Saat mendengar perintah Abian, Hanum seperti mendengar petir di siang bolong. Kepala Hanum terasa dingin. Di otaknya sudah terpikirkan bahwa dirinya pasti akan dipecat.
Berbeda dengan Hanum yang membeku di tempat, semua orang yang mendengar perintah Abian menatap Hanum penasaran. Ada hubungan apa bos mereka dan karyawan baru ini. Sepertinya mereka sudah saling kenal. Bahkan mereka dengan berani dan secara terang-terangan berbisik-bisik membicarakan topik ini sambil melirik Hanum penuh berbagai macam arti. Ada yang penasaran, ada yang langsung mengaktifkan mode waspada terhadap saingan cinta mereka. Bahkan ada yang mengira kalau Hanum adalah salah satu keluarga Damanta Grup yang bekerja dan menyamar di perusahaan ini seperti cerita klise anak orang kaya kebanyakan yang digambarkan dalam novel.
“Kamu kenal sama pak bos?” tanya Stefani.
“Wih, Hanum! Ternyata Hanum kita kenal sama Si Pak Boss!” kata Riyan dengan tingkahnya yang tengil sambil cengengesan.
Hanum menggeleng lemah dan berkata, “Tidak!”
“Lalu kenapa direktur tahu nama kamu dan menyuruhmu untuk datang ke kantornya?” Azila ikut menanyakan. Dia yang sudah lama menyukai direkturnya tentu saja merasa Hanum yang tadinya bermaksud ia dekati untuk dijadikan teman namun ia batalkan karena kemungkinan dia adalah saingan cintanya. Saingan berarti musuh, pikir Azila.
Hanum hanya menggeleng tidak tahu. Dia melihat Kevin yang kebetulan sedang melihatnya. Hanum buru-buru membuang muka merasa bersalah tanpa sebab. Apa dia harus jujur kalau dirinya menampar direktur mereka? Tapi untuk apa dia merasa bersalah? Toh dia itu tidak berselingkuh atau bermain cinta lain di belakang Kevin. Saat ini Hanum sangat menyesali tindakannya yang gegabah. Tapi apa yang bisa diperbuat sekarang? Nasi sudah kepalang menjadi bubur. Mau tidak mau dia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya mungkin saja akan dipecat.
Karena sudah tidak ada yang perlu dibahas, tim marketing menyudahi rapat mereka.
“Pembahasan berikutnya saya kira bisa dibahas per tim saja. Tidak perlu melakukan rapat gabungan seperti hari ini,” kata Geo manajer tim 3 marketing.
“Baik, kami setuju,” jawab Kevin deputi tim 1 marketing.
Orang-orang kini satu persatu keluar dari ruangan menyisakan Hanum. Saat dia keluar, dia dikejutkan dengan seseorang yang berdiri dengan postur tegap tengah menunggunya.
“Nona Hanum? Silakan ikuti saya. Direktur memanggil Anda.”
“Baik.” Hanum mengangguk pasrah. Hanum berjalan sangat lambat seolah membawa beban puluhan kilo di kedua kakinya. Hal itu membuat Fitra yang terbiasa berjalan cepat berpacu dengan waktu menghela napas lelah. Dia juga tidak bisa memaksa seseorang yang mungkin saja akan dipecat nanti untuk bergegas.
Debaran jantung Hanum semakin cepat saat lift menunjukan bahwa sebentar lagi mereka akan sampai di lantai 70. Saat pintu lift terbuka, kakinya terasa membeku dan susah untuk melangkah keluar dari lift.
“Mari,” ajak Fitra saat dia yang sudah keluar dari lift dan tidak kunjung melihat Hanum mengikuti. “Tidak usah takut,” hibur Fitra yang di dalam hatinya merasa skeptis atas kemungkin buruk apa saja yang bisa terjadi nanti.
“Terima kasih,” jawab Hanum dengan suara yang amat kecil dan terdengar lemah sekali.
Fitra menekan intercom dan menghubungi Abian. “Pak, Nona Hanum sudah berada di sini.”
“Suruh dia masuk.”
“Baik,” jawab Fitra. Kemudian dia berkata pada Hanum, “Anda sudah diperbolehkan masuk, silakan.” Fitra mempersilakan Hanum untuk masuk tanpa membimbingnya menuju ruangan Abian.
Tok tok tok
Hanum mengetuk pintu dengan lemah. Membukanya dan masuk ke dalam dengan tatapan yang selalu mengarah ke ujung sepatunya dan terus menunduk merasa malu. Keberanian Hanum tadi pagi saat dia marah-marah, seolah-olah itu adalah sebuah ilusi semata dan berbeda seratus delapan puluh derajat. Saat ini dia seperti kucing manis kecil yang sangat lucu dan menggemaskan yang membuat orang merasa kasihan untuk menggertaknya.
“Apa kamu menjatuhkan sesuatu? Dari tadi terus melihat ke bawah. Tidak berani menatapku, huh?” tanya Abian.”Ayo, coba maju beberapa langkah lagi, aku ingin melihat wajah wanita yang sudah berani menamparku,” titah Abian.
Hanum menuruti perintah Abian. Melangkah maju mendekati meja Abian dan perlahan Hanum mengangkat kepalanya dan memandang Abian dengan kedua mata yang berkaca-kaca.
“M-maaf ….”
“Kamu menangis?!” seru Abian kaget. “Jangan menangis! Jika orang lain tahu, mereka kira aku menggertakmu. Berhenti menangis!” Abian tiba-tiba terdiam saat menyelesaikan dialognya. Sebentar, sejak kapan dia tertarik atau peduli dengan orang lain? Mau itu menangis, mau itu tertawa bahagia, Abian tidak pernah memperhatikan dan tidak pernah mempedulikan mereka. Tapi kenapa saat melihat mata Hanum berkaca-kaca dia tiba-tiba merasa iba? Ada apa dengan dirinya.
“Ini milikmu!” abian mengeluarkan kartu identitas Hanum dari saku jasnya. Meletakan kartu itu di atas meja dengan lemparan dan mengkode Hanum lewat dagu yang digerakan untuk segera mengambil kartunya. Dia juga menyadari kalau tindakannya aneh. Sejak kapan juga dia mengantongi benda-benda yang bukan miliknya? Abian tiba-tiba merasa kesal dengan dirinya sendiri.
Hanum juga terkejut saat melihat kartu identitasnya berada di atas meja Abian. Dia ingin melangkah dan menjangkaunya, tapi urung dan dia memilih untuk terus diam seperti patung menunggu titah yang menyatakan bahwa dirinya ini akan dipecat.
“Kamu menjatuhkan kartumu di lift rumah sakit. Kenapa tidak kamu ambil? Cepat ambil!” kata Abian tak sabar saat melihat Hanum yang masih menundukan kepala dan tidak bergerak sama sekali. Ada apa dengan dia? Apa saking terkejutnya sampai dia benar-benar membeku dan tidak bisa menggerakan tubuhnya?
Perlahan Hanum mengangkat kepalanya. Air matanya jatuh menetes ke pipinya. Dengan lemah dia menjawab, “T-terima kasih, Pak!”
Hanum tidak pernah menyangka kalau kartunya akan jatuh di dalam lift rumah sakit. Tapi meski begitu dia juga bingung harus bersyukur atau harus menangis sedih setelah menemukan kartunya. Andai saja dia tidak kehilangan kartu identitasnya. Mungkin saja pak bosnya tidak akan mengetahui keberadaannya saat ini. Tidak! Lebih tepatnya, andai saja dia tidak menampar orang di depannya ini. Hanum mengutuki dirinya sendiri.
“T-Tapi itu bukan salah saya, Pak!”
“Apa?”
“T-tamparan itu, yang di lift,” cicit Hanum. Dia meyakini itu memang bukan salahnya. “Saya hanya ingin membela diri sendiri. Terus juga itu salah Bapak yang tiba-tiba bertingkah seperti itu!” Kalimatnya jelas dan suaranya sudah tidak terdengar gemetar seperti saat tadi pertama kali memasuki ruangan Abian. Keberanian Hanum sedikit-sedikit mulai meningkat. Benar! dia tidak bersalah. Yang salah adalah Abian! Pikir Hanum.
“Kamu kira itu salah saya?” tanya Abian. Meski dia tahu dirinya salah, tapi dia jelas tidak mau mengakui. “Itu kesalah pahaman. Kamu salah paham. Aku tidak bermaksud mengendusmu. Untuk apa juga aku mengendusmu!” Lagi-lagi setelah Abian selesai bebbicara, dia menyadari kalau dirinya seolah-olah bukan dirinya yang asli. Untuk apa juga dia menjelaskan lagi? Dia memanggil Hanum kan hanya ingin memastikan sesuatu.
“Maaf, Pak! Saya bersalah telah menampar orang tanpa mengkonfirmasi terlebih dahulu kebenarannya, tapi Bapak juga harus meminta maaf karena sudah membuat saya salah paham!” tuntut Hanum,
“Kamu ingin aku meinta maaf padamu?”
“Iya!”
“Kalo begitu, tampar aku sekali lagi.”
“Apa?!”
Mulut Hanum ternganga lebar dan matanya membulat sempurna. Dia tidak salah dengar, kan? Menampar bosnya lagi? Ayolah, hanum tidak segila itu untuk menampar atasannya lagi.“Jika kamu menamparku lagi, aku akan meminta maaf padamu,” kata Abian. Kini dia bangkit dan perlahan berjalan menuju Hanum. Sedangkan Hanum yang melihat Abian berjalan mendekatinya, dia mulai berjalan mundur.“Oke! Kamu bisa berhenti berjalan mundur,” kata Abian sambil menghentikan jalannya dan memilih untuk duduk di ujung mejanya. Menyedekapkan kedua tangannya dan menatap mata Hanum meminta kepastian. Dia ingin ditampar lagi untuk membuktikan tebakannya. Tadi pun saat dia mendekat, saat hidungnya mampu menghirup aroma Hanum meski jaraknya tidak dekat, matanya sudah mulai terasa berat.Hanum menatap Abian ngeri. Permintaan yang sangat aneh dan dia tidak tahu harus menerima atau menolaknya. Hanum kembali terdiam. Dan mereka berdu
Hanum menghela napas lega saat dia keluar dari ruangan Abian. Sebuah ruangan yang sangat mencekik baginya. Dia kini berjalan dengan riang seolah tanpa beban. Saat bertemu dengan Fitra pun dia malah menyunggingkan senyuman yang sangat manis dan terlihat Bahagia. Hal itu membuat Fitra dan sekretaris lain yang kebetulan sedang bertugas menatap Hanum dengan tatapan penuh tanda tanya.“Apa sudah selesai?” tanya Fitra penasaran.“Sudah! Terima kasih, Kak! Hehe.” Hanum terkekeh seperti orang bodoh.“Eum … apa kamu tidak apa-apa?”“Saya?!”“Iya. Kamu.”“Memangnya saya kenapa?” Hanum balas bertanya yang membuat Fitra malah menatapnya bingung. Bukannya Hanum melakukan sesuatu yang fatal sampai membuat dirinya dipanggil ke ruangan direktur.Ah! Fitra baru tersadar, kenapa
“Hei, bohong!” sangkal Devi tidak percaya. “Masa hanya itu saja. Tidak mungkin lah seorang direktur memanggilmu hanya karena mengembalikan kartu identitas.”“Benar! Yang mengembalikan bukan Pak Abian, tapi sekretarisnya,” bohong Hanum.“Oh, kalau itu sih baru mungkin.” Devi kembali menatap layar komputernya.Hanum yang tadi berdiri di depan pintu persis saat ditanyai, dia langsung berlari kecil menuju mejanya. Namun saat dia duduk, sepertinya ada yang janggal. Ya, itu adalah Azila. Tingkah ramah Azila tidak Hanum dapatkan. Biasanya, Azila ini adalah orang yang paling ramah. Namun sekarang dia malah diabaikan oleh Azila. Hanum tidak tahu mengapa Azila bersikap seperti ini.“Kak Azila, Riyan ke mana?” tanya Hanum mencoba mencairkan suasana.Azila yang duduk di sebelah kanan Hanum tiba-tiba menggeser kursinya menjauhi Hanum
“Abian, dengar ibu bicara tidak? Pokoknya nanti kamu harus mengajak Ariana makan malam.”Abian berjalan dengan lunglai menuju kamar tidurnya yang berada di dalam kantor. Hari masih siang dan dia merasakan lelah yang teramat. Berkat tamparan dari Hanum, dia merasa mengantuk dan dia harus segera memanfaatkan momen ini untuk segera tidur.Matanya terasa pegal dan kepalanya semakin pusing saat mendengar perintah ibunya dari balik telepon. Kencan dan kencan adalah topik yang selalu dia bahas saat ibunya menghubunginya. Tidak pernah ada sapaan lain atau sekedar basa-basi menanyakan apa anaknya sudah makan atau belum. Tidak! Seorang Jeina-ibu Abian-tidak akan pernah menanyakan hal itu.“Bu-““Pokoknya sudah ibu pesankan di hotel kita. Jam tujuh. Jangan lupa pakai baju yang menarik.” Jeina tidak akan memberikan kesempatan anaknya untuk menolak. Omongannya berarti titah yan
Para karyawan menunduk hormat saat Abian melewati mereka dan berjalan menuju lobi. Abian balas menganggukan kepalanya sebagai tanggapan penghormatan yang diberikan oleh karyawannya.Abian yang ditatap penuh kekaguman dari salah satu karyawatinya merasa sangat risih. Emosinya kembali naik dan dia langsung memerintahkan Fitra untuk memecat mereka “Pecat para pegawai yang memandangku dengan intens tadi. Dan bawakan aku obat pereda nyeri, kepalaku serasa mau pecah.”“Tidak bisa, Pak. Nanti perusahaan kami bisa dilaporkan pada badan pengawas jika memecat pegawai tanpa alasan yang jelas.” Fitra merasa kewalahan jika emosi atasannya ini kumat. Dia bisa memecat orang tanpa pikir panjang dan tanpa pandang bulu. Kesalahan kecil saja bisa membuat hati abian terasa penuh dengan emosi yang tidak bisa disalurkan lewat tinju. Karena itu, Abian lebih sering menunjukan emosinya lewat kata-kata yang kasar.“A
“Tapi itu tidak bekerja. Saat aku memejamkan mata pada momen mengantuk, aku tetap tidak bisa tidur.”“Oke, lupakan soal tidak bisa tidur. Dari tadi aku penasaran akan satu hal, kenapa kamu meminta untuk ditampar lagi?” Daniel masih bisa melihat dengan jelas bekas merah di pipi Abian. Sepertinya tamparannya sangat keras dan jangan tanyakan soal rasanya. Sudah bisa dipastikan itu pasti sangat sakit.“….”Abian menatap Daniel lama.“Berhenti menatapku, tatapanmu itu seolah berkata ‘Apa maksudmu? Sudah jelas untuk memastikan rasa kantuk’ begitu, bukan?” Daniel mencoba menerjemahkan tatapan tajam Abian.“Tapi apa kamu tidak memikirkan kalau rasa kantuk itu tidak hanya bisa dirasakan lewat tamparan? Misalnya, lewat sentuhan anggota tubuh lain. Bukankah kehadiran sosok Hanum ini juga aneh dan kebetulan? Seolah tubu
“Aku pergi.” Daniel segera pergi meninggalkan Abian yang bahkan tidak memandangnya sama sekali.Abian terus disibukan dengan dokumen. Meskipun sibuk, tapi dia sesekali melirik jam tangannya. Dia adalah orang yang tepat waktu. Baginya membuang waktu sama dengan membuang uang. Dia ini suka uang, maka kesimpulannya dia tidak boleh terlambat dalam hal apapun.Abian datang ke restoran tepat waktu. Dia menunggu dengan tak sabar. Pasalnya, ini sudah lewat sepuluh menit. Dia membuang-buang waktu dengan duduk sendiri di satu-satunya meja yang terisi orang. Ya, seluruh ruangan restoran sudah dikosongkan. Hanya ada Abian sendiri di sana dan pelayan yang sesekali bertanya tentang menu yang ingin dipesan atau ada keperluan lain yang dapat pelayan bantu. Para pelayan sudah di briefing sebelumnya bahwa yang akan makan malam saat ini adalah bos mereka dan mereka harus melakukan pelayanan yang terbaik.“K
Hanum sudah menunggu lama di parkiran bawah tanah. Pesan yang ia kirimkan tadi juga belum terbaca oleh kekasihnya. Sekarang sudah jam tujuh malam lebih dan dia masih dengan sabar menunggu Kevin.Samar-samar dia mendengar gelak tawa. Hanum termangu di tempatnya saat dia melihat tawa itu berasal dari kekasihnya. Awalnya dia ingin menyapa, tapi ia urungkan saat dia melihat Kevin sedang berjalan bersampingan dengan seorang wanita yang sangat cantik dan terlihat anggun. Mereka saling bercanda di sepanjang jalan menuju mobil Kevin. Laki-laki itu awalnya tidak menyadari kehadiran Hanum.“Kak Kevin!” panggil Hanum. Dia jelas tidak memanggil dengan panggilan sayang karena kekasihnya saat ini sedang bersama rekan kerjanya. Dia masih ingat peringatan Kevin soal hubungan yang tidak boleh diketahui oleh orang kantor.“Hanum?!” tanya Kevin kaget. Dia tidak menduga dia akan bertemu Hanum di parkiran.Saat