Di rumahnya setelah makan malam sederhana bersama nenek, Kinara langsung meluru ke kamar. Dia sedang tidak ingin berbincang soal apapun, ingin tidur dan melupakan kejadian tak mengenakkan tadi siang. Kinara lelah merutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya menerima tumpangan Kaisar yang ingin mengantarnya pulang, walaupun pada akhirnya berhenti di tengah jalan.
Duh, kenapa jadi membahas Kaisar lagi sih?
Kinara menutup kepala dan telinganya dengan bantal berharap suara-suara aneh tidak merasukinya. Dia ingin tidur saja, semoga yang tadi itu semua mimpi.
Satu menit.
Lima menit.
Hingga sepuluh menit waktu berjalan yang di dominasi detak jam dinding dan kesunyian malam, Kinara rupanya tak kunjung tertidur. Memejam matanya sejenak, buka lagi, pejam lagi, buka lagi, begitu seterusnya hingga ia
Nara benar-benar bermimpi indah. Saking indahnya itu mimpi, terasa seperti nyata. Seorang gadis dengan baju kaos putih kebesaran dan celana pendek yang diduga adalah dirinya sendiri sedang bermain kejar-kejaran dengan seorang pemuda tampan yang mirip Rega. Mereka bermain kejar-kejaran di bibir pantai. Anehnya, disitu ada jemuran kain yang berkibar-kibar lalu mereka berlari melewatinya.Seperti dalam drama Korea saja, kan? Ah, Kinara sampai senyam-senyum dalam tidurnya."Ayo, Ra! Kejar gue! Kalau berhasil, gue kasih hadiah." Begitu kata Rega dalam mimpinya sambil terus berlari, meminta Nara mengejarnya.Nara pun tak mau kalah, dengan sekuat tenaga dia berlari, tapi anehnya, makin dikejar, makin Rega menjauh darinya. Apa-apaan sih ini?Wajah Nara dalam tidurnya sempat merungut, karena Rega tak kunjung berhasil dia raih, padahal d
Sejenak Nara tertegun, antara kaget dan bingung hendak menjawab apa atas pertanyaan Rega. Tidak mungkin dia bilang, kalau ada penguntit yang kemarin pernah mencoba mengikutinya, kan? Yang ada, Rega malah khawatir. Tidak mungkin juga kalau dia bilang, ada pria yang naksir sama dia dan mengejarnya sampai ke rumah. "Hmm? Oh, itu nggak ada apa-apa kok. Gue cuma takut kita telat naik bus. Makanya gue nyeret lo lari-lari kayak tadi." Nara mengarang alasan, tapi kedengarannya masuk akal, dan Rega percaya. "Oh, begitu ya? Gue kira kenapa." Rega tersenyum lega dengan tarikan nafas yang mulai teratur. Sorry ya, Ga, gue terpaksa bohong. Ini demi kebaikan kita kok. Nara yang duduk di samping jendela, memilih untuk memandang ke luar, pada jalan raya yang ramai lancar di jam berangkat kerja pagi ini. Dia sedang menata hatinya yang tak enak karena sudah berbohong dengan Rega. Sumpah, tidak enak sekali berbohong dengan pacar, Nara semacam punya ketakutan tersendiri. Bagaimana kalau suatu waktu t
"Ih, gue kan udah minta maaf waktu itu. Lo nya aja yang nggak dengar.""Maaf lo bilang? Enak aja. Kesalahan lo sama gue tuh dobel tau nggak, Sa. Nggak bisa kelar dengan kata maaf doang."Nara tak main-main dengan ucapannya. Begitu melihat Elsa, dia langsung berlari sambil meneriaki nama gadis itu. Beberapa orang yang berada di sekitar melihat, tapi Nara tidak ambil pusing. Dia cuma ingin membuat perhitungan dengan Elsa. Elsa yang menyadarinya sempat berlari menghindar, tapi seolah mendapat kekuatan super, langkah Nara saat berlari jadi dua kali lebih panjang membuatnya cepat sampai pada Elsa dan langsung menjambak rambut keriting bergelombang itu. "Tapi, nggak gini juga caranya, Ra. Sakit banget tau. Mana ini rambut gue baru siap disambung, rusak deh jadinya," keluh Elsa yang kepalanya di tekan ke bawah oleh Nara dan rambutnya serasa mau lepas dari kulit kepala. Aiuuuh, sakit sekali.
Rega baru tiba di gedung belajarnya, tepatnya di lantai 3 ketika sayup-sayup dia mendengar suara keributan. Pemuda yang kesehariannya berpenampilan santai namun tetap sopan itu sontak melongo ke bawah, mencari sumber keributan tersebut. "Siapa sih yang berantem? Kurang kerjaan banget." Karena posisinya nun jauh di atas, Rega tak dapat melihat siapa yang berantem, apalagi beberapa orang tampak berkerumun. Dia pun mengangkat bahu, memilih untuk bersikap masa bodoh. Toh, tidak ada hubungan dengannya juga, kan? Lain halnya kalau yang berantem itu Nara, baru Rega rasa khawatir dan akan turun tangan melerainya. Kalau perlu, dia akan membuat lawan berantem Nara kapok biar tidak mengganggu lagi. Sampai, dua orang cewek datang dari bawah membicarakan sesuatu yang membuat Rega terasa lain. Awalnya dia tak mau ambil pusing, kini dia berakhir menguping. Eh, nggak menguping sih, karena kedua cewek itu ngobrol biasa saja, bukannya sambil bisik-bisik. "Itu yang berantem anak manajemen nggak sih?
“Ngapain lagi sih lo di sini? Masih nungguin Nara?”Elsa berada di parkiran kampus siang menjelang sore itu ketika mata jelinya tertangkap siluet wajah Kaisar berada dalam mobil yang jendelanya terbuka sebagian. Dari jarak beberapa meter saja, wajah Kaisar sudah terlihat begitu mempesona, membuat Elsa buru-buru menghampiri. Gadis itu penasaran tingkat dewa kenapa Kaisar masih saja nekat menemui Nara. Apa dia tak tahu Nara sudah punya pacar? Apa tidak ada gadis lain yang mau dipepet? Elsa sendiri, misalnya. Ck!“Ya iyalah, Nara. Siapa lagi? Nggak mungkin lo.” Kaisar melempar tatapan geli ke arah Elsa, seolah gadis itu adalah belut yang sangat dia benci. “Kali aja lo nungguin gue.” Elsa menyahut dengan percaya diri tanpa tersinggung ucapan Kaisar sebelumnya.“Jangan ngarep. Gue tuh sornya sama gadis kayak Nara, bukan kayak lo gini.” Alih-alih sebal karena berdebat dengan gadis nggak penting seperti Elsa ini, Kaisar malah membayangkan ada Nara yang duduk di sampingnya, tersenyum menggo
Kinara alias Nara ingin sekali membejek-bejek wajah sok mempesona pria yang tengah menyetir dengan santai di sampingnya, tapi dia urung melakukannya. Walhasil, dia hanya meremas kedua tangannya yang sudah kepalang gatal. Bagaimana tidak kesal? Untuk kedua kalinya, dia tak mampu mengelak ajakan Kaisar naik ke mobil mewahnya. Kaisar pasti mengira dia gadis murahan karena mau-mau saja diajak naik ke mobil. Habisnya, kalau tidak begitu, pria gila itu tak akan berhenti membunyikan klakson mobilnya. Cantika juga, gencar sekali mengirimi pesan membuat Nara menghela nafas berkali-kali. Gadis itu seolah sudah terpesona dengan ketampanan Kaisar. Duh, siapa sih yang tampan? Jangan ngomong ngaco deh thor. “Ra, kamu di bawa ke mana sama pria tampan itu? Kamu nggak beneran selingkuh sama dia, kan?”Cantika sedang mengetik...“Ra, jawab dong. Gue penasaran banget nih. Dia tampan, mapan juga, kamu jangan tergoda ya!”Cantika sedang mengetik...“Ra, jangan lama-lama ya. Aku tungguin kamu, kita ke t
“Teman lo bilang, pacar lo dari keluarga kaya raya, tapi kenapa lo harus masuk klub malam demi mencari uang?”Dengan amat sangat terpaksa, Nara mengikuti kemauan Kaisar makan siang bersama. Mereka makan di sebuah cafe berlantai 2 yang terlihat cukup ramai. Mengambil duduk di lantai atas yang terlihat sangat rapi, nyaman dan estetik. Karyawan cafe juga tampaknya sangat ramah, dan semacam telah mengenal Kaisar. Mungkin Kaisar adalah pelanggan setia cafe ini. Ah, tapi apa peduli Nara? Hingga satu pertanyaan yang terlontar dari mulut Kaisar membuat Nara merapatkan bibirnya. Selera makannya mendadak hilang. Menaruh garpu dan pisau pemotong steak begitu saja di atas meja. Meminum jus jeruk dengan sekali teguk sampai tandas. “Teman yang mana? Nggak ada ya, teman yang menjerumuskan temannya sendiri,” ketus Nara. Dia memang kesal pakai banget sama Elsa, tapi lebih dari itu dia tak mau Kaisar menerobos masuk lebih jauh dalam hidupnya. Pakai bawa-bawa Rega dan keluarganya pula. Kaisar mengan
Malam harinya di rumah Nara. Nenek Ratih yang sedang menjahit pakaian yang sobek menanyakan pada cucunya itu soal lamaran pekerjaan yang dibilang Nara tadi pagi, apakah diterima atau tidak. Gadis dengan rambut dicepol asal ke atas itu mencebik bibirnya. Dalam hati dia berkata, ‘boro-boro diterima, datang melamar aja nggak.’“Kenapa ekspresinya jelek begitu? Nggak diterima ya?” tebak nenek Ratih. Menggeleng kepala. “Bukan nggak diterima, tapi belom pergi ke tempatnya.”“Kenapa begitu? Memangnya habis kuliah nggak langsung ke sana?” Karena pertanyaan nenek, Nara jadi teringat soal tadi sore di kampus. Helaan nafas keluar dari mulutnya disertai gerakan memanyunkan bibir. Gadis itu pun bangun dari duduknya, bergerak meninggalkan nenek Ratih yang kemudian memandangnya keheranan. ‘Cantika, maaf ya. Tadi itu, lo pasti kelamaan nungguin gue, kan? Kita nggak jadi ke tempat paman lo deh buat ngelamar kerjaan. Gue janji deh, besok pasti.’ Nara mengirim pesan di aplikasi hijau ke teman baikny