Ayra membersihkan sarang laba-laba di dinding bagian atas hingga ke bawah. Menghilangkan debu yang menempel di beberapa benda. Setelahnya, ia menyapu dan mengepel lantai.Ruang demi ruang Ayra bersihkan dengan secepat yang ia bisa. Hingga tiba saatnya rasa lelah benar-benar menguasai tubuhnya padahal masih ada ruang tamu yang belum dibersihkan. Akan Ayra tunda karena sekarang hari sudah menjelang sore. Semua ruangan telah bersih seperti semula, kecuali ruang tamu saja.Gadis itu menyeduh teh hangat dan dibawa ke dalam kamar. Ia duduk di bingkai jendela seperti kebiasaan dulu saat menunggu ayah ibunya pulang dari kantor. Melihat ke halaman, Ayra membayangkan kedua orang tuanya datang membawa makanan untuk makan malam mereka.Air mata Ayra menetes saat memori masa lalu berputar kembali di dalam otaknya seperti kaset usang yang masih berfungsi dengan baik. Napas Ayra tersenggal. Ia menyesap teh hangat yang kini menjadi teman sorenya.Setelah menyesap minuman hangat beberapa kali, Ayra me
“Mbok, tolong bikinin minuman jahe hangat buat Ayra,” pinta Attar kepada Mbok Inah yang masih stay di dapur.“Sekalian makan malamnya nggak, Tuan?”“Iya, sekalian, Mbok. Mungkin Ayra belum makan malam.”“Baik, Tuan.”Attar mengangguk satu kali lalu pergi dari dapur. Ia harus segera mengurus Ayra yang mungkin tengah kesulitan melakukan apa-apa sendiri.Sesampainya di dalam kamar gadis itu, Attar belum melihat keberadaan Ayra di sana. Pasti masih berada di kamar mandi. Attar penasaran apakah Ayra sudah selesai atau belum. Pasalnya, Ayra sudah memakan waktu lumayan lama di dalam sana.Attar mengetuk pintu kamar mandi sambil memanggil Ayra. Tidak ada sahutan, tetapi pintu langsung terbuka dan menampakkan wajah Ayra yang begitu pucat. Membuat Attar sontak merasa cemas.“Ay, kamu pucat banget,” lontarnya meraba wajah Ayra menggunakan kedua telapak tangan. Mata Attar menatap Ayra khawatir.Sementara, Ayra yang diperlakukan seperti itu menjadi terbawa dengan perasaan. Hatinya tersentuh dan me
Ayra tengah menahan napas saat Attar mengoleskan minyak kayu putih ke leher hingga tengkuk. Membuatnya merasakan hangat dan nyaman, tetapi tangan itu sebaliknya. Membuat Ayra merasa ingin menghindar.Selang beberapa detik, Ayra mulai bernapas dengan normal dan hendak membuka mata. Akan tetapi, bibir Attar yang tiba-tiba mendarat di bibirnya sukses membuat jantungnya berdegup lebih cepat hingga ia memejamkan mata kembali dan sontak mencengkeram baju yang Attar kenakan.Ayra menerima ciuman pertamanya. Namun ia masih tidak bisa membalas. Hanya merasakan ternyata rasanya seperti itu. Lembut sekaligus mendebarkan.Attar tersadar dari perbuatannya yang diyakini jika ini salah. Ia segera melepaskan tautan ciuman mereka. Perlahan menjauh dan membuka matanya. Attar memberanikan diri untuk menatap Ayra yang kini sudah menatapnya terlebih dulu.“Ay, aku ....”“Pak Attar pergi,” ucap Ayra dengan cepat. Ia menutup kedua telinganya karena tak ingin mendengar lelaki itu meminta maaf atau mengatakan
“Mbok, Ayra kok belum turun? Ini sudah agak telat, loh,” lontar Attar saat hampir menyelesaikan sarapannya di dapur. Ia baru saja menengok jam tangan.“Non Ayra baru saja berangkat, Tuan. Saya kira dia sudah sarapan.” Mbok Inah menyahut dengan suara biasa. Ia sedang meletakkan gelas kotor di wasafel yang dibawa dari ruang tamu ke dapur.“Tumben dia nggak sarapan?” gumam Attar sedikit memiringkan kepalanya. “Apa dia canggung denganku gara-gara kejadian tadi malam? Atau jangan-jangan marah besar?” lanjutnya masih bergumam seorang diri. Sesekali Attar mengunyah makanan yang sempat terhenti karena kepikiran dengan gadis yang saat ini membuatnya merasa tidak enak.“Tuan kenapa?” tanya Mbok Inah mendengar gumamam Attar meskipun hanya sebagian kata saja.“Nggak apa-apa Mbok. Saya berangkat ke kantor dulu, ya?” Kemudian Attar segera keluar dari sana. Attar merasa bersalah atas perbuatannya yang tidak bisa dikontrol tadi malam. Akankah Ayra memaafkan dirinya?*** “Rendra? Apa-apaan?” Ayra me
“Mbok, motor Ayra belum ada. Dia belum pulang sekolah?” Attar baru saja keluar dari mobil. Pikirannya terganggu karena tidak melihat adanya motor milik Ayra di garasi. Biasanya selalu berada di sana ketika dirinya pulang dari kantor.“Non Ayra pergi, Tuan,” sahut Mbok Inah setelah selesai menutup pintu gerbang.“Ke mana?” Attar mengernyitkan alis. Tidak biasanya ‘kan Ayra pergi pada jam seperti ini. Sebentar lagi magrib dan senja akan habis.Mbok Inah menggeleng. “Saya kurang tahu, Tuan. Non Ayra nggak pamit.”“Dia pergi tapi nggak pamit lagi?!” tegas Attar membuat Mbok Inah sedikit tersentak.“I- iya, Tuan. Tadi saya disuruh Non Ayra buat beli minuman Vitamin C. Begitu sampai di rumah, Non Ayra nya sudah pergi,” ujar Mbok Inah dengan lebih jelas.Attar gelisah dan merasakan sesuatu yang tidak beres. “Ya sudah, Mbok. Saya mau masuk dulu.”Lelaki yang tengah dikuasai rasa gelisah, khawatir serta cemas itu segera masuk ke rumah. Ruangan pertama yang menjadi tujuan Attar ialah kamar mili
“Sayang, hari pernikahan kita tinggal menghitung hari,” ucap Sania sembari mengunyah makanan yang sudah tersaji di depannya.Sampai detik ini, Attar melarang Sania mendatangi rumahnya karena di rumah yang ia tempati tidak ada orang tua. Mereka hanya bertemu di luar saja. Kalau tidak, Attar yang mendatangi rumah orang tua Sania.“Masih dua minggu lagi, Sania.” Attar menyahut. Sebenarnya ia merasa sedikit kesal setiap kali Sania selalu membahas hari pernikahan itu. Semakin ke sini Attar menjadi malas mendengar pembahasan pernikahan mereka.Lelaki itu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Suapan yang ke-tiga kalinya. Attar ingin cepat-cepat menyelesaikan pertemuan di antara mereka berdua. Selain tidak terlalu niat bertemu dengan Sania, tubuh Attar juga merasa lelah dan ingin segera beristirahat.Satu penyesalan yang Attar lakukan sampai sekarang adalah, tidak memilih wanita dengan benar-benar secara hati. Yang ia tahu, Sania hanyalah gadis baik dan merupakan istri idaman. Perasaan yang p
Fera memasang telinga baik-baik ketika Ayra mulai berbicara. Ia yakin kalau pembicaraan itu pasti sesuatu yang besar dan serius. Buktinya sampai Ayra berlari ke rumah itu.Fera menebak telah terjadi sesuatu antara Ayra dengan Attar hingga sahabatnya memilih untuk pindah tempat tinggal. Ia masih menunggu kelanjutan cerita Ayra yang terjeda.“Kamu dan Pak Attar kenapa, Ra?” tanya Fera tidak sabar.Ayra terdiam lagi sejenak. “Aku suka sama dia, Fer.”Kedua mata Fera sedikit melebar setelah mendengar pengakuan Ayra. Antara terkejut dan sudah bisa menebak sebelum-sebelumnya. Ia pernah berpikir bagaimana jadinya kalau Attar dan Ayra pada akhirnya ada yang jatuh cinta di antara mereka atau mungkin keduanya saling memiliki rasa?Sebenarnya Fera tidak merasa bahwa itu kesalahan. Mereka tidak ada ikatan darah. Sejak awal mendengar kabar kalau Ayra tinggal bersama lelaki dewasa yang masih single pun Fera sempat memikirkan hal itu.Fera masih terus menatap Ayra yang memandang lurus ke depan. Ia t
“Terus kamu mau melepasnya begitu saja?” tanya Fera dengan tegas.Ayra menoleh dan menatap Fera dengan tatapan sedih. “Aku harus bagaimana? Apa aku harus bersaing dengan wanita dewasa, sedangkan aku yakin kalau Pak Attar melakukan itu padaku karena sebuah kesalahan. Dia hanya menganggap kejadian tersebut sebagai ketidaksengajaan.”“Nggak, Ra. Aku yakin kalau Pak Attar pasti mencintaimu.” Fera mencoba meyakinkan sahabatnya setelah berpikir sejenak alasan Attar melakukan itu kepada Ayra.Ayra menggeleng menolak opini yang Fera jelaskan. Ia menganggap semua hanyalah angin berlalu meskipun hatinya tidak mampu merelakan Attar. “Sudah lah, Fer. Aku akan melupakan semuanya. Aku akan menata hidupku dengan lebih baik lagi dari sekarang. Aku akan fokus pada masa depan dan cita-citaku mulai saat ini. Aku yakin kalau aku bisa hidup sendiri,” cetus Ayra.“Ayra, sebenarnya aku nggak setuju melihatmu pergi dari rumah itu. Aku yakin kamu masih membutuhkan orang dewasa untuk berada di sisimu. Tapi sa