik di belakangku. Entahlah, aku tak berniat untuk tahu apa yang mereka bicarakan tentangku. Padahal aku mencoba untuk jujur, bahwa aku memang orang aneh.

Sebuah tangan menepuk bahuku dan mengusapnya, disusul suara Josh yang terdengar dilembut-lembutkan. "Lo ada masalah apa? Coba cerita, siapa tau kita bisa bantu."

Damian mendekat padaku di sisiku yang lain. "Bener itu, Val."

Aku memandang kedua sobatku bergantian dengan tatapan datar. Di sisi kananku, ada Damian Erlanda. Cowok itu tinggi besar dan atletis, rahang tegasnya membuatnya terlihat sangar.

Sementara di sebelah kiriku ada Joshlyn Gunawan alias Josh. Temanku yang paling rapi, selalu mengenakan kemeja yang

kan­cingnya rapat semua seperti takut dadanya diintip orang, de­ngan kacamata berlensa tipis yang kucurigai kacamata

aksesoris.

Mereka berdua menatapku dengan tatapan cerita-atau-gue-cekek-lo-sampe-mati.

Aku pun menghela napas saat sadar bahwa kedua sobatku itu kepo berat. Padahal dari luar mereka terlihat seperti anak-anak alim yang tak suka bergosip ria. Aku juga tidak sudi jika pengalamanku yang mengenaskan dijadikan bahan gosip oleh mereka. Tapi karena aku tahu, aku tak mungkin dibebaskan begitu saja, aku pun memulai ceritaku tentang pengalamanku tiga hari lalu saat aku nekat menemui Vie.

Saat itu kami duduk bersisian di kelas yang sudah lumayan ramai, suasananya canggung karena aku tak pandai membuka obrolan. Lalu dengan bodoh, aku mencetus asal dan menebak bahwa Vie menyukaiku. Aku tidak tahu apa yang Vie pikirkan, karena setelah bentuk matanya--yang awalnya melebar terkejut--kembali normal, ia hanya diam. Menatap mataku lekat-lekat dengan tubuhnya yang tak bergerak sedetik pun.

Lama-lama mata Vie terlihat berkaca-kaca membuatku tak enak hati. Tapi belum sempat aku mengambil tindakan, Vie berdiri dari duduk sambil menggebrak meja. Matanya menatapku dengan sorot bengis yang membuatku ngeri. Apa, sih, salahku? "PEDE BANGET LO, ZOMBIE! DASAR ANEH!" Vie menendang kaki meja dengan keras sebelum akhirnya pergi meninggalkanku yang masih bingung.

Dan sejak saat itu, aku tidak pernah lagi melihatnya di sekolah.

Damian dan Josh sama-sama menggeleng prihatin setelah mendengar ceritaku. Dahiku berkerut samar melihat reaksi mereka. "Kalian kenapa?"

Josh menepuk bahuku sekali lagi. "Gue turut berduka cita atas pikiran lo yang hilang entah ke mana."

Aku menepis tangan Josh sambil mendelik menjauh. Biar saja, tampang ngenes-nya membuatku kepingin muntah. "Gue masih punya otak, buktinya gue masih bisa ngerjain soal geografi di sekolah." sahutku.

"Mikir itu bukan cuma pake otak, Val." kata Damian, ia berbaring terlentang di kasur seraya menatap langit-langit kamarku menerawang. Dih, kenapa mereka jadi melankolis begini, sih?

Kulihat Damian mengepalkan tangan seraya meletakannya di dada kiri dengan gaya lebay. "Kadang sesuatu harus dirasakan juga pake hati."

"Gue gak punya emosi, apalagi hati." balasku dengan nada kelewat santai. "Lagian kalian ngomongin apa? Gak nyambung." setelah aku mengatakan itu, Damian dan Josh sama-sama menegakan tubuh sambil menatapku dengan sorot elo-yang-bego-Val. Ampun, deh. Padahal 'kan fungsi hati manusia bukan untuk berpikir. Mereka saja yang nilai biologinya di bawah standar.

"Val, Vie kabur karena lo udah ngungkap rahasia terbesar dia." Damian bangkit dan menatapku kelewat serius sampai-sampai bola matanya seperti hendak keluar. "Lo bener, dia suka sama lo. Dia marah kayak gitu karena dia malu banget sama lo!"

Aku memutar bola mata, merasa tak tertarik lagi dengan topik itu. "Terus gue harus apa?"

"Ya, minta maaflah!" Josh menghentakan kepalanya kesal, padahal aku merasa lebih kesal karena mereka bertingkah seperti orang gila. "Atau kalo lo mau, lo pacarin aja dia."

Mendengar kalimat terakhir membuat pergerakanku yang hendak bangun terhenti. "Pacarin?"

Josh memgangguk semangat. "Kayak Damian sama Frey!"

Aku beralih memandang Damian dari atas sampai bawah. Aku heran cewek secantik Frey mau-mau saja pacaran dengan cowok bertampang blo'on seperti Damian. Apa Vie mau berpacaran denganku yang kalau kata teman-temanku, saudaranya zombie?

Aku berdecak sambil mengacak-acak rambut. Terserah, aku pusing dan frustasi saat memikirkan kemungkinan terburuk. Apa aku kena mental karena sempat dibentak oleh Vie? Tidak-tidak, jika aku kena mental, bisa-bisa aku dianggap sebagai cowok paling cemen se-SMA Gerbang.

"Gini, Val! Cinta itu bisa datang karena terbiasa." ucapan Damian kembali mengalihkan perhatianku. "Lo 'kan mau memahami perasaan manusia, daripada ikut klub teater atau nonton anime gak jelas, mending lo pacarin Vie aja. Nanti lama-lama lo pasti paham sama yang namanya perasaan!"

Saat itu, aku hanya mengangguk agar tidak memperpanjang topik ini. Tanpa kutahu bahwa tindakan kecilku itu adalah tiket menuju roller coaster paling ekstrim yang akan kuhadapi seumur hidupku.

💌

Keesokan harinya aku kembali bertemu dengan dua sobatku, Damian dan Josh, di depan gerbang sekolah. Maklumlah, temanku cuma mereka. Mereka tampak rapi dengan seragam lengkap, Damian bersandar pada mobil Benz silver yang terparkir di parkiran, sementara Josh berdiri di sampingnya dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku.

"Val!" sapa Josh sambil mengangkat sebelah tangan sebelum akhirnya kembali ke posisinya semula.

Dengan tampang datar yang nyaris tanpa ekspresi, aku menghampiri mereka. "Ngapain?" tanyaku tanpa minat.

"Ini saatnya kita diskusiin rencana kita biar lo pacaran sama Vie, man." kata Damian, ia menepuk-nepuk dada bidangnya yang membusung. "Lo bisa minta nasehat apapun dari sensei."

Cih, sensei katanya?

Aku memutar bola mata. "Jadi apa rencana kalian?"

"Jadi gini ide gue sama Damian." Josh yang memulai, "Nanti, lo ajak Vie makan siang bareng. Ya, sebagai cowok sejati, lo harus traktir dia--"

"Yailah, ngapain harus traktir segala, sih? Dia juga punya duit kali." potongku. "Mending gue traktir kalian--"

"Asyiiik ... dia mau traktir!" teriak Damian, mendadak kebijakan ala sensei-nya lenyap begitu mendengar temannya ini punya banyak uang. "Cepet, gue udah ngidam Hokben!"

"Lo aja sendiri!" bentakku. Dasar sobat tidak tahu diri. "Tempatnya kejauhan. Sini, gue trak­tir di kantin sekolah aja!”

"Nggak mau," cibir Josh sambil mencebik. "Makanannya kayak makanan

pen­jara!"

Damian menyikut lengan Josh. "Tega lo. Yang masak mukanya baik, tau?"

"Iya, tapi suka ngupil," sahut Josh dengan muram.

"Masa?" mendadak perutku terasa mulas. Soalnya kemarin aku membeli nasi padang dengan ayam bakar lima porsi. "Gila, pantes gue ngerasa nggak enak badan dari kemarin--"

"Bercanda, kali."

"Sialan!" sakit perutku langsung hilang seketika. Oke, aku tahu, aku memang gampang terpengaruh sugesti. Aku sudah

ber­usaha keras tidak dipengaruhi orang, tetapi apa daya, aku me­mang gampang percaya pada orang lain, apalagi pada yang mu­kanya innocent seperti Josh. Mana tahu justru yang tampangnya tak berdosa seperti Josh biasanya punya dosa segunung. "Oke. Back to topic. Intinya, gue harus ajak Vie makan siang, traktir, terus apa?"

"Nah," Damian menjentikan jari. "Nanti, lo bilang aja gini. 'Vie, gue minta maaf, kemarin gue keceplosan. Tapi sebenernya gue juga suka sama lo. Gimana? Lo mau pacaran sama gue?'. Gitu, Val!"

Enak saja dia bicara begitu. Dipikir gampang bicara pada cewek sensian seperti Sevie Andina? Bisa-bisa sebelum aku mengajaknya bicara, ia sudah memukuli sampai babak belur. Oke, aku memang baru mengenal Vie dan cewek itu memang bukan preman jalanan yang bisa memukuliku sampai babak belur, tapi setidaknya itulah penilaianku selama tiga hari terakhir.

Belum sempat aku menjawab, Josh sudah menepuk-nepuk bahuku tak sabar sementara matanya melotot ke arah gerbang sekolah. "Tuh-tuh, si Vie dateng, tuh."

Aku pun mengikuti arah pandang Josh, begitupun Damian. Dan di sanalah aku melihat Vie sedang berjalan bersisian bersama seorang laki-laki berambut cokelat gelap. Aku kenal dia, dia adalah Arven Indrawan. Dia termasuk cowok populer karena keahliannya dalam bermain skateboard. Cowok itu terlihat menggoda Vie, dan Vie sesekali terlihat mendengus atau tertawa. Genggamanku pada tali ransel terlepas saat Arven merangkul Vie dengan mesra.

"Tenang, Val. Belum tentu si cowok kampret itu pacarnya Vie. Pelan-pelan aja, Val." bisik Damian di telingaku. Tapi aku tidak mengabaikannya.

Kenapa aku bisa melupakannya? Bahwa kami berbeda. Kenapa aku bisa melupakannya? Cowok-cowok populer selalu mendapatkan semuanya dengan mudah. Sementara sisanya harus puas menjalani hidup yang biasa-biasa saja. Cowok-cowok populer mendapatkan apapun yang mereka inginkan tanpa harus berusaha. Sementara sisanya harus puas dengan patah hati.

"Sevie!" sialan! Josh malah memanggil Vie! Saat aku menyikut perutnya dengan kuat, Josh hanya memandangku dengan memasang wajahnya yang polos.

Aku menahan napas saat Vie menoleh ke arah kami. Ia melenggang santai menghampiri kami disusul Arven yang berjalan di sampingnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status