LOGINAku cepat-cepat mengalihkan pandangan, sebelum ia sadar."Kenapa?" tanya Kiara tiba-tiba."Hah? Gak... gak ada apa-apa," jawabku gugup.Kiara menatapku dengan tatapan menyelidik. "Kamu... liat apa?""Gak ada kok, beneran.""Gak mungkin. Mukamu merah." Ia mengernyitkan alis. "Kamu... liat ke arah sini kan?"Ia menunjuk ke arah dadanya dengan jari, tanpa sadar atau memang sengaja, aku tidak tahu."Eh, enggak kok!" protesku cepat sambil menggelengkan kepala.Kiara menatapku lama. Lalu... ia tersenyum kecil, seperti senyum jahil."Dasar mesum.""Aku gak mesum!""Iya iya, gak mesum. Tapi mukamu udah ngaku duluan." Ia tertawa kecil.Aku hanya bisa menundukkan kepala sambil makan dengan perasaan malu.Tapi Kiara tidak terlihat marah. Justru ia terlihat seperti senang."Yaudah deh, aku maafin. Asal jangan diulangin lagi ya.""Iya... maaf.""Tapi..." Kiara mendekatkan wajahnya sedikit, menatapku dengan tatapan menggoda. "Kalau memang penasaran... ya bilang aja. Gak usah malu-malu.""Hah?!" bat
"Yaudah, yuk. Kita ke tempat yang agak jauh dari sini. Biar gak ketemu orang kantor," ajaknya sambil melangkah duluan tanpa menunggu jawaban.Aku sempat mematung sejenak, mencoba memahami maksudnya, sebelum akhirnya menyusul dari belakang."Jalan kaki atau gimana? Jauh nggak tempatnya?" tanyaku sambil menyesuaikan langkah."Gak jauh-jauh juga sih. Tapi, kalau jalan kaki pasti capek.""Trus, gimana? Naik motor aja?""Iya boleh. Kamu naik motor, aku naik mobil."Aku hampir tersedak udara. "Loh? Kenapa harus seribet itu sih?" batinku protes."Maksudku... kita naik bareng aja. Boncengan," ujarku lebih pelan.Kiara sempat berhenti melangkah, menoleh sedikit, tapi tidak menatapku sepenuhnya. "Gak apa-apa, Radit. Aku naik mobil aja.""Ntar kalau kita kelamaan baliknya gimana? Bu Siska bisa ngomelin kita. Lagian, kalau kamu naik mobil, pasti ribet. Jalanan macet, cari parkir juga susah."Kiara terdiam. Ada jeda singkat yang terasa jauh lebih panjang dari seharusnya. Seolah sedang bertarung de
Senin pagi, aku bangun lebih awal sebelum alarm sempat berbunyi. Dan akhirnya, aku merasa lega bisa kembali ke kantor.Dulu, aku menganggap kantor sebagai tempat penuh tekanan. Tapi sekarang, kantor justru terasa lebih aman daripada rumah sendiri.Aku bersiap dengan cepat. Mandi, sarapan seadanya di kamar (Mama Jessica sudah menaruh roti dan susu di depan pintu sejak tadi malam).Begitu selesai, aku langsung berangkat. Tidak ada pamit, tidak ada tatapan mata, hanya langkah yang terburu-buru menyusuri halaman rumah.Motor yang sempat rusak pun sudah kembali normal. Kemarin sore Pak Hendra mengirim pesan bahwa motorku sudah beres dan siap dipakai. Ada sedikit rasa syukur, setidaknya ada satu hal dalam hidupku yang tidak berantakan.Dengan napas panjang, aku menstarter motor dan melaju menuju kantor, berharap hari ini berjalan lebih tenang dari hari-hari sebelumnya.Sesampainya di kantor, aku langsung menuju lantai empat. Suasana kantor Senin pagi cukup ramai. Karyawan berlalu lalang, ad
'Tok! Tok! Tok!'Pintu kamarku kembali diketuk, tepat pukul delapan malam."Dit... ini Mama. Buka pintunya sebentar."Aku terdiam. Tidak menjawab."Dit... Mama cuma mau kasih makan malam. Kamu dari tadi belum makan kan? Mama khawatir."Aku melirik pintu. Di satu sisi ingin membuka, karena jujur memang aku lapar. Tapi di sisi lain, aku justru lebih khawatir dibandingkan dirinya."Mama... taruh aja di depan pintu. Nanti aku ambil," ucapku akhirnya."Tapi Dit...""Pliss, Ma. Aku... aku butuh waktu sendiri dulu."Keheningan panjang.Lalu aku mendengar suara benda diletakkan di lantai, mungkin nampan berisi makanan."Yaudah... Mama taruh di sini ya. Makan yang banyak.""Iya, Ma. Makasih."Aku mendengar langkah kaki menjauh. Tapi tidak sepenuhnya menjauh, seperti ada yang berhenti di dekat pintu.Aku menunggu beberapa menit, lalu perlahan membuka pintu sedikit. Di sana ada nampan berisi nasi, lauk, dan segelas air.Aku mengambilnya dengan cepat, lalu menutup pintu lagi. Terkadang sempat ber
Siang harinya, terdengar ketukan pelan di pintu kamar. Tidak keras, tapi cukup membuatku tersentak dari lamunan."Radit, kamu di dalam?" suara Ayah terdengar tegas, khas dirinya."Iya, Pa," jawabku singkat dari balik pintu, berusaha terdengar biasa saja."Buka pintunya. Papa mau ngobrol sebentar."Aku terdiam sesaat. Tanganku menggenggam gagang pintu, ragu. Ada perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba menjalar di dada.Entah Mama Jessica telah menceritakan semua kepadanya, aku tidak tahu. Yang jelas, ada perasaan tidak enak yang mengalir dalam diriku.Namun akhirnya, dengan napas berat, aku memutar kunci dan membuka pintu sedikit saja, cukup untuk memperlihatkan wajah Ayah."Ada apa, Pa?" tanyaku pelan.Ayah menatapku dengan tatapan menyelidik. "Kamu kenapa? Dari tadi ngunci pintu, gak keluar-keluar. Mama-mu bilang kamu gak mau sarapan juga."Aku menelan ludah. "Aku... aku lagi gak enak badan, Pa. Capek aja.""Capek?" Ayah mengernyit. "Atau ada masalah?"Pertanyaan itu membuatku bungkam.
"Klek!"Suara pintu depan terbuka tiba-tiba. Sontak membuat kami berdua tersentak bersamaan.Ternyata itu Ayah. Ia masuk dengan langkah berat, wajahnya menunjukkan kelelahan setelah bekerja. Tas kerjanya tergantung di bahu.Begitu matanya menangkap kami berdua di ruang tamu, alisnya langsung mengernyit.Ia menatap kami secara bergantian, seolah mencoba memahami sesuatu."Kalian... kenapa?" tanyanya pelan, sambil menutup pintu di belakangnya.Mama Jessica tersentak lebih dulu. Dengan gerakan gugup, ia cepat-cepat menarik kaosnya kembali ke bawah, berusaha menutupi kegugupannya.Wajahnya terlihat pucat, matanya sedikit merah. Aku sendiri reflek mengancingkan kembali kemejaku yang tadi sempat terbuka, jari-jariku gemetar hebat, tidak bisa dikendalikan."G-gak ada apa-apa," jawab Mama Jessica cepat, suaranya sedikit bergetar. Ia mengusap sudut matanya, menghapus sisa air mata yang belum sempat kering. "Mama cuma... cuma lagi ngomelin Radit. Dia semalam gak pulang."Ayah mengernyit lebih d







