LOGINWaktu sudah menunjuk angka delapan lewat lima belas.
Joanna mengerang pelan merasakan tubuhnya yang sangat sakit dan pegal-pegal. Kepalanya terasa berat, seolah ada palu yang menghantamnya berulang kali.
Dia lalu membuka mata perlahan dan mencoba memahami di mana dia berada. Pandangannya berkeliling, asing, jauh berbeda dari apartemen studio mungilnya.
Lalu tubuhnya menegang. Dia sadar kini tengah telanjang, hanya tertutup selimut tipis.
“Tidak!” bisiknya dengan napas yang tercekat.
Ingatannya berkelebat—bar, alkohol, sosok pria dengan tatapan tajam, bibir yang terlalu dalam mencumbu, dan sentuhan panas di seluruh tubuh.
Joanna mendadak duduk lalu memeluk selimut dengan erat-erat. Dadanya naik turun dengan cepat.
“Tuhan ... jangan bilang itu nyata.”
Ia menoleh ke sisi ranjang. Kosong. Pria itu sudah tidak ada. Hanya bekas lipatan tubuh di seprai yang membuktikan kehadirannya semalam.
Joanna menutup wajah dengan kedua tangannya. Pipinya panas, campuran antara malu, takut, dan panik.
“Aku yakin, ini hanya mimpi buruk,” ujarnya meyakinkan diri. “Aku mabuk ... ini pasti hanya halusinasi.”
Namun rasa sakit yang samar di tubuhnya menegaskan kenyataan yang tak terbantahkan. Area sensitifnya terasa perih bahkan terasa cairan menggenang di sana.
Dengan tergesa, dia turun dari ranjang lalu mengais pakaian yang berserakan di lantai.
Gaunnya tampak sudah kusut, stocking sobek, dan rambutnya berantakan. Ia pun berpakaian sekenanya, lalu meraih tas dan kabur dari kamar hotel itu tanpa menoleh lagi.
Sesampainya di apartemen, Joanna langsung menjatuhkan diri ke ranjang. “Aku gila! Bagaimana aku bisa ....”
Bahkan dia sudah tidak bisa lagi melanjutkan ucapannya.
Namun sebelum dia bisa terus meratap, ponselnya berdering. Sebuah notifikasi muncul—jadwal wawancara kerja pukul 10 pagi.
Joanna mendadak terlonjak. “Astaga!” Ia menatap jam di layar: pukul 8.50.
Wawancara itu bukan sembarang wawancara. Itu kesempatan terakhirnya. Joanna sudah berbulan-bulan mencari pekerjaan tetap setelah resign dari kantor lamanya karena alasan pribadi.
Perusahaan besar yang membuka lowongan kali ini adalah satu-satunya peluang untuk mengubah hidupnya.
Dia pun segera bangkit dan berlari ke kamar mandi. Air dingin menyapu wajahnya, menghapus sisa air mata dan rasa kantuk.
Dengan tangan gemetar, dia merapikan penampilan, memilih blazer rapi meski sedikit kusut, dan menyembunyikan lingkar hitam di matanya dengan riasan tipis.
**
Gedung perusahaan itu menjulang tinggi, kaca-kacanya berkilau diterpa cahaya matahari. Joanna berdiri di depan lobi lalu menelan ludah. Jantungnya berdetak kencang.
“Fokus, Jo. Lupakan semalam. Anggap saja tidak pernah terjadi,” katanya pada diri sendiri.
Ia pun melangkah masuk lalu menyebutkan namanya pada resepsionis, lalu diarahkan ke lantai atas untuk wawancara. Setiap detik terasa seperti langkah menuju takdir baru.
Sesampainya di ruang tunggu, dia duduk dengan tegak, meski tangannya terasa dingin. Beberapa kandidat lain menunggu dengan wajah serius.
Joanna mencoba mengatur napas, mengingat jawaban yang sudah dia latih seminggu terakhir ini.
Tak lama kemudian, seorang asisten membuka pintu. “Joanna, silakan masuk.”
Ia berdiri lalu menegakkan tubuhnya dan masuk ke ruangan wawancara.
Ruangannya luas, dengan jendela besar menampilkan pemandangan kota. Meja kayu elegan berdiri di tengah, dengan kursi kulit di belakangnya.
Joanna melangkah mendekat, dan matanya langsung tertuju pada sosok yang duduk di kursi tersebut.
Dan darahnya seketika membeku.
Pria itu menegakkan tubuhnya, mengenakan setelan jas hitam rapi, tatapan matanya yang tajam namun tenang. Rahang tegas, aura wibawa yang tak mungkin salah.
Damian.
Waktu seakan berhenti. Joanna tertegun, mulutnya sedikit terbuka, napas tercekat. “Pa-Paman Damian?” Joanna baru tahu bahwa ayah dari Angel adalah pemilik perusahaan ini.
“Astaga. Aku hanya tahu satu perusahaan yang pernah Angel sebutkan. Ternyata, perusahaan ini pun miliknya,” gumamnya bahkan nyaris tak terdengar.
Damian menatapnya balik dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Sekilas, matanya memancarkan keterkejutan yang sama, namun cepat tertutup oleh sikap profesional yang dingin.
“Silakan duduk,” ucapnya datar. Namun, suaranya sama persis seperti yang Joanna dengar berbisik di telinganya semalam.
Tiba-tiba saja kejadian semalam membuatnya pening. Suara itu ….
Joanna langsung menggeleng. Tidak mungkin! Tidak mungkin Joanna tidur dengan Damian.
Damian membuka berkas di hadapannya lalu menatap Joanna dengan tatapan penuh arti.
Senyum samar menghiasi bibirnya, entah senyum professional ... atau peringatan halus.
“Jadi, Joanna,” katanya dengan tenang. “Mari kita mulai wawancaranya.”
“Tapi, sebelum wawancara dimulai, aku ingin memberitahumu sesuatu. Tentang kejadian semalam.”
Kafe di pusat kota itu tampak ramai sore itu, dihiasi cahaya hangat dari lampu gantung berwarna keemasan.Di salah satu sudutnya, Angel duduk dengan kaki bersilang anggun, segelas cappuccino di depannya masih mengepul lembut.Ia mengenakan gaun berwarna merah tua yang mencolok—kontras dengan ekspresi dingin di wajahnya.Di hadapannya, Thomas duduk dengan pandangan gelisah, menatap layar ponselnya yang baru saja menerima beberapa foto dari Angel.“Lihatlah itu,” ucap Angel pelan namun tajam, suaranya menembus keramaian kafe.Thomas menatap layar ponselnya lebih dekat.Foto-foto itu menampilkan Joanna tengah duduk bersama seorang pria di kafe lain. Dalam salah satu foto, pria itu tampak condong mendekat, sementara Joanna terlihat tersenyum kecil.Angel melipat tangannya di dada. “Kau tahu siapa pria itu? Aku tidak tahu, tapi yang jelas mereka tampak dekat.”Thomas menarik napas panjang. “Bisa saja itu urusan pekerjaan,” ucapnya menjawab dengan datar.Angel terkekeh pelan, seolah tidak p
Langit sore tampak redup, dibalut warna jingga keemasan yang mulai memudar di balik gedung-gedung tinggi.Di dalam mobil hitam yang berhenti di seberang jalan, Angel duduk diam dengan kacamata hitam menutupi sebagian wajahnya.Tangannya memegang kamera kecil, sementara tatapannya tajam mengarah ke sebuah kafe modern yang tak begitu ramai.Sudah hampir satu jam ia di sana, menunggu seseorang.Dan akhirnya, sosok itu muncul.Joanna—dengan balutan blus putih dan celana kain krem yang sederhana namun elegan.Rambutnya terurai rapi, dan senyum kecil tampak di wajahnya saat ia melangkah masuk ke kafe. Angel menggenggam kameranya lebih erat.“Jadi ini tempatmu bersantai sore-sore, Joanna,” gumamnya dingin. “Mari kita lihat, siapa yang akan datang menemuimu.”Beberapa menit kemudian, seorang pria berjas navy datang menghampiri Joanna.Mereka saling berjabat tangan dengan sopan, lalu duduk di sudut ruangan. Angel menurunkan kacamatanya sedikit, menajamkan pandangan.Pria itu tampak muda, mungk
Ruangan itu lengang, hanya suara derit lembut pendingin udara yang mengisi keheningan.Angel duduk di sofa dengan satu kaki tersilang, wajahnya tegang.Di depannya, seorang pria berpakaian hitam bernama Jonny berdiri menunduk, tangan terlipat di depan tubuhnya. Dari gesturnya saja sudah jelas—ia sedang ketakutan.“Jadi, kau tidak menemukan siapa pun?” suara Angel terdengar datar, tapi tajam seperti pisau.Jonny menelan ludah sebelum menjawab, “Tidak ada, Nona. Tuan Damian tidak terlihat dekat dengan siapa pun akhir-akhir ini. Bahkan siang tadi, beliau hanya makan bersama asisten pribadinya, Anthony.”Angel mendengkus pelan, matanya berputar ke arah jendela besar yang menampakkan langit senja.“Anthony?” gumamnya pelan, lalu tertawa sinis. “Kalau begitu, kau ingin bilang Papaku tidak punya kehidupan pribadi? Tidak mungkin. Dia terlalu tenang untuk seorang laki-laki yang katanya sedang jatuh cinta.”Jonny hanya diam. Ia tahu tidak ada gunanya membantah.Angel mencondongkan tubuh ke depa
Damian menyerang bibir Joanna dengan ciuman yang membara. Wajah wanita itu semakin memerah dan matanya masih membola.Bagaimana mungkin Damian memintanya untuk bercinta di sana. Meski mereka ada di ruang VIP, namun bukan berarti mereka bisa bermain gila di sana.“Damian!” ucap Joanna sembari mengatur napasnya yang terengah-engah. Matanya berkilat tajam menatap Damian yang tengah mengusap ujung bibirnya sendiri.“Kau benar-benar ingin bercinta di sini? Apa kau gila?” seru Joanna masih tidak percaya bahwa ucapan Damian tadi hampir terlaksana.“Memangnya kenapa? Ruangan ini kedap suara, dan bukan hanya kita saja yang melakukan itu di sini, Joanna.”“Tetap saja aku tidak setuju. Masih banyak tempat yang lebih layak—”“Layak atau tidak, itu bukan hal yang harus kau pikirkan, Sayang.” Damian memotong ucapan kekasihnya itu.Joanna mendengkus pelan seraya menatap Damian yang tampaknya memang tidak bercanda akan bercinta di sana.Tangan Damian kembali membuka blouse Joanna dengan mata menatap
Restoran itu terletak di lantai paling atas gedung tempat kantor Damian berdiri—restoran dengan pencahayaan hangat, aroma lembut kayu dan rempah Italia yang samar-samar memenuhi udara.Di ruang VIP, hanya ada dua orang: Damian dan Joanna.Pelayan baru saja meninggalkan mereka setelah menata dua piring spagheti carbonara di atas meja, segelas jus jeruk untuk Joanna, dan anggur merah untuk Damian.Suara lembut musik klasik mengalun pelan, menjadi satu-satunya yang terdengar selain detak jam dinding yang berjalan lambat.Joanna duduk berhadapan dengan Damian. Jari-jarinya menggenggam garpu dengan ragu, pikirannya tidak sepenuhnya pada makanan.Ia menatap Damian yang tampak santai, membuka jasnya, menggulung lengan kemeja hingga ke siku, dan menikmati aroma anggurnya seolah dunia di luar ruangan itu tidak ada.“Jadi,” kata Joanna akhirnya, memecah kesunyian. “Angel datang ke kantor kemarin, dia menanyakan apa?”Damian menurunkan gelasnya perlahan, lalu menatap Joanna. “Kau ingin tahu?”“T
Pagi di kantor Damian terasa berbeda dari biasanya. Suasana tenang yang biasanya menyelimuti ruangan kerjanya mendadak berubah begitu pintu ruangannya terbuka dengan keras. Angel, dengan wajah penuh emosi dan langkah tergesa, masuk tanpa mengetuk.Ayahnya yang tengah duduk di balik meja kerja, menandatangani beberapa dokumen penting, mengangkat wajahnya perlahan. Alis Damian sedikit terangkat, tapi suaranya tetap tenang seperti biasa.“Ada apa, Angel?” tanyanya datar.Angel melangkah cepat mendekati meja. “Aku ingin tahu sesuatu,” katanya ketus. “Tentang wanita itu.”Damian menyandarkan punggungnya di kursi kulit hitamnya. “Wanita itu?” ulangnya, seolah tak mengerti. “Wanita yang mana, Angel?”“Jangan berpura-pura tidak tahu, Pa!” Angel menatapnya tajam dan kedua tangannya terkepal di depan dada.“Semalam, di gala dinner, kau mengumumkan di depan semua orang kalau kau sudah punya tambatan hati. Siapa dia? Kenapa aku tidak tahu apa-apa tentangnya?”Damian menghela napas pelan. Ia memut







