Share

Bab 3 : Taruhan

[Joshlyn Gunawan]

Sebut saja aku munafik.

Aku mengerti bagaimana perasaan Val saat melihat Vie dan Arven yang bertingkah mesra tanpa menyadari kehadiran kami. Namun bukannya menghibur Val dengan kata-kata positif seperti yang dilakukan Damian, aku malah memanggil Vie. Tindakan yang mungkin akan menghancurkan hati Val.

Bibirku melengkungkan senyuman saat Vie berjalan menghampiri kami. Angin berhembus dan menerbangkan helaian rambutnya. Mentari menyinarinya seperti lampu sorot. Tapi sorot mata Vie melewatiku dan terpaku pada Val. Cih.

Ya, aku punya rahasia yang kusimpan sendiri. Bahkan kedua sobatku tidak mengetahuinya. Awalnya, itu terjadi dua tahun lalu. Saat siswa kelas 10 harus datang lebih awal karena ada acara MOS. Saat itu aku sedang nongkrong di taman kompleks dan berniat melewatkan acara MOS, tapi tiba-tiba seseorang duduk di jok belakang motorku. Orang itu menepuk bahuku sambil berseru. "Bang, kalo lo gak bisa bawa gue ke SMA Gerbang dalam waktu sepuluh menit, leher lo gue patahin!"

Karena terkejut, aku pun buru-buru memakai helm dan menarik gas. Saat aku dan cewek diboncengan motorku sampai di sekolah. Aku refleks menarik tangannya agar kami bisa berlari menerobos pintu lobi yang hendak ditutup.

"Eh, sori. Gue gak tau kalo lo bukan tukang ojek!" kata cewek itu saat menyadari kesalahannya padaku. Ia bahkan sampai membungkuk-bungkuk. "Sori banget, ya. Makasih banget udah nolongin gue."

Aku ingin sekali mengumpat-umpat karena cewek itu sudah membuatku hampir jantungan. Aku ingin sekali memarahinya. Tapi melihat tampangnya yang seperti ketakutan dan ingin menangis membuatku menghela napas, tersenyum pasrah dan menjawab. "Gapapa. Lain kali liat-liat dulu."

"I-iya." sahutnya sambil mengangguk kaku.

Aku hanya memandanginya seperti orang bodoh. Cewek itu tampak bingung sejenak, tapi akhirnya menyungging­kan senyum yang memamerkan gigi taring kecilnya mencuat keluar dari mulut. Kurasakan senyumku semakin cerah melihat wajahnya yang manis.

Setelah itu, tanpa berkata lagi, dia pergi. Perasaan menyesal langsung meliputiku. Ya, Tuhan, aku bahkan tidak tahu namanya.

"Eh, eh!"

Cewek itu menoleh padaku.

Aku diam sejenak. Berdeham, aku memalingkan wajah sebelum bertanya. "Nama kamu siapa?" selama satu menit tidak ada jawaban. Astaga! Kenapa aku malah menggunakan kata aku-kamu?! Apakah itu terasa sangat kaku?!

"Kalo nanya, liat orangnya, dong." ucapnya, seketika membuatku menoleh.

Jantungku berdegup kencang saat mendapati cewek berambut panjang itu sudah berdiri di depanku dan mencondongkan tubuh hingga wajahnya sangat dekat dengan wajahku. Matanya yang berkilau membuatku terpaku. Aku tidak bisa bergerak. Satu-satunya yang kuharapkan adalah semoga wajahku tidak terlihat konyol.

Cewek itu berdiri tegak. Dan untuk kedua kalinya, ia tersenyum padaku. "Aku Vie. Salken ...?"

"J-Josh!" sial, aku jadi gugup. "Aku Josh."

"Josh." dia mengangguk. "Kapan-kapan aku traktir, deh."

Sejak itulah aku jatuh cinta pada Sevie. Dia sudah mengubah awal SMA-ku yang membosankan menjadi momen paling

in­dah dalam hidupku, dan seumur hidup aku akan selalu ber­terima kasih padanya.

Tetapi, selanjutnya sama sekali tidak berjalan lancar. Aku ber­usaha mencari cewek itu, tapi rupanya dia sangat sibuk meski dia ada di sebelah kelasku. Lebih parah lagi, dia rupanya lumayan be­ken. Setiap kali aku berhasil menemukannya, dia se­dang dikelilingi setidaknya satu cowok yang berusaha menarik perhatiannya.

Arghhh! Kenapa dia harus jadi cewek populer?! Kenapaaa …?!

Begitu banyak cowok tampan, keren, dan tajir yang ada di sekeliling Vie. Hal itu membuatku tidak berani mendekati­nya. Tiba-tiba saja aku sudah bertepuk sebelah tangan sela­ma tiga tahun.

Mengenaskan, bukan? Yah, tak apalah. Aku bu­kan cowok biasa yang bergantung pada kisah roman.

Tapi setiap melihat Vie—meski dari kejauhan—jantungku sera­sa mencelus. Rasanya nyeri menyukai cewek begitu

lama, semen­tara cewek itu mungkin bahkan tidak mengingat­mu lagi. Apalagi ketika salah satu sobat terdekatmu tiba-tiba ingin memacarinya.

Sekali lagi, aku benar-benar mengenaskan.

Seperti biasa, hari ini aku juga melihatnya. Meski ada di depanku, matanya tak sekalipun menatapku. Dengan begitu, sosoknya pun terasa jauh.

"Kenapa?" tanya Vie. Pertanyaanya lebih ditujukan kepada Val.

"Vie, gue minta maaf ...." suara Val menghilang di akhir kalimatnya. Rival Hadiputra, sobatku yang ingin memacari cinta pertamaku itu memang orang yang aneh. Ia tidak pedulian. Ekspresinya yang selalu terlihat malas dan suaranya yang seolah tidak berjiwa membuatku dan Damian memanggilnya dengan julukan 'Saudara Zombie'. Tapi belakangan ini Val mulai menunjukan emosinya tanpa ia sadari.

"Hah? Lo ngomong apa?" Vie bertanya dengan suara lebih keras. Ia menyampirkan rambut ke belakang telinga seolah rambutnyalah yang mengganggu pendengaran.

"Vie." kali ini suara Val lebih tegas. Val berdiri tegak sambil menatap mata Vie dalam. Ia menuding Vie dengan jari telunjuk. "Jadi pacar gue!"

Brak.

Tasku terjatuh ke tanah. Aku bisa merasakan seluruh parkiran hening dan setiap pasang mata menatap kami.

Rasanya aku bisa mendengar diriku berteriak sejadi-jadinya, tapi sayangnya hanya ada dalam pikiranku saja. Aku yakin saat ini Damian juga ingin membentur-benturkan kepalanya ke dinding lantaran kesal dengan tindakan bodoh Val.

Kulihat Vie melotot, sementara Val malah menarik seulas senyum smirk. Namun belum sempat salah satu dari mereka bicara, langkah Arven yang tenang memecah keheningan. "Lo siapa?" tanya Arven yang kini berdiri di antara Vie dan Val. Dengan songong ia menepis tangan Val yang masih menunding Vie.

Val beralih menatap Arven. "Gue orang yang disukai Vie. Lo siapa? Pacarnya Vie?"

"Gue Arven. Soal siapa gue itu gak penting." sahut Arven, ia melirik Vie yang sepertinya tak nyaman. Arven ikut tersenyum smirk. "Kayaknya Vie gak suka sama lo. Lo ngada-ngada, ya?"

"Vie cuma jaim, aslinya dia pasti udah jingkrak-jingkrak gue ajak pacaran." sumpah, aku ingin menjitak kepala Val.

"Lo songong banget, ya? Lo pikir lo seganteng itu?" Arven maju beberapa langkah hingga berdiri tepat di depan Val. Mereka saling menatap dengan jarak wajah yang hanya tersisa lima centimeter.

"Lo ada masalah? Bukannya lo bilang, lo itu gak penting?"

Arven diam, ekspresinya masih sama, menantang. Tapi kemudian ia memundurkan tubuhnya dan mengubah senyum menjadi mencemooh. "Gini aja, gue tantang lo!" Serunya disusul sorakan para siswa. "Kalo lo menang, lo bebas pacarin Vie, tapi kalo lo kalah, jangan muncul lagi di depan Vie."

"Wey-wey, guy's, tenang dulu." Vie menyela, tapi sayangnya tak ada yang memedulikannya.

"Oke! Tapi hari minggu!" alih-alih Val, justru Damian yang menyahut.

"HEH!" Vie dan Val berseru bersamaan. Tapi sekali lagi, tak ada yang menggubris kami.

"Oke, minggu siang." jawab Arven.

"Jangan siang, man." kataku akhirnya. "Siang itu waktunya hibernasi."

"Oke. Minggu jam tiga sore."

"Eh-eh, jangan jam tiga sore!" sahut Damian, "Belum dandan. Belum solat Ashar."

"Halah, yaudah-yaudah! Minggu jam lima sore di taman kompleks Bougenville!"

"Oke, deal."

"Dan gue minta, lo jangan ganggu Vie." tambah Arven sambil menusuk dada Val dengan telunjuknya.

"Oke, deal."

"Bayarin cicilan laptop gue."

"Oke, deal."

Val menampar mulut Damian pelan. "Kok lo main oke-oke aja, sih?"

Damian menoleh. "Lo mau digebukin di sini?"

"Oke, deal." jawab Val.

"Gue tunggu kalian lima hari dari sekarang." kata Arven lagi sambil menatap kami dengan bengis. "Kita bakal balapan skateboard."

💌

"Mampus, gak, tuh?" kata Damian, entah untuk yang ke berapa kali. Cowok bertubuh tinggi besar yang memiliki darah campuran Amerika itu mengusap dahinya frustasi. Padahal yang mendapat masalah adalah Val, dan itu semua karena Damian mengiyakan taruhan Arven. Karena hal-hal seperti itu sering terjadi, aku dan Val selalu menjuluki Damian dengan panggilan 'Bule Bego'. "Arven Deon, kelas 12 IPS 5. Dia terkenal jago banget main skateboard. Muali dari aksi sederhana, sampe berbahaya bisa dia lakuin pake papan skate. Dan lagi, ya, Val. Laju mainnya cepet!"

"Bodo amat. Lagian gue masih punya waktu lima hari buat belajar nge-skate." Val hanya mengangkat bahu sambil mengaduk es cappuchino-nya. Usai cekcok dengan Arven dan para netizen +62, kami langsung pergi ke kantin sekolah karena tiba-tiba saja energi kami terkuras habis. "Lagian ini salah siapa, coba? Kenapa coba lo nge-iyain aja apa kata si Arpret itu?" lanjut Val.

"Arpret?"

"Singkatan dari Arven Kampret."

"Skateboard itu termasuk olahraga ekstrim." selaku pada akhirnya, sambil mencopot kacamataku dan mengelapnya, aku lanjut berkata dengan santai. "Udah, Val. Mending lo nyerah aja. Cari aja cewek lain yang lebih cakep, lebih tajir, lebih montok--"

"Diem." sial, Val memotong ucapanku yang elegan. Val meliriku sekilas. "Kalo ini satu-satunya jalan buat dapetin Vie, gue bakal maju. Lagian yang penting coba dulu aja kali."

Benar, seharusnya aku seperti itu juga. Melakukan apapun untuk mengejarnya. Mengatakan pada Vie bahwa aku menyukainya. Aku memang pecundang. Dan dengan tidak tahu dirinya, aku merasa tak terima saat Val ingin mencuri perhatiannya.

Apakah sesuatu tetap bisa dirampas meskipun pada awalnya kau tidak memilikinya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status