Beranda / Urban / Godaan sang tante / Bab 2 Melakukan yang 3nak di kostan baru

Share

Bab 2 Melakukan yang 3nak di kostan baru

Penulis: TnaBook's
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-14 03:07:18

"Apa?" Revan tersentak kaget saat mendengar permintaan Elma.

Elma tersenyum tipis, lalu meraih sebuah tas tangan kecil yang ia simpan di atas meja. Ia mengeluarkan selembar cek berserta satu buah bolpoin. Lalu menuliskan angka 100 juta di atas cek tersebut.

"Apa masih kurang?" tanyanya sembari menyerahkan cek tersebut ke arah Revan.

"I-ini apa maksudnya Bu?" Revan masih belum paham dengan maksud Elma.

"Aku tahu umur kita berbeda. Kamu masih muda, baru 21 tahun. Sementara aku... sudah 30 tahun. Tapi aku bisa memberimu uang, Revan. Banyak uang, yang pasti bisa membantumu menyelesaikan masalah keuanganmu di Jakarta. Apa kamu tertarik?" Elma tersenyum dan tiba-tiba saja mendekat ke arah Revan yang gemetar panas dingin mendapatkan tawaran seperti itu.

Apalagi saat tangan Elma menarik kerah bajunya hingga kini tubuhnya semakin mendekat ke arah tubuh sek si Elma.

Revan bisa merasakan benda kenyal itu hampir saja menempel di dadanya. Membuata senjata nuklir miliknya semakin tegang.

"Bagaimana Revan? Apa kamu tertarik menerima tawaranku?" tanya Elma kali ini suaranya terdengar lebih merdu dan lembut.

Revan merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menatap angka yang tertera di dalam cek yang sekarang ia genggam.

"Jadi saya harus menjadi selingkuhan Ibu?" tanya

Revan memastikan.

"Benar, jangan khawatir ini hanya sekedar sandiwara.

Aku hanya ingin memberi pelajaran pada suamiku."

Elma kembali duduk dan menunggu jawaban dari Revan.

Revan menelan salivanya. Kalau perempuannya seperti Elma mah tidak perlu dibayar pun ia rela jadi selingkuhannya.

"Apa Anda serius, Bu Elma?" tanya Revan dengan suara gemetar.

"Aku serius Revan. Jika kamu berhasil membuat suamiku cemburu, bayaranmu akan aku tambah."

Revan menarik napas panjang. Wajahnya tampak

bingung, namun saat matanya kembali menatap angka seratus juta, jiwa matrenya kembali meronta.

Ia menundukkan kepalanya, kemudian mengangguk perlahan. "Baik, Bu. Saya bersedia."

Elma tersenyum tipis, seolah sudah mengira jawaban itu.

"Terima kasih, Revan. Kamu tidak akan menyesal," ucapnya tegas.

Revan baru saja keluar dari kelas terakhirnya ketika ia mendengar suara yang familiar memanggil namanya.

"Revan!" seru seorang gadis itu dengan nada ceria.

Revan menoleh dan mendapati Dinda berlari kecil menghampirinya. Gadis itu mengenakan dress floral sederhana yang memperlihatkan sisi anggunnya. Rambut panjangnya tergerai lembut, membuat beberapa mahasiswa lain melirik kagum.

"Hei, Din," sapa Revan sambil tersenyum tipis. "Ada apa nyamperin aku ke sini?"

Dinda meraih lengan Revan dengan ekspresi manja.

"Ya nggak apa-apa dong. Kan aku kangen," jawabnya sambil menatap Revan dengan tatapan berbinar.

Revan hanya terkekeh kecil, "Kangen sama aku atau kangen sama yang lainnya?" godanya.

Dinda mencubit pelan lengan Revan. "Ih, aku serius, tahu. Eh, ngomong-ngomong, gimana kostan barumu? Katanya lebih bagus dari yang dulu."

Revan terdiam sejenak. Ia tahu Dinda tidak akan berhenti bertanya jika ia tidak memberitahu. Akhirnya, ia mengangguk.

"Ya udah, nanti aku antar ke sana. Tapi jangan kaget kalau nggak sebagus yang kamu bayangin, ya."

"Beneran? Aku mau lihat sekarang!" Dinda terlihat antusias, menarik lengan Revan tanpa menunggu jawaban.

Revan menghela napas sambil tersenyum kecil. "Iya, iya. Sabar dikit, Din."

Revan mengendarai motor bututnya membawa Dinda menuju kostan barunya. Entah apa yang membuat Dinda tertarik padanya yang miskin ini. Padahal ia tahu banyak mahasiswa tajir melintir yang suka sama Dinda. Tapi Dinda kekeuh memilih dirinya untuk dijadikan kekasih.

Sebelum menuju kostan, Revan sengaja membeli banyak cemilan untuk mereka makan nanti. Upah yang diberikan Tante Elma untuk jadi selingkuhannya sudah ia cairkan, jadi ada banyak uang di rekening Revan sekarang.

Ia bahkan sudah mengirimkan sebagian uangnya untuk ibunya di kampung agar dipergunakan untuk keperluan sehari-hari juga untuk biaya sekolah Nadia, adiknya

"Rev, kenapa sih kamu nggak ganti motor aja? Aku lihat kamu sekarang kayaknya udah nggak sepelit dulu," goda Dinda sambil menyandarkan kepalanya di bahu Revan.

Revan terkekeh pelan. "Nggak semua uang harus dipakai buat gaya, Din. Ada hal yang lebih penting."

"Iya deh." Dinda mengalah. Meski begitu dia tetap cinta sama Revan.

Sepuluh menit kemudian mereka sampai di kostan sederhana Revan.

"Wah, lebih rapi dari kostanmu yang dulu," komentarnya sambil duduk di kasur.

"Tapi kenapa nggak ada fotoku, ya?"

"Nanti aku cetak, deh, terus aku pajang di sini. Puas?"

Dinda menatapnya dengan manja. "Harus, dong. Aku kan pacarmu."

Revan menggeleng dan menyerahkan sebotol air mineral pada Dinda. Namun Dinda tidak meminumnya dia menyingkir botol air itu dan malah mengalungkan tangannya pada leher Revan.

"Aku kangen kamu Van. Sudah lama kayaknya kita nggak..." Dinda tersenyum nakal dan menggigit bibirnya dengan gayanya yang sensual.

Tangannya kini bahkan menyelusup ke dalam kaos yang dipakai oleh Revan. Menelusuri tu buh atletis pria pujaannya itu.

Revan tersenyum karena mengerti maksud kekasihnya itu. Gadis bertubuh se mok itu memang selalu membuatnya on tiap kali bertemu. Dan mungkin sudah hampir dua minggu ini mereka tidak melakukan kegiatan bercocok tanam yang sudah biasa mereka lakukan selama ini.

"Kamu mau?" Revan menaik turunkan alisnya sebagai kode.

"Huum..." Dinda mengangguk dan langsung meraup bibir Revan dengan rakus. Gadis cantik itu tidak malu lagi untuk mengajak Revan bermain lebih dulu.

Bayangan sosis jumbo milik Revan kembali singgah di otaknya. Ia sudah sangat merindukan belaian dan juga keperkasaan pria tampan dengan tubuh atletis itu.

Revan tersenyum dan langsung mengungkung tu buh Dinda yang sudah pasrah itu. Bi bir ranum Dinda yang sedari tadi menarik perhatiannya langsung Revan lu mat dengan rakus.

Dinda dengan lihai mengimbangi permainan Revan yang memabukkan. Tangannya tak mau diam dengan perlahan membuka kaos yang dipakai oleh Revan.

Dinda dibuat merem melek oleh ulah nakal Revan.

Keringat sudah membanjiri tu buh mereka. Namun tak ada tanda-tanda permainan akan berakhir.

Body mon tok Dinda memang bikin candu. Dan pacaran sama Dinda merupakan pacaran paling lama buat Revan. Itu karena Dinda tidak banyak menuntut dan selalu asik jika diajak bermesraan seperti ini.

"Enak Sayang?" tanya Revan di tengah gerakannya yang kian brutal.

"Enak Sayang... uuuhhhh..." Tangan Dinda berpegang erat pada punggung Revan. Keduanya menyatu. Saling memiliki dan menikm4ti cinta sesaat ini.

Hampir satu jam Revan bercinta dengan Dinda di kamar kostnya yang baru ini. Dinda masih bergelung di dalam selimut sedangkan Revan bergegas mandi karena sebentar lagi ia harus pergi menjemput Elma di kantornya.

"Beb, aku harus pergi dulu."

"Kemana sih Sayang. Masih capek nih," rengek Dinda manja, masih enggan untuk beranjak dari tempat tidur.

"Sorry Din, aku harus kerja." Revan kembali menghampiri Dinda yang masih enggan untuk bangun.

"Rapih banget, kamu kerja apa sih sekarang?" tanya Dinda penasaran.

"Aku jadi sopir pribadi di keluarga kaya. Gajinya lumayan lah buat makan dan biaya kuliah," jelas Revan.

"Oh gitu, ya udah deh aku pulang sekarang." Dinda terpaksa bangun dan memakai bajunya lagi. Dia diantar Revan untuk naik taksi dan pulang ke rumahnya.

Waktu sudah hampir pukul tiga sore, Revan harus sampai di kantor Elma sebelum pukul empat.

Revan memarkir mobil mewah itu di depan gedung tinggi berlapis kaca. Tepat pukul lima sore, pintu lobi terbuka, dan Elma melangkah keluar dengan anggun.

Wanita itu mengenakan blazer krem dengan rok pensil senada, dipadukan dengan sepatu hak tinggi yang menambah aura kharismatiknya. Rambutnya yang tergerai rapi melengkapi penampilannya yang memukau.

Revan yang duduk di balik kemudi hanya bisa menelan ludah. "Tante-tante" cantik ini selalu berhasil membuatnya terpesona, meski ia harus tahu batasannya.

"Selamat sore Bu," sapanya sopan sembari membuka pintu mobil untuk Elma.

Elma hanya melirik singkat, lalu masuk ke dalam mobil tanpa sepatah kata pun. Aroma parfum mahalnya memenuhi kabin, membuat Revan merasa sedikit gugup.

Revan kembali ke kursi kemudi, menyalakan mesin, dan mulai mengemudi. Suasana di dalam mobil terasa dingin, seperti biasanya. Elma hanya menatap layar ponselnya, seolah tidak ada orang lain di sana.

"Mau langsung pulang, atau ada tempat lain yang perlu kita singgahi?" tanyanya lagi setelah beberapa menit hening.

"Bawa aku ke La Lumiere Café," ucap Elma tanpa menoleh dari layar ponselnya.

Revan menoleh sekilas ke arah kaca spion, memastikan ia mendengar dengan benar. "Ke kafe, Bu?"

Elma akhirnya menatapnya, ekspresinya tetap dingin seperti biasa.

"Apa aku harus mengulanginya, Revan?"

Revan segera mengangguk.

"Tidak, Bu. Baik, kita ke sana sekarang." Ia

membelokkan mobil dan mengarahkan kendaraannya ke kafe terkenal yang terletak di kawasan elit Jakarta.

La Lumiere Café adalah tempat yang hanya didatangi orang-orang berkelas. Begitu Revan memarkir mobil, ia dapat melihat interiornya yang mewah dari luar jendela besar. Lampu-lampu gantung kristal menciptakan suasana elegan yang kontras dengan kebisingan jalanan di luar.

Elma turun dari mobil, langkahnya ringan namun penuh kepercayaan diri.

"Kamu ikut aku ke dalam," katanya tiba-tiba.

Revan menatapnya dengan kaget. "Ikut?"

Elma menoleh sekilas, raut wajahnya tak menunjukkan kompromi.

"Aku tidak mau teman-temanku bertanya kenapa aku datang sendiri."

Revan hanya bisa mengangguk, meski perutnya terasa sedikit mual. Berada di lingkungan seperti itu dengan statusnya sebagai seorang mahasiswa sekaligus sopir rasanya sedikit tidak nyaman. Tapi, ia tidak punya pilihan.

"Baik, Nyonya."

Begitu mereka masuk, tatapan beberapa orang langsung tertuju pada Elma. Wanita itu memang mencuri perhatian, baik karena kecantikannya maupun auranya yang kharismatik. Revan berjalan setengah langkah di belakangnya, mencoba tidak terlihat mencolok.

"Elma!" seru seorang wanita dengan suara riang. Seorang wanita muda dengan gaun mahal dan rambut yang ditata sempurna melambaikan tangan dari salah satu meja di tengah ruangan.

Elma membalas dengan senyum tipis dan berjalan mendekat. Ia berhenti di samping meja, lalu menoleh ke Revan. "Tunggu di sana," katanya sambil menunjuk salah satu sudut ruangan.

Revan mengangguk, tapi matanya sempat menangkap tatapan penasaran dari salah satu pria di meja itu. Mungkin mereka heran, karena Elma membawa serta seorang pria.

Elma duduk di meja itu, langsung terlibat dalam percakapan dengan teman-temannya. Revan mengambil tempat di sudut yang agak tersembunyi, tapi pandangannya tetap tertuju pada Elma. Wanita itu terlihat berbeda di sini-lebih santai, meski tetap memancarkan kesan dingin.

"El, siapa pria itu?" tanya seorang wanita berambut pendek dengan tawa menggoda. Namanya Karina, salah satu teman dekat Elma yang terkenal blak-blakan.

"Jangan bilang dia sopir mu. Wajahnya terlalu tampan untuk itu."

Elma tersenyum kecil, mengaduk kopinya dengan tenang. "Dia memang sopirku."

"Ah, jangan bercanda," sahut wanita lain di meja itu.

Nita, salah satu rekan bisnis Elma.

"Serius, Elma," Karina melanjutkan. "Suamimu, Aditya, bahkan nggak setampan itu. Kamu punya selera bagus."

Elma mengangkat alisnya, berpura-pura tidak terganggu dengan pembicaraan itu. Namun, dalam hatinya, ia sedikit senang.

Fakta bahwa teman-temannya lebih terkesan dengan Revan adalah sesuatu yang memuaskan baginya.

Elma meneguk kopinya perlahan sebelum menjawab.

"Kalian terlalu berlebihan. Dia hanya sopir."

"Tapi lihat caranya memandangmu, kayaknya dia bukan cuma sopir, deh," sela Nita.

Elma tertawa kecil, tapi tidak memberikan konfirmasi. Biarkan saja mereka berpikir apa yang mereka mau, pikirnya.

Elma akhirnya menoleh sekilas ke arah Revan, matanya dingin namun penuh perhitungan. Dalam hatinya, ia merasa puas. Jika teman-temannya saja sudah terkesan dengan Revan, maka Aditya juga harus tahu bagaimana rasanya diabaikan dan direndahkan.

"Aku rasa aku harus membawa dia ke lebih banyak acara," gumam Elma, nyaris tak terdengar oleh teman-temannya.

"Kenapa tidak?" sahut Karina dengan tawa kecil. Dia aset yang bagus, Elma. Suamimu harus tahu bahwa dia tidak bisa semena-mena padamu. Bangkit dan balas perbuatan dia padamu."

Elma hanya tersenyum. Ia menatap Nita dan Karina dengan pandangan penuh rahasia, sementara pikirannya berputar dengan rencana yang semakin matang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Godaan sang tante   Bab 90

    "Baiklah, Gading. Silakan ucapkan janji pernikahanmu kepada Karina." "Karina, di hadapan Tuhan dan semua orang yang kita cintai di tempat ini, aku berjanji untuk mencintaimu dengan sepenuh hatiku. Aku akan menjadi suami yang setia, sahabat yang selalu mendukungmu, dan pelindung dalam setiap keadaan. Aku berjanji untuk mencintaimu dalam suka dan duka, dalam kesehatan maupun sakit, dalam keberlimpahan maupun kekurangan. Aku akan selalu ada di sisimu, membangun hidup bersama, dan menjadikanmu prioritas utamaku. Dengan cinta ini, aku berjanji untuk menghormati, melindungi, dan mencintaimu sampai maut memisahkan kita," ucap Gading dengan lantang dan penuh keyakinan. "Karina, sekarang giliranmu untuk mengucapkan janji pernikahan kepada Gading." Pandangan Pendeta beralih pada Karina. "Gading, di hadapan Tuhan dan semua orang yang kita kasihi, aku berjanji untuk mencintaimu dengan sepenuh hatiku. Aku berjanji untuk menjadi istri yang setia, teman

  • Godaan sang tante   Bab 89 Malam Pertama Yang Sangat Berbeda

    "Aaahhh... Sayang... Kenapa ini enak sekali?" Badru merem melek ketika mereka melakukan penyatuan. Ini malam pertama yang sangat berbeda dari biasanya. Badru merasa ada yang berbeda dari Dinda. Milik Dinda terasa lebih rapat dari biasanya. "Kamu suka Sayang?" tanya Dinda sambil memandangi wajah Badru yang keenakan. "Suka sekali Sayang. Milikmu lebih legit dari biasanya. Apa kamu melakukan perawatan khusus?" tanya Badru sebelum melumat bibir ranum Dinda. "Iya Sayang... aku melakukan treatment khusus untuk membuat kamu bahagia dan membuat momen indah ini tak akan terlupakan." Dinda tersenyum bahagia. "Terima kasih Sayang." Badru tersenyum senang karena Dinda tahu apa yang ia lakukan. Badru bergerak tak terkendali di atas tubuh Dinda yang begitu indah. Sudah hampir dua bulan lebih mereka memang sengaja menahan diri untuk tidak melakukan pertempuran ini dan malam ini keduanya mencurahkan semua keri

  • Godaan sang tante   Bab 88

    merasa Perkataan Elma berhasil membuat Karina tersenyum lagi. la beruntung memiliki sahabat seperti Elma yang selalu tahu cara menghiburnya.Setelah sesi fitting selesai, Karina dan Elma melanjutkan aktivitas mereka dengan memilih souvenir untuk pernikahan. Mereka menghabiskan waktu cukup lama di toko-toko souvenir, membandingkan berbagai pilihan. Karina ingin souvenir yang unik, tetapi tetap sederhana dan bermakna.."Akhirnya satu lagi selesai. Rasanya persiapan pernikahan ini seperti tidak ada habisnya!" ucapnya sambil tertawa kecil.Setelah semua selesai, Karina merasa lega."Memang begitulah rasanya. Tapi kamu akan merindukan semua keribetan ini suatu hari nanti." Elma ikut tertawa."Aku tidak sabar menunggu hari itu, Elma. Hanya satu minggu lagi, dan semuanya akan berubah. Aku akan menjadi istri Gading, dan kami akan memulai hidup baru bersama." Karina tersenyum, menyadari kebenaran kata-kata Elma.Setelah semua urusan selesai, Karina mengajak Elma makan siang di sebuah restoran

  • Godaan sang tante   Bab 87

    Langit sore itu mendung, awan kelabu menggantung seolah turut berduka atas kepergian Rio. Suasana pemakaman terasa sunyi, meski hari telah berlalu sejak Rio dimakamkan.Di sudut yang sepi, seorang wanita berjalan tertatih menuju pusara yang masih basah. Itu adalah Arumi. Tubuhnya kini tampak lebih kurus, wajahnya yang dulu penuh percaya diri kini memancarkan kehampaan. Kakinya yang pincang menjadi pengingat dari kecelakaan yang mengubah hidupnya selamanya.Arumi jatuh bersimpuh di depan nisan Rio. Tangannya yang gemetar menyentuh batu nisan yang dingin. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat. "Rio... maafkan aku," gumamnya lirih, hampir tak terdengar.Rio, lelaki yang ia cintai itu, kini telah pergi untuk selamanya. Kepergiannya menjadi pukulan telak bagi Arumi. Dia tahu bahwa kematian Rio adalah akibat dari ambisinya yang buta. Rencana balas dendam yang ia susun terhadap Elma telah menyeret Rio dalam konflik yang berakhir tragis."Aku bodoh... aku egois... Aku hanya

  • Godaan sang tante   Bab 86

    Aditya terisak mendengar kata-kata ibunya. la menatap wajah wanita yang telah melahirkannya itu, melihat kelelahan yang terukir di sana tetapi juga merasakan ketulusan yang begitu besar."Mama, terima kasih. Terima kasih sudah selalumendukungku, bahkan di saat-saat sulit seperti ini. Aku janji, Ma. Aku akan bangkit. Aku akan membuat Mama bangga dan bahagia. Aku akan membangun kembali semua yang telah hilang, demi Mama dan Papa," katanya dengan suara bergetar penuh emosi.Mendengar janji itu, Nyonya Selly tersenyum lembut dan mengangguk. la merentangkan tangannya, mengajak Aditya untuk mendekat. "Sini, Nak. Peluk Mama," ujarnya dengan penuh kasih.Aditya mendekat dan memeluk ibunya dengan erat. Pelukan itu bukan hanya pelukan biasa, melainkan pelukan yang penuh dengan kehangatan, kasih sayang, dan dukungan tanpa syarat. Air mata mereka berdua bercampur, mengalir bersama dengan perasaan haru yang melingkupi mereka."Aku beruntung punya Ibu seperti Mama," bisik Aditya di sela-sela isaka

  • Godaan sang tante   Bab 85

    Sore itu, Revan pulang kerja seperti biasanya. Setibanya di apartemen, ia disambut oleh suasana yang terasa berbeda. Elma duduk di sofa dengan wajah murung, jauh dari biasanya. Biasanya, Elma menyambut Revan dengan senyuman hangat atau cerita ringan tentang harinya, tetapi kali ini, ia hanya diam dan tampak tenggelam dalam pikirannya."Sayang?" panggil Revan sambil melepas sepatu dan jasnya."Kamu kenapa? Kok kelihatan nggak semangat gitu?"Elma mengangkat wajahnya, menatap Revan dengan mata yang sudah memerah karena air mata."Revan... Karina... Karina akan segera menikah dengan Gading," ucapnya pelan, suaranya bergetar.Revan mengerutkan kening, bingung melihat reaksi Elma yang tak biasa."Karina menikah? Itu kabar baik, kan? Harusnya kamu senang, Sayang. Tapi kenapa kamu malah murung?" tanyanya dengan lembut sambil duduk di sebelah Elma.Air mata Elma jatuh, mengalir deras di pipinya. Ia mencoba bicara, tetapi suaranya terputus-putus oleh tangisannya."Aku senang... tapi... aku jug

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status