Share

BAB 7

Mulut Hanum ternganga lebar dan matanya membulat sempurna. Dia tidak salah dengar, kan? Menampar bosnya lagi? Ayolah, hanum tidak segila itu untuk menampar atasannya lagi.

“Jika kamu menamparku lagi, aku akan meminta maaf padamu,” kata Abian. Kini dia bangkit dan perlahan berjalan menuju Hanum. Sedangkan Hanum yang melihat Abian berjalan mendekatinya, dia mulai berjalan mundur.

“Oke! Kamu bisa berhenti berjalan mundur,” kata Abian sambil menghentikan jalannya dan memilih untuk duduk di ujung mejanya. Menyedekapkan kedua tangannya dan menatap mata Hanum meminta kepastian. Dia ingin ditampar lagi untuk membuktikan tebakannya. Tadi pun saat dia mendekat, saat hidungnya mampu menghirup aroma Hanum meski jaraknya tidak dekat, matanya sudah mulai terasa berat.

Hanum menatap Abian ngeri. Permintaan yang sangat aneh dan dia tidak tahu harus menerima atau menolaknya. Hanum kembali terdiam. Dan mereka berdua sekarang seperti sedang melakukan kontes siapa yang bisa diam paling lama. Ruangan yang hening dan tenang itu seperti mereka tengah bermeditasi.

“Kenapa diam?” Sangat langka bagi Abian untuk bertanya seramah dan selembut ini. Biasanya dia adalah orang yang paling tidak bisa bertele-tele atau membuang waktu secara percuma. Tapi untuk kasus ini berbeda, dia entah kenapa mampu menahan amarahnya saat Hanum ada di sekitarya. Aroma yang keluar dari tubuh Hanum benar-benar bisa menenangkannya.

“Saya tidak tahu harus merespon seperti apa,” jawab Hanum. Ini adalah pengalaman pertama Hanum bekerja dan baru pertama kali akan langsung dipecat setelah baru bekerja sekitar tiga harian dan pertama kali juga untuk dirinya menampar bosnya, lalu sekarang bosnya meminta untuk ditampar lagi. Ini membuat kepala Hanum pusing dan otaknya buntu.

“Kenapa?” tanya Abian yang kini mulai tak sabar dengan keheningan Hanum.

“T-tapi … nanti s-saya dipecat kalau menampar Anda lagi.” Hanum memainkan kuku jarinya tanda dia tidak nyaman dan gelisah.

“Apa kamu pikir aku akan memecatmu?”

Hanum mengangguk seperti ayam yang sedang mematuk makanannya.

“Apa aku pernah berkata akan memecatmu?”

Hanum menggeleng cepat. Hanum terlihat sangat lucu dan kegiatan Hanum membuat Abian terkekeh kecil. Tapi kekehan itu lagi-lagi harus tergantikan dengan bibir datarnya saat dia menyadari dirinya lagi-lagi melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dia lakukan. Tersenyum dan tertawa secara tulus adalah hal yang paling jarang Abian lakukan kecuali senyuman bisnis yang terlihat sangat kaku itu.

“Aku tidak akan memecatmu,” kata Abian mencoba meyakinkan Hanum. “Jadi, ayo tampar aku sekali lagi,” perintahnya.

“B-benarkah?” Hanum masih tetap ragu. Permintaan ini benar-benar di luar nalarnya.

“Iya.”

Hanum menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan dengan keras. Dia mencoba menetralkan debaran jantungnya yang kini mulai perlahan stabil dan tenang. “Anda harus berjanji terlebih dahulu,” pinta Hanum.

“Baiklah, aku berjanji. Apa aku yang menghampirimu, atau kamu yang mendatangiku?” tanya Abian.

“Tidak! Aku saja yang datang.” Hanum berjalan perlahan menghampiri Abian yang masih mendudukan diri di tepian meja.

Hanum menatap mata Abian dan Abian pun sama menatap mata Hana. Mereka saling berpandangan. Perlahan tapi pasti, Hanum mengangkat tangan kanannya dan menampar Abian dengan lembut. Bukan sebuah tamparan yang keras, lebih seperti belaian telapak tangan Hanum di pipi kiri Abian.

“A-apa seperti ini?” tanya Hanum dengan suara lirihnya. Dia kembali menunduk takut dan tidak berani menatap mata Abian.

“Coba tampar aku lagi.”

“Lagi?!” seru Hanum tidak percaya.

“Yang kamu lakukan tadi itu bukan tamparan. Lakukan sekali lagi dengan tenaga yang kuat. Persis saat kamu menamparku di lift tadi pagi.”

“Aku tidak berani!”

“Hanum! Cepat lakukan. Jika kamu tidak mau melakukan aku akan memec-“

PLAK

Hanum menampar Abian begitu kuat hingga Abian hampir terjerembab ke belakang dan bunyi tamparan itu begitu keras terdengar. Telapak tangan Hanum terasa panas.

“M-maaf, apa seperti itu?” Hanum memandang Abian dengan penuh rasa bersalah.

Abian mengusap pipi kirinya. Dia sudah memiliki persiapan mental bahwa dia akan tertampar, tapi tidak semendadak dan tanpa peringatan seperti tadi.

“Kenapa langsung menamparku?” kata Abian yang masih mengusap pipinya karena tamparan kali ini begitu kuat melebihi tamparan tadi pagi.

“Saya langsung menampar Anda karena tadi Anda bilang akan memecat saya,” kata Hanum dengan tampang polosnya.

“Apa saya sudah boleh pergi?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status