เข้าสู่ระบบSemua orang sudah membubarkan diri, termasuk Lala. Ia berjalan sendirian di lorong ketika tiba-tiba seseorang meraih pergelangan tangannya dengan kasar.
Langkahnya terhenti, tubuhnya berbalik. Belum sempat melihat jelas siapa yang menariknya… Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya. Suaranya nyaring, memantul di sepanjang lorong, membuat tubuhnya terhuyung. Lala menatap terkejut. Ibunya. Dada Miska naik turun, penuh amarah yang mendidih. “Kau adalah kesalahan… yang lahir dari rahimku!” teriaknya. Ucapan itu menusuk jauh ke ulu hati. Bukan luka berdarah. Tapi sakitnya tak tertanggungkan. “Lihat akibatmu!” Miska menudingnya dengan gemetar. “Oma mewariskan semua kekayaannya pada Bima! Semua! Padahal AKU yang berhak! Aku yang sudah berjuang!” Lala menggeleng pelan. “Ma…” suara itu pecah. “Kenapa?” Air matanya jatuh meski dia berusaha menahannya. “Kenapa kau menangis?” Cercaan ibunya membuatnya kaku. “Kau pikir air matamu itu berharga? Tidak! Tidak sama sekali!” “Ma…” Lala menggertakkan giginya, menahan sesak. “Aku nggak pernah minta dilahirkan!” “Kurang ajar!” Plak! Tamparan kedua menghantam sisi wajah yang lain. Kepala Lala terpuntir, dan ia menahan pipinya yang perih. Miska menggeram, matanya merah penuh dendam. “Karena aku mengandungmu… aku harus kehilangan rahimku! Karena kau, aku tak bisa hamil lagi! Aku tak bisa melahirkan anak laki-laki—pewaris yang seharusnya menjadi milikku!” Suara itu pecah namun tetap ganas. “Akhirnya semua usaha yang kulakukan… sia-sia!” Mata Lala tak berhenti meneteskan air mata. Pipinya memerah, terbakar oleh dua tamparan yang baru saja mendarat. Napasnya tersengal, namun tak ada suara yang mampu keluar dari bibirnya—semuanya serba sakit. Ia menunduk, menggigit bibir, berusaha menahan tubuhnya agar tak jatuh berlutut. Dari kejauhan… Ada langkah pelan. Lala mengangkat wajahnya dengan sisa tenaga. Di ujung lorong, berdirilah Aran. Tatapannya membeku. Ia melihat semuanya. Tamparan, teriakan, penghinaan. Semuanya. Mata Aran sedikit melebar. Seolah waktu berhenti ketika pandangannya bertaut dengan Lala. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Hanya terdengar napas terisak dari Lala… “Kau tahu?” Suara Miska bergetar oleh kebencian yang begitu pekat. “Aku pernah hampir melenyapkanmu saat kau baru lahir… tapi Bima datang! Semuanya gagal!” Lala membeku. Napasnya tercekat. Tatapannya kosong—seolah tubuhnya tak lagi berjiwa. “Harusnya aku tidak berhenti sampai di situ!” Miska mendesis, matanya merah oleh amarah yang ditumpahkan tanpa arah. “Kalau saja waktu itu aku teruskan, kau tidak akan pernah hidup di dunia ini—pembawa sial!” Kata-kata itu menampar lebih keras daripada tangan mana pun. Seketika dunia Lala runtuh. Lala menutup mulutnya dengan gemetar, mencoba menahan jeritan yang seolah ingin pecah dari dadanya. Air mata mengalir tanpa bisa dibendung. Tangannya bergetar, tubuhnya terasa dingin. Setelah puas meluapkan kebenciannya, Miska akhirnya memalingkan wajah. Langkahnya berat namun penuh kesombongan, seolah ia baru saja memenangkan sesuatu. Namun sebelum benar-benar pergi, ia terhenti. Matanya menatap Aran—dingin, meremehkan. Aran berdiri tegak, namun Miska hanya mendecih kecil. Bagi Miska, Aran bukan siapa-siapa. Bukan anggota keluarga. Bukan orang berpengaruh. Bukan sosok yang layak diperhitungkan. Hanya pekerja rendahan. Ia mengangkat dagu sedikit, memberikan tatapan terakhir yang penuh penghinaan, lalu berkata lirih namun menusuk, “Jaga urusanmu sendiri.” Tanpa menunggu tanggapan, Miska melangkah pergi. Suara hak sepatunya menggema di lorong—tanda kepergian yang dingin dan memuakkan. Hening menyeruak. Hanya tertinggal Lala… yang masih memegangi pipinya, tubuh gemetar, napas terisak. Aran tak berkutik—namun sorot matanya mengeras, seperti menyimpan sesuatu yang tak terucap. Saat punggung Miska menghilang di ujung lorong, Aran pelan-pelan menoleh pada Lala. “Nona Lala…” suaranya rendah, hati-hati. Seakan takut sentuhannya akan membuat gadis itu pecah berantakan. Tatapan Lala berubah tajam—bukan lagi sekadar luka, tapi campuran antara marah, kecewa, dan letih. Ia melangkah maju… satu langkah… dua langkah… sampai jarak mereka lenyap. “Nona?” Aran berbisik, bingung sekaligus cemas. Tak ingin ada yang melihat mereka sedekat ini. Namun Lala tak menjawab. Tangannya tiba-tiba terangkat dan mencengkeram kerah kemeja Aran dengan kuat. Tarikannya membuat Aran sedikit tersentak, napasnya tertahan. “Aku selalu berusaha…” Suara Lala pecah, bergetar. “Untuk jadi yang terbaik.” Matanya memerah, air mata jatuh satu per satu. “Prestasi yang kucapai begitu tinggi…” Nadanya terputus, seperti tenggelam oleh sakit yang lama ditahan. “Apakah Mama… tidak bisa melihat itu semuanya?” Pertanyaan itu meluncur lirih—penuh getir, penuh luka. Lala menatap Aran dengan mata yang basah namun tajam, seolah menantang dunia untuk menjawab. Seolah berharap—walau hanya sedikit—ada seseorang yang akhirnya mau mengakui bahwa ia layak dicintai. Aran tak segera bicara. Hanya memandang gadis di depannya—yang selama ini tampak kuat, namun sebenarnya rapuh hingga hampir hancur, dan Aran sudah sering menyaksikan kerapuhan Lala. Namun tiba-tiba, genggaman Lala pada kerah Aran terlepas. Bukan karena ia tenang—melainkan karena ia kehilangan arah. Dengan gerakan spontan, Lala merogoh saku dada Aran. Aran terkejut. “Nona—” Telat. Ia sudah menarik keluar sebungkus rokok. Dari dalamnya, ia mengambil sebatang, menggigit ujungnya, lalu menyalakan api dengan tangan yang sedikit gemetar. Cahaya kecil dari korek memantul di mata Lala—lelah… kosong. Asap pertama dihembuskannya pelan. Sangat pelan. Seolah ia ingin menunda detik di mana dunia kembali menghancurkannya. Aran menatapnya tanpa bicara. Pemandangan ini bukan baru baginya. Ia sudah lama tahu. Lala merokok—parah. Dan lebih dari itu… Ada kalanya ia memakai sesuatu yang jauh lebih berbahaya, atau barang terlarang hanya agar bisa tetap bertahan hidup dalam rumah penuh tekanan ini. Dan meski tidak pernah ada bukti langsung, Aran tahu cukup banyak untuk mengerti bahwa luka Lala lebih dalam dari yang terlihat. “Jangan menatapku seperti itu…” Lala menghembuskan asap sambil tersenyum miring—senyum yang tidak sampai ke matanya. “Aku sudah rusak sejak lama.” Ia tertawa pelan—tawa tanpa bahagia. Asap rokok mengambang seperti kabut tipis, membungkus tubuhnya. “Kalau aku mati besok… mungkin Mama akhirnya bahagia.” Nada suaranya begitu ringan, tapi matanya… hancur. Aran merasakan dada yang menegang. Ia ingin bicara, tapi kata-kata menolak keluar. Rasanya seperti menyaksikan seseorang menenggelamkan diri perlahan-lahan, namun tangan kita terikat—tak bisa menolong. Lala menghembuskan asap terakhir sebelum mematikan puntung rokok di dinding. Hening masih menyelimuti mereka berdua. Tanpa menatap Aran lagi, ia berbalik. Gerakannya lambat… seperti seseorang yang kehilangan semua kekuatan untuk marah maupun menangis. Kakinya melangkah pelan menyusuri koridor gelap. Langkah yang biasanya penuh percaya diri, kini terdengar rapuh—hampir tanpa arah. Aran hanya bisa menatap punggung itu menjauh. Punggung seorang perempuan yang selalu terlihat cerah di mata semua orang… Namun kini tampak seperti bayangan kosong yang tak tahu harus pulang ke mana.Lala memutar kunci mobil, dan mesin menyala pelan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dada yang terasa terlalu sempit untuk diisi oleh apa pun selain sakit. Jalanan di depannya buram, bukan karena kabut, melainkan air mata yang terus menetes tanpa izin. Sesekali ia mengusap pipinya, gerakan cepat, seolah ingin menghapus bukti bahwa ia rapuh. Namun setiap sapuan hanya meninggalkan garis tipis yang kembali basah. Setiap kilometer terasa seperti menjauhkan dirinya dari rumah, tapi tidak pernah benar-benar membuatnya lepas dari luka itu. Sesak dalam dadanya seolah menelan oksigen dari kabin mobil. Rasanya seperti tenggelam tanpa air, sunyi, dingin, dan lambat. Ia tidak tahu hendak ke mana. Ia hanya ingin pergi… sejauh mungkin dari semua yang menyakitinya. Entah sampai kapan ia harus terus begini. Mengemudi dengan hati yang sekarat, membawa kesedihan yang tidak pernah benar-benar menemukan tempat untuk beristirahat. “Baiklah… kalau itu yang Mama mau.” S
Semua orang sudah membubarkan diri, termasuk Lala. Ia berjalan sendirian di lorong ketika tiba-tiba seseorang meraih pergelangan tangannya dengan kasar. Langkahnya terhenti, tubuhnya berbalik. Belum sempat melihat jelas siapa yang menariknya… Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya. Suaranya nyaring, memantul di sepanjang lorong, membuat tubuhnya terhuyung. Lala menatap terkejut. Ibunya. Dada Miska naik turun, penuh amarah yang mendidih. “Kau adalah kesalahan… yang lahir dari rahimku!” teriaknya. Ucapan itu menusuk jauh ke ulu hati. Bukan luka berdarah. Tapi sakitnya tak tertanggungkan. “Lihat akibatmu!” Miska menudingnya dengan gemetar. “Oma mewariskan semua kekayaannya pada Bima! Semua! Padahal AKU yang berhak! Aku yang sudah berjuang!” Lala menggeleng pelan. “Ma…” suara itu pecah. “Kenapa?” Air matanya jatuh meski dia berusaha menahannya. “Kenapa kau menangis?” Cercaan ibunya membuatnya kaku. “Kau pikir air matamu itu berharga? Tidak! Tidak sama sekali
Sunyi menyergap seisi kamar setelah langkah Aran menjauh. Lala berdiri diam, masih membelakangi pintu yang kini tertutup rapat. Tak ada isak. Tak ada air mata yang jatuh. Hanya hening yang mengalir, menelusup ke dalam rongga dadanya. Perlahan ia menurunkan tangan, seolah seluruh tenaganya ikut terkuras keluar bersama kepergian Aran. Bukan sedih yang tampak, melainkan kosong. Kosong yang sudah terlalu sering menjadi teman tinggal di rumah ini. Wajahnya tetap datar. Tatapannya kosong ke lantai, tapi tak ada satu titik pun yang benar-benar ia lihat. Seakan-akan, di dalam dirinya ada sesuatu yang runtuh, pelan, namun pasti. Lala melangkah mendekat ke ranjangnya. Gerakannya tenang, nyaris tanpa suara. Ia duduk perlahan, meraih bantal, lalu memeluknya seperti kebiasaan lama yang tak pernah benar-benar mampu menghangatkannya. Bibirnya terangkat sedikit, senyum tipis bukan bahagia, melainkan semacam pengakuan bahwa ia sudah terlalu terbiasa kehilangan. “Kenapa di
Suara ponsel Aran tiba-tiba berdering—memecah ketegangan yang nyaris menelan keduanya. Aran sontak tersentak, segera merogoh saku celana sebelum sempat Lala menahannya lagi. Nama yang tertera di layar membuat wajahnya pucat seketika. Ia menepi, menjawab panggilan itu dengan suara tercekat. Tak ada yang terdengar jelas bagi Lala, hanya potongan kalimat gugup— “Ya… sekarang? …seberapa parah… saya segera pulang…” Beberapa detik kemudian, sambungan terputus. Aran terdiam, menggenggam ponselnya seolah nyawanya tergantung di sana. Napasnya tersengal. Perlahan ia kembali memasukkan ponsel ke sakunya. Sorot matanya menunduk, tidak berani menatap Lala. “Nona Lala…” Suaranya goyah. “Aku harus pulang ke kampung halamanku.” Ia menghela napas, menahan guncangan di dadanya. “Ibuku… sakit. Keadaannya sangat buruk. Sekarang beliau sudah dibawa ke rumah sakit terdekat.” Aran menatap Lala—tatapan memohon, bukan lagi karena takut, tapi karena putus asa. “Tolong… izinkan
Hingga langkah Lala terhenti tepat di depan pintu kamarnya. Di ujung lorong yang diterangi lampu dinding, ia melihat seseorang berjalan ke arahnya. Aran. Pria itu menahan langkah, lalu berdiri beberapa langkah darinya. Sunyi tiba-tiba menggantung di antara keduanya tidak canggung, tapi juga tidak nyaman. Lala diam. Menunggu apa yang akan ia katakan. Aran akhirnya mengangkat tangannya, memperlihatkan sebuah dompet kecil berwarna pastel—milik Lala. “Milik Anda. Tadi terjatuh di teras,” ucapnya pelan. Lala menatap benda itu, namun tak segera meraihnya. Pandangan matanya terarah pada dompet di tangan Aran, sementara jemarinya tetap berada di sisi tubuh, ragu, atau mungkin… enggan menyudahi momen singkat itu. “Ini,” ucap Aran akhirnya, jemarinya sedikit menggeser dompet itu ke arah Lala. Lala menarik napas pelan. Baru kemudian tangannya terangkat—ragu, seperti takut menyentuh sesuatu yang lebih berat daripada sekadar barang tertinggal. Ujung jarinya menyentuh domp
Dulu, Lala sama sekali tidak tahu apa istimewanya Aran. Ia hanya mengenalnya sebagai pria berkacamata yang terlalu sopan untuk memotong pembicaraan, terlalu tenang untuk marah, dan terlalu dingin untuk dipahami. Keduanya pertama kali bertemu di ruang kerja Bima—sebuah ruangan penuh kertas bertumpuk dan pekat aroma kopi basi yang sudah menyerah pada nasib. Lala baru pulang dari luar kota. Bima sedang sibuk. Seperti biasa. Jadi ketika pintu terbuka dan Aran muncul, membawa setumpuk berkas sambil mengangguk pelan, Lala hanya melirik tanpa peduli. “Hm,” gumamnya. Aran tidak mengangkat wajah. “Selamat sore,” ucapnya singkat. Tak ada yang terasa spesial—setidaknya sebelum Aran membuka mulut lagi. “Maaf… tapi berkas di meja Anda hampir jatuh.” Lala menunduk dan baru sadar laptop, map, dan pulpen miliknya sudah hampir ambruk ke lantai. “Hah?!” Refleks, ia menahan benda-benda itu. Sementara Aran dengan tenang yang menyebalkan, mengulurkan tangan untuk membantu. Ia me







