Dua anak sekolah sedang berada di ruang BK. Mereka sama-sama kelas dua belas dan merupakan satu kelas. Satu laki-laki, satunya lagi perempuan. Menghadap guru BK secara bersamaan. "Kalian tertangkap rekaman CCTV dan sedang melakukan hal yang kurang bermoral di dalam kelas. Saya tahu kalian sudah beranjak dewasa. Tapi tolong tahu tempat dan juga ingat status. Kalian masih berada di sekolah, masih anak sekolah, dan yang lebih pasti adalah kalian ini belum menikah. Tidak sepantasnya kalian melakukan itu," tutur Bu Fadilah yang merupakan guru Bimbingan Konseling. Rendra dan Ayra hanya bisa menunduk. Keduanya duduk bersebelahan. Surat panggilan orang tua sudah berada di tangan Bu Fadilah. Akan segera dibagikan secara langsung kepada wali murid dari dua anak tersebut. Itu berarti, Bu Fadilah akan mendatangi rumah yang Ayra tinggali, juga datang ke rumah Rendra. Mampus. Ayra bisa kena marah habis-habisan oleh Attar. Selama ini gadis tersebut tidak pernah membuat ulah apalagi sampai orang tu
"Maaf." Satu kata dari mulut Attar yang membuat Ayra membuka mata setelah sebelumnya kembali terpejam. Lelaki itu langsung memundurkan diri. Dia tersadar jika perbuatannya lancang. Beruntung saja Attar mampu mengontrol diri. Ayra sontak mendorong tubuh Attar hingga lelaki tersebut terjungkal ke kasur. Gadis yang saat ini tengah merasakan debaran hebat dalam jantungnya itu bangkit dan meninggalkan kamarnya. Ayra berlari menuju balkon kamar untuk mendapatkan udara segar. Membiarkan tubuhnya yang sempat memanas terhempas angin malam. Ayra menghirup oksigen dengan serakah. Perasaan macam apa ini? Gadis itu memejamkan mata. Meneruskan kegiatannya memenuhi paru-paru dengan oksigen baru. Setelah beberapa saat, Ayra teringat akan keberadaan Attar di dalam kamarnya. Dia menoleh dan menilik ruang kamarnya yang bisa dilihat dari kaca jendela. Tidak ada, Attar pasti sudah keluar dari kamarnya. Ayra pun menghela napas lega. Dasar aneh. Tidak, Ayra tidak bisa seperti ini terus. Dia harus membua
Ayra mematung usai mendengar kalimat Attar. Tidur bersama? Dia yakin Attar hanya bergurau. Selama ini semua sikap Attar pasti hanya sebuah candaan yang tidak seharusnya ditanggapi dengan serius oleh anak seusia dirinya. “Sudah kukatakan, besok kamu nggak perlu pergi ke sekolah kalau kakimu masih sakit.” Sebenarnya Ayra merasa senang-senang saja kalau dirinya tidak berangkat ke sekolah. Namun, yang menjadi dilema adalah dia tidak akan bertemu dengan kekasihnya. Ayra merindukan Rendra setiap saat, ingin selalu melihat dan mengobrol meskipun saat ini posisi Rendra tengah marah terhadapnya semenjak sepulang sekolah tadi. Attar membereskan meja belajar Ayra hingga benar-benar rapi. Kemudian mendekati gadis itu yang sudah berbaring di atas kasur. Attar menarik selimut hingga menutupi bagian dada Ayra. “Kamu tidur aja, Ay. Jangan mikirin sekolah terus. Sekali-kali istirahat. Nggak apa-apa.” Attar berujar sembari menatap wajah Ayra. Dia lalu mematikan lampu utama di kamar gadis tersebut.
“Ralat. Kayaknya kita lebih cocok kayak paman sama keponakan gitu, nggak, sih?” lanjut Ayra membuat suasana hati Attar seperti mendadak dijatuhkan dengan cara dibanting setelah diterbangkan hingga melambung tinggi. Kedua alis Attar saling bertaut menahan rasa perih di tangannya. Darah di ujung jemari telunjuk miliknya mengucur dengan cepat. “Tangan Pak Attar berdarah,” lirih Ayra merasa sedikit panik usai menyadari jemari lelaki di depannya berdarah. Attar hendak membasuh tengannya di bawah kran air, tetapi tangannya dirampok oleh Ayra. “Ikut saya, Pak.” “Ay, mau kemana? Ini cuma luka kecil.” Attar tahu persis jika gadis itu menyeretnya untuk pergi ke tempat di mana ada kotak P3K. “Nggak ada luka kecil ataupun luka besar. Luka tetap luka yang harus diobati supaya nggak infeksi. Semuanya bermula dari hal kecil yang lama-lama akan menjadi besar. Makanya, jangan sepelekan luka kecil,” jelas Ayra sembari terus menarik tangan Attar menuju tempat incarannya. Setelah sampai, tepat se
“Ayra ada di dalam ‘kan, Mbok?” tanya Rendra begitu Mbok Inah membukakan pintu rumah. “Iya, ada. Dia ada di dalam kamar. Biar saya panggilkan.” Mbok Inah hampir berbalik badan, tetapi suara Rendra menghentikannya. “Nggak usah, Mbok. Saya mau langsung ke kamarnya saja. Katanya dia lagi sakit, makanya biar saya yang ke sana.” Rendra berujar dengan ramah. “Oh, iya, Mas Rendra. Kata Tuan Attar, Non Ayra memang sakit. Kalau begitu silakan masuk.” Wanita paruh baya itu membuka pintu lebih lebar. Dia menggeser diri untuk memberikan jalan masuk bagi Rendra. “Baik, Mbok. Terima kasih.” Rendra membungkuk sedikit. Kemudian mulai masuk dan melewati Mbok Inah. “Sama-sama, Mas. Mau saya antarkan minuman dan camilan ke kamarnya Non Ayra sekalian?” tawarnya sembari mengikuti Rendra dari belakang. “Nggak usah, Mbok. Ini saya sudah bawa makanan sekalian sama minuman,” kata Rendra. Berbalik badan sejenak untuk memperlihatkan bawaannya di dalam kantong plastik. “Oh, ya sudah kalau gitu. Saya mau la
“Sayang, aku udah pesenin semua makanan kesukaan kamu,” ucap seorang perempuan dari kejauhan sana. Tampaknya sedang berada di sebuah warung makan. “Oke. Bentar lagi aku akan sampai. Tunggu saja di situ.” Attar menyahut. Dia tengah fokus mengemudi mobil menuju ke tempat janjiannya dengan calon istri. Sania yang mengajaknya. Attar jarang sekali mengajak wanita itu terlebih dulu. Padahal dulu saat mengajak kenalan, Attar sangat antusias. Apapun akan dilakukan demi mendapatkan hati Sania. Kali ini berbeda. Dia bosan dan entah mengapa rasanya ingin menghindari Sania, tetapi tidak bisa. Lelaki itu sudah terlanjur berkenalan dengan orang tua Sania meskipun hanya melalui sambungan telepon dan seperti ada janji untuk menikahi wanita tersebut. “Iya, ini makanannya udah ada yang diantar satu-persatu. Kamu jangan lama-lama, ya? Nanti keburu makanan dingin terus nggak enak, lagi.” Sania berujar. “Sekitar tiga menit lagi aku sampai.” “Oke. Aku tunggu, Sayang.” Attar mematikan sambungan telep
Ayra memekik ketika wajahnya menabrak dada Rendra. “Suut. Apaan, sih? Jangan berisik.” Rendra menyahut dengan santainya. Dia berhasil mendekap tubuh Ayra dengan posisi tubuhnya yang telentang, sedangkan Ayra berada di atasnya. Rendra mendekap gadis itu dengan begitu erat. “Ren, kamu nggak akan apa-apain aku, ‘kan?” tanyanya terus terang. Ayra merasa jantungnya memompa lebih cepat. Khawatir jika tiba-tiba Rendra melakukan sesuatu yang di luar dugaannya, seperti apa yang Fera ucapkan. “Kamu minta diapa-apain?” Rendra bertanya balik, masih dengan suara santai. “Eng-nggak gitu, Ren!” seru Ayra. Suaranya teredam dada dan lengan Rendra yang membuat wajahnya terbenam. Posisi mereka masih sama. “Ternyata pelukan gini bikin aku nyaman, Ra. Gimana kalau kita nikah aja?” Rendra memejamkan mata. Dia merasakan dua bongkahan benda kenyal berada di atas perutnya. Otak Rendra menjadi ternodai. “Ren, kamu jangan gila.” “Aku udah gila karena kamu, Ra. Bukannya kamu pengin nikah sama aku?” “Tapi
“Ka-kamu udah bangun?” tanya Ayra terbata. Dia kaget karena tiba-tiba ada Rendra di depan pintu kamar mandi. Mata Rendra fokus pada belahan dada Ayra. Kemudian tatapannya turun ke arah kaki mulus milik gadis itu. “Kamu seksi banget, Ra,” celetuk Rendra dengan polosnya. Dia lalu menaikkan pandangan, menatap wajah Ayra. “Aihh!” Ayra sadar dengan keadaan dirinya. Dia langsung masuk menutup kembali pintu kamar mandi. “Rendra keluar dari sini! Kamu pulang buruan!” teriak Ayra. Dia benar-benar merasa takut jika Rendra sampai kehilangan akal sehatnya. Rupanya kini Ayra terkena karma atas omongan-omongannya yang dulu. “Oke. Aku pulang dulu, ya? Ngomong-ngomong kamu wangi banget, Ra. Jadi pengin tidur sama kamu,” ucap Rendra iseng. Dia menahan senyum jail. Sekarang Rendra memiliki hobi baru, yakni menggoda Ayra. “Rendra! Diam! Keluar sekarang!” seru gadis itu hingga suaranya menggema memenuhi ruang kamar. Bahkan mungkin terdengar sampai luar. *** “Kamu bawa pacar kamu masuk ke kamar? Se