LOGINJoanna yang sudah sangat mabuk itu menunjuk dadanya sendiri. “Kau … mengenalku?” tanyanya dengan suara parau.
“Tentu saja. Apa yang membuatmu seperti ini, Joanna?” tanya pria itu dengan suara dingin.
Joanna menyunggingkan senyum sinis. Kepalanya yang oleng itu kemudian bersandar di dada bidang pria itu.
“Semua pria sama saja,” ujarnya dengan lantang dan membuat pria itu menaikkan alisnya.
Ia menenggak lagi minumannya, lalu menoleh pada pria yang duduk paling dekat.
“Hei, kau ... mau jadi penggantinya? Malam ini … aku butuh pelarian. Setidaknya sampai membuat melupakan pria berengsek itu yang sudah selingkuh dengan sahabatku sendiri.”
“Sahabatmu? Maksudmu … Angel?” tanyanya kemudian.
Joanna menoleh pelan. Menatap pria yang sudah berusia matang, dengan setelan jas gelap meski di tempat semacam ini, duduk di kursi bar tak jauh darinya.
Wajahnya tampan dengan rahang tegas, mata tajam namun penuh wibawa. Ada aura dingin dan berkelas yang membuat pria lain di bar tampak kecil dibanding dirinya.
“Kau juga mengenal wanita bajingan itu rupanya,” bisiknya lalu terkekeh pelan.
“Apa yang mereka lakukan, Joanna?” tanyanya ingin tahu.
Joanna memejamkan matanya lalu menghela napas kasar. “Pria yang kucintai sedang bercinta dengan sahabatku di apartemennya. Thomas dan Angel. Mereka berdua mengkhianati, pria tampan.”
“Anak itu ….” Pria bernama Damian itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia lalu mengambil ponselnya dan menghubungi asistennya.
“Cari tahu soal Angel dan Thomas. Sudah berapa lama mereka menjalin hubungan di belakang Joanna.” Dia lalu menutup panggilan itu dan menaruh ponselnya ke saku jasnya lagi.
Joanna tersenyum genit, meski mabuk membuat gerakannya goyah. “Kau tahu? Pria dewasa sepertimu mungkin bisa membuatku lupa. Hanya malam ini.”
Damian menegakkan tubuhnya dan mencoba tetap rasional. “Kau tidak waras sekarang. Kalau aku menyentuhmu sekarang, besok kau akan menyesal, Joanna.”
Joanna justru terkekeh, lalu mendekatkan wajahnya pada wajah pria berusia empat puluh lima tahun itu. Napas alkoholnya hangat di wajah Damian.
“Aku sudah menyesal sejak masuk ke apartemen itu. Jadi, apa artinya satu penyesalan lagi?”
Kata-kata itu menusuk Damian. Ia tahu seharusnya berhenti, namun ketika Joanna menempelkan tubuhnya ke dadanya, sesuatu di dalam dirinya pecah.
Alkohol dalam darahnya sendiri ikut memperburuk keputusan.
Damian meraih bahu Joanna yang awalnya untuk menjauhkan. Tapi sentuhan lembut kulitnya justru membakar.
Joanna menatapnya dengan mata sendu lalu bibirnya bergetar tipis.
Lalu ia berbisik, “Bawa aku pergi dari sini. Aku janji, aku akan jadi gadis liar dan nakal seperti yang pria inginkan.”
Tangan Damian mengepal untuk menahan diri dari godaan Joanna yang sudah semakin menjadi. “Shitt!” umpatnya sudah tak bisa lagi menahan diri.
Damian terdiam sejenak, lalu berdiri. Dengan tatapan tajam, dia kemudian meraih tangan Joanna. “Baiklah.”
Mereka keluar dari bar dan membawanya ke kamar hotel yang tak jauh dari sana yang sudah Damian pesan beberapa jam yang lalu karena kebetulan baru saja bertemu dengan kliennya di sana.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di hotel mewah milik rekan bisnis Damian.
Lobby yang tenang kontras dengan kekacauan yang berkecamuk di dada mereka. Damian menarik Joanna ke kamar yang sudah disiapkan.
“Kau yakin akan melakukan ini, Joanna?” tanya Damian kemudian.
Joanna melangkah dengan gontai mendekati Damian lalu tersenyum manis. “Sentuh aku, pria tampan. Aku ingin berteriak liar saat kau menyentuhku. Ayo, lakukan sekarang juga!”
“Oh, shit! Gadis ini benar-benar membuatku hilang kendali,” gerutunya kemudian menarik kepala Joanna dan meraup bibir wanita itu dengan kasar dan menuntut.
Yang awalnya ragu, kini ciuman itu semakin dalam, semakin liar. Joanna menempel erat, seolah ingin melebur, ingin membakar semua luka dengan gairah yang meledak.
Damian membalasnya, tubuhnya menunduk, lalu mencumbu leher Joanna dengan panas.
Gaun tipis yang dikenakan Joanna tergelincir lalu jatuh dari bahunya. Napas mereka memburu, dan ruangan kamar hotel itu mendadak penuh dengan desahan dan hasrat yang tak terbendung.
Mereka jatuh ke atas ranjang.
Damian menatap wajah Joanna yang memerah, antara mabuk dan terbakar. “Kau yakin?” bisiknya seolah tengah memberi kesempatan terakhir.
Joanna menatap balik dengan senyum getir. “Aku tidak pernah seyakin ini.”
Kafe di pusat kota itu tampak ramai sore itu, dihiasi cahaya hangat dari lampu gantung berwarna keemasan.Di salah satu sudutnya, Angel duduk dengan kaki bersilang anggun, segelas cappuccino di depannya masih mengepul lembut.Ia mengenakan gaun berwarna merah tua yang mencolok—kontras dengan ekspresi dingin di wajahnya.Di hadapannya, Thomas duduk dengan pandangan gelisah, menatap layar ponselnya yang baru saja menerima beberapa foto dari Angel.“Lihatlah itu,” ucap Angel pelan namun tajam, suaranya menembus keramaian kafe.Thomas menatap layar ponselnya lebih dekat.Foto-foto itu menampilkan Joanna tengah duduk bersama seorang pria di kafe lain. Dalam salah satu foto, pria itu tampak condong mendekat, sementara Joanna terlihat tersenyum kecil.Angel melipat tangannya di dada. “Kau tahu siapa pria itu? Aku tidak tahu, tapi yang jelas mereka tampak dekat.”Thomas menarik napas panjang. “Bisa saja itu urusan pekerjaan,” ucapnya menjawab dengan datar.Angel terkekeh pelan, seolah tidak p
Langit sore tampak redup, dibalut warna jingga keemasan yang mulai memudar di balik gedung-gedung tinggi.Di dalam mobil hitam yang berhenti di seberang jalan, Angel duduk diam dengan kacamata hitam menutupi sebagian wajahnya.Tangannya memegang kamera kecil, sementara tatapannya tajam mengarah ke sebuah kafe modern yang tak begitu ramai.Sudah hampir satu jam ia di sana, menunggu seseorang.Dan akhirnya, sosok itu muncul.Joanna—dengan balutan blus putih dan celana kain krem yang sederhana namun elegan.Rambutnya terurai rapi, dan senyum kecil tampak di wajahnya saat ia melangkah masuk ke kafe. Angel menggenggam kameranya lebih erat.“Jadi ini tempatmu bersantai sore-sore, Joanna,” gumamnya dingin. “Mari kita lihat, siapa yang akan datang menemuimu.”Beberapa menit kemudian, seorang pria berjas navy datang menghampiri Joanna.Mereka saling berjabat tangan dengan sopan, lalu duduk di sudut ruangan. Angel menurunkan kacamatanya sedikit, menajamkan pandangan.Pria itu tampak muda, mungk
Ruangan itu lengang, hanya suara derit lembut pendingin udara yang mengisi keheningan.Angel duduk di sofa dengan satu kaki tersilang, wajahnya tegang.Di depannya, seorang pria berpakaian hitam bernama Jonny berdiri menunduk, tangan terlipat di depan tubuhnya. Dari gesturnya saja sudah jelas—ia sedang ketakutan.“Jadi, kau tidak menemukan siapa pun?” suara Angel terdengar datar, tapi tajam seperti pisau.Jonny menelan ludah sebelum menjawab, “Tidak ada, Nona. Tuan Damian tidak terlihat dekat dengan siapa pun akhir-akhir ini. Bahkan siang tadi, beliau hanya makan bersama asisten pribadinya, Anthony.”Angel mendengkus pelan, matanya berputar ke arah jendela besar yang menampakkan langit senja.“Anthony?” gumamnya pelan, lalu tertawa sinis. “Kalau begitu, kau ingin bilang Papaku tidak punya kehidupan pribadi? Tidak mungkin. Dia terlalu tenang untuk seorang laki-laki yang katanya sedang jatuh cinta.”Jonny hanya diam. Ia tahu tidak ada gunanya membantah.Angel mencondongkan tubuh ke depa
Damian menyerang bibir Joanna dengan ciuman yang membara. Wajah wanita itu semakin memerah dan matanya masih membola.Bagaimana mungkin Damian memintanya untuk bercinta di sana. Meski mereka ada di ruang VIP, namun bukan berarti mereka bisa bermain gila di sana.“Damian!” ucap Joanna sembari mengatur napasnya yang terengah-engah. Matanya berkilat tajam menatap Damian yang tengah mengusap ujung bibirnya sendiri.“Kau benar-benar ingin bercinta di sini? Apa kau gila?” seru Joanna masih tidak percaya bahwa ucapan Damian tadi hampir terlaksana.“Memangnya kenapa? Ruangan ini kedap suara, dan bukan hanya kita saja yang melakukan itu di sini, Joanna.”“Tetap saja aku tidak setuju. Masih banyak tempat yang lebih layak—”“Layak atau tidak, itu bukan hal yang harus kau pikirkan, Sayang.” Damian memotong ucapan kekasihnya itu.Joanna mendengkus pelan seraya menatap Damian yang tampaknya memang tidak bercanda akan bercinta di sana.Tangan Damian kembali membuka blouse Joanna dengan mata menatap
Restoran itu terletak di lantai paling atas gedung tempat kantor Damian berdiri—restoran dengan pencahayaan hangat, aroma lembut kayu dan rempah Italia yang samar-samar memenuhi udara.Di ruang VIP, hanya ada dua orang: Damian dan Joanna.Pelayan baru saja meninggalkan mereka setelah menata dua piring spagheti carbonara di atas meja, segelas jus jeruk untuk Joanna, dan anggur merah untuk Damian.Suara lembut musik klasik mengalun pelan, menjadi satu-satunya yang terdengar selain detak jam dinding yang berjalan lambat.Joanna duduk berhadapan dengan Damian. Jari-jarinya menggenggam garpu dengan ragu, pikirannya tidak sepenuhnya pada makanan.Ia menatap Damian yang tampak santai, membuka jasnya, menggulung lengan kemeja hingga ke siku, dan menikmati aroma anggurnya seolah dunia di luar ruangan itu tidak ada.“Jadi,” kata Joanna akhirnya, memecah kesunyian. “Angel datang ke kantor kemarin, dia menanyakan apa?”Damian menurunkan gelasnya perlahan, lalu menatap Joanna. “Kau ingin tahu?”“T
Pagi di kantor Damian terasa berbeda dari biasanya. Suasana tenang yang biasanya menyelimuti ruangan kerjanya mendadak berubah begitu pintu ruangannya terbuka dengan keras. Angel, dengan wajah penuh emosi dan langkah tergesa, masuk tanpa mengetuk.Ayahnya yang tengah duduk di balik meja kerja, menandatangani beberapa dokumen penting, mengangkat wajahnya perlahan. Alis Damian sedikit terangkat, tapi suaranya tetap tenang seperti biasa.“Ada apa, Angel?” tanyanya datar.Angel melangkah cepat mendekati meja. “Aku ingin tahu sesuatu,” katanya ketus. “Tentang wanita itu.”Damian menyandarkan punggungnya di kursi kulit hitamnya. “Wanita itu?” ulangnya, seolah tak mengerti. “Wanita yang mana, Angel?”“Jangan berpura-pura tidak tahu, Pa!” Angel menatapnya tajam dan kedua tangannya terkepal di depan dada.“Semalam, di gala dinner, kau mengumumkan di depan semua orang kalau kau sudah punya tambatan hati. Siapa dia? Kenapa aku tidak tahu apa-apa tentangnya?”Damian menghela napas pelan. Ia memut







