Share

Bab 4 : Menghillang

[Rival Hadiputra]

"Pertama, pastiin kaki lo tetep nyentuh tanah. Kaki satunya lagi di atas papan, lebih tepatnya di atas truck, bagian depan papan." di taman kompleks, Arven menjelaskan tata cara bermain skateboard padaku. Aku hanya mengamatinya dengan setengah hati. Aku masih sebal dengan kejadian beberapa jam yang lalu.

Saat istirahat siang itu, seperti biasa aku memesan nasi padang pada Ibu Kantin dan duduk di sudut menghadap Damian yang duduk di seberang meja bundar. Josh entah ada di mana, sejak bel baru saja berbunyi ia sudah ngacir seperti orang yang kebelet buang air.

"Gue harus gimana, nih?" kataku, entah untuk yang ke berapa kali.

Damian yang sedang sibuk menggerogoti ayam bakarnya mendelik menatapku. Sepertinya dia risi. Tapi ini karena dianya juga, sih! Aku terjebak masalah karena tindakan bodohnya, dan lebih bodoh lagi, Damian tetap santai-santai seolah tak ada yang terjadi.

"Lo tenang aja, sih, Val. Gue 'kan udah bilang kalo gue punya rencana."

Rencana-rencana, rencana pala lo pitak! "Tapi masalahnya, dari tadi gue belum denger apa rencana lo, Damiaaaan." sahutku, aku menghembuskan napas. Entah harus berapa kali berusaha sabar menghadapinya.

"Ya, nantilah. Gue makan dulu--Arven! Oii! Arveen!" Damian tiba-tiba berteriak dengan mulutnya yang penuh sehingga nasi di mulutnya muncrat mengenai wajahku.

Lagi-lagi aku menghela napas sambil membersihkan wajahku.

Di sela-sela kegiatanku, kuhilat Arven menghampiri kami dengan wajah songongnya yang minta ditampar. Tapi, tumben cowok populer seperti dia sendirian? Mana teman-teman kampretnya? Dan juga ... mana Vie?

"Vie di ruang guru. Lagi ada tugas." kata Arven, tatapan datarnya terarah padaku membuatku mati kutu.

Sial, memangnya aku begitu mudah dibaca?

"G-gue gak nanya, ya? Gue udah tau dia di mana dan lagi ngapain!" sahutku pada akhirnya.

"Gue yang nanya, bodoh. Lagian, sepuluh menit yang lalu gue nanya ke elo, Vi ke mana? Lo bilang gak tau." Damian is a bullshit friend. Lalu, si bullshit Damian beralih pada Arven sambil menggerakkan dagu ke kursi kosong di meja kami. "Duduk, Ven. Gue mau ngomong yang lain."

Arven menurut seperti anak anjing. "Elo yang mau ngomong? Bukan si songong ini?"

Heh! Ngaca, cuy!

"Sebenernya ini ada kaitannya sama Val." kata Damian, ia menenggak jus jeruknya sebelum menatap Arven dengan raut serius. "Tolong ajarin Val nge-skate!"

Sekali lagi.

Damian is a bullshit friend.

Dan di sinilah aku sekarang. Memerhatikan teori Arven dengan ogah-ogahan sambil melihatnya memamerkan keahliannya di lapangan parkir sekolah beraspal. Sekolah sudah selesai, dan parkiran sangat lengang, jadi kami bisa leluasa berlatih tanpa gangguan.

Aku menurut saat Arven menyuruhku untuk mempraktikkan apa yang ia lakukan. Kuletakkan kaki kananku di atas papan skate yang baru kubeli barusan.

"Bener! Gitu, Val!" seru Damian yang sedang duduk di mobilnya yang pintunya dibiarkan terbuka. Aku juga tahu, kali. Memangnya aku bodoh?

"Sekarang naikin kaki yang satu lagi." kata Arven.

Aku mencoba mengangkat kaki kiriku, tapi aku ragu-ragu dengan keseimbangan tubuhku di atas roda-roda.

Arven berjalan mendekatiku dan mengulurkan tangan. "Kalo lo takut jatuh, biar gue pegangin. Ya, tapi mustahil kalo lo gak bakal jatuh pas belajar nge-skate." ujarnya acuh tak acuh.

Aku hanya melirik tangan Arven yang terulur itu tanpa minat. Ya, kali aku mau dipegangi. Gengsi, dong. Bagaimana jika Vie melihat dan menganggapku cemen? Idih. Kemudian, aku menaikan kaki kiriku ke belakang papan, tapi papan itu sontak meluncur dan menjatuhkanku ke posisi terlentang.

"HAHAHAHA!" Damian tertawa keras.

Aku mengumpat, masih sambil terlentang di aspal dengan kepala berdenyut, aku menatap wajah Arven dari bawah dengan sorot tak terima. "Gue jatuh." kataku retoris, kuharap aku tidak gegar otak.

Arven menepuk dahinya dan berjalan mengambil papan. "Tadi itu gara-gara pusat gravitasi lo adanya di belakang. Seharusnya pas lo naik, pusatkan gravitasi lo di kaki depan. Terus pindahin ke tengah pas kaki yang satunya lagi udah naik." Arven melakukan apa yang dia ucapkan, ia berdiri seimbang di atas skateboard sementara aku malah terperangah.

"Ngerti?" tanya Arven sekali lagi, disusul senyumnya yang menjengkelkan. Sumpah, orang ini songong, asli.

Mataku menyipit, aku menuding Arven dengan jari telunjuk. "Jelasin aja semua teorinya ke gue. Yang jelas!"

"Oke!" Arven menyahut dengan dada membusung. Kemudian Arven duduk di aspal dan mengeluarkan miniatur papan luncur. Aku ikut duduk dan mendekat, begitupun Damian.

Detik berikutnya, Arven menjelaskan semua teknik-teknik dasar bermain skateboard, ia juga menjelaskan beberapa trik seperti trik ollie dan spin. Serta mempraktekannya melalui miniatur skateboard. Kami menghabiskan waktu hingga sore hari.

Sebelum pulang, Arven sempat mengatakan ini. "Butuh waktu tiga bulan buat belajar satu trik skate. Lo nyerah aja soal taruhan itu, Val. Lo gak akan menang kalo cuma belajar teori dalam waktu lima hari."

Dan setelah itu, aku tidak pernah menemuinya lagi.

💌

Empat hari berlalu dengan begitu cepat. Dan selama itu, Vie tak pernah terlihat di sekolah, begitupun Josh. Aku agak heran dengan fakta itu. Josh seolah sedang sibuk-sibuknya sampai-sampai mengabaikan aku dan Damian. Setiap hari, ia datang tepat sedetik sebelum bel berbunyi, kemudian pulang tepat sedetik setelah bel berbunyi. Sibuk sekali.

"Lo kok ada di sini?" Aku menuding Freya dengan dagu saat ia baru saja duduk di meja yang sama denganku dan Damian. Siang itu, seperti biasa kami berdua duduk di sudut kafeteria kantin untuk makan siang.

Frey hanya mengangkat bahu. "Tadinya mau makan sama Vie, tapi belakangan dia gak ada terus."

"Lagian dia pacar gue, Val." sambung Damian, dan aku langsung memutar bola mata. "Emangnya gak boleh kalo gue pengen launching sama pacar? Takut jadi nyamuk, yaaaaaa? Hahay!"

Bacot. "Emang si Vie ke mana?" Aku mengabaikan Damian. "Kebetulan banget, soalnya belakangan, Josh juga gak bareng sama kita."

"Oh, ya?" Frey mengangkat alis. "Kira-kira mereka kenapa?"

"Apa ini yang dinamakan berjodoh?" Damian sumpah, bacot banget.

"Hush! Sembarangan." sahut Frey sambil mengibaskan tangan. "Eh, tapi ... kayaknya gue pernah liat Vie sama Josh berduaan di ruang guru, deh."

"Hah? Mereka ngapain? Mereka ada pelajaran tambahan bareng?" tanyaku, spontan. Aku bahkan tak sadar bahwa tubuhku condong ke arah Frey dengan mataku yang menuntut jawabannya.

"Dasar orang bego!" Damian bullshit menyela pembicaraan sambil menepuk dahi. Entah sudah berapa kali aku diam-diam mengejeknya, habisnya dia memang minta ditonjok, sih. Menyadari tatapan datar aku dan Frey, ia buru-buru menambahkan. "Tapi Bebeb Frey gak bodoh kok. Tenang aja." ucapnya sok manis, kemudian Damian beralih padaku. "Val, di mana-mana, belajar itu di ruang kelas. Kalo di ruang guru, namanya remedial."

"Itu, sih, monyet ngesot juga tau, Bebeb Mian." sahut Frey, "Btw-btw, balapan skateboard besok 'kan? Udah ada persiapan?"

"Ya," jawabku sekenanya. Aku tak bicara lagi karena berikutnya, Damian yang melanjutkan.

Dalam sekejap, topik pembicaraan kami teralih pada pelatihan skateboard-ku yang--well, sebenarnya aku hanya menonton video tutorial di sosmed tanpa praktek--kujalani selama empat hari terakhir. Tapi perhatianku tak semudah itu teralih.

Sementara Damian dan Frey tenggelam dalam obrolan mereka, aku memalingkan wajah dan memandang ke luar jendela. Memikirkan hal yang diutarakan Frey yang berhasil menancap di pikiranku. Tentang Vie dan Josh yang menghilang selama empat hari ini ... secara bersamaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status