Masuk
Paman Calvin panik. "Aku salah, Mira. Tapi katakanlah apa yang mengganggumu."Perasaanku semakin sedih, akhirnya kuputuskan untuk terbuka. "Calvin aku mencintaimu. Tapi kau selalu menganggapku kecil. Aku hanya berani menyembunyikan perasaan ini, membuat segalanya berantakan agar kau terus mengkhawatirkanku, sehingga kau tak akan meninggalkanku. Aku merasa sangat hina."Mendengar pengakuanku, Calvin tak terlihat terkejut. Dia hanya diam.Sikapnya itu justru membuatku semakin marah. Kuputuskan untuk mengungkap semuanya.Lalu kusebutkan sebuah rahasia lagi.Tiga tahun lalu, keluarga Calvin memperkenalkannya pada seorang wanita yang sangat baik.Mereka cukup cocok dan berencana menikah.Dengan diam-diam aku menemui wanita itu dan berkata, "Calvin terlihat baik, tapi sebenarnya di malam hari dia sering menyentuhku secara tak senonoh. Kami bahkan sudah tidur bersama."Wanita itu langsung menampar Calvin dan pergi begitu saja.Sejak saat itu, dia tak pernah muncul lagi.Usai mendengar pengaku
Kutepis tangannya. "Pacarmu sudah kabur, masih saja di sini?"Melihat tak ada harapan dariku, akhirnya dia berbalik mengejar. "Stevi, tunggu! Dengarkan penjelasanku!"Kupandangi bayanganku di cermin, baju compang-camping dan sosok yang terlihat seperti baru saja ditiduri. Rasanya ingin tertawa.Sepanjang hari dirangsang, tapi tak ada kemajuan berarti.Gelisah dalam hatiku semakin menjadi.Kapan aku bisa merasakan keintiman seperti ini dengan orang yang benar-benar kucintai?Kututup mataku, satu tangan meraba dadaku sendiri, membayangkan itu adalah tangannya.Dia memelukku dalam dekapan hangat, tubuhku lunglai dalam pelukannya.Tangan mahir itu merayap dari perut ke bawah, dan tanpa kusadari, rintihan lembut terlepas dari bibirku.Wajah itu semakin jelas, yaitu Paman Calvin.Kuteringat saat dia melatihku, bagaimana tangan nakalnya menopang payudaraku.Dan sensasi tersengat listrik saat merasakan alat keras bagian bawahnya yang menusuk pantatku saat duduk di pangkuannya.Dengan membayang
Iya, harus ganti baju.Kulihat langit sudah gelap.Untungnya, klub tari tak jauh dari sini, dan pintunya sering tak dikunci.Seharusnya di jam ini semua sudah pulang.Kukenakan jaket Ruben dan menyelinap ke ruang ganti klub tari.Soal bisa mendapatkan baju di sini, ini kudengar dari teman sekamarku, Tessa.Katanya suatu kali saat pacaran dengan pacarnya di belakang lapangan, bajunya robek-robek lalu dia mencuri satu set dari sini.Setelahnya dikembalikan, dan pemiliknya tak marah.Paman Chandra menunggu di luar sambil berjaga.Akhirnya kudapatkan lemari yang tak terkunci, tapi isinya hanya ada satu set kostum tari Latin.Gaun berumbai perak dengan neckline terbuka lebar.Panjangnya hanya sampai paha.Tapi untungnya ada sepasang stoking tari putih.Kain baju ini bahkan lebih sedikit dari yang sedang kukenakan.Tapi setidaknya bisa menutupi bagian vital.Dalam gelap kuingat lokasi lemari ini, berjanji akan membeli yang sama untuk mengembalikannya.Karena tidak berani menyalakan lampu, ha
Tak apa rasanya mencoba merasakan sensasi dengan Paman Chandra, aku tidak jijik.Kusengaja melompat dua kali mendekatinya, merasakan payudara yang berat dan bergoyang liar.Paman Chandra jelas tak bisa menahan diri lagi. "Mira sayang, biarkan Paman cicipi sekali lagi."Kupura-pura mendorongnya dengan manja, suaraku lembut dan mendesah, "Paman Chandra... jahat sekali..."Tapi dia langsung memelukku erat. Paman Chandra memang tergila-gila pada payudaraku.Dia berbisik, "Ini adalah impian semua pria."Aku tidak melawan, malah merangkul kepalanya.Rintihan tak terbendung mengalir dari bibirku.Paman Chandra menyentuh bagian bawah tubuhku, terkejut lalu berkata mesum, "Andai tahu kau seliar ini, dari dulu sudah kubuat kau melayang."Aku pun melepas segala gengsi, rintihan keluar semakin mendesah dan memikat.Mata Paman Chandra memerah, ditamparnya pantat putihku lalu menindihku kasar. "Sabar, bentar lagi Paman akan kenyangkan kamu."Tapi anehnya, Paman Chandra lama tak bisa membuka kancingn
Aku mulai takut, ini benar-benar seperti main api dan membakar diri sendiri.Melihat kondisi Ruben yang seperti ini, jelas takkan bisa menahan diri sampai tiba di hotel. Jangan-jangan dia mau melakukannya di tempat terbuka?Kekhawatiranku bercampur dengan detak jantung yang semakin kencang.Beruntung, tak jauh dari sana terdapat gedung kuliah tua yang sudah tak terpakai.Ruben membawaku masuk ke sebuah ruang kelas kosong, mendobrak pintunya, dan dengan gegas menindihku ke pintu sebelum sempat menutupnya. Ciumannya menghujam seperti hujan deras.Ini pertama kalinya aku dicium, seluruh tubuhku seperti kekurangan oksigen hingga merasa pusing.Badanku lemas bagai air, hanya bisa bersandar pelukannya agar tak terjatuh.Tangan Ruben tak henti meraba payudaraku, mulutnya turun dari wajahku terus ke bawah.Sampai di area dada, dengan kasar dia membuka bajuku dan kedua payudara yang putih dan montok itu langsung terpental keluar.Bergoyang-goyang di depan mulutnya.Dia meremasnya keras, lalu la
Yang lain tak mau kalah, ikut mengerumuniku.Tangan-tangan mereka menempel di pinggang dan pahaku, bahkan ada yang menyusup lewat kerah bajuku.Sekujur tubuhku gemetar saat jari-jari asing menyusup ke dalam celana yogaku.Teringat nasihat Paman Calvin, "Kurangnya interaksi dengan pria membuatku kaku."Mungkin hari ini justru kesempatan baik, kubujuk diri sendiri untuk tetap tenang.Jika harus memilih satu orang, Ruben adalah pilihan tepat sebagai pemimpin dan pemain basket dengan postur ideal.Untuk bisa keluar dari sini, hari ini aku harus menaklukkannya.Aku tak ingin pengalaman pertamaku ditinggali dengan kenangan buruk.Kupeluk erat lengan Ruben, payudaraku yang berisi sengaja menggesek lengannya. Mataku berkaca-kaca memancarkan kepolosan yang memilukan."Ketua... bukankah kau menyukaiku? Aku masih single, mau jadi pacarmu... Kumohon, jangan perlakukan aku seperti ini..."Ruben jelas menikmati sanjunganku ini, tapi raut wajahnya menampakkan sepercik keraguan."Kau yakin masih singl







