ホーム / Romansa / Godaan Panas Sang Asisten CEO / 1. Dosa Pertama Keluarga Bronze

共有

Godaan Panas Sang Asisten CEO
Godaan Panas Sang Asisten CEO
作者: Dezaa_Author

1. Dosa Pertama Keluarga Bronze

作者: Dezaa_Author
last update 最終更新日: 2025-11-06 15:37:59

“Sayang… cepatlah. Aku sudah tidak tahan.”

Napas panas Thomas Bronze, pengusaha berusia 40 dengan sisa wibawa di wajahnya, mengalir di telinga Maria Karlsson, asistennya. Tangan besar pria itu menarik pinggang wanita tersebut dan mencium bibirnya dengan rakus.

Maria terkekeh kecil saat blouse kerjanya ditarik kasar hingga kancingnya beterbangan.

“Sabarlah, Thomas. Apa kau yakin aman melakukannya di sini?” godanya, tatapannya licik.

Thomas menghirup napas pendek, tak peduli. “Ini rumahku. Tidak ada yang berani menyentuhku. Di mana pun kita bercinta, tak masalah.”

Blouse Maria jatuh ke lantai. Thomas membenamkan wajahnya ke dada wanita itu.

Maria melirik foto pernikahan Thomas dan Briana yang tergantung di dinding kamar, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Bagaimana kalau istrimu tahu? Ini kamar kalian, bukan?”

Thomas tak menjawab, terlalu tenggelam dalam nafsu.

Di balik pintu kamar yang tidak tertutup rapat, sepasang mata kecil menyaksikan semuanya.

Shenina, putri 10 tahun Thomas dan Briana, berdiri membeku. Air matanya mengalir tanpa suara. Ini bukan pertama kalinya ia melihat Maria di rumah mereka, tapi tetap pertama kalinya ia menyaksikan mereka melakukannya di kamar utama, seolah ibu dan dirinya tidak pernah ada.

Tanpa menoleh lagi, Shenina berlari ke ruang kerja ibunya, sambil menahan isak yang tak bisa dihentikannya.

“Ibu… Ayah dengan…”

Kata-katanya tercekat. Ia ingin bicara, ingin mengeluarkan semuanya, tapi lidahnya terasa terlalu berat untuk bergerak.

Briana, ibu Shenina hanya tersenyum, tapi senyum yang tak seperti dulu, yang tampak kuat. Tangannya yang dulu selalu kuat menggenggam Shenina saat ia takut, kini hanya memutar roda pelan agar kursi itu sedikit mendekatinya.

“Lupakan apa yang kamu lihat. Maafkan Ibu tidak bisa melindungimu,” ucap Briana lirih.

Ucapan itu menusuk lebih keras daripada apapun yang Shenina lihat sebulan lalu, saat wanita itu mendorong Ibu dari tangga rumah.

Shenina masih ingat suara tubuh Ibu membentur lantai, jeritan Ibu, dan bagaimana semua orang pura-pura tidak mendengar.

Sejak hari itu, kaki Briana tak bisa bergerak lagi. Sejak hari itu juga, rumah mereka berubah menjadi tempat asing.

“Ibu… wanita itu dan Ayah…” Shenina berusaha bersuara, tapi suaranya bergetar. Ia ingin marah, ingin berteriak, tapi begitu melihat tatapan pasrah di wajah Ibunya, semuanya terasa keliru. 

“Ibu, kita harus mengusir mereka dari rumah ini!” seru Senina lagi dengan napas memburu. “Ini rumah Ibu! Rumah dari Kakek! Bukan rumah mereka!”

Shenina tahu asal semua harta ini. Ia tahu seharusnya siapa yang berkuasa di sini. Mereka tidak berhak memperlakukan ibunya seperti ini. Ayahnya seharusnya melindungi ibunya, bukan membawa wanita lain dan membiarkannya menguasai rumah mereka.

Shenina menatap wajah Ibu, berharap melihat kekuatan lama itu kembali. Tapi Ibu hanya terdiam.

“Shenina, sudahlah lupakan saja semua ini,” kata Briana akhirnya.

Belum sempat Shenina kembali bersuara, tiba-tiba—

BRAK!

Suara pintu yang dibanting membuat jantung Shenina seakan melompat keluar dari dada. Ia refleks mundur selangkah. Maria berdiri di ambang pintu dengan gaun tidur milik ibunya yang dulu hanya dipakai saat tidur dengan ayahnya. Sekarang berada di tubuh wanita itu.

“Kau… buatkan aku makanan,” kata Maria dingin, tangannya menyilang di dada, sorot matanya hanya berisi penghinaan.

“Aku bukan pelayan…” bisik Shenina, meski suaranya terdengar gemetar. Ia ingin mempertahankan harga dirinya, setidaknya itu yang tersisa.

Namun, kalimat itu belum selesai sepenuhnya sebelum ekspresi Maria berubah menjadi wajah beringas.

“Kau berani menolak perintahku? Apa kau ingin melihat nasibmu jadi sama seperti ibumu yang sudah lumpuh itu?!” teriaknya.

Shenina berkeringat dingin. Tenggorokannya mengering. Ia ingin bicara lagi, mau membalas, mau bilang bahwa ini rumah Ibu, bukan rumah Maria, tapi sebelum mulutnya terbuka…

Maria melesat ke arahnya.

Tangan Maria meraih rambutnya dan menariknya kasar.

“ARGH!” Shenina menjerit, tubuhnya terhempas ke depan saat rambutnya dijambak kuat-kuat.

“Anak tak berguna! Cuma bisa menangis! Kau pikir siapa kau di rumah ini?!” Maria menarik rambutnya lebih keras, membuat kulit kepala Shenina seperti terbakar. “Kau pikir kau berharga?! Tidak ada yang menginginkanmu!”

“Ibu… Ibu…” Shenina meraih udara, menangis keras tanpa bisa melawan.

“Berhenti Maria! Lepaskan anakku!” Briana berteriak, mendorong roda kursinya secepat mungkin meski tangannya gemetar.

Tapi begitu kursi roda itu mendekat, Maria menatapnya dengan jijik dan mendorong kursi itu dengan kakinya hingga terguling.

Briana jatuh ke lantai dengan suara keras, tubuhnya menabrak marmer dingin.

“Ibu!!” jerit Shenina sambil merangkak dengan rambut masih setengah berada dalam genggaman Maria.

Namun Maria tidak berhenti. Ia mendekati Briana, lalu menendang kaki Briana seperti menendang benda mati.

“Lihat dirimu! Istri sah apa ini? Wanita cacat yang sudah tidak ada gunanya!” teriak Maria sambil menendang lagi. “Kalau kau mau tetap hidup di sini, kau harus tahu tempatmu!”

“Berhenti!!” Shenina menubruk Maria dari belakang, bukan karena berani, tetapi karena rasa takut kehilangan ibunya jauh lebih besar dari rasa takut pada Maria.

Maria terdorong sedikit, namun dengan cepat membalik dan menampar Shenina dengan keras.

Pipi Shenina panas, penglihatannya buram oleh air mata. Tapi ia tetap merangkak ke arah ibunya, memeluk tubuh Briana yang gemetar, mencoba menjadi perisai tipis untuk wanita yang selama ini selalu melindunginya.

“Kenapa ribut sekali di sini?!”

Shenina langsung menoleh dengan mata penuh harapan. “Ayah… dia mendorong Ibu dan menjambakku. Ayah, tolong…”

Tapi Thomas bahkan tidak melihat Briana yang tergeletak di lantai, ia hanya menatap Maria.

“Dia membentakku lebih dulu,” ucap Maria manja. “Aku cuma minta dia membuat makanan.”

Air harapan di dada Shenina langsung retak.

“Kau melawan Maria?” suara Thomas merendah penuh ancaman.

“Ayah, bukan begitu—”

PLAK!

Tamparan itu mengenai pipinya begitu cepat hingga ia limbung.

“Kalau Maria suruh, kamu kerjakan! Jangan membantah! Dia yang urus rumah ini sekarang!”

“Ayah… ini rumah Ibu…” bisik Shenina, mencoba bertahan.

“Kalau bukan karena ibumu nggak becus, aku nggak perlu cari wanita lain!” bentak Thomas. “Cepat bangunkan ibumu, minta maaf pada Maria, lalu buatkan makanan!”

Shenina membeku, sementara Maria tersenyum puas.

Shenina menunduk perlahan, menahan isak. Ia tahu bila membantah, Ibu yang akan jadi sasaran. Akhirnya, ia hanya bisa menuruti semua perintah itu.

___

Shenina bangun di kamarnya sendirian. Ibunya sudah tidak ada di sampingnya. Dengan kepala berat dan mata bengkak, ia menuju kamar untuk bersiap sekolah. Pintu kamar mandi terbuka sedikit, ia mendorongnya pelan.

“Ibu…?”

Tubuhnya langsung gemetar.

Briana terbaring di dalam bathtub. Air di dalamnya merah gelap. Lengan ibunya terluka, wajahnya pucat dan tenang dengan cara yang membuat Shenina langsung berteriak.

“Ibu!!”

Shenina jatuh berlutut di lantai. Air matanya turun tanpa suara.

Pemakaman berlangsung cepat tanpa ada pelukan. Tidak ada yang bertanya pada Shenina apakah ia baik-baik saja karena kakek dan nenek dari ibunya telah tiada, sementara ibunya adalah anak tunggal.

Setelah semua orang pergi, Thomas berdiri dengan wajah datar. Maria melempar koper ke arah kaki Shenina. “Kau tidak punya tempat di sini lagi. Ibumu sudah mati, kau tidak pantas lagi di sini.”

Shenina menatap Thomas, berharap sedikit saja pembelaan. Tapi pria itu hanya menghela napas kesal. “Jangan membantah dan keluar dari rumah ini.”

Tidak ada belas kasihan. Tidak ada tempat untuk menangis.

Dengan tangan gemetar, Shenina mengambil koper itu dan keluar. Pintu dibanting keras tepat di belakangnya.

Shenina berdiri di halaman, sendirian, membawa seluruh hidupnya dalam satu koper paling lusuh di rumahnya.

Hari itu, Shenina menangis untuk terakhir kalinya. Dalam hatinya ia berbisik, “Suatu hari, aku akan kembali. Dan mereka akan berlutut minta maaf.”

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Godaan Panas Sang Asisten CEO   5. Senyum Sang Penggoda

    Udara di ruang HRD mendadak terasa menekan. Leon menatap Shenina tajam. Dia mempunyai mata berwarna abu-abu kelam dengan wajah yang keras, rahang tegas dan bibir tipis yang nyaris tidak bergerak saat dia berkata."Kudengar kau bisa menjual apa pun untuk bekerja di sini," ucap Leon datar. "Termasuk tubuhmu?"Shenina menatap balik tanpa gentar."Tuan Karlsson, Anda salah dengar," katanya tenang. "Saya tidak menjual tubuh saya. Saya hanya tahu betul… nilai saya."Leon menatap Shenina beberapa detik tanpa berkedip, lalu satu sudut bibirnya terangkat yang tidak bisa ditebak apakah itu ejekan atau kekaguman. Dia menyuruh Shenina untuk mengikuti langkahnya lebih ke dalam. "Berdiri di sana." perintah Leon datar. Jemarinya yang panjang menunjuk dinding di sisi kanan ruangan.Shenina menuruti tanpa banyak bicara. Langkah hak sepatunya terdengar nyaring saat ia berdiri merapat ke tembok dengan punggung yang tegak. Wajahnya masih tenang, tidak terpengaruh dengan tekanan apa pun.Viktor yang ikut

  • Godaan Panas Sang Asisten CEO   4. Candu yang Mematikan

    Shenina baru saja sampai di apartemennya setelah seharian fitting baju dengan Leon. Perasaannya semakin puas meski sedikit terkejut. Tidak pernah ia sangka Leon akan sejauh itu terseret oleh permainannya.“Beberapa langkah lagi, ibu… aku akan masuk ke keluarga Karlsson,” bisiknya sambil merengkuh foto sang ibu dan memejamkan mata.Bayangan akan kehebohan besok pagi atas kejadian hari ini mulai memasuki kepala Shenina. “Aku tidak sabar menunggu besok pagi.“Ia hampir tertidur ketika suara pintu apartemen tertutup membuat dadanya tercekat. Sebelum sempat bangkit untuk memeriksanya, tiba-tiba tubuh berat yang terasa hangat dan wangi alkohol jatuh menindihnya.Shenina terkejut, napasnya tertahan. “Tuan Leon…?” bisiknya serak.Tak ada jawaban. Hanya hembusan napas yang berat, aroma anggur, dan dada bidang yang naik-turun tak teratur. Pria itu mabuk. Parah.Shenina hendak mendorong, namun Leon justru menariknya naik, membalik posisi hingga ia berada di atas tubuh Leon. Gerakan refleks itu

  • Godaan Panas Sang Asisten CEO   3. Pria Itu Semakin Terjebak

    Shenina menyadari perubahan Leon hanya beberapa hari setelah ia menyenggol hubungan mereka ke arah yang lebih serius.Pria itu menjadi semakin pendiam. Lebih sibuk bekerja dan menjauh.Seolah-olah permintaan halus Shenina tentang komitmen membuatnya mundur selangkah.Namun Shenina bukan tipe yang kehilangan arah. Jika Leon ingin menjauh, ia akan membuat pria itu justru terjebak lebih dalam.Dan hari ini, ia memilih rapat besar sebagai panggungnya.Karlsson Corporation dipenuhi ketegangan seperti biasa—para investor besar, proyek bernilai ratusan juta, dan sorot mata kritis dari berbagai penjuru meja.Tapi Shenina justru tampil paling tenang di ruangan itu.Strategi berbicaranya rapi. Caranya menjelaskan proposal membuat para investor muda dan beberapa yang jauh lebih tua menatapnya tanpa kedip.Ia bisa merasakan mata Leon pada dirinya sejak awal.Tajam. Diam. Mengawasi.Dan setiap kali salah satu investor pria terlalu lama menatap Shenina, rahang Leon semakin mengeras.Shenina tidak b

  • Godaan Panas Sang Asisten CEO   2. Sang Penggoda

    “Kau memang yang terbaik, Nona Arlett.”Senyum tipis terangkat di sudut bibir seorang pria—senyum kecil yang jarang muncul, tapi jelas memancarkan kepuasan. Leon Karlsson berdiri di tengah ruang CEO, menatap asisten pribadinya yang masih duduk anggun di sofa ruang kerjanya.Karlsson Corporation baru saja menyelesaikan meeting besar. Beberapa staf mati-matian membujuk klien, namun tetap terlihat buntu… hingga asisten pribadi Leon berdiri. Dengan kecerdasan dan ketenangannya, ia menutup celah yang gagal diisi tim Leon, meyakinkan para klien satu per satu, sampai mereka akhirnya menandatangani kerja sama bernilai fantastis.“Katakan, hadiah apa yang kau inginkan?” Leon mencondongkan tubuh, duduk di armrest sofa. Jemarinya menarik dagu asistennya dengan ringan namun penuh dominasi.“Terima kasih, Tuan. Ini semua berkat pengalaman dari Tuan Leon.”Wanita itu menunduk malu, lalu perlahan mengangkat wajah, memberikan tatapan sayu yang ia tahu selalu melemahkan pria itu. “Kalau boleh… apa ma

  • Godaan Panas Sang Asisten CEO   1. Dosa Pertama Keluarga Bronze

    “Sayang… cepatlah. Aku sudah tidak tahan.”Napas panas Thomas Bronze, pengusaha berusia 40 dengan sisa wibawa di wajahnya, mengalir di telinga Maria Karlsson, asistennya. Tangan besar pria itu menarik pinggang wanita tersebut dan mencium bibirnya dengan rakus.Maria terkekeh kecil saat blouse kerjanya ditarik kasar hingga kancingnya beterbangan.“Sabarlah, Thomas. Apa kau yakin aman melakukannya di sini?” godanya, tatapannya licik.Thomas menghirup napas pendek, tak peduli. “Ini rumahku. Tidak ada yang berani menyentuhku. Di mana pun kita bercinta, tak masalah.”Blouse Maria jatuh ke lantai. Thomas membenamkan wajahnya ke dada wanita itu.Maria melirik foto pernikahan Thomas dan Briana yang tergantung di dinding kamar, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Bagaimana kalau istrimu tahu? Ini kamar kalian, bukan?”Thomas tak menjawab, terlalu tenggelam dalam nafsu.Di balik pintu kamar yang tidak tertutup rapat, sepasang mata kecil menyaksikan semuanya.Shenina, putri 10 tahun Thomas dan Bri

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status