“Baiklah. Aku menerimanya.” Joanna menghela napas berat, seberat jawaban yang baru saja dia keluarkan untuk Damian.
“Good! Pilihan yang cerdas,” ucapnya lalu menutup dokumen tersebut.
“Mulai besok, kau resmi bekerja di perusahaanku juga kekasihku. Jangan coba-coba menyangkal, Joanna. Kau sudah jadi milikku sekarang!”
Joanna menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya lalu beranjak dari duduknya, keluar dari ruangan yang cukup mengeluarkan hawa panas itu.
“Sial!” bisiknya. “Kenapa hidupku berubah jadi neraka seperti ini?”
Namun dia tahu, dia tidak punya pilihan. Jadi, dengan hati yang penuh kebencian, Joanna akhirnya menerima permainan busuk itu.
**
Hari pertamanya di perusahaan terasa aneh. Joanna diperlakukan istimewa., terlihat dari ruangannya yang lebih nyaman dibanding staf lain.
Ia jarang diberi tugas berat. Semua orang memandangnya dengan hormat—atau mungkin dengan kecurigaan.
Dan Damian, dia selalu datang tiba-tiba. Entah muncul di depan meja kerjanya dengan alasan sepele, atau mengundangnya makan siang berdua.
“Kenapa kau harus sering muncul di sini?” Joanna akhirnya memberanikan diri bertanya, saat Damian menemuinya di kantor dengan membawa dua gelas kopi.
Damian hanya tersenyum tipis, menaruh kopi itu di mejanya. “Karena aku kekasihmu. Bukankah wajar aku ingin tahu kabar dan kebutuhanmu?”
Joanna menahan diri agar tidak mendengus. “Kekasih pura-pura, Damian. Ingat itu.”
Tatapan Damian langsung menusuk. “Pura-pura atau tidak, kau tetap milikku sekarang.”
Kata-kata itu membuat Joanna terdiam. Ada hawa dingin sekaligus panas yang menjalari tubuhnya.
Entah kenapa, meski membencinya, jantungnya berdetak lebih cepat setiap kali Damian berbicara seperti itu.
**
Sore hari, Joanna keluar kantor lebih dulu. Namun baru beberapa langkah di depan lobi, sebuah mobil hitam berhenti tepat di hadapannya.
Kaca jendela terbuka dan menampakkan Damian di balik kemudi.
“Naik,” katanya singkat.
Joanna melipat tangan di dada. “Aku bisa pulang sendiri.”
Damian menatapnya sekilas, lalu suaranya meninggi. “Naik.”
Nada perintah itu membuat Joanna terperanjat. Dengan berat hati, ia membuka pintu dan masuk.
Di dalam mobil, hening menyelimuti mereka. Joanna menatap keluar jendela, sementara Damian fokus menyetir.
Namun tiba-tiba, tangan Damian bergerak ke arahnya dan menggenggam jemarinya dengan kuat.
Joanna tersentak. “Apa yang kau lakukan?!”
“Menjagamu,” jawab Damian tenang.
“Kau pikir aku akan membiarkanmu berjalan sendirian di kota ini setelah apa yang terjadi dengan Thomas dan Angel? Dunia terlalu berbahaya untukmu, Joanna.”
Joanna menoleh cepat, menatapnya dengan tatapan tak percaya. “Kau bicara seakan-akan peduli. Padahal ini cuma permainan kekuasaanmu, kan?”
Damian menoleh sebentar, lalu kembali ke jalan. “Kalau itu yang kau pikirkan, silakan. Tapi kau akan segera sadar, aku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan.”
Genggamannya semakin erat. Joanna ingin menarik tangannya, tapi tubuhnya justru bergetar.
“Besok malam. Pakai pakaian formal. Aku akan menjemputmu pukul delapan.”
Joanna mengernyit menatap wajah Damien. “Ada apa dengan besok? Kau mau membawaku ke mana?”
“Pesta bisnis besar dan kau datang bersamaku sebagai pendampingku.”
“Apa?!” Mata Joanna langsung membelalak. “Damian! Kita kan, sudah sepakat bahwa—”
“Kau sudah bekerja di perusahaanku dan aku bisa beralasan bahwa kau datang sebagai pengganti asistenku yang tidak bisa hadir.” Damian langsung memotong dan menjelaskan.
Joanna langsung terdiam mendengarnya. Damian selalu punya cara untuk membawanya ke mana pun dia mau. Terlebih, asisten pribadinya itu seorang laki-laki.
Dan posisi Joanna di perusahaan Damian pun sebagai staff di divisi utama. Sudah pasti Damian akan menjadikan apa pun sebagai alasan asal bisa membawa Joanna.
“Kau benar-benar gila,” gumam Joanna.
Sementara Damian hanya diam dan kembali fokus pada jalanan yang mulai gelap, sebentar lagi malam akan tiba.
Setibanya di apartemen kecil Joanna, Damian menoleh pada wanita itu. “Kau bisa tinggal denganku dan hidup mewah di apartemen milikku, daripada tinggal di tempat sempit seperti ini.”
Joanna menggeleng dengan cepat. “Meskipun kini aku adalah kekasihmu, bukan berarti aku mau tinggal serumah denganmu, Paman Damian!”
Dia pun bergegas keluar dari mobil itu dan melangkah dengan menghentakkan kakinya ke lantai.
Damian yang melihatnya hanya menyunggingkan senyum lalu geleng-geleng kepala.
“Lihat saja. Sampai di mana kau bertahan dengan gengsimu itu. Suatu saat nanti, kau sendiri yang akan menggodaku dan bermain liar lagi seperti malam itu.”
Damian kembali dari keramaian pesta menuju ruang VIP. Lampu redup berwarna kuning keemasan menyoroti meja bundar dengan botol anggur yang masih penuh.Joanna, yang sedari tadi duduk sambil menggenggam gelas, langsung menoleh ketika pintu terbuka dan Damian masuk dengan langkah santai namun penuh wibawa.Joanna menegakkan tubuhnya. Tatapannya waspada, namun juga dipenuhi rasa ingin tahu.“Untuk apa Angel memanggilmu tadi?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.Damian hanya tersenyum tipis. Senyum yang sama sekali tidak memberi jawaban, malah menimbulkan seribu tanda tanya di kepala Joanna.Laki-laki itu melepas jasnya, meletakkannya di sandaran kursi, lalu berjalan mendekat ke arah gadis itu.“Jawab pertanyaanku, Damian,” desak Joanna lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas.Bukannya menjawab, Damian justru duduk di sebelahnya.Dekat sekali. Begitu dekat hingga Joanna bisa merasakan aroma cologne maskulin yang khas menusuk hingga ke relung dadanya.Tangannya bergerak santai saat merai
Bab 9:Angel melangkah dengan penuh percaya diri di antara para tamu.Gaun merahnya yang membalut tubuh ramping mencuri perhatian beberapa pria, namun matanya hanya terpaku pada satu sosok: Damian—sang ayah yang berdiri elegan di dekat meja minuman dan dikelilingi beberapa rekan bisnis di sana.Tatapannya dingin, auranya berwibawa hingga membuat beberapa orang enggan mendekat terlalu lama.Angel tahu, ayahnya selalu menjaga jarak dengan wanita. Sejak bercerai dari ibunya, Damian tak pernah terlihat mesra dengan siapa pun.Tidak ada rumor kedekatan, tidak ada gosip asmara dengan pria itu.Itulah yang membuat Angel yakin malam ini akan jadi malam yang berbeda.Ia sudah menyiapkan sesuatu—seorang wanita cantik yang bisa memikat siapa pun, bahkan lelaki setangguh Damian.“Papa?” Angel mendekat dengan suara manis dan pura-pura lembut.Damian mengalihkan pandangan sejenak lalu menatap Angel dengan ekspresi datar.“Apa yang kau inginkan, Angel?” tanyanya singkat.Angel tersenyum kecil, pura-
“Aku ….”Tanpa menunggu lanjutan dari ucapan Joanna, Damian kembali meraup bibir Joanna.Tubuh Joanna langsung terhimpit di antara punggungnya dan dinding yang dingin. Napasnya tercekat, bibir Damian sudah menubruk dengan brutal, mencuri habis oksigen dari paru-parunya.Ciumannya liar—keras, menuntut, tanpa memberi ruang untuk menolak. Giginya menyeret bibir bawah Joanna, lalu menghisapnya dalam ritme rakus.Lidahnya menembus, mendominasi mulutnya, menjelajah setiap sudut hingga Joanna mengerang tertahan.“Eungh ….”Suara itu justru membuatnya semakin gila, menekan lebih dalam, dan mencumbunya seolah ingin melumat habis dirinya.Tangannya tak tinggal diam. Satu menahan rahang Joanna agar tak bisa berpaling, sementara yang lain meluncur ke pinggang, meremas keras seolah ingin meninggalkan bekas.Jari-jarinya bergerak liar, menyusuri garis tubuhnya, dan menarik paksa kain tipis gaunnya agar naik, hingga kulit paha halus Joanna tersentuh.Joanna mendesah dan tubuhnya menegang di antara d
“Semua mata tertuju padamu,” bisik Damian di telinga Joanna ketika mereka tiba di sebuah ballroom hotel tempat di mana pesta dilangsungkan.Joanna berdiri di samping Damian, tubuhnya terbalut gaun hitam elegan yang jatuh sempurna mengikuti lekuk tubuhnya.Rambutnya digelung rapi, hanya beberapa helai dibiarkan terurai untuk membingkai wajahnya. Riasannya sederhana, namun cukup untuk memancarkan aura memikat.Para tamu menoleh. Beberapa bahkan berbisik di belakang punggungnya. Ada kekaguman yang jelas terpancar dari mata mereka.Joanna bisa merasakan sorot itu—sorot yang dulu tak pernah ia dapatkan ketika masih bersama Thomas.‘Jangan terjebak. Ingat, ini hanya sandiwara,’ batinnya menegur diri sendiri.“Aku harus menemui temanku dulu. Makan atau minumlah yang kau inginkan, Joanna,” ucap Damian sebelum melangkah meninggalkan Joanna yang berdiri terpaku di sana.Baru saja Joanna hendak mengambil minuman, suara langkah kaki menghentak datang menghampirinya.Thomas dan Angel.Kedua orang
“Baiklah. Aku menerimanya.” Joanna menghela napas berat, seberat jawaban yang baru saja dia keluarkan untuk Damian.“Good! Pilihan yang cerdas,” ucapnya lalu menutup dokumen tersebut.“Mulai besok, kau resmi bekerja di perusahaanku juga kekasihku. Jangan coba-coba menyangkal, Joanna. Kau sudah jadi milikku sekarang!”Joanna menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya lalu beranjak dari duduknya, keluar dari ruangan yang cukup mengeluarkan hawa panas itu.“Sial!” bisiknya. “Kenapa hidupku berubah jadi neraka seperti ini?”Namun dia tahu, dia tidak punya pilihan. Jadi, dengan hati yang penuh kebencian, Joanna akhirnya menerima permainan busuk itu.**Hari pertamanya di perusahaan terasa aneh. Joanna diperlakukan istimewa., terlihat dari ruangannya yang lebih nyaman dibanding staf lain.Ia jarang diberi tugas berat. Semua orang memandangnya dengan hormat—atau mungkin dengan kecurigaan.Dan Damian, dia selalu datang tiba-tiba. Entah muncul di depan meja kerjanya dengan alasan sepele,
“Apa?! Apa kau bercanda, Paman? Kekasihmu? Apa kau gila?!” Mata Joana langsung membelalak mendengarnya.“Aku tidak sedang bercanda,” Damian melanjutkan.“Kau seorang wanita cerdas, cantik, dan penuh emosi yang nyata. Dan aku tertarik untuk membantumu balas dendam. Lagi pula, aku tidak terlalu dekat dengan anakku. Dia keras kepala, persis ibunya, mantan istriku.”Joanna terperangah. Dadanya bergetar antara marah dan malu. “Kekasihmu?” Dia pun tertawa hambar lalu geleng-geleng dengan pelan.“Apa kau pikir aku mainan, Paman Damian? Kau tidur denganku semalam—ketika aku mabuk—dan sekarang kau seenaknya menawarkan ini?!”Damian tetap tenang, nyaris tidak terguncang oleh ledakannya. “Aku hanya menawarkan kesempatan. Kau bisa menolaknya jika mau.”Joanna berdiri, kursinya bergeser dengan suara berderit. “Tentu saja aku menolaknya! Kau … maaf, terlalu tua untukku.”Mengingat usianya yang baru dua puluh empat tahun, sementara Damian sudah empat puluh lima tahun. Tentu menjadikan pertimbangan k