Mulut Hanum ternganga lebar dan matanya membulat sempurna. Dia tidak salah dengar, kan? Menampar bosnya lagi? Ayolah, hanum tidak segila itu untuk menampar atasannya lagi.
“Jika kamu menamparku lagi, aku akan meminta maaf padamu,” kata Abian. Kini dia bangkit dan perlahan berjalan menuju Hanum. Sedangkan Hanum yang melihat Abian berjalan mendekatinya, dia mulai berjalan mundur.
“Oke! Kamu bisa berhenti berjalan mundur,” kata Abian sambil menghentikan jalannya dan memilih untuk duduk di ujung mejanya. Menyedekapkan kedua tangannya dan menatap mata Hanum meminta kepastian. Dia ingin ditampar lagi untuk membuktikan tebakannya. Tadi pun saat dia mendekat, saat hidungnya mampu menghirup aroma Hanum meski jaraknya tidak dekat, matanya sudah mulai terasa berat.
Hanum menatap Abian ngeri. Permintaan yang sangat aneh dan dia tidak tahu harus menerima atau menolaknya. Hanum kembali terdiam. Dan mereka berdua sekarang seperti sedang melakukan kontes siapa yang bisa diam paling lama. Ruangan yang hening dan tenang itu seperti mereka tengah bermeditasi.
“Kenapa diam?” Sangat langka bagi Abian untuk bertanya seramah dan selembut ini. Biasanya dia adalah orang yang paling tidak bisa bertele-tele atau membuang waktu secara percuma. Tapi untuk kasus ini berbeda, dia entah kenapa mampu menahan amarahnya saat Hanum ada di sekitarya. Aroma yang keluar dari tubuh Hanum benar-benar bisa menenangkannya.
“Saya tidak tahu harus merespon seperti apa,” jawab Hanum. Ini adalah pengalaman pertama Hanum bekerja dan baru pertama kali akan langsung dipecat setelah baru bekerja sekitar tiga harian dan pertama kali juga untuk dirinya menampar bosnya, lalu sekarang bosnya meminta untuk ditampar lagi. Ini membuat kepala Hanum pusing dan otaknya buntu.
“Kenapa?” tanya Abian yang kini mulai tak sabar dengan keheningan Hanum.
“T-tapi … nanti s-saya dipecat kalau menampar Anda lagi.” Hanum memainkan kuku jarinya tanda dia tidak nyaman dan gelisah.
“Apa kamu pikir aku akan memecatmu?”
Hanum mengangguk seperti ayam yang sedang mematuk makanannya.
“Apa aku pernah berkata akan memecatmu?”
Hanum menggeleng cepat. Hanum terlihat sangat lucu dan kegiatan Hanum membuat Abian terkekeh kecil. Tapi kekehan itu lagi-lagi harus tergantikan dengan bibir datarnya saat dia menyadari dirinya lagi-lagi melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dia lakukan. Tersenyum dan tertawa secara tulus adalah hal yang paling jarang Abian lakukan kecuali senyuman bisnis yang terlihat sangat kaku itu.
“Aku tidak akan memecatmu,” kata Abian mencoba meyakinkan Hanum. “Jadi, ayo tampar aku sekali lagi,” perintahnya.
“B-benarkah?” Hanum masih tetap ragu. Permintaan ini benar-benar di luar nalarnya.
“Iya.”
Hanum menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan dengan keras. Dia mencoba menetralkan debaran jantungnya yang kini mulai perlahan stabil dan tenang. “Anda harus berjanji terlebih dahulu,” pinta Hanum.
“Baiklah, aku berjanji. Apa aku yang menghampirimu, atau kamu yang mendatangiku?” tanya Abian.
“Tidak! Aku saja yang datang.” Hanum berjalan perlahan menghampiri Abian yang masih mendudukan diri di tepian meja.
Hanum menatap mata Abian dan Abian pun sama menatap mata Hana. Mereka saling berpandangan. Perlahan tapi pasti, Hanum mengangkat tangan kanannya dan menampar Abian dengan lembut. Bukan sebuah tamparan yang keras, lebih seperti belaian telapak tangan Hanum di pipi kiri Abian.
“A-apa seperti ini?” tanya Hanum dengan suara lirihnya. Dia kembali menunduk takut dan tidak berani menatap mata Abian.
“Coba tampar aku lagi.”
“Lagi?!” seru Hanum tidak percaya.
“Yang kamu lakukan tadi itu bukan tamparan. Lakukan sekali lagi dengan tenaga yang kuat. Persis saat kamu menamparku di lift tadi pagi.”
“Aku tidak berani!”
“Hanum! Cepat lakukan. Jika kamu tidak mau melakukan aku akan memec-“
PLAK
Hanum menampar Abian begitu kuat hingga Abian hampir terjerembab ke belakang dan bunyi tamparan itu begitu keras terdengar. Telapak tangan Hanum terasa panas.
“M-maaf, apa seperti itu?” Hanum memandang Abian dengan penuh rasa bersalah.
Abian mengusap pipi kirinya. Dia sudah memiliki persiapan mental bahwa dia akan tertampar, tapi tidak semendadak dan tanpa peringatan seperti tadi.
“Kenapa langsung menamparku?” kata Abian yang masih mengusap pipinya karena tamparan kali ini begitu kuat melebihi tamparan tadi pagi.
“Saya langsung menampar Anda karena tadi Anda bilang akan memecat saya,” kata Hanum dengan tampang polosnya.
“Apa saya sudah boleh pergi?”
Hanum menghela napas lega saat dia keluar dari ruangan Abian. Sebuah ruangan yang sangat mencekik baginya. Dia kini berjalan dengan riang seolah tanpa beban. Saat bertemu dengan Fitra pun dia malah menyunggingkan senyuman yang sangat manis dan terlihat Bahagia. Hal itu membuat Fitra dan sekretaris lain yang kebetulan sedang bertugas menatap Hanum dengan tatapan penuh tanda tanya.“Apa sudah selesai?” tanya Fitra penasaran.“Sudah! Terima kasih, Kak! Hehe.” Hanum terkekeh seperti orang bodoh.“Eum … apa kamu tidak apa-apa?”“Saya?!”“Iya. Kamu.”“Memangnya saya kenapa?” Hanum balas bertanya yang membuat Fitra malah menatapnya bingung. Bukannya Hanum melakukan sesuatu yang fatal sampai membuat dirinya dipanggil ke ruangan direktur.Ah! Fitra baru tersadar, kenapa
“Hei, bohong!” sangkal Devi tidak percaya. “Masa hanya itu saja. Tidak mungkin lah seorang direktur memanggilmu hanya karena mengembalikan kartu identitas.”“Benar! Yang mengembalikan bukan Pak Abian, tapi sekretarisnya,” bohong Hanum.“Oh, kalau itu sih baru mungkin.” Devi kembali menatap layar komputernya.Hanum yang tadi berdiri di depan pintu persis saat ditanyai, dia langsung berlari kecil menuju mejanya. Namun saat dia duduk, sepertinya ada yang janggal. Ya, itu adalah Azila. Tingkah ramah Azila tidak Hanum dapatkan. Biasanya, Azila ini adalah orang yang paling ramah. Namun sekarang dia malah diabaikan oleh Azila. Hanum tidak tahu mengapa Azila bersikap seperti ini.“Kak Azila, Riyan ke mana?” tanya Hanum mencoba mencairkan suasana.Azila yang duduk di sebelah kanan Hanum tiba-tiba menggeser kursinya menjauhi Hanum
“Abian, dengar ibu bicara tidak? Pokoknya nanti kamu harus mengajak Ariana makan malam.”Abian berjalan dengan lunglai menuju kamar tidurnya yang berada di dalam kantor. Hari masih siang dan dia merasakan lelah yang teramat. Berkat tamparan dari Hanum, dia merasa mengantuk dan dia harus segera memanfaatkan momen ini untuk segera tidur.Matanya terasa pegal dan kepalanya semakin pusing saat mendengar perintah ibunya dari balik telepon. Kencan dan kencan adalah topik yang selalu dia bahas saat ibunya menghubunginya. Tidak pernah ada sapaan lain atau sekedar basa-basi menanyakan apa anaknya sudah makan atau belum. Tidak! Seorang Jeina-ibu Abian-tidak akan pernah menanyakan hal itu.“Bu-““Pokoknya sudah ibu pesankan di hotel kita. Jam tujuh. Jangan lupa pakai baju yang menarik.” Jeina tidak akan memberikan kesempatan anaknya untuk menolak. Omongannya berarti titah yan
Para karyawan menunduk hormat saat Abian melewati mereka dan berjalan menuju lobi. Abian balas menganggukan kepalanya sebagai tanggapan penghormatan yang diberikan oleh karyawannya.Abian yang ditatap penuh kekaguman dari salah satu karyawatinya merasa sangat risih. Emosinya kembali naik dan dia langsung memerintahkan Fitra untuk memecat mereka “Pecat para pegawai yang memandangku dengan intens tadi. Dan bawakan aku obat pereda nyeri, kepalaku serasa mau pecah.”“Tidak bisa, Pak. Nanti perusahaan kami bisa dilaporkan pada badan pengawas jika memecat pegawai tanpa alasan yang jelas.” Fitra merasa kewalahan jika emosi atasannya ini kumat. Dia bisa memecat orang tanpa pikir panjang dan tanpa pandang bulu. Kesalahan kecil saja bisa membuat hati abian terasa penuh dengan emosi yang tidak bisa disalurkan lewat tinju. Karena itu, Abian lebih sering menunjukan emosinya lewat kata-kata yang kasar.“A
“Tapi itu tidak bekerja. Saat aku memejamkan mata pada momen mengantuk, aku tetap tidak bisa tidur.”“Oke, lupakan soal tidak bisa tidur. Dari tadi aku penasaran akan satu hal, kenapa kamu meminta untuk ditampar lagi?” Daniel masih bisa melihat dengan jelas bekas merah di pipi Abian. Sepertinya tamparannya sangat keras dan jangan tanyakan soal rasanya. Sudah bisa dipastikan itu pasti sangat sakit.“….”Abian menatap Daniel lama.“Berhenti menatapku, tatapanmu itu seolah berkata ‘Apa maksudmu? Sudah jelas untuk memastikan rasa kantuk’ begitu, bukan?” Daniel mencoba menerjemahkan tatapan tajam Abian.“Tapi apa kamu tidak memikirkan kalau rasa kantuk itu tidak hanya bisa dirasakan lewat tamparan? Misalnya, lewat sentuhan anggota tubuh lain. Bukankah kehadiran sosok Hanum ini juga aneh dan kebetulan? Seolah tubu
“Aku pergi.” Daniel segera pergi meninggalkan Abian yang bahkan tidak memandangnya sama sekali.Abian terus disibukan dengan dokumen. Meskipun sibuk, tapi dia sesekali melirik jam tangannya. Dia adalah orang yang tepat waktu. Baginya membuang waktu sama dengan membuang uang. Dia ini suka uang, maka kesimpulannya dia tidak boleh terlambat dalam hal apapun.Abian datang ke restoran tepat waktu. Dia menunggu dengan tak sabar. Pasalnya, ini sudah lewat sepuluh menit. Dia membuang-buang waktu dengan duduk sendiri di satu-satunya meja yang terisi orang. Ya, seluruh ruangan restoran sudah dikosongkan. Hanya ada Abian sendiri di sana dan pelayan yang sesekali bertanya tentang menu yang ingin dipesan atau ada keperluan lain yang dapat pelayan bantu. Para pelayan sudah di briefing sebelumnya bahwa yang akan makan malam saat ini adalah bos mereka dan mereka harus melakukan pelayanan yang terbaik.“K
Hanum sudah menunggu lama di parkiran bawah tanah. Pesan yang ia kirimkan tadi juga belum terbaca oleh kekasihnya. Sekarang sudah jam tujuh malam lebih dan dia masih dengan sabar menunggu Kevin.Samar-samar dia mendengar gelak tawa. Hanum termangu di tempatnya saat dia melihat tawa itu berasal dari kekasihnya. Awalnya dia ingin menyapa, tapi ia urungkan saat dia melihat Kevin sedang berjalan bersampingan dengan seorang wanita yang sangat cantik dan terlihat anggun. Mereka saling bercanda di sepanjang jalan menuju mobil Kevin. Laki-laki itu awalnya tidak menyadari kehadiran Hanum.“Kak Kevin!” panggil Hanum. Dia jelas tidak memanggil dengan panggilan sayang karena kekasihnya saat ini sedang bersama rekan kerjanya. Dia masih ingat peringatan Kevin soal hubungan yang tidak boleh diketahui oleh orang kantor.“Hanum?!” tanya Kevin kaget. Dia tidak menduga dia akan bertemu Hanum di parkiran.Saat
Hanum menjatuhkan tasnya begitu dia masuk ke dalam rumahnya. Pemandangan di hadapannya kembali ingin membuat Hanum menjerit keras dan menangis sedih.“Apa kamu berkelahi lagi?” keluh Hanum. Kali ini dia tidak bisa membendung air matanya. Hanum memarahi dirinya sendiri karena telah gagal mendidik adik laki-laki satu-satunya.“Kali ini dengan siapa lagi?” Hanum menghampiri Ganesha yang sedang membalut luka di tangannya. Penampilannya ini penuh luka lebam. Wajahnya yang tampan kini terlihat lebih sangar karena dipenuhi oleh luka gores yang darahnya bahkan belum mengering.“Kamu tidak merasa kasihan dengan dirimu sendiri? Hah? Jawab kakak, Ganesha!” raung Hanum. Dia menangis dengan keras kali ini.Ganesha yang melihat kakaknya menangis hanya bisa menundukan kepalanya. Dia merasa bersalah bukan karena berkelahi, tapi merasa bersalah karena membuat Hanum mena