เข้าสู่ระบบLala memutar kunci mobil, dan mesin menyala pelan.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dada yang terasa terlalu sempit untuk diisi oleh apa pun selain sakit. Jalanan di depannya buram, bukan karena kabut, melainkan air mata yang terus menetes tanpa izin. Sesekali ia mengusap pipinya, gerakan cepat, seolah ingin menghapus bukti bahwa ia rapuh. Namun setiap sapuan hanya meninggalkan garis tipis yang kembali basah. Setiap kilometer terasa seperti menjauhkan dirinya dari rumah, tapi tidak pernah benar-benar membuatnya lepas dari luka itu. Sesak dalam dadanya seolah menelan oksigen dari kabin mobil. Rasanya seperti tenggelam tanpa air, sunyi, dingin, dan lambat. Ia tidak tahu hendak ke mana. Ia hanya ingin pergi… sejauh mungkin dari semua yang menyakitinya. Entah sampai kapan ia harus terus begini. Mengemudi dengan hati yang sekarat, membawa kesedihan yang tidak pernah benar-benar menemukan tempat untuk beristirahat. “Baiklah… kalau itu yang Mama mau.” Suara Lala nyaris tak terdengar, seperti hela napas yang patah. Tangannya memutar setir, membawa mobil keluar dari rute awal. Lampu-lampu kota makin jarang, jalanan perlahan menurun dan gelap. Di kejauhan, jurang terbentang samar di sisi kanan jalan, gelap, dalam, seakan membuka tangan untuk menelan apa pun yang mendekat. Lala menatapnya… Mata sembab itu dipenuhi campuran marah dan putus asa. Angin malam menyelinap dari celah jendela, dinginnya menusuk sampai tulang. Sesaat, ia menggenggam setir terlalu erat—sendi jarinya memutih. Namun, tepat ketika roda depan sedikit miring ke arah tepian, bayangan wajah seseorang menyeruak di benaknya. Oma. Aran. Bima. Dan dirinya sendiri… sewaktu kecil, tersenyum polos tanpa tahu bagaimana dunia bekerja. Tangan Lala bergetar hebat. Pipi hangat oleh air mata yang kembali jatuh. “Tidak…” bisiknya patah. Roda kembali lurus. Mobil berguncang, tapi tetap pada jalur aspal. Napas Lala terengah, dada naik turun tak teratur. Ia memelankan laju mobil, menepi dengan kasar di bahu jalan. Kepalanya terjatuh ke atas setir. Suara klakson terdengar pendek, seperti isak. Lala tidak tahu apakah ia baru saja selamat, atau baru saja kehilangan keberanian untuk menyerah. Yang pasti, ia tetap di sini. Masih bernapas. Meski sakitnya belum pergi. * Pelan-pelan, Lala membuka mata. Pandangan pertamanya jatuh pada wajah Aran, duduk tak jauh darinya, tubuh sedikit membungkuk, seolah tak berani berkedip sejak tadi. Untuk sesaat, ia hanya menatap tanpa benar-benar memahami. Kemudian bibirnya terangkat, membentuk tawa kecil, tipis, getir, seperti tawa seseorang yang sudah terlalu sering kalah. “Kamu lagi…” gumamnya pelan. “Ternyata kamu selalu muncul di mana pun aku jatuh, ya.” Aran tak menjawab. Matanya hanya memerhatikan Lala, tenang, tapi sarat kekhawatiran yang sulit disembunyikan. Lala mengalihkan pandangannya. Kamar itu asing namun rapi, pencahayaannya hangat, dindingnya berwarna lembut. Bukan rumah… bukan kantor… Tapi tempat yang terasa aman, setidaknya untuk malam itu. Ia menyadari ia berada di atas sofa, selimut ringan menutupi kakinya. “Ini… di mana?” tanyanya lirih. “Apartmentku,” jawab Aran pelan. “Nona pingsan. Aku… menemukanmu di pinggir jalan.” Lala mengangguk pelan. Tidak terkejut, justru heran kenapa hatinya terasa lega. “Kenapa selalu kamu?” tanyanya lagi, suara hampir tak terdengar. Pertanyaan itu bukan tuntutan… lebih seperti keheranan seorang yang tak percaya masih ada yang mau tinggal. Aran menundukkan kepala sejenak. “Aku juga tidak tahu,” katanya perlahan. “Tapi ketika melihat Anda… rasanya saya tidak bisa pergi begitu saja.” Lala menatapnya lama, mata yang masih sembab berkilat di bawah lampu. Tanpa peringatan, Lala mulai membuka kancing kemejanya, gerakannya pelan, namun jelas dilakukan dengan kesadaran penuh. Aran tertegun, darahnya seperti berhenti mengalir sesaat. Wajahnya menegang, lalu dengan cepat ia meraih kedua tangan Lala, menghentikannya. “A-apa yang Anda lakukan, Nona?” Suara Aran terdengar panik, lebih karena khawatir daripada kaget. Lala menatapnya pandangan kosong yang dipenuhi lelah dan putus asa. “Ayolah… Kak, nikahin aku...” suara itu serak, seolah keluar dari tenggorokan yang terlalu lama menahan tangis. “Dan, biarkan aku… melupakan semua beban ini… hanya sebentar saja…” Ia tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih seperti tangisan yang tersesat. Aran menarik napas dalam, lalu menggeleng kuat. Tangannya masih menahan tangan Lala agar tetap tertutup. “Tidak seperti ini,” katanya pelan, tapi tegas. “Nona… mengalihkan rasa sakit bukan dengan cara menyakiti diri sendiri.” Lala menunduk. Bahunya bergetar pelan, entah menahan tangis, marah, atau keduanya. “Apa kamu merasa jijik padaku?” Suara Lala terdengar pelan, namun tekanan di baliknya membuat udara di antara mereka mengeras. Tatapannya menelusup, seolah ingin membongkar isi pikiran Aran sampai ke dasarnya. Aran menegang. “Nona, bukan seperti itu—” “Lalu seperti apa?” Lala selangkah lebih maju, mendesak tanpa memberi ruang. Nada suaranya bukan marah… melainkan haus akan jawaban, akan validasi. Ia menunggu. Menunggu kata-kata yang mungkin bisa meredam gemuruh di dadanya. Tapi hening berjalan lebih cepat dari Aran. Dalam ruang jeda itu, pikirannya bergerak jauh ke dalam. Bukan sekadar terluka… tetapi mencari celah untuk bertahan. Jika cinta tak pernah cukup, jika perjuangannya selalu dipatahkan… Maka ia harus menciptakan jalannya sendiri. Kalau aku mengandung anaknya… Bayangan itu muncul tiba-tiba. Liar. Berbahaya. Namun manis bagi seseorang yang tidak pernah dipilih. Jika ia hamil. Aran tak akan punya pilihan selain menikahinya. Membawanya pergi dari rumah itu. Menjadikannya seseorang yang tidak lagi bisa dibuang semaunya. Gagasan itu menghantam kepalanya seperti kilat. Membuat pupilnya seolah mengerut, menandai perubahan kecil dalam dirinya. Ia menatap Aran… Bukan lagi sekadar lelaki yang ia kagumi, melainkan tiket menuju kebebasan. Dan sekali saja ia menginginkan sesuatu… Lala bukan tipe yang mundur. Lala kembali mendekat, jarak di antara mereka nyaris tak tersisa. Jemarinya menyentuh pelan kerah kemeja Aran, menariknya mendekat. “Kak Aran…” bisiknya lirih, nyaris seperti rengekan yang memohon, “aku tahu kamu menginginkanku…” Aran menegang. Ia memegang pergelangan tangan Lala, berusaha menjauh, tapi sentuhan hangat itu seperti jebakan yang menariknya masuk. Mata Lala bergetar. Sekejap, kesedihannya muncul kembali, lalu tertutup oleh senyuman licik yang samar. Dalam hati, dia berbisik. Jika aku mengandung anakmu… kamu pasti tidak akan pergi.Lala memutar kunci mobil, dan mesin menyala pelan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dada yang terasa terlalu sempit untuk diisi oleh apa pun selain sakit. Jalanan di depannya buram, bukan karena kabut, melainkan air mata yang terus menetes tanpa izin. Sesekali ia mengusap pipinya, gerakan cepat, seolah ingin menghapus bukti bahwa ia rapuh. Namun setiap sapuan hanya meninggalkan garis tipis yang kembali basah. Setiap kilometer terasa seperti menjauhkan dirinya dari rumah, tapi tidak pernah benar-benar membuatnya lepas dari luka itu. Sesak dalam dadanya seolah menelan oksigen dari kabin mobil. Rasanya seperti tenggelam tanpa air, sunyi, dingin, dan lambat. Ia tidak tahu hendak ke mana. Ia hanya ingin pergi… sejauh mungkin dari semua yang menyakitinya. Entah sampai kapan ia harus terus begini. Mengemudi dengan hati yang sekarat, membawa kesedihan yang tidak pernah benar-benar menemukan tempat untuk beristirahat. “Baiklah… kalau itu yang Mama mau.” S
Semua orang sudah membubarkan diri, termasuk Lala. Ia berjalan sendirian di lorong ketika tiba-tiba seseorang meraih pergelangan tangannya dengan kasar. Langkahnya terhenti, tubuhnya berbalik. Belum sempat melihat jelas siapa yang menariknya… Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya. Suaranya nyaring, memantul di sepanjang lorong, membuat tubuhnya terhuyung. Lala menatap terkejut. Ibunya. Dada Miska naik turun, penuh amarah yang mendidih. “Kau adalah kesalahan… yang lahir dari rahimku!” teriaknya. Ucapan itu menusuk jauh ke ulu hati. Bukan luka berdarah. Tapi sakitnya tak tertanggungkan. “Lihat akibatmu!” Miska menudingnya dengan gemetar. “Oma mewariskan semua kekayaannya pada Bima! Semua! Padahal AKU yang berhak! Aku yang sudah berjuang!” Lala menggeleng pelan. “Ma…” suara itu pecah. “Kenapa?” Air matanya jatuh meski dia berusaha menahannya. “Kenapa kau menangis?” Cercaan ibunya membuatnya kaku. “Kau pikir air matamu itu berharga? Tidak! Tidak sama sekali
Sunyi menyergap seisi kamar setelah langkah Aran menjauh. Lala berdiri diam, masih membelakangi pintu yang kini tertutup rapat. Tak ada isak. Tak ada air mata yang jatuh. Hanya hening yang mengalir, menelusup ke dalam rongga dadanya. Perlahan ia menurunkan tangan, seolah seluruh tenaganya ikut terkuras keluar bersama kepergian Aran. Bukan sedih yang tampak, melainkan kosong. Kosong yang sudah terlalu sering menjadi teman tinggal di rumah ini. Wajahnya tetap datar. Tatapannya kosong ke lantai, tapi tak ada satu titik pun yang benar-benar ia lihat. Seakan-akan, di dalam dirinya ada sesuatu yang runtuh, pelan, namun pasti. Lala melangkah mendekat ke ranjangnya. Gerakannya tenang, nyaris tanpa suara. Ia duduk perlahan, meraih bantal, lalu memeluknya seperti kebiasaan lama yang tak pernah benar-benar mampu menghangatkannya. Bibirnya terangkat sedikit, senyum tipis bukan bahagia, melainkan semacam pengakuan bahwa ia sudah terlalu terbiasa kehilangan. “Kenapa di
Suara ponsel Aran tiba-tiba berdering—memecah ketegangan yang nyaris menelan keduanya. Aran sontak tersentak, segera merogoh saku celana sebelum sempat Lala menahannya lagi. Nama yang tertera di layar membuat wajahnya pucat seketika. Ia menepi, menjawab panggilan itu dengan suara tercekat. Tak ada yang terdengar jelas bagi Lala, hanya potongan kalimat gugup— “Ya… sekarang? …seberapa parah… saya segera pulang…” Beberapa detik kemudian, sambungan terputus. Aran terdiam, menggenggam ponselnya seolah nyawanya tergantung di sana. Napasnya tersengal. Perlahan ia kembali memasukkan ponsel ke sakunya. Sorot matanya menunduk, tidak berani menatap Lala. “Nona Lala…” Suaranya goyah. “Aku harus pulang ke kampung halamanku.” Ia menghela napas, menahan guncangan di dadanya. “Ibuku… sakit. Keadaannya sangat buruk. Sekarang beliau sudah dibawa ke rumah sakit terdekat.” Aran menatap Lala—tatapan memohon, bukan lagi karena takut, tapi karena putus asa. “Tolong… izinkan
Hingga langkah Lala terhenti tepat di depan pintu kamarnya. Di ujung lorong yang diterangi lampu dinding, ia melihat seseorang berjalan ke arahnya. Aran. Pria itu menahan langkah, lalu berdiri beberapa langkah darinya. Sunyi tiba-tiba menggantung di antara keduanya tidak canggung, tapi juga tidak nyaman. Lala diam. Menunggu apa yang akan ia katakan. Aran akhirnya mengangkat tangannya, memperlihatkan sebuah dompet kecil berwarna pastel—milik Lala. “Milik Anda. Tadi terjatuh di teras,” ucapnya pelan. Lala menatap benda itu, namun tak segera meraihnya. Pandangan matanya terarah pada dompet di tangan Aran, sementara jemarinya tetap berada di sisi tubuh, ragu, atau mungkin… enggan menyudahi momen singkat itu. “Ini,” ucap Aran akhirnya, jemarinya sedikit menggeser dompet itu ke arah Lala. Lala menarik napas pelan. Baru kemudian tangannya terangkat—ragu, seperti takut menyentuh sesuatu yang lebih berat daripada sekadar barang tertinggal. Ujung jarinya menyentuh domp
Dulu, Lala sama sekali tidak tahu apa istimewanya Aran. Ia hanya mengenalnya sebagai pria berkacamata yang terlalu sopan untuk memotong pembicaraan, terlalu tenang untuk marah, dan terlalu dingin untuk dipahami. Keduanya pertama kali bertemu di ruang kerja Bima—sebuah ruangan penuh kertas bertumpuk dan pekat aroma kopi basi yang sudah menyerah pada nasib. Lala baru pulang dari luar kota. Bima sedang sibuk. Seperti biasa. Jadi ketika pintu terbuka dan Aran muncul, membawa setumpuk berkas sambil mengangguk pelan, Lala hanya melirik tanpa peduli. “Hm,” gumamnya. Aran tidak mengangkat wajah. “Selamat sore,” ucapnya singkat. Tak ada yang terasa spesial—setidaknya sebelum Aran membuka mulut lagi. “Maaf… tapi berkas di meja Anda hampir jatuh.” Lala menunduk dan baru sadar laptop, map, dan pulpen miliknya sudah hampir ambruk ke lantai. “Hah?!” Refleks, ia menahan benda-benda itu. Sementara Aran dengan tenang yang menyebalkan, mengulurkan tangan untuk membantu. Ia me







