Share

Bab 7 : Tiga Hati yang Patah

[Joshlyn Gunawan]

Aku melongo memandangi sosok Vie yang menjauh dengan terbirit-birit. Otakku masih perlu waktu untuk mencerna suasana. Beberapa detik berlalu, aku masih tak paham dengan situasinya. Kemudian aku menoleh, memandang Val tak habis pikir. "Dia kenapa?"

Val diam sesaat, kemudian berdeham. "Oh, tadi gue sengaja pasang muka zombie."

"Lo bego, goblok, apa tolol, sih?" sahutku, tak bermaksud ketus, tapi entah kenapa sekarang aku jadi sensi pada Val. Padahal sebelumnya, aku sedang enak-enak berduaan dengan Vie sampai akhirnya dia datang dan menghancurkan suasana.

"Kok lo jadi sewot, sih?" kata Val, jelas terlihat heran.

"Gue bukannya sewot," Aku menyanggah. "Tapi ... ah, yaudahlah!" karena tak tahu harus berkata apa, aku menyibukkan diri dengan kertas-kertas di meja dan bersiap ngacir dari ruang guru sebelum Val berhasil menahan lenganku. Aku berdecak dan menoleh padanya. "Lo ngapain, sih?"

"Gue mau ngomong sama lo." raut wajah Val yang serius membuatku enggan menolak. Ya, bagaimana, dong? Aku 'kan kepo berat. "Lo kenapa bisa berduaan sama Vie? Denger-denger, kalian udah beberapa kali berduaan di sini." katanya, melepaskan tanganku dan menyimpan tangannya di saku.

"Oh," Aku menuding tumpukan kertas di meja dengan dagu. "Gue sama dia ngerjain tugas dari Pak Ahmad. Ngoreksi jawaban kelas sepuluh. 120 orang. Gila, gak?"

"Oh, gitu doang?" Val mengangkat sebelah alis, di saat yang sama, aku balas menatapnya dengan wajah tenang. Untuk beberapa saat kami bergeming. "Oke," kata Val lagi, ia berjalan melewatiku dan menepuk bahuku sekali seraya berkata santai. "Jangan lupa dateng, ya, besok? Gue butuh dukungan lo, nih." kemudian ia keluar dari ruang guru, meninggalkanku.

Saat sosoknya lenyap, senyumku pun menghilang. Satu hal yang kuyakini : Val curiga padaku.

💌

Esok harinya, tepat pukul lima sore, aku sudah stand by di taman kompleks Bougenville. Itu juga karena dipaksa Damian.

Langit telah berubah jingga, namun ketegangan di taman kompleks semakin menjadi-jadi saja. Taman berukuran 10 × 15 meter itu telah didekor sedemikian rupa. Ada jalur seperti lintasan balapan yang terbuat dari papan, jalur berputar dan meliuk-liuk ditambah bebatuan semakin memperlihatkan ekstrimnya balapan ini.

Di tengah jalur, Val dan Arven berdiri berdampingan di belakang garis start. Keduanya menumpukan sebelah kaki di atas papan skate, saling pandang beberapa detik sebelum akhirnya sama-sama membuang muka sambil mendecih.

Di pinggir lintasan, Vie dan Frey duduk bak ratu di kursi panjang sambil asyik minum es boba. Damian berdiri di sisi lintasan lain sambil menyoraki Val, tangannya sibuk memgang handy came seraya merekam kejadian dari detik ke detik. Tidak ada siapapun di taman itu kecuali kami, tapi aku yakin, orang-orang yang lewat pasti memandang kami dan berbisik-bisik seperti, "awas-awas, ada orang gila". Haaah. Kenapa, ya, orang-orang di hadapanku ini muka badak banget?

"Siap?" entah sejak kapan dan kenapa aku tiba-tiba kebagian tugas menjadi wasit. "Mulai!"

Kuayunkan tanganku ke bawah dan di saat yang sama, Val dan Arven melesat melewati garis start. Kami yang menonton terperangah menyaksikan balapan cepat itu. Arven memimpin, papan skateboard-nya meliuk-liuk dan sesekali melompat menghindari bebatuan yang sengaja diletakkan di jalur balap.

Sementara itu, Val tampak tenang di belakang. Meluncur dengan luwes menghindari setiap rintangan yang ada. Melompati batu, membelok di tikungan tajam, berputar dan melaju kembali. Bagaimana bisa? Padahal lima hari lalu, ia hanya pemula yang tak bisa berdiri seimbang di atas papan. Tapi kali ini Val meluncur dengan pasti. Seperti angin yang bertiup.

"Val, anjir! Kok dia bisa begitu?!" di sampingku, Damian terheran-heran melihat layar kameranya.

Saat Arven dan Val naik ke jalur papan yang melengkung ke atas, Val meluncur sangat tinggi, ia memutar skateboard dengan tangan hingga benda itu berputar di udara, lalu mendarat dengan mulus di jalur berikutnya. Dengan begitu, Arven tertinggal, dan Val-lah yang pertama melewati garis finish.

"Anjay, wanjay, gurinjay!!!" seru Damian sambil bertepuk tangan dengan heboh, begitupun Frey. Damian mengarahkan kameranya pada Val, sementara Val hanya membuang muka dengan angkuh. "Ini dia, guy's! Cowok yang ngalahin Arven di balapan skateboard!"

"Kya!! Keren banget lo, Val!" Frey memuji sambil meninju lengan si pemenang.

"Woy, Ven!" Val menoleh pada Arven seraya tersenyum mencemooh. "Gue menang, bro!"

"Bodo amat! Terserah lo! Ambil, tuh, si Vie! Damian, hapus videonya! Awas aja kalo lo unggah di sosmed sekolah!" haha, seharusnya Damian merekamnya, saat Arven duduk di tanah sambil memeluk skateboard-nya dan memasang wajah memelas seperti gelandangan.

Val meninggalkan mereka, juga aku yang masih memandanginya. Ia berjalan tenang menghampiri Vie yang masih duduk di kursi taman sambil menatap Val dengan datar.

"Gue menang," kata Val, ia tersenyum manis. "Lo mau 'kan jadi pacar gue?"

Suasana mendadak hening. Semuanya diam memandangi Vie seraya menuntut jawaban. Begitu juga aku.

Saat hanya aku satu-satunya yang bersyukur atas jeda yang lama ini, rasanya aku mulai membenci diriku sendiri.

Di tengah keheningan yang menegangkan, Damian yang berdiri di sampingku menyikut lenganku. "Ini kesempatan terakhir lo," bisiknya, "Lo gak mau bilang ke Val? Atau seenggaknya ... Vie?"

Aku tidak menjawabnya. Tatapanku jatuh ke tanah. Apakah saat ini aku begitu mudah dibaca sampai-sampai Damian menyadari perasaanku? Tapi ada beberapa hal yang tak dapat kau sampaikan kepada orang lain, seberapapun dekatnya kalian.

Juga ada beberapa kata ... yang tak dapat kutolak.

"Oke," suara Vie yang tenang memecah keheningan. "Mulai sekarang kita pacaran."

Dan seberapa baguskah jika itu hanyalah mimpi?

"Dam, gue duluan." kataku berbisik. Sebelum Damian sempat menyahut, aku buru-buru berbalik dan meninggalkan mereka semua.

Kata "selamat tinggal" yang pahit, juga kata "aku mencintaimu" yang tak terdengar, selalu tak dapat kuucapkan dan terus menumpuk di dalam sana.

Hari itu, jingga senja menyaksikan diriku yang tenggelam seorang diri.

💌

[Rival Hadiputra]

Rasanya senang sekali saat Vie menerimaku. Aku sudah bersiap melakukan selebrasi keliling kompleks sambil membawa spanduk bertuliskan "GUE JADIAN SAMA VIE!" dan berteriak-teriak heboh. Ya, alay memang, tapi 'kan aku sedang bahagia. Tak 'kan kubiarkan orang lain merusak kebahagiaanku, bahkan sahabatku sekalipun.

"Tapi," sial, kebahagiaanku langsung lenyap saat Vie mengucapkan kata itu. Hening kembali melanda taman dan ketegangan semakin menjadi. Aku bahkan bisa mendengar Frey menggigiti kuku-kuku jarinya. "Pertama-tama, gue mau kasih tahu lo dulu. Supaya lo berpikir dua kali buat pacarin gue. Biar lo gak nyesel, Val."

Ada hal yang menyedihkan dalam ucapan Vie. Seolah dia tidak pantas untuk siapapun. Seolah dia memang seharusnya sendirian.

Aku diam, dengan sabar menunggu Vie bicara. Sekarang dibandingkan ketegangan, aku malah merasa iba.

"Gue ...." Vie diam lagi, tatapan tegasnya menjadi khawatir, ia menunduk sambil menggigit bibir sebelum melanjutkan kalimat yang membuat kami tercengang. "Gue itu miskin. Gue punya ayah pengangguran yang brengsek. Ibu gue sakit, dan gue punya adik yang masih SD." Vie diam lagi, aku bisa merasakan kesedihannya saat suaranya yang parau memaksa untuk bercerita. "Gue harus kerja biar mereka bisa makan. Gue sibuk, ngebosenin, gue gak akan bisa diandalkan sebagai pacar. Gue gak bisa apa-apa, Val."

"Gak apa-apa kali, Vie." Arven, yang sudah habis kegalauannya karena kalah tanding, berdiri mendekati kami. Dari nada suaranya ia terdengar iba.

"Enggak, Ven." Vie menggeleng lemah. "Gak akan ada yang mau sama cewek kayak gue. Tangan gue kasar, wajah gue gak terawat, tiap hari gue cuma mikirin duit."

"Pasti ada, Vie--"

"Kalo gitu, Arven!" Vie memotong Arven seraya menatapnya tajam. "Apa lo mau sama gue?"

Aku menoleh pada Arven. Kurasa Frey dan Damian juga menatapnya. Arven sendiri langsung diam. Seperti mati kutu. Ia memalingkan wajah sambil menggaruk pipi. "Gue--"

"Gapapa." perlu satu detik bagiku untuk sadar bahwa kata itu keluar dari mulutku. Tapi aku tidak menyesal. Aku kembali berpaling pada Vie yang sepertinya terkejut. "Gapapa, Vie." ulangku sambil tersenyum menenangkan. "Gapapa kalo lo miskin. Gapapa kalo ayah lo brengsek. Gapapa kalo ibu lo sakit. Itu bukan salah lo. Gue tetep mau sama lo."

"Val--"

Aku mengangkat tangan agar Vie tidak memotong. "Gapapa kalo lo sibuk, kita masih bisa ketemu di sekolah. Gapapa kalo penampilan lo kurang terawat," tatapanku berubah tegas. "Biar gue yang merawatnya."

Kulihat mata Vie berkaca-kaca. Ia menatapku beberapa saat dengan sorot yang sulit kumengerti. "Gimana caranya ... lo ...." sial, dia mau nangis!

"Aku bakal ke rumah kamu setiap hari, baik kamu ada ataupun enggak." jawabku, kuharap senyumku bisa menenangkannya. "Atau," sambil berpikir, aku mendekati Vie  dan menyibak rambutnya untuk melihat wajahnya. "Kamu bisa berhenti kerja. Biar aku yang kerja, aku bakal kasih seluruh gajinya buat kamu."

Kupikir Vie akan setuju. Tapi cewek itu malah menggeleng. "Gak usah, kita belum nikah." God. "Lo gak usah pacaran sama gue. Gue yakin, lo cuma kasmaran sesaat. Bentar lagi paling perasaan lo ke gue bakal hilang."

Entahlah. Rasanya kesal dan sedih saat Vie tidak memercayaiku perasaanku. Rasanya sangat berat saat ia berulang kali menolakku. Tuhan. Apalagi yang harus kukatakan padanya agar dia percaya?

"Lo gak mau coba dulu?" tanyaku pada akhirnya. "Lo gak mau kasih gue kesempatan?"

"Kalo kita menerima orang lain datang ke hidup kita. Secara gak sengaja, kita ngizinin mereka buat menyakiti kita." Vie menatapku. "Kalo lo gak mencintai gue, lo bakal menyakiti gue, Val."

Sakit.

"Lo pikir gue bakal nyakitin lo?" tanyaku lagi.

"Pasti."

Sakit.

"Lo gak percaya gue beneran pengen sama lo?"

"Gue percaya. Tapi gue gak percaya kalo itu cinta."

Sakit. Sakit. Sakit. Sakit.

"Gimana sama lo? Lo belum jadi pacar gue tapi hati gue udah sesakit ini?" nada suaraku naik satu oktaf, sementara mataku menatap Vie tak habis pikir.

Vie terlihat terkejut. Matanya membelalak, kemudian meredup. "Sori ... gue--"

"Cukup." kataku tegas. "Lo bilang, lo ngomongin semua ini cuma buat gue mikir dua kali dan biar gue gak nyesel. Gue gak nyesel, Vie. Dan kita tetep jadian sekarang." bodo amat. Aku tahu aku egois. Tapi terserah. "Ayo pulang." Kutarik tangan Vie dan membawanya pergi dari taman kompleks. Tidak tahu, deh, soal Damian, Frey, dan si Arpret yang masih bengong. Terserah mereka mau ngapain. Tapi ...,

Tunggu dulu.

Aku menoleh pada Damian. "Mana Josh?"

Dan semua orang langsung celingukan. Seperti langsung lupa dengan momen drama beberapa detik yang lalu.

Aku menghela napas.

Dasar orang-orang bego.

Tentu saja kecuali Vie.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status