“Apa?! Apa kau bercanda, Paman? Kekasihmu? Apa kau gila?!” Mata Joana langsung membelalak mendengarnya.
“Aku tidak sedang bercanda,” Damian melanjutkan.
“Kau seorang wanita cerdas, cantik, dan penuh emosi yang nyata. Dan aku tertarik untuk membantumu balas dendam. Lagi pula, aku tidak terlalu dekat dengan anakku. Dia keras kepala, persis ibunya, mantan istriku.”
Joanna terperangah. Dadanya bergetar antara marah dan malu. “Kekasihmu?” Dia pun tertawa hambar lalu geleng-geleng dengan pelan.
“Apa kau pikir aku mainan, Paman Damian? Kau tidur denganku semalam—ketika aku mabuk—dan sekarang kau seenaknya menawarkan ini?!”
Damian tetap tenang, nyaris tidak terguncang oleh ledakannya. “Aku hanya menawarkan kesempatan. Kau bisa menolaknya jika mau.”
Joanna berdiri, kursinya bergeser dengan suara berderit. “Tentu saja aku menolaknya! Kau … maaf, terlalu tua untukku.”
Mengingat usianya yang baru dua puluh empat tahun, sementara Damian sudah empat puluh lima tahun. Tentu menjadikan pertimbangan keras untuk Joanna.
Damian hanya terdiam meski ekspresinya sangat datar menatap wajah Joanna.
Dia lalu menyandarkan tubuhnya menatap wajah Joanna. “Sebelum kau terburu-buru, pikirkan baik-baik. Kau ada di sini untuk wawancara kerja, bukan?”
Keringat dingin mengalir di pelipis Joanna. “Apa maksudmu?”
Damian menatapnya lurus, tanpa kedip. “Aku adalah pemegang keputusan akhir untuk posisi ini. Jika kau menolak mentah-mentah tawaranku, kau bisa keluar dari ruangan ini sekarang juga, tanpa hasil.”
Joanna langsung menelan ludahnya mendengarnya. Tidak menyangka Damian akan menjadikan ini sebagai tameng agar dia mau menerima tawarannya itu.
Damian menambahkan dengan nada rendah namun menusuk, “Kau bilang ini kesempatan terakhirmu, bukan? Aku sudah membaca riwayat hidupmu. Kau kehilangan pekerjaan setahun lalu, kau menanggung biaya hidup sendiri, bahkan uang kosmu sudah menunggak. Kau butuh pekerjaan ini, Joanna.”
Mata Joanna membelalak karena marah sekaligus malu. “Kau ... kau menyelidikiku, ya?”
Damian hanya tersenyum tipis. Senyum yang membuat Joanna merasa telanjang meski tubuhnya tertutup pakaian.
“Kau benar-benar kejam!” bisiknya.
Damian mencondongkan tubuh ke depan, suaranya lirih tapi penuh dominasi. “Aku tidak kejam. Aku realistis. Kau bisa memilih: menjadi bagian dari hidupku dan mendapatkan masa depan yang stabil atau menolak, lalu kembali pada malam-malam penuh air mata tanpa pekerjaan dan tanpa arah.”
Joanna menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Perasaan terhimpit menyesakkan dada.
Ia ingin menolak keras, ingin pergi dari ruangan itu dengan kepala tegak. Namun suara logika terus berbisik: tanpa pekerjaan, dia tidak punya apa-apa.
Thomas sudah menghancurkan hatinya. Angel menusuknya dari belakang. Dan kini Damian ... menawarkan jalan lain, meski dengan harga diri sebagai taruhannya.
Di dalam kepalanya, suara beradu—antara hati yang menolak mentah-mentah, dan logika yang berteriak akan kehilangan segalanya jika berkata tidak.
Dada Joanna naik turun, napasnya berat. Ia sadar: hidupnya kini terjebak dalam dilema yang mustahil.
Menerima berarti menyerahkan diri pada permainan berbahaya Damian. Menolak berarti menghancurkan peluang terakhirnya untuk bertahan.
Dan di balik senyum tipis Damian, jelas terlihat: apa pun pilihannya, hidup Joanna tidak akan pernah sama lagi.
“Lalu, bagaimana dengan Angel? Kalau dia tahu aku—”
“Kau tidak perlu memberitahu mereka bahwa kau menjalin hubungan denganku. Tapi, aku bisa membuat mereka yakin bahwa kau sudah bahagia dengan pilihanmu sekarang.”
Joanna menghela napas. Pilihan? Bahkan dia enggan memilih ini. Jadi kekasih dari ayah temannya sendiri merupakan hal mustahil yang seharusnya Joanna hindari.
“Beri aku waktu untuk berpikir, Paman.”
“Sayangnya, posisimu saat ini banyak yang mau, Joanna. Posisi di perusahaan maksudku,” ucapnya dengan santai.
‘Sial!’ gerutunya dalam hati. Joanna tak bisa memilih apalagi menunggu. Dia harus menentukan saat ini juga.
Joanna menggigit bibir bawahnya seraya menatap Damian yang duduk dengan santai sembari menunggunya bicara.
“Paman aku ….”
Damian kembali dari keramaian pesta menuju ruang VIP. Lampu redup berwarna kuning keemasan menyoroti meja bundar dengan botol anggur yang masih penuh.Joanna, yang sedari tadi duduk sambil menggenggam gelas, langsung menoleh ketika pintu terbuka dan Damian masuk dengan langkah santai namun penuh wibawa.Joanna menegakkan tubuhnya. Tatapannya waspada, namun juga dipenuhi rasa ingin tahu.“Untuk apa Angel memanggilmu tadi?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.Damian hanya tersenyum tipis. Senyum yang sama sekali tidak memberi jawaban, malah menimbulkan seribu tanda tanya di kepala Joanna.Laki-laki itu melepas jasnya, meletakkannya di sandaran kursi, lalu berjalan mendekat ke arah gadis itu.“Jawab pertanyaanku, Damian,” desak Joanna lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas.Bukannya menjawab, Damian justru duduk di sebelahnya.Dekat sekali. Begitu dekat hingga Joanna bisa merasakan aroma cologne maskulin yang khas menusuk hingga ke relung dadanya.Tangannya bergerak santai saat merai
Bab 9:Angel melangkah dengan penuh percaya diri di antara para tamu.Gaun merahnya yang membalut tubuh ramping mencuri perhatian beberapa pria, namun matanya hanya terpaku pada satu sosok: Damian—sang ayah yang berdiri elegan di dekat meja minuman dan dikelilingi beberapa rekan bisnis di sana.Tatapannya dingin, auranya berwibawa hingga membuat beberapa orang enggan mendekat terlalu lama.Angel tahu, ayahnya selalu menjaga jarak dengan wanita. Sejak bercerai dari ibunya, Damian tak pernah terlihat mesra dengan siapa pun.Tidak ada rumor kedekatan, tidak ada gosip asmara dengan pria itu.Itulah yang membuat Angel yakin malam ini akan jadi malam yang berbeda.Ia sudah menyiapkan sesuatu—seorang wanita cantik yang bisa memikat siapa pun, bahkan lelaki setangguh Damian.“Papa?” Angel mendekat dengan suara manis dan pura-pura lembut.Damian mengalihkan pandangan sejenak lalu menatap Angel dengan ekspresi datar.“Apa yang kau inginkan, Angel?” tanyanya singkat.Angel tersenyum kecil, pura-
“Aku ….”Tanpa menunggu lanjutan dari ucapan Joanna, Damian kembali meraup bibir Joanna.Tubuh Joanna langsung terhimpit di antara punggungnya dan dinding yang dingin. Napasnya tercekat, bibir Damian sudah menubruk dengan brutal, mencuri habis oksigen dari paru-parunya.Ciumannya liar—keras, menuntut, tanpa memberi ruang untuk menolak. Giginya menyeret bibir bawah Joanna, lalu menghisapnya dalam ritme rakus.Lidahnya menembus, mendominasi mulutnya, menjelajah setiap sudut hingga Joanna mengerang tertahan.“Eungh ….”Suara itu justru membuatnya semakin gila, menekan lebih dalam, dan mencumbunya seolah ingin melumat habis dirinya.Tangannya tak tinggal diam. Satu menahan rahang Joanna agar tak bisa berpaling, sementara yang lain meluncur ke pinggang, meremas keras seolah ingin meninggalkan bekas.Jari-jarinya bergerak liar, menyusuri garis tubuhnya, dan menarik paksa kain tipis gaunnya agar naik, hingga kulit paha halus Joanna tersentuh.Joanna mendesah dan tubuhnya menegang di antara d
“Semua mata tertuju padamu,” bisik Damian di telinga Joanna ketika mereka tiba di sebuah ballroom hotel tempat di mana pesta dilangsungkan.Joanna berdiri di samping Damian, tubuhnya terbalut gaun hitam elegan yang jatuh sempurna mengikuti lekuk tubuhnya.Rambutnya digelung rapi, hanya beberapa helai dibiarkan terurai untuk membingkai wajahnya. Riasannya sederhana, namun cukup untuk memancarkan aura memikat.Para tamu menoleh. Beberapa bahkan berbisik di belakang punggungnya. Ada kekaguman yang jelas terpancar dari mata mereka.Joanna bisa merasakan sorot itu—sorot yang dulu tak pernah ia dapatkan ketika masih bersama Thomas.‘Jangan terjebak. Ingat, ini hanya sandiwara,’ batinnya menegur diri sendiri.“Aku harus menemui temanku dulu. Makan atau minumlah yang kau inginkan, Joanna,” ucap Damian sebelum melangkah meninggalkan Joanna yang berdiri terpaku di sana.Baru saja Joanna hendak mengambil minuman, suara langkah kaki menghentak datang menghampirinya.Thomas dan Angel.Kedua orang
“Baiklah. Aku menerimanya.” Joanna menghela napas berat, seberat jawaban yang baru saja dia keluarkan untuk Damian.“Good! Pilihan yang cerdas,” ucapnya lalu menutup dokumen tersebut.“Mulai besok, kau resmi bekerja di perusahaanku juga kekasihku. Jangan coba-coba menyangkal, Joanna. Kau sudah jadi milikku sekarang!”Joanna menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya lalu beranjak dari duduknya, keluar dari ruangan yang cukup mengeluarkan hawa panas itu.“Sial!” bisiknya. “Kenapa hidupku berubah jadi neraka seperti ini?”Namun dia tahu, dia tidak punya pilihan. Jadi, dengan hati yang penuh kebencian, Joanna akhirnya menerima permainan busuk itu.**Hari pertamanya di perusahaan terasa aneh. Joanna diperlakukan istimewa., terlihat dari ruangannya yang lebih nyaman dibanding staf lain.Ia jarang diberi tugas berat. Semua orang memandangnya dengan hormat—atau mungkin dengan kecurigaan.Dan Damian, dia selalu datang tiba-tiba. Entah muncul di depan meja kerjanya dengan alasan sepele,
“Apa?! Apa kau bercanda, Paman? Kekasihmu? Apa kau gila?!” Mata Joana langsung membelalak mendengarnya.“Aku tidak sedang bercanda,” Damian melanjutkan.“Kau seorang wanita cerdas, cantik, dan penuh emosi yang nyata. Dan aku tertarik untuk membantumu balas dendam. Lagi pula, aku tidak terlalu dekat dengan anakku. Dia keras kepala, persis ibunya, mantan istriku.”Joanna terperangah. Dadanya bergetar antara marah dan malu. “Kekasihmu?” Dia pun tertawa hambar lalu geleng-geleng dengan pelan.“Apa kau pikir aku mainan, Paman Damian? Kau tidur denganku semalam—ketika aku mabuk—dan sekarang kau seenaknya menawarkan ini?!”Damian tetap tenang, nyaris tidak terguncang oleh ledakannya. “Aku hanya menawarkan kesempatan. Kau bisa menolaknya jika mau.”Joanna berdiri, kursinya bergeser dengan suara berderit. “Tentu saja aku menolaknya! Kau … maaf, terlalu tua untukku.”Mengingat usianya yang baru dua puluh empat tahun, sementara Damian sudah empat puluh lima tahun. Tentu menjadikan pertimbangan k