Selesai mengganti pakaiannya yang sudah tak berbentuk lagi, dan memasukkannya ke dalam paper bag, Gwen lantas mencuci tangan di wastafel sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Pakaian yang dibelikan Nich begitu pas melekat di badannya. Sweater berkerah tinggi dan berlengan panjang berwarna nude serta celana kulot panjang warna hitam."Kenapa dia bisa tau ukuran bajuku?" gumam Gwen. "Aak!" pekiknya ketika telapak kakinya terasa sakit dan perih. "Kakiku."Melepas sepasang sepatunya, Gwen tercengang ketika melihat ada noda darah. "Darah? Astaga, kenapa telapak kakiku bisa terluka?"Akibat terburu-buru, dia sampai tidak sadar jika kedua telapak kakinya terluka, tapi kenapa? pikir Gwen."Sepertinya tadi Nich mengembalikan kotak obat ke sini." Dia berpikir akan mengobati luka di telapak kakinya, mencari kotak obat yang sempat digunakan Nich tadi. "Ini dia." Kotak obat berhasil ditemukan.Selanjutnya, Gwen mencuci kakinya terlebih dahulu—menghilangkan bekas darah, mengucurkan air dari kr
Keheningan yang ada hanya beberapa saat tercipta, setelah menikmati teh hangat, Nich lantas berdiri, mengembalikan cangkir kosong ke troli, lalu memindai aneka menu yang tersedia.Dari menu ringan sampai menu berat siap disantap. Namun, sebelum itu Nich menawari Gwen terlebih dahulu. Siapa tahu Gwen mau ikut makan bersamanya.Ah, setelah sekian lama, akhirnya dia bisa berduaan lagi dengan Gwen dalam situasi damai seperti sekarang. Nich jadi mengingat hari-hari lalu yang pernah dia lewati bersama Gwen. Di atap gedung, gudang, bahkan di toilet. Puncaknya, malam itu. Saat sekolah mengadakan malam perpisahan. Dia dan Gwen menghabiskan malam panas penuh gairah masa muda di ruang rapat OSIS.Gila!Itu adalah pengalaman pertama seorang Nich dengan gadis tercantik di sekolahnya dulu. Gwen Florine yang dia pacari dalam kurun waktu terlama dan terpaksa harus dia tinggalkan karena suatu hal. Hal yang merubahnya hingga menjadi seperti sekarang ini. Sukses dan memiliki nama besar. Bisa mendapatkan
"A-apa?" Gwen membulatkan matanya, lalu melangkah mendekati Nich. "Kau bilang apa, Nich? Kau memintaku menjadi istrimu?" Nich mengangguk. "Iya, Gwen. Jadilah istriku." Entah apa yang dirasakan Gwen saat ini. Dari yang Nich bisa lihat, jika perempuan itu nampak marah. Kentara sekali dari rahangnya yang mengetat dan kedua telapak tangannya mengepal erat di sisi tubuh. Nich sudah memikirkan hal ini sebelum dia tahu kalau ayahnya Gwen sedang dirawat di Rumah Sakit. Dan, ide ini pun semakin menjadi saat Daniel membicarakan perihal masalah yang sedang dihadapi Gwen. Perempuan itu butuh uang untuk biaya operasi ayahnya. Apakah ini suatu jalan dari Tuhan untukku? Pikir Nich. "Kau sedang memanfaatkan situasi, Nich? Kau ingin mempermainkanku lagi? Benar 'kan?" tuduh Gwen, kemudian berdecak. "Aku benar-benar tidak menduga, Nich. Bisa-bisanya kau memanfaatkan keadaanku yang sedang tidak berdaya seperti sekarang. Apa tujuanmu, Nich? Apa? Katakan!" Pada akhirnya kemarahan Gwen meledak, dia men
Nich tercenung beberapa detik setelah mendengar syarat yang terlontar dari mulut manis Gwen. Kemudian tak berselang lama dia tertawa seraya beringsut menjauh. 'Kenapa Nich tertawa? Memangnya ada yang lucu?' batin Gwen dengan alis dan kening yang mengernyit heran, karena Nich yang justru malah tertawa. "Ada yang lucu, Nich?" tanya Gwen akhirnya. Tawa Nich seketika mereda, lalu meraup udara sebanyak mungkin supaya tetap tenang. Nich berkacak pinggang, kemudian menoleh ke arah Gwen sambil menggeleng. "Sebegitu bencinya kau padaku, Gwen? Sampai-sampai kau tidak memercayaiku lagi?" Ya, Nich tertawa bukan karena dia merasa lucu dengan syarat yang diajukan Gwen. Melainkan merasa kecewa lantaran Gwen sudah meragukan niatnya yang benar-benar tulus ingin menikahinya. Tertawa dalam artian menertawakan dirinya sendiri yang telah dianggap remeh oleh seorang perempuan. "Menurutmu?" Gwen memicing. Menghela napas panjang kemudian lanjut berkata, "Kau tahu, Nich, impian setiap perempuan itu adalah
"Ayah setuju jika Nich menikahiku?" Gwen bertanya kepada ayahnya untuk yang ke sekian kali. "Apa alasan Ayah setuju?"Beberapa waktu yang lalu Nich telah menyampaikan niatnya yang hendak memperistri Gwen kepada Tuan Jimmy. Dan, yang paling mengejutkan adalah ayahnya itu langsung setuju tanpa berpikir panjang. Gwen jadi penasaran—mengapa ayahnya menyetujui pernikahannya.'Jangan pernah berhubungan dengan pemuda bernama Nicholas. Ayah tidak suka kalian terlalu dekat. Cukup berteman dan jangan melibatkan perasaan.' Kata Tuan Jimmy kala itu.Bahkan, Gwen masih mengingat betul bagaimana ayahnya dulu memperingatkan dirinya agar menjauh dari Nich. Lalu sekarang? Kenapa ayahnya berubah pikiran?Tuan Jimmy tersenyum di balik alat bantu pernapasan. Alih-alih menjawab, dia malah bertanya, "Kau menyukainya, bukan? Karena itu ayah setuju. Lagi pula Nich pria yang baik. Dia mau membantu kita melunasi semua b
Di mobil Gwen terus merengut karena perintah sang ayah yang memintanya pulang bersama Nich. Padahal, malam ini Gwen ingin sekali menemani ayahnya di rumah sakit. Namun, Tuan Jimmy menolak dengan berbagai macam alasan yang menurut Gwen tidak masuk akal. ck!'Sihir apa yang dipakai Nich, sampai Ayah jadi baik dengannya.' Gwen membatin sambil melirik Nich yang fokus pada kemudinya.'Kau pulanglah, Gwen. Istirahatlah di rumah. Kau tidak perlu berjaga di sini. Nich sudah meminta suster untuk menjaga ayah di sini. Jadi, kau tidak perlu khawatir dan mencemaskan ayah.'Gwen mengingat lagi perintah ayahnya saat di Rumah Sakit."Hfuuh …." hela Gwen melipat tangannya di depan perut, seraya menatap ke luar jendela.Jalanan saat malam hari tidak begitu ramai ketika musim dingin seperti ini. Semua orang lebih memilih menghabiskan waktu di rumah, daripada berada di luar rumah. Menghadap
"Masuklah, Gwen. Di luar sangat dingin. Kau bisa membeku kalau terus berdiri di sana."Sudah ke tiga kalinya Nich membujuk perempuan bermantel tebal dengan raut wajah yang nampak masam. Gwen berdiri di depan pintu, dengan mulut merengut, sambil memicingkan sepasang mata bulatnya ke arah Nich."Tidak. Aku mau pulang ke rumah. Bukan ke hotelmu, Nich." Gwen berbalik, hendak pergi dari sana.Namun, pergerakannya dicegah oleh Nich yang reflek menahan sikunya. "Kau mau ke mana? Tetaplah di sini," tanya Nich sambil mendekat. "Kau tidak boleh ke mana-mana, Gwen. Kau sudah menjadi milikku sekarang. Jadi, kau tidak bisa pergi ke mana pun lagi tanpa izin dariku."Pernyataan Nich ditanggapi dengusan oleh Gwen. Perempuan itu menoleh, lantas menyahu
"Nich …."Gwen menyebut nama Nich dengan suaranya yang parau, nyaris terdengar mirip desahan, lantaran sentuhan melenakan dari pria itu. Hangat hingga membuat darahnya berdesir.Ini terlalu lembut dan Gwen seolah-olah tak ingin Nich buru-buru menghentikan aksinya. Telapak tangan Nich yang besar menangkup dada tak berpenutup milik Gwen. Bermain-main di puncaknya seraya mencumbu lekukan leher Gwen yang jenjang dan menguarkan aroma parfum favoritnya. Wangi, dan Nich enggan berpaling sedikit pun, sengaja meninggalkan jejak kepemilikannya di sana, nyaris si empunya memekik lantaran rasa geli bercampur nikmat."Eugh … Nich … He-n-ti-kaaaan … eugh …." Diantara beringasnya Nich mencumbu leher dan memainkan puncak dadanya, Gwen berusaha mati-matian agar tidak terlena dan terjebak dalam gairah yang sengaja disulut Nich.'Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Aku harus bisa mengenda