“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Aku nggak tahan lagi! Berkali-kali diputus oleh laki-laki cuma gara-gara tampak lugu. Malam ini akan kubuktikan kalau aku bisa jadi gadis dewasa!” geram Ayra sambil melepaskan kancing baju sekolahnya satu-persatu. Satu tangannya lagi sibuk membuka pintu lemari pakaian. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh isi lemari tersebut guna mencari baju yang cocok dikenakan untuk pergi ke klub malam. Baru saja keluar dari gedung sekolah pada sore hari karena harus mengerjakan beberapa tugas yang menumpuk, Ayra diputuskan oleh kekasihnya secara tiba-tiba di depan pintu gerbang. Kekesalannya semakin bertambah usai dia merasa lelah dengan dunia sekolah. Pasalnya, Ayra sering kali dibuat pulang nyaris malam sebab tugas tak kunjung selesai. Gadis yang sebentar lagi memasuki usia delapan belas tahun itu juga harus mengejar banyak pelajaran yang sempat tertinggal untuk menghadapi ujian dua bulan lagi. “Sial! Mana mungkin aku punya baju seksi?” kesalnya. Sudah beberapa kali mencari baju-baju di dala
Belum ada percakapan di antara mereka karena Ayra sendiri bingung. Mungkin saja lelaki itu salah orang, itu perkiraannya. Maka, dia tidak menolak sama sekali. Justru merasa senang karena akhirnya ada yang mengeluarkan dirinya dari zona yang membuatnya sungguh tidak nyaman. “Berthenti!” Setelah langkah mereka menjauh dari area klub, Ayra menepis tangan lelaki yang masih saja mencengkeram lengannya lalu dia menghentikan langkah mereka. Merasa aneh karena dirinya terus-menerus dibawa tanpa ada obrolan apapun. Kemudian lelaki di depan Ayra menoleh dan membalikkan badan. Menatap Ayra penuh kesal. “Pak Attar?” Ayra sangat terkejut saat menyadari ternyata lelaki yang mengajaknya keluar adalah orang yang selama enam bulan ini telah hidup bersamanya. Untuk apa lelaki itu sampai melakukan hal ini? Padahal mereka tidaklah dekat.“Kamu ngapain di sini, Ay?! Kamu itu masih anak sekolah! Nggak seharusnya keluyuran malam-malam apalagi ke tempat seperti ini,” ucap Attar sembari melepaskan jas milik
“Saya nggak mau menikah sama om-om,” ketus Ayra dan langsung mendapatkan tatapan terkejut dari Attar. Lelaki itu justru semakin memberanikan diri mendekatkan wajahnya hingga gadis tersebut mampu merasakan deru napasnya. “Suatu saat kamu akan jatuh cinta denganku. Ingat, jangan pernah bermain dewasa di luar. Biar aku yang akan mengajarimu.” Attar segera pergi dari hadapan Ayra. Meninggalkan gadis di sana yang saat ini dipenuhi perasaan terkejut bukan main. Dia berpikir tidak akan pernah terjadi yang namanya hubungan khusus antara gadis sekolah dengan lelaki yang jauh lebih dewasa. Namun, Attar baru saja menawarkan sebuah pernikahan. Bukan tawaran, lebih tepatnya permintaan. Apalagi lelaki itu baru saja mengubah bahasa menjadi ‘aku dan kamu’. Perlahan Ayra melepaskan jas yang masih menyampir di pundaknya lalu dia letakkan di atas sofa ruang tamu. Kakinya bergetar karena perkataan Attar yang terus terngiang. Gadis itu berjalan gontai lalu masuk ke kamar dengan perasaan bercampur tidak
“Apa kamu bilang?” “Iya! Biar saya nggak dibuli lagi sama orang-orang di sekeliling.” Attar segera mengecilkan api kompor lalu berjalan menuju Ayra. Membungkuk dengan menyangga tubuhnya menggunakan dua tangan tepat di depan bocah sekolah itu. Wajahnya sengaja dibuat jarak sedekat itu dengan wajah gadis di sepannya. “Tugas kamu sekolah. Jangan memaksakan apapun yang nggak kamu inginkan, yang belum kamu sanggupi. Jika dunia itu membuatmu takut, menjauhlah.” Attar terus memajukan wajahnya hingga membuat Ayra harus mundur meskipun dia menahan badannya sendiri sebab kursi yang dia duduki tidak memiliki sandaran. “Saya juga- maunya gitu, Pak.” Gadis itu menahan napasnya sedikit gugup. Sekarang kegugupan Ayra bertambah saat Attar mengambil potongan buah di meja. Kemudian menyuapkannya ke mulut Ayra. Attar masih terus menatap mata gadis tersebut dengan tatapan tajam. “Aku menunggumu jatuh cinta padaku, Ay. Dengan begitu, kamu akan tahu berbagai dunia dewasa bersamaku.” “Uhhuk uhhuk!” T
“Mengganti dengan hal lain?” Attar balik bertanya sambil mengernyitkan alis. Ayra mengangguk cepat sembari mengerjapkan mata. Cemas jika suatu saat dia dibuang, dikucilkan, ataupun tiba-tiba disuruh menjadi babu di rumah tersebut. Atau mungkin disuruh mengganti berkali lipat dari apa yang pernah dia terima selama ini?“Anggap saja aku sedang menebus dosaku, Ay. Sebab kurang begitu perhatian terhadap staff sendiri.” Gadis bertubuh kurus itu mulai memasukkan jarum ke dalam sela-sela kancing. Ditautkan kembali dengan kain supaya lebih kencang. Dia menghela napas sejenak sambil memikirkan perkataan Attar. “Tapi kalau dipikir kembali, sebenarnya itu bukan kesalahan Bapak. Saya jadi merasa nggak enak.” “Tentu saja aku ikut bertanggung jawab, Ay. Aku yang memerintahkan kedua orangtuamu menggantikan tugasku di luar kota. Mana mungkin aku lempar batu sembunyi kaki?” “Peufthh.” Ayra menahan tawa saat ucapan Attar sedikit melesat. “Yang benar sembunyi tangan, Pak.” Attar tersenyum senang bis