Share

BAB 6

Saat mendengar perintah Abian, Hanum seperti mendengar petir di siang bolong. Kepala Hanum terasa dingin. Di otaknya sudah terpikirkan bahwa dirinya pasti akan dipecat.

Berbeda dengan Hanum yang membeku di tempat, semua orang yang mendengar perintah Abian menatap Hanum penasaran. Ada hubungan apa bos mereka dan karyawan baru ini. Sepertinya mereka sudah saling kenal. Bahkan mereka dengan berani dan secara terang-terangan berbisik-bisik membicarakan topik ini sambil melirik Hanum penuh berbagai macam arti. Ada yang penasaran, ada yang langsung mengaktifkan mode waspada terhadap saingan cinta mereka. Bahkan ada yang mengira kalau Hanum adalah salah satu keluarga Damanta Grup yang bekerja dan menyamar di perusahaan ini seperti cerita klise anak orang kaya kebanyakan yang digambarkan dalam novel.

“Kamu kenal sama pak bos?” tanya Stefani.

“Wih, Hanum! Ternyata Hanum kita kenal sama Si Pak Boss!” kata Riyan dengan tingkahnya yang tengil sambil cengengesan.

Hanum menggeleng lemah dan berkata, “Tidak!”

“Lalu kenapa direktur tahu nama kamu dan menyuruhmu untuk datang ke kantornya?” Azila ikut menanyakan. Dia yang sudah lama menyukai direkturnya tentu saja merasa Hanum yang tadinya bermaksud ia dekati untuk dijadikan teman namun ia batalkan karena kemungkinan dia adalah saingan cintanya. Saingan berarti musuh, pikir Azila.

Hanum hanya menggeleng tidak tahu. Dia melihat Kevin yang kebetulan sedang melihatnya. Hanum buru-buru membuang muka merasa bersalah tanpa sebab. Apa dia harus jujur kalau dirinya menampar direktur mereka? Tapi untuk apa dia merasa bersalah? Toh dia itu tidak berselingkuh atau bermain cinta lain di belakang Kevin. Saat ini Hanum sangat menyesali tindakannya yang gegabah. Tapi apa yang bisa diperbuat sekarang? Nasi sudah kepalang menjadi bubur. Mau tidak mau dia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya mungkin saja akan dipecat.

Karena sudah tidak ada yang perlu dibahas, tim marketing menyudahi rapat mereka.

“Pembahasan berikutnya saya kira bisa dibahas per tim saja. Tidak perlu melakukan rapat gabungan seperti hari ini,” kata Geo manajer tim 3 marketing.

“Baik, kami setuju,” jawab Kevin deputi tim 1 marketing.

Orang-orang kini satu persatu keluar dari ruangan menyisakan Hanum. Saat dia keluar, dia dikejutkan dengan seseorang yang berdiri dengan postur tegap tengah menunggunya.

“Nona Hanum? Silakan ikuti saya. Direktur memanggil Anda.”

“Baik.” Hanum mengangguk pasrah. Hanum berjalan sangat lambat seolah membawa beban puluhan kilo di kedua kakinya. Hal itu membuat Fitra yang terbiasa berjalan cepat berpacu dengan waktu menghela napas lelah. Dia juga tidak bisa memaksa seseorang yang mungkin saja akan dipecat nanti untuk bergegas.

Debaran jantung Hanum semakin cepat saat lift menunjukan bahwa sebentar lagi mereka akan sampai di lantai 70. Saat pintu lift terbuka, kakinya terasa membeku dan susah untuk melangkah keluar dari lift.

“Mari,” ajak Fitra saat dia yang sudah keluar dari lift dan tidak kunjung melihat Hanum mengikuti. “Tidak usah takut,” hibur Fitra yang di dalam hatinya merasa skeptis atas kemungkin buruk apa saja yang bisa terjadi nanti.

“Terima kasih,” jawab Hanum dengan suara yang amat kecil dan terdengar lemah sekali.

Fitra menekan intercom dan menghubungi  Abian. “Pak, Nona Hanum sudah berada di sini.”

“Suruh dia masuk.”

“Baik,” jawab Fitra. Kemudian dia berkata pada Hanum, “Anda sudah diperbolehkan masuk, silakan.” Fitra mempersilakan Hanum untuk masuk tanpa membimbingnya menuju ruangan Abian.

Tok tok tok

Hanum mengetuk pintu dengan lemah. Membukanya dan masuk ke dalam dengan tatapan yang selalu mengarah ke ujung sepatunya dan terus menunduk merasa malu. Keberanian Hanum tadi pagi saat dia marah-marah, seolah-olah itu adalah  sebuah ilusi semata dan berbeda seratus delapan puluh derajat. Saat ini dia seperti kucing manis kecil yang sangat lucu dan menggemaskan yang membuat orang merasa kasihan untuk menggertaknya.

“Apa kamu menjatuhkan sesuatu? Dari tadi terus melihat ke bawah. Tidak berani menatapku, huh?” tanya Abian.”Ayo, coba maju beberapa langkah lagi, aku ingin melihat wajah wanita yang sudah berani menamparku,” titah Abian.

Hanum menuruti perintah Abian. Melangkah maju mendekati meja Abian dan perlahan Hanum mengangkat kepalanya dan memandang Abian dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

“M-maaf ….”

“Kamu menangis?!” seru Abian kaget. “Jangan menangis! Jika orang lain tahu, mereka kira aku menggertakmu. Berhenti menangis!” Abian tiba-tiba terdiam saat menyelesaikan dialognya. Sebentar, sejak kapan dia tertarik atau peduli dengan orang lain? Mau itu menangis, mau itu tertawa bahagia, Abian tidak pernah memperhatikan dan tidak pernah mempedulikan mereka. Tapi kenapa saat melihat mata Hanum berkaca-kaca dia tiba-tiba merasa iba? Ada apa dengan dirinya.

“Ini milikmu!” abian mengeluarkan kartu identitas Hanum dari saku jasnya. Meletakan kartu itu di atas meja dengan lemparan dan mengkode Hanum lewat dagu yang digerakan untuk segera mengambil kartunya. Dia juga menyadari kalau tindakannya aneh. Sejak kapan juga dia mengantongi benda-benda yang bukan miliknya? Abian tiba-tiba merasa kesal dengan dirinya sendiri.

Hanum juga terkejut saat melihat kartu identitasnya berada di atas meja Abian. Dia ingin melangkah dan menjangkaunya, tapi urung dan dia memilih untuk terus diam seperti patung menunggu titah yang menyatakan bahwa dirinya ini akan dipecat.

“Kamu menjatuhkan kartumu di lift rumah sakit. Kenapa tidak kamu ambil? Cepat ambil!” kata Abian tak sabar saat melihat Hanum yang masih menundukan kepala dan tidak bergerak sama sekali. Ada apa dengan dia? Apa saking terkejutnya sampai dia benar-benar membeku dan tidak bisa menggerakan tubuhnya?

Perlahan Hanum mengangkat kepalanya. Air matanya jatuh menetes ke pipinya. Dengan lemah dia menjawab, “T-terima kasih, Pak!”

Hanum tidak pernah menyangka kalau kartunya akan jatuh di dalam lift rumah sakit. Tapi meski begitu dia juga bingung harus bersyukur atau harus menangis sedih setelah menemukan kartunya. Andai saja dia tidak kehilangan kartu identitasnya. Mungkin saja pak bosnya tidak akan mengetahui keberadaannya saat ini. Tidak! Lebih tepatnya, andai saja dia tidak menampar orang di depannya ini. Hanum mengutuki dirinya sendiri.

“T-Tapi itu bukan salah saya, Pak!”

“Apa?”

“T-tamparan itu, yang di lift,” cicit Hanum. Dia meyakini itu memang bukan salahnya. “Saya hanya ingin membela diri sendiri. Terus juga itu salah Bapak yang tiba-tiba bertingkah seperti itu!” Kalimatnya jelas dan suaranya sudah tidak terdengar gemetar seperti saat tadi pertama kali memasuki ruangan Abian. Keberanian Hanum sedikit-sedikit mulai meningkat. Benar! dia tidak bersalah. Yang salah adalah Abian! Pikir Hanum.

“Kamu kira itu salah saya?” tanya Abian. Meski dia tahu dirinya salah, tapi dia jelas tidak mau mengakui. “Itu kesalah pahaman. Kamu salah paham. Aku tidak bermaksud mengendusmu. Untuk apa juga aku mengendusmu!” Lagi-lagi setelah Abian selesai bebbicara, dia menyadari kalau dirinya seolah-olah bukan dirinya yang asli. Untuk apa juga dia menjelaskan lagi? Dia memanggil Hanum kan hanya ingin memastikan sesuatu.

“Maaf, Pak! Saya bersalah telah menampar orang tanpa mengkonfirmasi terlebih dahulu kebenarannya, tapi Bapak juga harus meminta maaf karena sudah membuat saya salah paham!” tuntut Hanum,

“Kamu ingin aku meinta maaf padamu?”

“Iya!”

“Kalo begitu, tampar aku sekali lagi.”

“Apa?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status