Di kamarnya, Diana tengah gelisah. Pikirannya tidak tenang semenjak pertanyaan Valerie tadi siang. Diana juga baru menyadari akan hal itu. Mengenai pernikahan Nich dengan Gwen yang terkesan tiba-tiba dan mendadak. Rentetan pertanyaan menjejali kepalanya. Diana ingin sekali mencari tahu jawabannya. Namun, tidak mungkin juga jika dia bertanya pada Nich. Bisa-bisa puteranya itu malah memarahinya. "Harusnya Nich mengadakan pesta. Harusnya dia mengenalkan perempuan itu sebagai istrinya. Tetapi, sampai sekarang kenapa Nich masih santai? Apa dia tidak menginginkan semua itu?" Diana memijat pelipis, akibat rasa pusing yang tiba-tiba menderanya. "Apa mungkin Dean tahu sesuatu?" Nama Dean justru yang muncul di kepala Diana dan menyebabkan perempuan paruh baya itu menduga-duga. "Pasti Dean tahu sesuatu." Tak ingin larut dalam rasa penasaran yang kian besar, Diana akhirnya memutuskan untuk mendatangi kamar Dean yang berada di paviliun samping rumah. Langkahnya begitu tergesa-gesa. Hari ini di
Gwen pikir Nich akan langsung membawanya pulang. Namun ternyata, pria itu malah mengajaknya ke sebuah apartemen. Bangunan yang di dalam unitnya sudah dilengkapi barang-barang mewah. Gwen melongo ketika pintu lift terbuka dan dia langsung berada di dalam unit yang luasnya melebihi rumahnya di Birmingham. "Masuklah, Honey." Nich mengulurkan tangannya ke hadapan Gwen yang terpaku. Dia tersenyum menelisik raut Gwen yang menggemaskan. "Apa kau mau aku gendong?" Tawaran yang terlontar dari mulut Nich sontak membuat Gwen terkejut. "Tidak perlu! Kakiku masih berfungsi dengan normal." Tangannya lantas membalas uluran tangan Nich. Manik Gwen mengedar ke seluruh penjuru ruangan yang didominasi warna krem, begitu kakinya melangkah. "Ini apartemen siapa, Nich?" Gwen perlu bertanya, bukan? Dia pikir tidak mungkin Nich sedang mengajaknya ke tempat seseorang sebab tidak ada tanda-tanda penghuni lainnya di sini. Unit ini terlalu luas untuk ditinggali dua orang saja."Ini apartemen kita, Honey." Ni
[Aku akan terlambat pulang malam ini, Honey. Kau tidurlah lebih dulu. Jangan lupa makan. Aku mencintaimu.]"Hfuuh ..." Gwen hanya bisa menghela napas panjang setelah membaca pesan dari pria yang selama hampir dua bulan ini ada bersamanya. "Dia selalu sibuk di kantornya. Dan aku, hanya berada di tempat ini, menikmati kebosananku," keluhnya seraya menyimpan kembali ponselnya ke atas nakas. Tak terasa sudah satu bulan Gwen dan Nich tinggal di unit mewah ini. Menghabiskan hari-hari mereka layaknya pengantin baru tanpa ada yang mengganggu. Sesekali Olivia datang sekadar melepas rindu. Satu-satunya adik dari Nich itu telah terbiasa dengan kehadiran Gwen. Selalu ingin menghabiskan waktu bersama sang kakak ipar.Mengenai mertuanya? Nich mengatakan jika tidak ada satu pun dari orangtuanya yang tahu alamat tempat tinggal mereka. Olivia bahkan sudah diberi peringatan oleh Nich agar tidak memberitahu Diana—ibunya alamat apartemen ini. Gwen masih dibuat bertanya-tanya dengan hubungan Nich dan ibu
Keesokkannya, Nich terlihat terlelap di atas tempat tidur dengan posisi menelungkup. Selimut warna putih hanya menutupi sebagian punggung lebarnya yang polos. Cahaya matahari yang masuk lewat celah jendela menerpa kulit wajahnya, mengusik lelap sang lelaki menawan itu. Sepasang kelopak mata berbulu lentik itu terlihat bergerak-gerak, sekejap Nich mengernyitkan kening, merasa tidak nyaman dengan cahaya matahari. Menggeliat, lalu membalik tubuhnya menjadi terlentang, dengan kondisi mata yang masih tertutup tangan Nich menggapai-gapai ke sisi kirinya. Dia seperti sedang mencari-cari keberadaan seseorang yang dua bulan ini selalu menemaninya tidur. Nihil! Sadar bila sosok makhluk cantik yang dia cari tidak ada, spontan manik Nich terbuka lebar. Menelengkan kepala, guna memastikan jika Gwen benar-benar tidak ada di sisinya. "Di mana Gwen?" gumam Nich, yang masih berpikir jika perempuan yang semalaman menghangatkan ranjangnya adalah sang istri. "Gwen?" panggilnya seraya terduduk. Nyeri
"Sial!" Nich tak berhenti mengumpat sambil mencengkeram roda kemudinya. Perasaan kesal bercampur dengan penyesalan sedang melingkupinya saat ini. Bagaimana mungkin dia bisa kecolongan dan jatuh dalam perangkap Valerie. "Kau memang bodoh, Nich!" umpatnya yang lantas menambah kecepatan mobilnya. Dia ingin segera menemui Gwen di apartemen.Pikirannya benar-benar tidak bisa berhenti memikirkan Gwen. Nich berusaha menghubungi istrinya itu, tetapi tidak ada jawaban. Sepertinya Gwen memang sengaja tidak menjawab panggilan teleponnya, dan Nich tahu benar apa penyebabnya. Sebelum dia meninggalkan apartemen Valerie, perempuan itu sempat mengatakan jika Nich sebaiknya cepat-cepat pergi menemui Gwen. 'Pergilah! Temuin istrimu! Sebelum dia melakukan hal-hal di luar kendali. Dan jangan lupa hubungi aku jika kau sudah berubah pikiran, Nich.' Nich paham dengan maksud perkataan Valerie yang dengan sengaja ingin mengacaukan hubungannya dengan Gwen. Nich tidak bisa terima dan akan membuat perhitunga
Setelah menunggu cukup lama sebab jarak Rumah Sakit dengan lingkungan apartemen yang ditempati Nich cukup jauh, akhirnya dokter tampan bernama Mark itu pun tiba. Dia segera masuk ke unit dengan dikawal Dean yang sudah menunggunya di lobby. "Di sana kamar Tuan Nich." Dean menunjuk pintu kamar yang terbuka lebar. Mark hanya mengangguk, dan bergegas masuk. "I'm sorry, Nich. Jarak rumah sakit ke apartemen ini cukup jauh. Kau jadi harus menunggu lama. Siapa yang sakit?" ucap Mark begitu masuk ke kamar yang ukurannya sangat luas itu. Mendengar suara Mark di kamarnya, perhatian Nich seketika teralihkan. Dia beranjak dari tempat tidur dan mendekati Mark yang telah berdiri di sisi ranjang. "Hffuu ... akhirnya kau tiba juga, Mark. Cepatlah! Kau periksa keadaannya," tunjuknya pada Gwen yang belum juga sadarkan diri.Mark tertegun sesaat, menelisik raut temannya yang nampak frustrasi dan kalut. "Dia ... siapa?" tanyanya penasaran, seraya mendekat ke Gwen.Lantas, Mark mengeluarkan peralatan ya
"Aku tidak mau!" Gwen melengos ketika Nich mencoba membujuknya untuk makan bubur buatan Frank. Beberapa saat yang lalu Olivia datang dengan membawa makanan yang memang diminta khusus oleh Nich untuk Gwen. Namun sudah lebih dari tiga puluh menit makanan bertekstur lembut itu tak kunjung masuk ke mulut orang yang sedang dikuasai amarah itu. "Makanlah sedikit saja, Honey. Supaya kau bisa minum obat," bujuk Nich sekali lagi. "Aku tidak berselera, Nich. Bawa saja pergi bubur itu. Aku merasa mual mencium baunya. Dan kau ...." Manik Gwen memicing ke arah Nich. Sorot kemarahan masih berkilat di sana. "Kau juga pergi, Nich. Aku tidak mau melihatmu untuk sementara waktu. Aku butuh berpikir." Muak sekaligus marah ketika dia kembali mengingat video sialan itu. Hatinya sungguh merasa sakit sebab merasa dibohongi selama ini. Untuk apa Nich mati-matian menjelaskan jika dia tidak bersalah dan pada kenyataannya dirinya dijebak."Aku tidak akan meninggalkanmu." Mangkuk di tangan Nich letakkan kemba
Apa yang ditakutkan dan dikhawatirkan Gwen benar-benar terjadi. Kehamilan yang tidak diinginkan begitu cepat menghampiri. Lebih menyakitkan lagi disaat dirinya ingin sekali pergi dari ikatan ini. Ikatan pernikahan yang bermula dari sebuah keterpaksaan dan kesepakatan. Pernikahan yang tidak pernah dia impikan setelah mengenyam bertubi-tubi luka di masa lalu. Kesakitan atas sebuah kebohongan yang ditorehkan Nich tak hanya membuat hati Gwen terluka dan berdarah lagi. Nich telah memperdayainya, dan bodohnya Gwen mudah sekali jatuh ke dalam lobang yang sama. Gwen membenci dirinya yang lemah yang mudah sekali luluh hanya dengan ucapan manis. Nyatanya, rasa manis yang ditawarkan berubah menjadi kepahitan. Bagaimana bisa dia bebas dari kehidupan Nich jika ada nyawa baru yang sedang tumbuh di rahimnya? Sementara jika terus bersama tak ubah semakin menambah luka. Gwen belum siap dengan kejutan ini. Yang sebagian besar orang justru menganggapnya sebagai anugerah yaitu menjadi seorang ibu. Gwe