Share

Bab 5

Author: Ipak Munthe
last update Last Updated: 2025-11-07 20:05:29

Sunyi menyergap seisi kamar setelah langkah Aran menjauh.

Lala berdiri diam, masih membelakangi pintu yang kini tertutup rapat.

Tak ada isak.

Tak ada air mata yang jatuh.

Hanya hening yang mengalir, menelusup ke dalam rongga dadanya.

Perlahan ia menurunkan tangan, seolah seluruh tenaganya ikut terkuras keluar bersama kepergian Aran.

Bukan sedih yang tampak, melainkan kosong.

Kosong yang sudah terlalu sering menjadi teman tinggal di rumah ini.

Wajahnya tetap datar.

Tatapannya kosong ke lantai, tapi tak ada satu titik pun yang benar-benar ia lihat.

Seakan-akan, di dalam dirinya ada sesuatu yang runtuh, pelan, namun pasti.

Lala melangkah mendekat ke ranjangnya.

Gerakannya tenang, nyaris tanpa suara.

Ia duduk perlahan, meraih bantal, lalu memeluknya seperti kebiasaan lama yang tak pernah benar-benar mampu menghangatkannya.

Bibirnya terangkat sedikit, senyum tipis bukan bahagia, melainkan semacam pengakuan bahwa ia sudah terlalu terbiasa kehilangan.

“Kenapa dia tidak mau menikahi aku?,” gumamnya, hampir tanpa suara.

Seolah sedang mengingatkan dirinya bahwa dia tidak boleh berharap apa pun.

Ibunya tidak menginginkannya.

Rumah ini tak pernah menjadi rumah.

Dan satu-satunya orang yang membuatnya merasa hidup… baru saja pergi.

Lampu kamar dibiarkan menyala.

Ia tidak menutup tirai.

Tidak merebahkan tubuhnya.

Hanya duduk, diam.

Membiarkan waktu lewat, menyisakan perasaan yang bahkan ia sendiri tak tahu bagaimana harus merasakannya.

Karena begitulah hidupnya selama ini, selalu belajar untuk tidak bersuara, meski dadanya penuh sesak.

***

Dua hari berlalu sejak Aran pulang ke kampung halamannya.

Rumah terasa lebih lengang, seakan semua suara ikut pergi bersamanya.

Tidak ada lagi yang bisa diajak berbagi diam atau sekadar mendengar keluh tanpa menghakimi.

Lala menarik napas pendek.

Ada ruang kosong dalam dadanya, seperti sesuatu yang dipinjam lalu tidak pernah dikembalikan.

Malam itu, ia bangkit dari kamar.

Entah ingin minum, atau hanya mengalihkan kepala dari rasa yang tak bisa ia beri nama.

Langkahnya menuju dapur, menyusuri lorong panjang yang remang.

Baru beberapa meter, langkahnya terhenti.

Dari kejauhan di area dekat pintu samping terlihat dua sosok berdiri terlalu dekat.

Lala memicingkan mata.

Suara pria, rendah dan memaksa, meluncur samar.

“Ayolah…”

Nada itu bukan bujukan—melainkan tuntutan.

Tubuh Lala menegang.

“Ada apa ini?”

Suara berat Bima muncul dari arah tangga, memecah ketegangan di sudut gelap rumah.

Sofia sontak tersentak. Ia langsung menepis tangan Pirman, lalu berlari ke arah suaminya seolah menemukan pelarian.

Bima berdiri tegak, wajahnya dingin tetapi matanya menyala oleh amarah.

Sofia bersembunyi di belakangnya, tubuhnya bergetar halus.

“Dia—Pirman—”

Sofia terengah, suaranya terbata karena kaget sekaligus ketakutan.

Pirman melangkah mundur, wajahnya berubah pucat seketika.

Namun belum sempat ia membela diri, Bima mengayunkan tangannya.

Satu pukulan keras mendarat tepat di rahang Pirman.

Suara benturannya menggema, membuat Lala refleks menutup mulutnya.

Pirman terjengkang ke lantai, meringis.

Belum sempat bangkit, Bima sudah menarik kerah bajunya dan menghajarnya lagi, dua, tiga kali dipenuhi amarah yang mendidih di dasar matanya.

“Ada apa ini?!”

Miska melesat masuk dari arah ruang tengah, napasnya terengah saat melihat Pirman tersungkur di lantai.

Tanpa pikir panjang, ia langsung berlutut, memeluk putranya dengan panik.

“Pirman! Kamu tidak apa-apa, Nak?”

Tatapannya kemudian terlempar pada Bima—panas, penuh tuduhan.

“Apa-apaan ini?!”

“Dia melecehkan istriku!”

Suara Bima menggelegar, tajam, tanpa keraguan.

Pirman buru-buru bangkit, wajahnya dibuat tampak lebih babak belur daripada yang sebenarnya.

“Enggak, Ma!” katanya cepat, menunjuk Sofia dengan gemetar palsu.

“Dia yang menggoda aku!”

Miska membelalak, lalu bangkit dan menuding Sofia dengan tatapan jijik.

“Dasar wanita murahan!”

Kata-katanya meluncur seperti racun.

Sofia terkejut. Bibirnya bergetar, namun tak ada suara yang keluar.

Dia hanya berdiri di belakang Bima, menunduk dalam.

“Engga!”

Suara Lala pecah, lantang—lebih keras dari yang ia bayangkan.

Semua kepala menoleh padanya.

“Kak Pirman yang gangguin Sofia!”

Lala menatap Miska dan Pirman tanpa gentar.

“Aku saksinya!”

Seketika udara membeku.

Tatapan Miska menusuk Lala sampai ke tulang.

“Kamu… membela dia?”

Nada suaranya rendah, kental dengan amarah.

“Dia yang ganggu istrimu, Kak Bima,” lanjut Lala, menatap kakaknya.

“Dan aku lihat sendiri.”

Pirman berkeringat.

“Dia bohong, Ma! Dia dari dulu—”

“Diam!”

Bima menghardiknya, suaranya menampar udara.

Pirman terdiam, tapi matanya jelas menampung dendam.

Miska berdiri tegak, memelototi Lala seolah ingin menelannya hidup-hidup.

“Lala… kamu tidak tahu apa-apa. Dia—”

“Kau, angkat kaki dari rumah ini!”

Suara Bima meledak, menghantam ruangan hingga semua terdiam.

“Rumah ini… dan semua yang ada di dalamnya adalah milikku!”

Pirman tertegun, sementara Miska langsung maju setengah langkah, wajahnya memerah menahan emosi.

“Hey!” serunya garang.

“Semua ini belum milikmu sepenuhnya! Jangan bertindak semaumu!”

Tatapan Bima naik perlahan, dingin—seolah sedang menilai lawan bicara yang sudah tak ada nilainya lagi bagi dirinya.

“Aku tidak sedang meminta izin.”

Nadanya tajam, stabil.

“Aku hanya menyampaikan perintah.”

“Berani sekali kamu—”

“Oma,” potong Bima tanpa mengalihkan tatapan.

“Mulai besok, serahkan semuanya padaku.”

Langkah tongkat terdengar pelan namun berat.

Semua kepala menoleh.

Oma sudah berdiri tak jauh dari mereka entah sejak kapan.

Wajah tuanya tampak tenang, namun sorot matanya cukup untuk membuat siapa pun menunduk.

Ia menatap Miska dalam-dalam, kemudian mengalihkan pandangannya pada Bima.

Hening mencengkeram ruangan, menunggu kalimat berikutnya jatuh, seperti palu vonis.

"Besok semuanya akan menjadi milikmu."

Ucapan wanita tua itu seketika membuat Miska marah, tatapannya tajam mengarah pada Lala.

Lala adalah penyebabnya!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 7

    Lala memutar kunci mobil, dan mesin menyala pelan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dada yang terasa terlalu sempit untuk diisi oleh apa pun selain sakit. Jalanan di depannya buram, bukan karena kabut, melainkan air mata yang terus menetes tanpa izin. Sesekali ia mengusap pipinya, gerakan cepat, seolah ingin menghapus bukti bahwa ia rapuh. Namun setiap sapuan hanya meninggalkan garis tipis yang kembali basah. Setiap kilometer terasa seperti menjauhkan dirinya dari rumah, tapi tidak pernah benar-benar membuatnya lepas dari luka itu. Sesak dalam dadanya seolah menelan oksigen dari kabin mobil. Rasanya seperti tenggelam tanpa air, sunyi, dingin, dan lambat. Ia tidak tahu hendak ke mana. Ia hanya ingin pergi… sejauh mungkin dari semua yang menyakitinya. Entah sampai kapan ia harus terus begini. Mengemudi dengan hati yang sekarat, membawa kesedihan yang tidak pernah benar-benar menemukan tempat untuk beristirahat. “Baiklah… kalau itu yang Mama mau.” S

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 6

    Semua orang sudah membubarkan diri, termasuk Lala. Ia berjalan sendirian di lorong ketika tiba-tiba seseorang meraih pergelangan tangannya dengan kasar. Langkahnya terhenti, tubuhnya berbalik. Belum sempat melihat jelas siapa yang menariknya… Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya. Suaranya nyaring, memantul di sepanjang lorong, membuat tubuhnya terhuyung. Lala menatap terkejut. Ibunya. Dada Miska naik turun, penuh amarah yang mendidih. “Kau adalah kesalahan… yang lahir dari rahimku!” teriaknya. Ucapan itu menusuk jauh ke ulu hati. Bukan luka berdarah. Tapi sakitnya tak tertanggungkan. “Lihat akibatmu!” Miska menudingnya dengan gemetar. “Oma mewariskan semua kekayaannya pada Bima! Semua! Padahal AKU yang berhak! Aku yang sudah berjuang!” Lala menggeleng pelan. “Ma…” suara itu pecah. “Kenapa?” Air matanya jatuh meski dia berusaha menahannya. “Kenapa kau menangis?” Cercaan ibunya membuatnya kaku. “Kau pikir air matamu itu berharga? Tidak! Tidak sama sekali

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 5

    Sunyi menyergap seisi kamar setelah langkah Aran menjauh. Lala berdiri diam, masih membelakangi pintu yang kini tertutup rapat. Tak ada isak. Tak ada air mata yang jatuh. Hanya hening yang mengalir, menelusup ke dalam rongga dadanya. Perlahan ia menurunkan tangan, seolah seluruh tenaganya ikut terkuras keluar bersama kepergian Aran. Bukan sedih yang tampak, melainkan kosong. Kosong yang sudah terlalu sering menjadi teman tinggal di rumah ini. Wajahnya tetap datar. Tatapannya kosong ke lantai, tapi tak ada satu titik pun yang benar-benar ia lihat. Seakan-akan, di dalam dirinya ada sesuatu yang runtuh, pelan, namun pasti. Lala melangkah mendekat ke ranjangnya. Gerakannya tenang, nyaris tanpa suara. Ia duduk perlahan, meraih bantal, lalu memeluknya seperti kebiasaan lama yang tak pernah benar-benar mampu menghangatkannya. Bibirnya terangkat sedikit, senyum tipis bukan bahagia, melainkan semacam pengakuan bahwa ia sudah terlalu terbiasa kehilangan. “Kenapa di

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 4

    Suara ponsel Aran tiba-tiba berdering—memecah ketegangan yang nyaris menelan keduanya. Aran sontak tersentak, segera merogoh saku celana sebelum sempat Lala menahannya lagi. Nama yang tertera di layar membuat wajahnya pucat seketika. Ia menepi, menjawab panggilan itu dengan suara tercekat. Tak ada yang terdengar jelas bagi Lala, hanya potongan kalimat gugup— “Ya… sekarang? …seberapa parah… saya segera pulang…” Beberapa detik kemudian, sambungan terputus. Aran terdiam, menggenggam ponselnya seolah nyawanya tergantung di sana. Napasnya tersengal. Perlahan ia kembali memasukkan ponsel ke sakunya. Sorot matanya menunduk, tidak berani menatap Lala. “Nona Lala…” Suaranya goyah. “Aku harus pulang ke kampung halamanku.” Ia menghela napas, menahan guncangan di dadanya. “Ibuku… sakit. Keadaannya sangat buruk. Sekarang beliau sudah dibawa ke rumah sakit terdekat.” Aran menatap Lala—tatapan memohon, bukan lagi karena takut, tapi karena putus asa. “Tolong… izinkan

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 3

    Hingga langkah Lala terhenti tepat di depan pintu kamarnya. Di ujung lorong yang diterangi lampu dinding, ia melihat seseorang berjalan ke arahnya. Aran. Pria itu menahan langkah, lalu berdiri beberapa langkah darinya. Sunyi tiba-tiba menggantung di antara keduanya tidak canggung, tapi juga tidak nyaman. Lala diam. Menunggu apa yang akan ia katakan. Aran akhirnya mengangkat tangannya, memperlihatkan sebuah dompet kecil berwarna pastel—milik Lala. “Milik Anda. Tadi terjatuh di teras,” ucapnya pelan. Lala menatap benda itu, namun tak segera meraihnya. Pandangan matanya terarah pada dompet di tangan Aran, sementara jemarinya tetap berada di sisi tubuh, ragu, atau mungkin… enggan menyudahi momen singkat itu. “Ini,” ucap Aran akhirnya, jemarinya sedikit menggeser dompet itu ke arah Lala. Lala menarik napas pelan. Baru kemudian tangannya terangkat—ragu, seperti takut menyentuh sesuatu yang lebih berat daripada sekadar barang tertinggal. Ujung jarinya menyentuh domp

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 2

    Dulu, Lala sama sekali tidak tahu apa istimewanya Aran. Ia hanya mengenalnya sebagai pria berkacamata yang terlalu sopan untuk memotong pembicaraan, terlalu tenang untuk marah, dan terlalu dingin untuk dipahami. Keduanya pertama kali bertemu di ruang kerja Bima—sebuah ruangan penuh kertas bertumpuk dan pekat aroma kopi basi yang sudah menyerah pada nasib. Lala baru pulang dari luar kota. Bima sedang sibuk. Seperti biasa. Jadi ketika pintu terbuka dan Aran muncul, membawa setumpuk berkas sambil mengangguk pelan, Lala hanya melirik tanpa peduli. “Hm,” gumamnya. Aran tidak mengangkat wajah. “Selamat sore,” ucapnya singkat. Tak ada yang terasa spesial—setidaknya sebelum Aran membuka mulut lagi. “Maaf… tapi berkas di meja Anda hampir jatuh.” Lala menunduk dan baru sadar laptop, map, dan pulpen miliknya sudah hampir ambruk ke lantai. “Hah?!” Refleks, ia menahan benda-benda itu. Sementara Aran dengan tenang yang menyebalkan, mengulurkan tangan untuk membantu. Ia me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status