เข้าสู่ระบบSuara ponsel Aran tiba-tiba berdering—memecah ketegangan yang nyaris menelan keduanya.
Aran sontak tersentak, segera merogoh saku celana sebelum sempat Lala menahannya lagi. Nama yang tertera di layar membuat wajahnya pucat seketika. Ia menepi, menjawab panggilan itu dengan suara tercekat. Tak ada yang terdengar jelas bagi Lala, hanya potongan kalimat gugup— “Ya… sekarang? …seberapa parah… saya segera pulang…” Beberapa detik kemudian, sambungan terputus. Aran terdiam, menggenggam ponselnya seolah nyawanya tergantung di sana. Napasnya tersengal. Perlahan ia kembali memasukkan ponsel ke sakunya. Sorot matanya menunduk, tidak berani menatap Lala. “Nona Lala…” Suaranya goyah. “Aku harus pulang ke kampung halamanku.” Ia menghela napas, menahan guncangan di dadanya. “Ibuku… sakit. Keadaannya sangat buruk. Sekarang beliau sudah dibawa ke rumah sakit terdekat.” Aran menatap Lala—tatapan memohon, bukan lagi karena takut, tapi karena putus asa. “Tolong… izinkan aku pergi,” pintanya lirih. “Untuk kali ini saja… Bawa aku ikut,” Lala menatapnya tanpa kedip. “Nikahi aku di depan ibumu.” Kata-kata itu meluncur seperti anak panah—tajam, menusuk, dan tak memberi ruang untuk mundur. Aran tertegun, wajahnya seketika memucat. “Nona Lala…,” suaranya melemah, penuh guncangan. “Jangan bahas ini sekarang.” Ia menelan ludah, tubuhnya terlihat gemetar kecil. “Aku mohon… aku tahu Anda punya hati nurani.” Tatapannya merendah, bukan sembah, tapi putus asa. “Tolong… izinkan aku keluar.” Desakannya bukan lagi tentang pekerjaan, bukan tentang nama baik, tapi tentang seorang anak yang mungkin sedang kehilangan ibunya. Namun Lala tetap berdiri di depan pintu. Sorotnya tak bergeser sedikit pun, seolah dunia tidak berkecamuk di luar kamar itu. Keheningan membesar, menekan dada keduanya. Lala menatapnya tajam, senyum miris perlahan muncul di sudut bibirnya. “Hati nurani?” Ia terkekeh pelan, suaranya getir. “Kau pikir semua orang di rumah ini masih punya itu?” Aran terdiam. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah detak jam di dinding,menusuk sunyi. Lala perlahan mendekat, matanya berkilat—antara marah, terluka, dan putus asa. “Aku hidup di tempat ini 31 tahun,” katanya lirih. “Tiap hari… aku berharap jadi anak yang diinginkan.” Ia menunduk sebentar, bahunya gemetar. “Tapi tidak pernah.” Aran menelan ludah. Ini bukan Lala yang manja dan menggoda. Ini Lala yang retak di dalam. “Kalau kau pergi…” Lala mengangkat wajahnya lagi, suaranya bergetar tapi tajam. “Kamu akan meninggalkan aku sendirian—lagi.” Aran mengepalkan tangan. “Nona… aku tidak akan menghilang. Aku hanya—” “Hanya peduli pada ibumu.” Lala memotong cepat. “Semua orang punya seseorang yang mau memperjuangkan mereka. Aku?” Ia menepuk dadanya pelan. “Aku bahkan tidak punya diriku sendiri.” Aran memejamkan mata, menahan sesak. Ia tahu ini bukan saatnya berdebat—tapi ia juga tahu, jika ia tak pergi sekarang, ia mungkin tidak akan pernah melihat ibunya hidup. Dengan suara serak ia berkata, “Aku akan kembali.” Tatapannya sungguh-sungguh. “Aku janji.” Lala terdiam. Matanya bergerak mencari kebohongan, dan ia menemukan, ketidakpastian. Karena janji adalah hal paling rapuh di dunia, apalagi dari orang yang sedang berlari ke arah lain. Jemari Lala perlahan meraih kerah Aran, menggenggamnya erat. “Kalau kamu pergi… kamu tidak akan kembali.” Ucapan itu bukan ancaman. Bukan pula kutukan. Hanya kebenaran dari seseorang yang sudah terlalu sering ditinggalkan. Aran terpaku. Sesaat ia seperti ingin memeluknya tapi hanya sesaat. Tanpa kata, ia menunduk, membiarkan pegangan itu perlahan melonggar. “Aku pasti akan kembali ke sini, Nona. Karena aku bekerja di sini, di keluarga Anda.” Aran menjelaskan pelan, suaranya berusaha stabil meski napasnya berat. Lala menggeleng cepat, matanya memerah. “Bukan itu!” Aran tertegun. Gemetar di ujung suara Lala terdengar jelas campuran marah dan takut. “Aku mau kamu kembali ke sini untukku, bukan untuk pekerjaan!” Lala balas dengan suara pecah, seolah kata-kata itu tercabut dari dasar hatinya. Aran membeku. Perkataan itu—langsung. Terlalu jujur. Terlalu telanjang. “Laisya… Nona...” Ia memanggil dengan nada rendah, nyaris berbisik. “Jika aku kembali untukmu… apa yang kamu harapkan dariku?” Lala menatapnya tanpa berkedip. “Segalanya.” Aran terdiam. “ Kak Aran…” Lala mengambil napas panjang, menahan isak yang ingin pecah. “Aku sudah cukup melihat orang datang dan pergi dalam hidupku. Aku tidak butuh pelindung, tidak butuh pelayan, tidak butuh pekerja.” Ia memukul dadanya sendiri pelan. “Aku cuma tidak mau sendirian.” Kata-kata itu menusuk. Terlalu personal—terlalu nyata. Aran merasakan hatinya mengencang. Dalam sekejap, ia melihat sisi Lala yang tak pernah ia pahami, manusia yang ketakutan. “Tapi…” Aran menelan ludah. “Aku tidak bisa membuat janji yang tidak bisa kupenuhi.” Lala mundur selangkah. Senyumnya muncul—rapuh, pahit. “Sama seperti semua orang,” katanya pelan. “Mereka datang… lalu bilang tak bisa tinggal.” Aran terlihat ingin berkata sesuatu, tapi pintu di balik punggungnya terasa seperti satu-satunya jalan bernapas. “Kalau kamu tetap pergi…” Lala mencondongkan tubuh sedikit. “Jangan pernah kembali hanya karena gajimu di sini.” Tangannya terkepal. “Kalau kamu kembali… kembalilah untuk aku.” Hening. Tak ada suara selain napas mereka berdua yang tak rata. Aran mengangguk kecil… bukan janji—hanya pengakuan bahwa ia mendengar. “Aku harus pergi.” “Kembalilah untukku.” Suara Lala terdengar lirih namun tegas, seperti doa yang memaksa menjadi perintah. Akhirnya, dengan tangan bergetar, ia merogoh bra-nya dan menarik keluar kunci kamar. Perlahan, ia menyodorkannya kepada Aran, bukan lagi sebagai ancaman, melainkan pelepasan. Aran langsung mengambil kunci itu, jemarinya bergerak tergesa. Suara klik terdengar ketika ia memutar anak kunci, menembus hening yang menyesakkan. Pintu terbuka. Udara di luar sama dinginnya seperti kecamuk di dada mereka. Sebelum melangkah, Aran sempat menoleh. Di balik pintu yang terbuka, ia melihat Lala berdiri memunggunginya. Bahu gadis itu naik-turun pelan, antara menahan tangis atau menahan dirinya sendiri agar tidak memanggil Aran kembali. Satu detik saja. Hanya itu yang ia izinkan untuk melihatnya. Lalu ia pergi. Dengan langkah cepat, seolah jika ia tinggal satu detik lebih lama, maka ia tak akan pernah sanggup meninggalkan kamar itu. Pintu menutup… tanpa suara. Namun dampaknya terdengar sangat keras di dada Lala.Lala memutar kunci mobil, dan mesin menyala pelan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dada yang terasa terlalu sempit untuk diisi oleh apa pun selain sakit. Jalanan di depannya buram, bukan karena kabut, melainkan air mata yang terus menetes tanpa izin. Sesekali ia mengusap pipinya, gerakan cepat, seolah ingin menghapus bukti bahwa ia rapuh. Namun setiap sapuan hanya meninggalkan garis tipis yang kembali basah. Setiap kilometer terasa seperti menjauhkan dirinya dari rumah, tapi tidak pernah benar-benar membuatnya lepas dari luka itu. Sesak dalam dadanya seolah menelan oksigen dari kabin mobil. Rasanya seperti tenggelam tanpa air, sunyi, dingin, dan lambat. Ia tidak tahu hendak ke mana. Ia hanya ingin pergi… sejauh mungkin dari semua yang menyakitinya. Entah sampai kapan ia harus terus begini. Mengemudi dengan hati yang sekarat, membawa kesedihan yang tidak pernah benar-benar menemukan tempat untuk beristirahat. “Baiklah… kalau itu yang Mama mau.” S
Semua orang sudah membubarkan diri, termasuk Lala. Ia berjalan sendirian di lorong ketika tiba-tiba seseorang meraih pergelangan tangannya dengan kasar. Langkahnya terhenti, tubuhnya berbalik. Belum sempat melihat jelas siapa yang menariknya… Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya. Suaranya nyaring, memantul di sepanjang lorong, membuat tubuhnya terhuyung. Lala menatap terkejut. Ibunya. Dada Miska naik turun, penuh amarah yang mendidih. “Kau adalah kesalahan… yang lahir dari rahimku!” teriaknya. Ucapan itu menusuk jauh ke ulu hati. Bukan luka berdarah. Tapi sakitnya tak tertanggungkan. “Lihat akibatmu!” Miska menudingnya dengan gemetar. “Oma mewariskan semua kekayaannya pada Bima! Semua! Padahal AKU yang berhak! Aku yang sudah berjuang!” Lala menggeleng pelan. “Ma…” suara itu pecah. “Kenapa?” Air matanya jatuh meski dia berusaha menahannya. “Kenapa kau menangis?” Cercaan ibunya membuatnya kaku. “Kau pikir air matamu itu berharga? Tidak! Tidak sama sekali
Sunyi menyergap seisi kamar setelah langkah Aran menjauh. Lala berdiri diam, masih membelakangi pintu yang kini tertutup rapat. Tak ada isak. Tak ada air mata yang jatuh. Hanya hening yang mengalir, menelusup ke dalam rongga dadanya. Perlahan ia menurunkan tangan, seolah seluruh tenaganya ikut terkuras keluar bersama kepergian Aran. Bukan sedih yang tampak, melainkan kosong. Kosong yang sudah terlalu sering menjadi teman tinggal di rumah ini. Wajahnya tetap datar. Tatapannya kosong ke lantai, tapi tak ada satu titik pun yang benar-benar ia lihat. Seakan-akan, di dalam dirinya ada sesuatu yang runtuh, pelan, namun pasti. Lala melangkah mendekat ke ranjangnya. Gerakannya tenang, nyaris tanpa suara. Ia duduk perlahan, meraih bantal, lalu memeluknya seperti kebiasaan lama yang tak pernah benar-benar mampu menghangatkannya. Bibirnya terangkat sedikit, senyum tipis bukan bahagia, melainkan semacam pengakuan bahwa ia sudah terlalu terbiasa kehilangan. “Kenapa di
Suara ponsel Aran tiba-tiba berdering—memecah ketegangan yang nyaris menelan keduanya. Aran sontak tersentak, segera merogoh saku celana sebelum sempat Lala menahannya lagi. Nama yang tertera di layar membuat wajahnya pucat seketika. Ia menepi, menjawab panggilan itu dengan suara tercekat. Tak ada yang terdengar jelas bagi Lala, hanya potongan kalimat gugup— “Ya… sekarang? …seberapa parah… saya segera pulang…” Beberapa detik kemudian, sambungan terputus. Aran terdiam, menggenggam ponselnya seolah nyawanya tergantung di sana. Napasnya tersengal. Perlahan ia kembali memasukkan ponsel ke sakunya. Sorot matanya menunduk, tidak berani menatap Lala. “Nona Lala…” Suaranya goyah. “Aku harus pulang ke kampung halamanku.” Ia menghela napas, menahan guncangan di dadanya. “Ibuku… sakit. Keadaannya sangat buruk. Sekarang beliau sudah dibawa ke rumah sakit terdekat.” Aran menatap Lala—tatapan memohon, bukan lagi karena takut, tapi karena putus asa. “Tolong… izinkan
Hingga langkah Lala terhenti tepat di depan pintu kamarnya. Di ujung lorong yang diterangi lampu dinding, ia melihat seseorang berjalan ke arahnya. Aran. Pria itu menahan langkah, lalu berdiri beberapa langkah darinya. Sunyi tiba-tiba menggantung di antara keduanya tidak canggung, tapi juga tidak nyaman. Lala diam. Menunggu apa yang akan ia katakan. Aran akhirnya mengangkat tangannya, memperlihatkan sebuah dompet kecil berwarna pastel—milik Lala. “Milik Anda. Tadi terjatuh di teras,” ucapnya pelan. Lala menatap benda itu, namun tak segera meraihnya. Pandangan matanya terarah pada dompet di tangan Aran, sementara jemarinya tetap berada di sisi tubuh, ragu, atau mungkin… enggan menyudahi momen singkat itu. “Ini,” ucap Aran akhirnya, jemarinya sedikit menggeser dompet itu ke arah Lala. Lala menarik napas pelan. Baru kemudian tangannya terangkat—ragu, seperti takut menyentuh sesuatu yang lebih berat daripada sekadar barang tertinggal. Ujung jarinya menyentuh domp
Dulu, Lala sama sekali tidak tahu apa istimewanya Aran. Ia hanya mengenalnya sebagai pria berkacamata yang terlalu sopan untuk memotong pembicaraan, terlalu tenang untuk marah, dan terlalu dingin untuk dipahami. Keduanya pertama kali bertemu di ruang kerja Bima—sebuah ruangan penuh kertas bertumpuk dan pekat aroma kopi basi yang sudah menyerah pada nasib. Lala baru pulang dari luar kota. Bima sedang sibuk. Seperti biasa. Jadi ketika pintu terbuka dan Aran muncul, membawa setumpuk berkas sambil mengangguk pelan, Lala hanya melirik tanpa peduli. “Hm,” gumamnya. Aran tidak mengangkat wajah. “Selamat sore,” ucapnya singkat. Tak ada yang terasa spesial—setidaknya sebelum Aran membuka mulut lagi. “Maaf… tapi berkas di meja Anda hampir jatuh.” Lala menunduk dan baru sadar laptop, map, dan pulpen miliknya sudah hampir ambruk ke lantai. “Hah?!” Refleks, ia menahan benda-benda itu. Sementara Aran dengan tenang yang menyebalkan, mengulurkan tangan untuk membantu. Ia me







