“A-apa maksudmu, Pam—maksudku, Tuan?” Joanna tampak tercekat dan membeku mendengar kalimat terakhir yang Damian ucapkan tadi.
Damian mengetuk-ngetukkan jarinya di meja seraya menatap wajah Joanna. “Apa aku menyakitimu semalam?” tanyanya kemudian.
Joanna langsung terperanjat. Tak lama setelahnya, dia tertawa samar. “Tidak!” Joanna menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak mungkin, Paman!”
Damian menyandarkan tubuhnya di kursi lalu menautkan jari-jarinya. Tatapannya tajam dan penuh kuasa.
“Tapi, itu semua sangat mungkin, Joanna,” katanya pelan namun jelas. “Pria yang semalam bersamamu itu memang aku.”
Kata-kata itu menghantam keras. Joanna terperangah dan matanya membelalak. Ia ingin menyangkal, ingin berpura-pura tidak tahu, tapi cara Damian mengucapkannya begitu yakin, begitu menohok membuatnya menganga lebar.
“B-bagaimana bisa ….” Joanna menatap wajah Damian penuh rasa tak percaya. “Mengapa kau—mengapa aku ….”
Damian menatap lekat wajah Joanna. “Kau sendiri yang menggodaku, Joanna. Dan aku juga tahu alasanmu mabuk parah dan berakhir di ranjang bersamaku itu karena apa.”
Pipi Joanna panas dan tangannya gemetar. Dia merasa terjebak dalam perangkap yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Damian melanjutkan dengan nada datar namun menusuk. “Thomas dan Angel. Dua orang itu telah mengkhianatimu, bukan?”
Nama itu membuat Joanna langsung menghela napas kasar. “Jangan sebut nama mereka lagi. Aku sudah muak mendengarnya,” gerutunya pelan.
Damian mencondongkan tubuh ke depan dan matanya menelusuk tajam. “Pria yang kau cintai selama setahun terakhir ini, yang kau percayai sepenuh hati itu tidur dengan sahabatmu sendiri.”
Joanna menutup wajah dengan kedua tangannya, menahan tangis yang hampir pecah.
Luka semalam kembali menganga dan membuat hatinya hancur. “Aku sudah melihatnya sendiri dan itu cukup untuk menghancurkan aku.”
Damian menarik napas, lalu berkata dengan penuh keyakinan, “Aku sudah tahu tentang Angel dan Thomas. Aku menyelidiki mereka semalam dan asistenku memberitahu soal hubungan mereka.”
Kata-kata itu membuat Joanna terdiam. Matanya menatap Damian tak percaya. “Menyelidiki ...? Untuk apa kau—”
“Untuk mencaritahu karena walau bagaimanapun juga Angel adalah anakku dan kau adalah sahabat dekatnya.”
Damian menautkan alisnya, lalu berkata dengan suara mantap, “Mereka sudah menjalin hubungan diam-diam ... setidaknya dua bulan terakhir.”
Dunia Joanna runtuh seketika. Matanya langsung membelalak mendengarnya.
“Du-dua ... bulan?” ucapnya tercekat. “Bagaimana bisa …?”
“Aku tahu ini sulit kau terima. Tapi kau harus tahu kenyataan sepenuhnya, bukan hanya potongan yang kau lihat.”
Joanna menggelengkan kepalanya dengan pelan, tapi tangannya mengepal dengan erat. “Angel. Dia sahabatku sejak SMA. Dia tahu semua tentang aku. Bagaimana bisa dia mengambil Thomas dariku?”
Suara Joanna patah. Ia merasa tenggelam dalam gelombang pengkhianatan yang lebih dalam daripada semalam.
Ternyata bukan hanya kebetulan, bukan hanya khilaf. Dua bulan. Dua bulan penuh kebohongan, tawa palsu, dan pelukan palsu.
“Sialan! Selama dua bulan ini aku ditipu habis-habisan oleh mereka.” Joanna mendengkus kasar dengan tangan mengepal dengan erat.
“Aku harus balas dendam! Aku harus membuat mereka menyesal karena sudah menipuku selama ini!” gerutunya lagi. Dia lalu mendehem pelan sambil melirik Damian.
“Maaf, aku tahu Angel adalah anakmu. Tapi—”
“Apa yang ingin kau lakukan setelah ini?” Damian memotong ucapan Joanna.
“Kau … tidak perlu tahu, Paman. Aku akan melakukannya sendiri. Ini urusanku dan kalau aku bilang padamu, kau akan memberitahu Angel.”
“Justru aku ingin membantumu.”
Joanna menaikan alisnya. “Membantuku? Maksud Paman?” tanyanya bingung.
Senyum tipis terbit di bibir Damian. “Jadilah kekasihku.”
Damian kembali dari keramaian pesta menuju ruang VIP. Lampu redup berwarna kuning keemasan menyoroti meja bundar dengan botol anggur yang masih penuh.Joanna, yang sedari tadi duduk sambil menggenggam gelas, langsung menoleh ketika pintu terbuka dan Damian masuk dengan langkah santai namun penuh wibawa.Joanna menegakkan tubuhnya. Tatapannya waspada, namun juga dipenuhi rasa ingin tahu.“Untuk apa Angel memanggilmu tadi?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.Damian hanya tersenyum tipis. Senyum yang sama sekali tidak memberi jawaban, malah menimbulkan seribu tanda tanya di kepala Joanna.Laki-laki itu melepas jasnya, meletakkannya di sandaran kursi, lalu berjalan mendekat ke arah gadis itu.“Jawab pertanyaanku, Damian,” desak Joanna lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas.Bukannya menjawab, Damian justru duduk di sebelahnya.Dekat sekali. Begitu dekat hingga Joanna bisa merasakan aroma cologne maskulin yang khas menusuk hingga ke relung dadanya.Tangannya bergerak santai saat merai
Bab 9:Angel melangkah dengan penuh percaya diri di antara para tamu.Gaun merahnya yang membalut tubuh ramping mencuri perhatian beberapa pria, namun matanya hanya terpaku pada satu sosok: Damian—sang ayah yang berdiri elegan di dekat meja minuman dan dikelilingi beberapa rekan bisnis di sana.Tatapannya dingin, auranya berwibawa hingga membuat beberapa orang enggan mendekat terlalu lama.Angel tahu, ayahnya selalu menjaga jarak dengan wanita. Sejak bercerai dari ibunya, Damian tak pernah terlihat mesra dengan siapa pun.Tidak ada rumor kedekatan, tidak ada gosip asmara dengan pria itu.Itulah yang membuat Angel yakin malam ini akan jadi malam yang berbeda.Ia sudah menyiapkan sesuatu—seorang wanita cantik yang bisa memikat siapa pun, bahkan lelaki setangguh Damian.“Papa?” Angel mendekat dengan suara manis dan pura-pura lembut.Damian mengalihkan pandangan sejenak lalu menatap Angel dengan ekspresi datar.“Apa yang kau inginkan, Angel?” tanyanya singkat.Angel tersenyum kecil, pura-
“Aku ….”Tanpa menunggu lanjutan dari ucapan Joanna, Damian kembali meraup bibir Joanna.Tubuh Joanna langsung terhimpit di antara punggungnya dan dinding yang dingin. Napasnya tercekat, bibir Damian sudah menubruk dengan brutal, mencuri habis oksigen dari paru-parunya.Ciumannya liar—keras, menuntut, tanpa memberi ruang untuk menolak. Giginya menyeret bibir bawah Joanna, lalu menghisapnya dalam ritme rakus.Lidahnya menembus, mendominasi mulutnya, menjelajah setiap sudut hingga Joanna mengerang tertahan.“Eungh ….”Suara itu justru membuatnya semakin gila, menekan lebih dalam, dan mencumbunya seolah ingin melumat habis dirinya.Tangannya tak tinggal diam. Satu menahan rahang Joanna agar tak bisa berpaling, sementara yang lain meluncur ke pinggang, meremas keras seolah ingin meninggalkan bekas.Jari-jarinya bergerak liar, menyusuri garis tubuhnya, dan menarik paksa kain tipis gaunnya agar naik, hingga kulit paha halus Joanna tersentuh.Joanna mendesah dan tubuhnya menegang di antara d
“Semua mata tertuju padamu,” bisik Damian di telinga Joanna ketika mereka tiba di sebuah ballroom hotel tempat di mana pesta dilangsungkan.Joanna berdiri di samping Damian, tubuhnya terbalut gaun hitam elegan yang jatuh sempurna mengikuti lekuk tubuhnya.Rambutnya digelung rapi, hanya beberapa helai dibiarkan terurai untuk membingkai wajahnya. Riasannya sederhana, namun cukup untuk memancarkan aura memikat.Para tamu menoleh. Beberapa bahkan berbisik di belakang punggungnya. Ada kekaguman yang jelas terpancar dari mata mereka.Joanna bisa merasakan sorot itu—sorot yang dulu tak pernah ia dapatkan ketika masih bersama Thomas.‘Jangan terjebak. Ingat, ini hanya sandiwara,’ batinnya menegur diri sendiri.“Aku harus menemui temanku dulu. Makan atau minumlah yang kau inginkan, Joanna,” ucap Damian sebelum melangkah meninggalkan Joanna yang berdiri terpaku di sana.Baru saja Joanna hendak mengambil minuman, suara langkah kaki menghentak datang menghampirinya.Thomas dan Angel.Kedua orang
“Baiklah. Aku menerimanya.” Joanna menghela napas berat, seberat jawaban yang baru saja dia keluarkan untuk Damian.“Good! Pilihan yang cerdas,” ucapnya lalu menutup dokumen tersebut.“Mulai besok, kau resmi bekerja di perusahaanku juga kekasihku. Jangan coba-coba menyangkal, Joanna. Kau sudah jadi milikku sekarang!”Joanna menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya lalu beranjak dari duduknya, keluar dari ruangan yang cukup mengeluarkan hawa panas itu.“Sial!” bisiknya. “Kenapa hidupku berubah jadi neraka seperti ini?”Namun dia tahu, dia tidak punya pilihan. Jadi, dengan hati yang penuh kebencian, Joanna akhirnya menerima permainan busuk itu.**Hari pertamanya di perusahaan terasa aneh. Joanna diperlakukan istimewa., terlihat dari ruangannya yang lebih nyaman dibanding staf lain.Ia jarang diberi tugas berat. Semua orang memandangnya dengan hormat—atau mungkin dengan kecurigaan.Dan Damian, dia selalu datang tiba-tiba. Entah muncul di depan meja kerjanya dengan alasan sepele,
“Apa?! Apa kau bercanda, Paman? Kekasihmu? Apa kau gila?!” Mata Joana langsung membelalak mendengarnya.“Aku tidak sedang bercanda,” Damian melanjutkan.“Kau seorang wanita cerdas, cantik, dan penuh emosi yang nyata. Dan aku tertarik untuk membantumu balas dendam. Lagi pula, aku tidak terlalu dekat dengan anakku. Dia keras kepala, persis ibunya, mantan istriku.”Joanna terperangah. Dadanya bergetar antara marah dan malu. “Kekasihmu?” Dia pun tertawa hambar lalu geleng-geleng dengan pelan.“Apa kau pikir aku mainan, Paman Damian? Kau tidur denganku semalam—ketika aku mabuk—dan sekarang kau seenaknya menawarkan ini?!”Damian tetap tenang, nyaris tidak terguncang oleh ledakannya. “Aku hanya menawarkan kesempatan. Kau bisa menolaknya jika mau.”Joanna berdiri, kursinya bergeser dengan suara berderit. “Tentu saja aku menolaknya! Kau … maaf, terlalu tua untukku.”Mengingat usianya yang baru dua puluh empat tahun, sementara Damian sudah empat puluh lima tahun. Tentu menjadikan pertimbangan k