Share

Bab 5 : Sial

[Sevie Andina]

Mungkin, 'Sial' adalah nama tengahku. Sevie 'Sial' Andina. Cocok 'kan? Baiklah-baiklah. Akan kujelaskan alasan mengapa aku sudah mengumpat-umpat di sabtu siang yang cerah ini.

Semuanya dimulai di hari senin yang paling kubenci. Belum habis masalahku saat Arven tiba-tiba mengajak Val untuk duel skate, aku tiba-tiba dihadang oleh Pak Ahmad saat aku dalam perjalanan menuju kantin.

Aku tahu jika guru memanggil pasti ada maunya. Entah itu beliin makanan, mengambil buku, atau ngasih tugas untuk kelas lain. Lah, yang itu aku tidak mau, bisa-bisa aku disuruh menjelaskan tugasnya di depan kelas lain. Malu!

"Kamu gak sibuk 'kan?" tanya Pak Ahmad halus.

"Eum, sebenernya ...." ucapanku lebih dulu terpotong.

"Oke, Bapak kasih tugas, ya." cetus Pak Ahmad dengan senyum yang menyiratkan kalimat kerjain-atau-Bapak-kasih-remedial.

Memangnya aku sudah bilang tidak sibuk? Sia-sia banget pertanyaan “sibuk, gak?” jika akhirnya dipaksa tidak sibuk, mungkin jika dia masih muda, lalu jadi pacarku, pasti aku akan menjadi budak yang harus menurut apa yang dia mau.

"Yang, ambilin kelapa, dong!"

"Iya, sayang."

"Tapi di Afrika, ya?"

Idih! Amit-amit!

Setelah panjang lebar menjelaskan apa tugas yang akan diberikan padaku. Akhirnya aku paham hanya dengan beberapa kalimat yang diucapnya “kamu nanti koreksi jawaban kelas 10, ya?”, ya, itu. Sebenarnya aku tidak keberatan, soalnya pelajaran itu cukup mudah bagiku. Bukannya aku sombong, tapi benar kok! Aku rajin maju ke depan kelas waktu kelas sepuluh. Rajin 'kan? Iya, dong! Soalnya, aku selalu jago jika mengejakan PR. Mungkin kalian tahu apa yang kumaksud. 😉

"Gampang, Pak." kataku dengan percaya diri. "Cuma tiga puluh anak 'kan?"

"Tiga kelas, Viiie." jawab Pak Ahmad. Mungkin dalam hati ia berkata, "mampus lo anak males, rasakan ngoreksi 120 anak".

Sial banget 'kan?

"Pak, ini gak harus selesai hari ini juga 'kan?" tiba-tiba dari belakangku, seorang cowok menyela.

Aku berjenggit karena kaget dan lantas menoleh padanya. Rupanya cowok itu. Cowok yang waktu itu pernah kukira tukang ojek. Ya, ceritanya panjang. Tapi yang kuketahui, namanya Josh. Di nametag, nama lengkapnya adalah Joshlyn Gunawan. Dan dia adalah salah satu sobat Val.

Josh mengabaikan aku, ia fokus mendengarkan ucapan Pak Ahmad yang malah kuabaikan. Menurutku, Josh cukup tampan dengan wajah babyface. Garis wajahnya halus, dan ia terlihat ramah dan terbuka.

"Oke, makasih, Pak." lamunanku pecah saat Josh mengucapkan kalimat itu dan Pak Ahmad sudah meninggalkan kami. Bodohnya, aku malah berdiri kikuk di samping Josh yang kini tetap diam memandangku. "Ayo," katanya.

Aku menoleh. "Hah?"

"Ngoreksi ulangan." Josh tersenyum disertai lesung pipi. "Aku bantuin."

Kemudian kami langsung pergi ke ruang guru untuk mengambil lembar jawaban murid dan mengoreksinya. Diam-diam, aku bersyukur karena hari itu aku masih memiliki sisa keberuntungan karena Josh mau membantuku mengerjakan tugas berat sekaligus suci ini. Cowok baik itu bahkan kembali lagi esok harinya untuk membantuku.

Tapi siang ini, hari sabtu yang seharusnya menjadi hari keberuntunganku, Josh tidak datang. Memang, sih, sisa lembar yang harus kukoreksi hanya tujuh lembar. Mungkin Josh pikir, aku bisa mengatasinya sendiri. Lagipula, siapa, sih, yang tahan dengan cewek sepertiku?

"Siapakah penemu atom?" Kubaca salah satu soalnya untuk mengalihkan perhatian. Kok lo tanya gue, sih? Penting emang? pikirku tak karuan.

Karena soal esai ada beberapa yang

berbeda pendapat antara aku dan Pak Ahmad, maka dengan kepercayaan diri aku ...,

Ini salah, goblok!!! teriakku dalam hati saat koreksi jawaban dengan nama “Sukur Hadirin”. Nama aja salah lo, tulisan salah, jawaban juga salah, lo hidup mungkin juga salah, bro!!

Ada seseorang yang menahan tanganku saat sedang mencorat-coret lembar jawaban. Aku mendongak dan mendapati wajah polos Josh yang mengernyit heran. Ya, ampun. Kenapa cowok ini manis sekali?

"Kamu ngapain?" ia bertanya lembut. "Kalo kasar begitu, bisa-bisa kertasnya sobek."

Aku tidak tahu mau jawab apa. Dan sepertinya aku tidak perlu menjawab karena Josh sudah lebih dulu mendesah. "Ah, pasti kamu laper." katanya, sambil duduk di kursi di sampingku sambil menyodorkan sekantung plastik putih. "Ini, aku beli kebab. Makannya tadi agak telat. Kamu makan dulu aja, biar aku kerjain sisanya."

God. Ya, ampun. Cowok ini baik banget! "Makasih, ya." kataku.

Josh mendongak dari lembar jawaban dan tersenyum. "Santai."

Kami tak bicara lagi dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mungkin ini terlihat kaku, tapi ini karena kami sama-sama introvert. Lagipula keheningan ini tidak memuakkan, malah aku suka. Aku suka mengamati wajah serius Josh saat mengoreksi lembar jawaban tanpa gangguan. Aku juga suka saat dia memergokiku lalu kembali melanjutkan kegiatan dengan salah tingkah. Aku suka. Rasanya menyenangkan. God. Jangan-jangan aku suka dia.

Sambil makan, aku mengalihkan pandangan ke luar jendela ruang guru yang mengarah ke koridor. Mataku melotot begitu melihat Val berjalan sendirian. Ia berhenti di ambang pintu ruang guru dan bersandar ke kusen pintu sambil menyilangkan tangan di dada. "Hoi, Josh!" sapanya, jelas sekali ia hendak mengabaikanku. "Lo ngapain?"

"Jangan ganggu," kata Josh tanpa mengakihkan pandangan dari lembar-lembar. "Gue dapet tugas suci dadakan dari Pak Ahmad. Dikit lagi selesai."

"Oh," hanya itu jawaban Val. "Damian lagi pacaran sama Frey. Ck! Dari tadi gue kebagian peran jadi nyamuk terus."

"Gue gak nanya, tuh."

Diam-diam aku meliriknya. Penasaran seperti apa ekspresinya saat ini.

Sial, Val juga sedang melihat ke sini! Apa yang harus kulaku­kan? Kedip-kedip? Hoek. Lebih baik aku berlagak bete saja pada Val.

Aku segera membuat muka jelek, menarik kedua ujung mataku ke bawah sekaligus menekan hidungku supaya dua lubangnya tampak lebih besar. Tidak lupa kujulurkan lidah sepanjang-panjangnya.

Idih, Val malah membuang muka! Kurang ajar! Mungkin sebaik­nya aku hampiri dan berkata. ”Hoi, tolong, bro, tunjukkan sedikit respek!”

Ah, sudahlah. Salahku juga. Seharusnya aku bertingkah feminin, tersenyum malu-malu atau tersenyum anggun, atau melambaikan tangan dengan cool. Kenapa aku malah membuat muka jelek? Aku memang suka mencari masalah. Haishhh.

Oke, kuputuskan akan memperbaikinya. Aku akan melambai pada Val lalu tersenyum selebar-lebarnya sampai semua gigiku kering. Mungkin tampangku agak mengerikan, tapi setidaknya aku sudah berusaha bersikap ramah ...,

Lho, ke mana cowok itu?

Baru semenit aku mengalihkan pandangan, Val sudah lenyap dari tempatnya. "Ssstt, Josh." bisikku seraya menyikut lengan Josh. "Mana si Zombie?"

"Di sini." God. Suara Val tepat di telingaku. Suaranya terdengar rendah dan dalam.

Dengan kaku, aku menoleh. Dan saat wajah tanpa ekspresi Val yang terlihat pucat di bawah cahaya lampu, aku menjerit. Aku menjerit takut dengan sorot matanya yang tak berperasaan. Kemudian tanpa berpikir, aku berlari meninggalkan Josh dan cowok seram itu dengan terbirit-birit.

Aku yakin di sepanjang koridor, orang-orang menatapku aneh. Bukan aneh lagi, melainkan gila!

Jantungku berdegup kencang sekali seolah ingin meledak. Aku tak sanggup jika harus berhadapan dengan Val lebih lama lagi. Bisa-bia aku mati! Dunia! Sebutlah aku gila! Josh! Maafkan aku dan kerjakan tugas kita! Ralat, sebenarnya tugasku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status