Votenya donk🥲 bantu rate juga 😌 terima kasih 🫶
"Ohhh ... Aku mencintaimu, Gwen ...." Erangan panjang lolos dengan merdu dari mulut Nich seiring cairan hangat yang baru saja dia tumpahkan ke dalam rahim Gwen. Sesaat Nich mendongak sambil memejamkan mata, menikmati pijatan yang berasal dari milik Gwen yang juga baru saja mencapai klimaks.Lantas setelah cukup puas, tubuh menjulang dan berpeluh itu bergeser ke sisi sang istri yang sama-sama tengah menikmati sisa-sisa pelepasannya. Lengannya merengkuh pinggang Gwen agar merapat ke tubuh polosnya. Nich tersenyum sambil menatap lekat wajah berpeluh Gwen, keduanya saling berpandangan dengan deru napas berkejaran. Jari-jarinya begitu terampil menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik itu. "Thanks, Honey ...." ucap Nich, suaranya terdengar parau. Lalu, dengan mesra dikecupnya kening Gwen cukup lama. Sepasang mata Gwen spontan memejam, meresapi setiap kata-kata dan sentuhan sang lelaki yang baru saja mengajaknya mengayuh kenikmatan surgawi. Kehangatan percintaannya dengan Nic
Di depan cermin Gwen tengah kesulitan menutup resleting dress yang ada di balik punggungnya. Kesabarannya semakin menipis saat ujung resleting tersebut tak kunjung tergapai oleh tangannya. Dia lantas mengomel sendiri, menyalahkan si pemberi yang tak lain dan tak bukan adalah suaminya—Nich. "Huh, ini kenapa sulit sekali! Sejak tadi aku sudah berusaha menutupi ini tapi tidak berhasil, ck! Dress ini menyusahkanku." Mulut Gwen tak berhenti mendumel, sambil terus berupaya menggapai ujung resleting yang terdapat di dress warna maroon itu. Sebenarnya Gwen suka dengan modelnya yang tidak terlalu berlebihan dan dia sangat suka dengan warnanya. Maroon—warna yang hampir menyerupai warna dari kelopak mawar merah. Ukurannya juga begitu pas dan panjangnya pun hanya sebatas lutut. Kaki jenjang Gwen jadi terlihat sangat indah.Pintu ruang ganti itu tiba-tiba digeser, dan Nich muncul dari luar dengan penampilan sudah terlihat rapi. Meski hanya celana jeans pendek selutut dan kemeja berwarna hitam ya
"Jadi, itu benar, Bibi? Nich telah menikah dengan Gwen?" Raut Valerie merah padam, rasa panas di dadanya makin berkobar tatkala Diana—ibunya Nich membenarkan kabar pernikahan puteranya dengan Gwen.Sebetulnya, Diana berniat menutupi pernikahan Nich yang tak pernah akan dia restui sampai kapanpun. Baginya, Gwen tidaklah lebih dari sekadar sebuah parasit yang menempel di kehidupan Nich. Gwen hanya memanfaatkan keadaan agar bisa kembali menjerat Nich. Sementara Valerie tetaplah akan menjadi menantu pilihannya. Tidak pernah tergantikan oleh siapapun.Senyuman di bibir Diana mengundang tanya bagi Valerie yang sedang kesal bukan kepalang. Impiannya menikah dengan pria pujaannya harus sirna dan yang lebih membuatnya malu ialah—dia harus kembali kalah dengan Gwen.ck! "Kenapa Bibi terlihat begitu tenang? Bagaimana mungkin Bibi bisa setenang ini? Apa Bibi tidak memikirkan perasaanku? Mana janji Bibi?" protes Valerie yang tidak mengira jika rencananya akan berantakan. Akibat batalnya pertunan
Di kamarnya, Diana tengah gelisah. Pikirannya tidak tenang semenjak pertanyaan Valerie tadi siang. Diana juga baru menyadari akan hal itu. Mengenai pernikahan Nich dengan Gwen yang terkesan tiba-tiba dan mendadak. Rentetan pertanyaan menjejali kepalanya. Diana ingin sekali mencari tahu jawabannya. Namun, tidak mungkin juga jika dia bertanya pada Nich. Bisa-bisa puteranya itu malah memarahinya. "Harusnya Nich mengadakan pesta. Harusnya dia mengenalkan perempuan itu sebagai istrinya. Tetapi, sampai sekarang kenapa Nich masih santai? Apa dia tidak menginginkan semua itu?" Diana memijat pelipis, akibat rasa pusing yang tiba-tiba menderanya. "Apa mungkin Dean tahu sesuatu?" Nama Dean justru yang muncul di kepala Diana dan menyebabkan perempuan paruh baya itu menduga-duga. "Pasti Dean tahu sesuatu." Tak ingin larut dalam rasa penasaran yang kian besar, Diana akhirnya memutuskan untuk mendatangi kamar Dean yang berada di paviliun samping rumah. Langkahnya begitu tergesa-gesa. Hari ini di
Gwen pikir Nich akan langsung membawanya pulang. Namun ternyata, pria itu malah mengajaknya ke sebuah apartemen. Bangunan yang di dalam unitnya sudah dilengkapi barang-barang mewah. Gwen melongo ketika pintu lift terbuka dan dia langsung berada di dalam unit yang luasnya melebihi rumahnya di Birmingham. "Masuklah, Honey." Nich mengulurkan tangannya ke hadapan Gwen yang terpaku. Dia tersenyum menelisik raut Gwen yang menggemaskan. "Apa kau mau aku gendong?" Tawaran yang terlontar dari mulut Nich sontak membuat Gwen terkejut. "Tidak perlu! Kakiku masih berfungsi dengan normal." Tangannya lantas membalas uluran tangan Nich. Manik Gwen mengedar ke seluruh penjuru ruangan yang didominasi warna krem, begitu kakinya melangkah. "Ini apartemen siapa, Nich?" Gwen perlu bertanya, bukan? Dia pikir tidak mungkin Nich sedang mengajaknya ke tempat seseorang sebab tidak ada tanda-tanda penghuni lainnya di sini. Unit ini terlalu luas untuk ditinggali dua orang saja."Ini apartemen kita, Honey." Ni
[Aku akan terlambat pulang malam ini, Honey. Kau tidurlah lebih dulu. Jangan lupa makan. Aku mencintaimu.]"Hfuuh ..." Gwen hanya bisa menghela napas panjang setelah membaca pesan dari pria yang selama hampir dua bulan ini ada bersamanya. "Dia selalu sibuk di kantornya. Dan aku, hanya berada di tempat ini, menikmati kebosananku," keluhnya seraya menyimpan kembali ponselnya ke atas nakas. Tak terasa sudah satu bulan Gwen dan Nich tinggal di unit mewah ini. Menghabiskan hari-hari mereka layaknya pengantin baru tanpa ada yang mengganggu. Sesekali Olivia datang sekadar melepas rindu. Satu-satunya adik dari Nich itu telah terbiasa dengan kehadiran Gwen. Selalu ingin menghabiskan waktu bersama sang kakak ipar.Mengenai mertuanya? Nich mengatakan jika tidak ada satu pun dari orangtuanya yang tahu alamat tempat tinggal mereka. Olivia bahkan sudah diberi peringatan oleh Nich agar tidak memberitahu Diana—ibunya alamat apartemen ini. Gwen masih dibuat bertanya-tanya dengan hubungan Nich dan ibu
Keesokkannya, Nich terlihat terlelap di atas tempat tidur dengan posisi menelungkup. Selimut warna putih hanya menutupi sebagian punggung lebarnya yang polos. Cahaya matahari yang masuk lewat celah jendela menerpa kulit wajahnya, mengusik lelap sang lelaki menawan itu. Sepasang kelopak mata berbulu lentik itu terlihat bergerak-gerak, sekejap Nich mengernyitkan kening, merasa tidak nyaman dengan cahaya matahari. Menggeliat, lalu membalik tubuhnya menjadi terlentang, dengan kondisi mata yang masih tertutup tangan Nich menggapai-gapai ke sisi kirinya. Dia seperti sedang mencari-cari keberadaan seseorang yang dua bulan ini selalu menemaninya tidur. Nihil! Sadar bila sosok makhluk cantik yang dia cari tidak ada, spontan manik Nich terbuka lebar. Menelengkan kepala, guna memastikan jika Gwen benar-benar tidak ada di sisinya. "Di mana Gwen?" gumam Nich, yang masih berpikir jika perempuan yang semalaman menghangatkan ranjangnya adalah sang istri. "Gwen?" panggilnya seraya terduduk. Nyeri
"Sial!" Nich tak berhenti mengumpat sambil mencengkeram roda kemudinya. Perasaan kesal bercampur dengan penyesalan sedang melingkupinya saat ini. Bagaimana mungkin dia bisa kecolongan dan jatuh dalam perangkap Valerie. "Kau memang bodoh, Nich!" umpatnya yang lantas menambah kecepatan mobilnya. Dia ingin segera menemui Gwen di apartemen.Pikirannya benar-benar tidak bisa berhenti memikirkan Gwen. Nich berusaha menghubungi istrinya itu, tetapi tidak ada jawaban. Sepertinya Gwen memang sengaja tidak menjawab panggilan teleponnya, dan Nich tahu benar apa penyebabnya. Sebelum dia meninggalkan apartemen Valerie, perempuan itu sempat mengatakan jika Nich sebaiknya cepat-cepat pergi menemui Gwen. 'Pergilah! Temuin istrimu! Sebelum dia melakukan hal-hal di luar kendali. Dan jangan lupa hubungi aku jika kau sudah berubah pikiran, Nich.' Nich paham dengan maksud perkataan Valerie yang dengan sengaja ingin mengacaukan hubungannya dengan Gwen. Nich tidak bisa terima dan akan membuat perhitunga